Sunday, November 25, 2007

LONTAR 12

BILIK REDAKSI

Salam Sastra !
Sejarah, separonya dipercaya menjadi juru pengingat ketika semuanya bermasyuk dalam kealpaan, bahkan ketika sejarah 'melupa' tersebut menjelma monster bernama "amnesia sosial" yang berlatah-latah. Akan tetapi, benarkah sejarah memiliki kekuatan sebagai juru pengingat seperti itu? Sebegitu hebatnyakah?

Pembaca LONTAR yang budiman, sungguh sayang, hingga hari ini kita masih belum bisa menyaksikan sejarah 'kebenaran' yang bisa kita jadikan juru pengingat demi menjadi sebuah bangsa yang besar. Kita terlalu malas untuk mengingat dan belajar (dari) sejarah. Bisa jadi dulu ketika kita duduk di bangku sekolah (banyak duduk daripada aktif 'bergerak', bukan?)---di mana menjadi satu-satunya tempat belajar sejarah yang dipandu oleh kurikulum---tak pernah semestinya. Tak heran jika kita terbiasa dibelokkan oleh sejarah dan akhirnya kita terbiasa pula untuk membelokkan sejarah. Tak ayal kesemuanya berurat akar dan merembet di banyak ranah. Ah, sebuah silang sengkarut cerita sebuah bangsa yang tak pernah "besar". Kalau begitu kita musti bagaimana?

"Tanyakan saja pada teh botol!", jawab seorang pengamen jalanan dalam laju bus jurusan Wates - Jogja.

Selamat Membaca....


CERPEN
N A Z A R

Cerpen Nani Enha

Aku bermaksud melaksanakan nazarku. Jika mendapat beasiswa tahun ini, akan berziarah ke pegunungan kidul, tempat dimakamkannya Mas Na. Aku akan mengajak ibuku ke sana.
Dan Tuhan mengabulkan! Dengan mengumpulkan fotokopi nilai akademik dua semester dan persyaratan lain, alhamdulillah namaku tertera pada pengumuman penerima beasiswa di antara sekian nama yang ada. Aku bersyukur, ini anugerah. Selain meringankan beban orang tua, aku juga berharap semua ini bisa menutup rasa bersalahku pada Mas Na.

Pagi itu, berdua dengan ibuku---ibu termasuk orang yang punya ikatan emosional dengan Mas Na---kami naik bus antar kota antar propinsi, + 3 jam perjalanan. Semua lancar, hanya ketika memasuki wilayah desanya, aku agak lupa. Setelah bertanya kanan-kiri, akhirnya ada mobil yang bersedia mengantar kami---tentu saja dengan tawar-menawar ongkos bensin. Maklum, rumahnya agak masuk dari jalur angkutan umum.

Sampai di rumah mas Na, kami bertemu orang tua dan adiknya. Mereka menyambut kami dengan senang hati. Sekian lama tidak bertemu, sangat terasa, keberadaan hubungan persaudaraan kami ternyata masih kental.

Setahun lalu, ayah Mas Na terpuruk, sulit berkomunikasi dengan orang-orang: shock kehilangan anaknya, mas Na! Mas Na adalah anak yang diharapkan bisa mengangkat nama baik dan derajat orang tua dan keluarga, tetapi rupanya Tuhan belum mengijinkan. Saat itu mas Na pulang dengan tubuh sudah menjadi jenasah, berada di dalam peti tertutup. Mas Na benar-benar berpulang!

Kami tidak berlama-lama di rumah itu, karena kami ingin segera berkunjung ke makam mas Na dan kami diantar oleh adiknya.

Tidak jauh, kami bertiga dengan adik Mas Na, menyusuri jalan-jalan setapak hingga sampai di pemakaman. Dengan khusyuk, kami memanjatkan doa untuk arwah Mas Na. Orang yang membawa segudang kenangan hidup di masa lalu, yang nasihat-nasihatnya masih kuingat dan sesekali masih kubuka surat-suratnya.

Ketika itu aku tak menyadari. Teman sekolahku di SLTA memperkenalkanku pada kakaknya secara sepihak, dengan memberikan cerita-cerita dan foto-fotoku. Mas Na sendiri tengah menjadi guru di perantauan Ujung Kulon. Dia sudah cukup dewasa dan bermaksud mencari pasangan hidup. Ketika aku telah dijadikan pilihan, Mas Na yang lugu mengirim surat yang sangat polos dan sederhana bahasanya. Cerminan seorang lelaki yang betul-betul tulus, dan mungkin belum pernah 'mengenal' perempuan. To the point, aku diajak menikah.

Aku bimbang. Di usiaku yang masih belia, aku masih punya banyak obsesi; kuliah, mondok di pesantren dan sebagainya. Lagi pula, aku belum siap memikirkan pernikahan. Untuk mengobati kekecewaannya, aku berinisiatif mempertemukan Mas Na dengan kakak perempuanku yang sampai saat itu belum juga menikah. Kebetulan kakakku juga tengah bertugas mengajar di lokasi yang tidak jauh dari tempat Mas Na bekerja.

Untunglah, Mas Na dengan berbesar hati mau memahami keadaanku, dan siap menerima---kemungkinan menjadi kakakku---dengan senang hati. Apalagi setelah kuceritakan bahwa 'kualitas' saudara tuaku lebih baik dalam berbagai hal dibanding aku. Meski begitu, ia tetap tak bosan memberikan nasihat-nasihat padaku; tentang agama, pesan-pesan moral, motivasi untuk belajar dan peningkatan ibadah. Di antara pesan-pesannya; carilah ilmu, engkau akan diangkat derajatnya, diampuni dosa-dosanya. Ilmu tinggi tanpa iman akan sia-sia belaka, iman tanpa ilmu akan lumpuh (ditolak). Malaikat akan menghamparkan sayapnya karena keridloan terhadap pencari ilmu.

Pada kali lain ia menyarankan; hati-hatilah terhadap rayuan pria, buktikan imannya, cintanya, akhlaknya. Walau jutawan/rupawan/cendekiawan, kalau kurang taat kepada Allah, apa gunanya hidup? Kurang taat kepada Allah berarti kurang tanggung jawab terhadap diri, apalagi kepada istri! Dan masih banyak pernyataan-pernyataan lain yang agak ekstrim.

Tetapi, tidak semua niatan baik berjalan mulus. Suatu ketika, surat-surat yang dikirim dariku atau temanku---yang biasanya disatukan dalam amplop yang mau diposkan---tidak sampai ke tujuan. Beberapa saat, komunikasi terhenti. Usut punya usut, ternyata surat-surat yang kami kirim, disita oleh pimpinan sekolah, di mana Mas Na bekerja. Konon, Mas Na dimusuhi pimpinannya karena tidak bersedia dijadikan menantu.

Mas Na telah berteguh hati untuk bergabung dengan keluargaku. Ucapannya; "...tapi Dik, kalau aku gagal dengan kakakmu, aku tidak akan berkeluarga. Kecuali adiknya tetap bersedia menggantikan". Aku merasa aman ketika kakakku menyambut kehadirannya.

Bertepatan dengan liburan akhir tahun, Mas Na berencana mau pulang kampung. Agenda yang paling penting adalah Mas Na mau meminang seorang perempuan cantik, lembut dan saleha, atas saran dan pilihanku, kakakku---karena aku mendapat kepercayaan untuk itu. Demi kasih tulusnya, Mas Na melaksanakan setiap kata-kataku, tanpa syarat? Kami semua ikut berbahagia untuk mempersiapkan semuanya. Tetapi di tengah kebahagiaan itu, aku menyimpan sedikit rasa bersalah. Karena pada awalnya aku tidak berterus terang bahwa kak Juwita, sebetulnya bukan kakak kandungku. Meski bukan, tapi kami masih ada jalinan keluarga.

Hari Senin pagi yang ditunggu-tunggu dengan segala keceriaan, tiba-tiba berubah menjadi mendung, berkabut awan tebal. Seorang utusan dari jauh, membawa kabar duka. Sebelum keberangkatannya ke kampung, fajar menjelang subuh, Mas Na tiba-tiba muntah darah, dan dalam waktu singkat, jiwanya tak tertolong lagi. Innalillahi...tak ada orang yang tahu sebab-sebab kematian yang sesungguhnya.

Banyak yang berduka; aku dan keluargaku, keluarga Mas Na sendiri, dan teman-temannya, terlebih-lebih calon istrinya? Sang pangeran yang ditunggu-tunggu ternyata pergi lebih cepat. Berhari-hari aku menangis dan seperti lumpuh. Mas Na, orang yang selama hidupku, meski aku belum pernah bertatap muka langsung dengannya---dan tak akan pernah bertemu selama-lamanya---tetapi jalinan persahabatannya, kepercayaannya, kesetiaannya seperti saudara yang selalu bersanding. Aku tidak mungkin melupakannya dalam hidup ini. Apalagi jika mengingat pernyataan ekstrimnya yang membuat aku merinding; "Demi penghormatanku pada dirimu yang menghormati saudara tuamu, aku percaya dan menerima saranmu dengan ikhlas, karena kau perempuan satu-satunya yang kupilih. Tapi sekali lagi, kalau aku tidak menjadi saudaramu dan gagal dua-duanya, berarti adik telah rela dengan sadis membunuhku!". Duh, Gusti. Sejauh inikah?

Sekembali dari ziarah, aku dan ibuku langsung berpamitan pulang, tidak lagi mampir ke rumahnya. Beban di dadaku terasa lebih ringan dan lega. Kutinggalkan areal pemakaman dengan tembang jiwa sejuta kenangan. Selamat tinggal Mas Na, aku menjadi saksi atas kebaikan-kebaikanmu, maafkan segala kesalahan dan kekhilafanku. Kudoakan semoga engkau bahagia di sana, penuh kedamaian bersama Tuhan...amin. Air mataku mengalir deras dan deras sekali..., aku tak peduli sekeliling!
(Agustus 2007)



BYAR
Tergoda


Tak banyak orang seperti Joaquim Chissano. Setelah berkuasa selama 18 tahun (1986-2004) di Mozambik, ia memilih lengser. Padahal, Konstitusi negara itu masih memberinya hak untuk mencalonkan diri. Tapi, menurutnya, "demi perkembangan demokrasi saya tidak mencalonkan diri lagi….."

Tentu masa depan demokrasi tak hanya membutuhkan hadirnya "orang yang mau mengalah" an sich. Tapi sebuah sikap: mampu menjaga jarak dengan kekuasaan dan menjamin berlangsungnya regenerasi kepemimpinan secara fair. Dan Chissano telah memberi tauladan yang baik tentang dua hal itu. Ya, karena saat ia berkuasa, Mozambik tengah dilanda perang saudara. Dan ketika ia lengser, negeri itu dipandang telah makmur, demokratis dan damai. Ibarat orang mendorong mobil mogok, Chissano tak ikut naik apalagi sampai terlena menikmati laju mobil. Ia menyilahkan generasi berikutnya untuk mengemudikan mobil yang telah lempang berjalan. Menakjubkan dan mengharukan !

Chissano juga menggugurkan asumsi sementara teori, bahwa di negera berkembang sulit muncul "negarawan". Langkanya sikap kenegarawanan dari para politisi di negara berkembang inilah yang acapkali menyebabkan suksesi mesti disertai percik darah. Dan itu tak terjadi di Mozambik dibawah kepemimpinan Chissano. Padahal dibanding Indonesia, Mozambik ibarat "anak kemarin sore". Negeri hitam itu baru merdeka pada 25 Juni 1975.

Alhasil, sikap kenegarawanan tak mesti berbanding lurus dengan usia dan kultur negara. Amerika, bangsa modern yang mengaku pelopor demokrasi, sejatinya telah berulangkali (bahkan secara telanjang) mencederai demokrasi di bawah kepemimpinan seorang presiden yang tidak saja gagal sebagai negarawan, tapi juga bodoh. Sementara di "negeri katrok", muncul seorang Chissano: lelaki kelahiran Desa Malehice (Provinsi Gaza), 22 Oktober 1939 itu adalah pribadi yang unik (bisa berbicara, menghargai dan duduk bersama oposisi di meja perundingan ) dan amsal seorang "negarawan yang khusnul khatimah": mengakhiri kekuasaan dengan elegan.
Siapapun tentu ingin mengakhiri kekuasaan dengan elegan. Persoalannya, seperti juga harta dan wanita, tahta memang selalu menggoda. Dan umumnya kita lebih memilih untuk tergoda.***
M A R W A N T O (http://www.markbyar.blogspot.com/)



ADA APA DENGAN LA
Bantuan untuk TBM LA Terus Mengalir
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) "Lumbung Aksara" yang dirintis sejak Juli lalu terus mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Bantuan berupa buku, majalah, dan buletin tersebut datang dari: Sdr. Witarman (pengusaha Loundry di Sagan Yogya), Sdr. Nur Hidayat (PNS di Pemda Temanggung), Sdr. Didik Komaidi (penerbit Sabda Media), Sdr. Arif Fauzi Marzuki (Logung Pustaka), Sdr. Wantoro (Tabib di Lendah), Mr. Daud (pengajar sebuah gereja di Solo) dan komunitas sastra PAWON Solo. Di akhir tahun ini, bantuan buku senilai 6,5 juta dari Badan Perpustakaan Propinsi DIY rencananya akan cair. Diucapkan terima kasih untuk semuanya. Partisipasi aktif dari masyarakat luas selalu ditunggu. Bagi yang tertarik mengunjungi TBM "LA" dipersilahkan datang ke Jl. Makam Kiai Bathok Bolu Wahyuharjo Lendah. ( Samsul )

Syawalan Sastrawan Kulonprogo
Kamis siang, tanggal 18 Oktober 2007, Papi Sadewa (Drs. Pribadi) mengundang sejumlah penulis Kulonprogo untuk acara syawalan (halal bi halal) di kediamannya, nJurangkah (Temon). Hadir dalam acara tersebut sastrawan dari Sangsisaku (Ki Soegiyono MS, Papi Sadewa, Danu Priyo Prabowo, Nur Wododo, dan Legiyo) maupun beberapa kawan dari Lumbung Aksara. Selain diisi ngaji budaya oleh Ki Soegiyono MS, pada acara tersebut juga digagas "Temu Sastrawan Tiga Kota" (Kulonprogo, Purworejo, Yogyakarta) yang rencananya akan digelar 13 Januari 2008. ( Itul )

Media Indonesia dan Kawula Muda
Jum'at, 2 November 2007, bertempat di Ruang Sidang Utama kampus UNY Karang Malang, Surat Kabar Harian Nasional Media Indonesia mengadakan roadshow "Sosialisasi Rubrik Tent@ng". Sebuah rubrik yang terbit setiap hari Rabu ini merupakan wadah yang dikhususkan bagi mereka-mereka yang muda dan kritis yang tergabung dalam sebuah komunitas. Pada umumnya rubrik ini berisi seputar siapa dan bagaimana sosok sebuah komunitas itu dibentuk. Lumbung Aksara---yang merupakan komunitas yang concern di bidang sastra non-profit---adalah salah satu komunitas terpilih untuk menghadiri undangan tersebut. Rencananya, dari 10 komunitas yang hadir saat itu akan mendapat kesempatan bergantian untuk mengisi rubrik ini. (AriZur)

Setahun Tadarus Puisi
Tak terasa, Tadarus Puisi sudah genap berusia setahun. Tepatnya, Selasa 30 Oktober 2007 lalu. Sebagaimana kali pertama diselenggarakan, pada ultahnya yang pertama ini TP juga mengambil tempat di kediaman lurah Lumbung Aksara. Hujan deras yang sejak siang hari mengguyur bumi Kulonprogo menyebabkan hanya sebagian anggota LA yang bisa mengikuti ritual bulanan ini. Acaranya pun lebih banyak diisi dengan rapat LA dengan Sangsisaku, salah satu komunitas sastra di Kulonprogo. Ada hubungan apa di antara keduanya? "Tunggu saja tanggal mainnya!", kata salah satu anggota LA. (Hening)


SMS (Seputar Menulis Sastra)
Memfungsikan Karya Sastra

Karya sastra dapat dianggap sebagai proses komunikasi. Karenanya, pesan dalam suatu karya sastra dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya antara pengirim dan penerima pesan. Meskipun ada kecenderungan bahwa karya sastra semata-mata dibuat untuk memenuhi kepuasan pribadi, dalam hal ini pengarang itu sendiri. Akan tetapi, karya sastra hanya akan tetap hidup dalam masyarakat manakala ia juga dimanfaatkan oleh orang lain. Karena bagaimanapun, keseluruhan karya sastra mengacu pada struktur sosial di luarnya. Sehingga untuk dapat hidup dalam masyarakat, karya sastra harus berfungsi. Salah satu cara memfungsikannya adalah dengan menggali makna yang terkandung dalam teks/bahasanya.
Bahasa dalam karya sastra, bukanlah bahasa yang dianggap biasa-biasa saja, melainkan suatu sistem komunikasi yang sarat dengan pesan kebudayaan atau keseluruhan aktivitas manusia. Tanda-tanda dalam bahasa sastra bukanlah milik karya itu sendiri, tetapi berasal dari konteks di mana ia diciptakan, atau di mana ia lahir dan tertanam. Tanda menunjukkan sesuatu dibalik sesuatu dari sesuatu yang dikatakannya itu sendiri. Dengan kata lain, tanda mewakili sesuatu yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh pengarangnya.

Di satu sisi, seorang seniman yang telah terlanjur ’melepaskan’ karyanya untuk dinikmati orang lain, ia harus siap manakala karya-karya tersebut dimaknai dan ditafsiri dengan sesuatu yang ’berbeda’ dengan maksud sang penyair sendiri. Semata-mata, pembaca adalah seseorang yang mencoba memahami dan memfungsikan karya sastra tersebut, seseorang yang mencoba ’mengintip’ sesuatu tersembunyi di sebalik karya sastra.

Di sisi lain, pembaca menginginkan penafsiran yang lebih ’mendekati kebenaran’ suatu karya, mestinya tidak hanya terpaku pada teks/bahasa semata, tetapi jauh lebih ke dalam yang berkaitan dengan hubungan antara makna dalam sebuah teks serta realitas. Meskipun penafsiran sendiri selalu bersifat menyejarah, tidak berhenti pada satu masa saja, dan selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sehingga, sastra yang sesungguhnya selalu mempunyai fungsi dan makna dalam konteks ruang dan waktu di mana manusia mengalami atau menghayati. (Chyto, Pemimpin Umum LONTAR)

SMS Pembaca
"Hi...LONTAR. Klo kirim puisi lwt sms olh ga? Ad honornya ga?"
(08174115xxx)

"Selamt pgi. Maaf. Sy bukn ingin pasang iklan tpi, Cuma ingn tany. Buletn sastra "LONTAR" sdh terbit d agen2 blm ya? Sebab, sya suka sekali bc buletin ini. Trm Ksih"
(08564395xxx)

BIODATA PENULIS
LONTAR Edisi 12/Th. I/November/2007
Nani Enha, alumni Akidah Filsafat UIN Suka. Pernah bergabung di anggota Dewan Redaksi majalah pesantren Tilawah Ponpes Nurul Ummah Kotagede. Meski begitu ia mengaku tulisan-tulisannya belum banyak terlahir. Tinggal di Plumbon.

Anib Nuham, alias Anwar Ibnu Hamid lahir di Bantul tahun 1960. Alumni Fakultas Adab UIN Suka dan Sosiologi Stisipol Kartika Bangsa Yogyakarta. Mantan Wakil Bupati Kulonprogo (2001 - 2006). Tinggal di Kauman Bendungan.

A. Samsul Ma'arif, pekerja kebudayaan yang juga seorang pendidik. Aktif pula di pendampingan kaum difabel. Di sela-sela kesibukannya 'masuk kampus' lagi, ia kini menjadi penjaja buku-buku "Islam kritis" di Bantul.

Zukhruf Lathif, penyair produktif yang memiliki antusiasme tinggi pada kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Lumbung Aksara. Sebagai orang yang militan terhadap kegiatan bersastra di KP, ia terkenal kocak dan rendah hati. Tinggal di Kauman Bendungan.

Imam Pamungkazz, lelaki kelahiran 21 tahun silam. Aktif di komunitas seni Padhang mBulan. Mengaku sebagai "sang pembelah malam", entah apa maksudnya. Yang jelas ia tinggal di Kedunggong Wates.

Fajar R. Ayuningtyas, gadis yang menyukai kesendirian. Masih aktif menulis puisi dan mengikuti kegiatan sastra. Kini dipercaya kawan-kawannya untuk mengelola buletin Prasasti. Tentangnya ada di www.selepaslautan.blogspot.com. Tinggal di Kokap.

Muryani, pelajar SMA N 1 Lendah. Tinggal di Nepi Brosot Galur. Gadis ini hanya menuliskan biodatanya begitu.

Wiwin PB, perempuan asli Jakarta. Simak biodata yang ditulisnya; "Sebut saja aku Win. Aku berdiam di kerinduan akan kancah masa lalu, bahwa sesungguhnya ini wadag, dan sukmaku kemrayat di rengat-rengat kampung halaman".



GEGURITAN
Bar Jamu

Dening : Anib Nuham

Raga ngambruk jrebabah,
Rikmo modal madil tan tinoto,
Bebayu hamung sansoyo kolat-kolet,
Ngosak-asik ngosek-osek ing paturon,
Kawisotro punthukan onggok kentul-kentul,
Diwutwut katon mlengeh sajak ngawe alu goro,
Tumuli soyo nyaket,
Tangan grayah-grayah goleki barang mengo lan barang obah,
Tan ningali wayah, dasar bar jamu, ora wegah
Banjur ngruket lir kadyo komodo ngamuk,
Ngayang-ngayang diyo dinoyo,
Kang mlengeh nduwur kalumat lathi rawis,
Kang mlengeh ngisor kalumat alu rawis,
Napas menggeh-menggeh kasaru jerit-jerit,
Datan ora kendel-kendel kongsi kemringet,
Paribasan gemak loreng-loreng,
Wusanane tirtonirmolo muncrat sakjerone guwo,
Menggeh-menggeh kang pungkasan,
Kari-kari nendro saksomo ngleter.
Bendungan, 29 Maret 2007



PUISI

BELUM ADA
Oleh : Zukhruf Lathif

belum ada orang lain yang memenuhi hari-hariku seperti kamu
belum ada sesuatu yang memehuhi buku harianku melebihi perasaanku padamu
belum ada karakter indah selain karaktermu
belum ada bayangan yang mengikutiku sedekat bayanganmu
belum ada hal yang menyita perhatianku sekuat apa yang ada pada dirimu
belum ada suara manusia yang membuatku menoleh dalam pencarian semenarik suaramu
belum ada mimpi yang mengisi hayalanku sepenuh mimpikan dirimu
belum ada nama orang yang berpengaruh dalam batinku sehebat namamu
tapi . . .
akankah semua ini berlalu begitu saja
akankah semua ini hilang dimakan waktu
akankah semua ini mengendap dalam hatiku dan tak pernah lagi cair
21 April 2004, tengah hari



LADANG RINDU
Oleh : Muryani

entah mengapa?
ada mendung di wajahmu
saat kita beradu mata
padahal dengan jelas aku
mendengar gemercik rindu
mengalir di matamu
kalau kau mau
inilah pertemuan
yang mampu membendung rindu
di ladang jiwamu
begitu pula jiwaku


Pergi..??
Oleh : Wiwin

Cepat sekali !
punggungmu lenyap
di tikung jalan. padahal..
semalam baru saja
kuBoreh lukisan memerah
Horizontal
aku tergugu merebahi
dipan.
meremas Rasa kehilangan.
meriuh Kesendirian.
(Agustus ' 05, pergi saja mbaaah..)


Jangan Hujankan Terus Jantungku
Oleh : Fajar R. Ayuningtyas

Sejak hari engkau menangkap cuaca
Aku berteman dengan hujan. Tetestetes di teras
Bercakap tentang senja yang terlewat
Meneropong waktu bayangkan lorong matamu
Dalam rumah ini. Bukubuku berserak
Puisipuisi tercecer di kolong
Teleponteleponmu tengah malam hingga subuh
Menumpuk di sudut. Menunggu kemarau
"Jangan hujankan terus jantungku" Hingga urung
aku genggam matahari. Hilang rasa atas pijar pagi
Mengapa hanya sisakan hujan,
sejak hari engkau menangkap cuaca?


Cinta II
Oleh : A. Samsul Ma'arif

Masihkah murni kasihmu
Seperti yang diagung-agungkan di puisipuisi
Tidakkah terseret banjir,terkubur gempa
Atau berkeping-keping bersama adam air
Seperti Yusuf dan Zulaikha
Di kitab-kitab agama
Ande-ande lumut dan kleting kuning
Di Jawa dwipa
Progresif melampaui zamannya
Bahkan di zaman SBY ini
Namun sungguh aku tak mencintaimu
Bukan karena apa dan kenapa
Maaf , cintaku hanya tuk dia.
Trayu , 20 Februari 2007


Malam Tanpamu
Oleh : Imam Pamungkazz

Tanpamu...
Malam ini terasa sepi sekali.
Hanya sesekali suara jangkrik memecah kebisuan.
Kadang nyaring. Menyentak lamunanku.
Kadang ngilu. Menggugah sudut hatiku.
Mengusik segala diamku. Kembalikan kenangan waktu.
Saat-saat kau ada bersamaku.



KATA-KATA MUTIARA
"Jika Kau Tak Tahu Bagaimana Mencintai,
Apa Gunanya Matahari Terbit dan Terbenam?"
(Amin Maalouf)
Presented By
KOMUNITAS LUMBUNG AKSARA
Membaca - Menulis ; Menjaga Hidup

Thursday, November 8, 2007

LONTAR 11

ADA APA DENGAN LA


Silaturahmi Komunitas LA

Awal bulan Ramadhan kemarin, LA punya program silaturahmi ke beberapa komunitas dan sastrawan di Yogya. Namun karena minimnya persiapan dan koordinasi, hanya menjangkau dua tempat: LKiS dan Logung Pustaka. Di LKiS (tanggal 14/9), rombongan LA diterima Hairus Salim (Direktur) yang berpesan agar para sastrawan di LA tak hanya membatasi pergaulannya pada sesama sastrawan. "Sastrawan menjadi pintar karena bergaul dengan mereka yang punya profesi lain", kata Salim. Sementara di Logung, LA dijamu Arif Fauzi Marzuki. Penulis yang lumayan produktif ini menyatakan apresiasinya pada LA yang tak kunjung bosan menggelorakan kegiatan sastra di daerah. Semoga di bulan-bulan mendatang, silaturahmi komunitas LA akan menjangkau komunitas dan sastrawan lain di Yogya.

(Asti Widakdo)


LA Buka Puasa Bersama dengan Menu "Diskusi Sastra" di TP ke-12

Minggu Sore, 23 September 2007, Komunitas Lumbung Aksara kembali menggelar ritual Tadarus Puisi, memasuki edisi ke-12. Selalu beda dari TP sebelumnya, acara yang digelar di Gedung PC NU Kulon Progo kali ini selain diisi pembacaan puisi, juga dirangkaikan dengan Diskusi Sastra "Membaca Polemik Sastra Syahwat". Hadir sebagai pembicara; Hairus Salim HS (Redaksi Majalah seni "GONG" - Tim LKiS Yogyakarta) dan Joko Mursito, S.Sn. (Dewan Kebudayaan Kulon Progo). Dengan dimoderatori A. Syamsul Ma'arif (LA), acara ini berlangsung meriah. Tak luput acara ini diliput dan disiarkan dalam berita "Yogyakarta Hari Ini"-nya TA TV, Solo. Nampak hadir begawan sastra Kulon Progo; Ki Soegiyono MS, Enes Pribadi, dan Nur Widodo. Turut hadir pula, berbagai Komunitas Seni yang ada di KP; Komunitas Padhang mBulan, KERN2S dan Forum Téh Toebroek Wates serta penikmat sastra lain yang selama ini apresiatif terhadap buletin sastra LONTAR.

"Kita harus tetap terus berkarya meski mungkin minim 'media'. Persoalan polemik sastra syahwat tak perlu kita ikut larut di dalamnya," ungkap Hairus Salim HS sembari berpesan agar LA-sebagai Komunitas Sastra paling aktif di Kulon Progo saat ini-untuk tetap konsisten dalam menggerakkan sastra di Kulon Progo. Senada dengan apa yang diungkap Hairus Salim HS, Joko Mursito menambahkan, "Dewan Kebudayaan Kulon Progo siap mendukung kegiatan sastra yang dilakukan oleh Lumbung Aksara, baik secara moril maupun materiil." Acara ini ditutup dengan buka puasa bersama. (Deffin)


BACA BUKU

Kecantikan dan Kesedihan


Penulis : Kawabata

Penerjemah : Max Arifin

Penerbit : MAHATARI, Yogyakarta

Cetakan : I, Januari 2005

Tebal : 311 halaman


Novel ini mengisahkan percintaan antara Oki Toshio, novelis terkenal yang tinggal di kota Tokyo, dengan Ueno Otoko, seorang perempuan muda yang kesohor sebagai pelukis kawakan yang tinggal di kota Kyoto. Jarak usia keduanya terpaut 24 tahun dan Ueno Otoko berumur 16 tahun ketika mereka bercinta untuk pertama kali hingga Otoko hamil, malangnya, bayinya mati. Kisah-kasih mereka terputus karena terhalang dan terlarang-Oki Toshio telah berkeluarga dan memiliki anak.

Akan tetapi, usia cinta rupanya lebih panjang dari usia percintaan, kata W.S. Rendra. Hal itulah yang terekam dalam novel ini, seperti terbaca dari sikap Oki Toshio yang menulis novel dengan tema "keseluruhan percintaan dirinya dengan Otoko". Juga terbaca dari sikap melajangnya Otoko hingga di usia hampir 40 tahun (meski unsur traumatis karena kehilangan bayi-di sisi lain-tak bisa dielakkan). Kendati demikian, bukan berarti hawa tenang berhembus begitu saja di rumah tangga sang novelis. Fumiko-istri Oki yang berprofesi sebagai juru ketik dan (ironisnya) mengetikkan novel itu-tak pelak dibakar cemburu jua, meski suaminya bersumpah masa lalunya dengan Otoko benar-benar telah selesai.

Konflik berawal dari kunjungan Oki sendirian ke Kyoto untuk mendengarkan lonceng Tahun Baru dari kuil Chionin. Tentu saja itu hanya akal-akalan, karena sejatinya Oki ingin bertemu Otoko setelah 20-an tahun berpisah, syukur-syukur bisa merengkuh kembali romantika masa silam mereka. Cerita ini berakhir tragis dengan melibatkan generasi kedua dari Oki yang 'merampungkan' cerita melalui peristiwa kematian dirinya "di tangan" seorang murid kesayangan Otoko.

Membaca Kawabata dalam novel ini, sarat dengan pengemasan konflik tajam yang "tidak frontal". Seiring dengan kelembutan alam yang mengitarinya. Jamak dikenal bahwa Kawabata memang acap mengeksplorasi eksotisme alam dengan pekatnya. Negeri Jepang yang menjadi setting cerita ini adalah negeri yang terkenal dengan panorama alam serta tradisi lokal yang kental. Kawabata pandai mengemasnya hingga tingkat kedetilan yang luar biasa. Mengingatkan saya pada Ahmad Tohari, novelis negeri ini yang juga mahir dalam mengeksplorasi detil keindahan alam pedesaan sebagai latar karya-karyanya.

(Akhiriyati Sundari, Redaksi LONTAR)



BILIK REDAKSI

Salam Sastra !

Selamat Idul Fitri, Bumi; maafkanlah kami selama ini tindak semena-mena kami memerkosamu. Langit; maafkanlah kami selama ini tidak henti-hentinya kami mengelabukanmu. Mentari; maafkanlah kami tidak bosan-bosan kami mengaburkanmu. Laut; maafkanlah kami selama ini tidak segan-segan kami mengeruhkanmu. Burung-burung; maafkanlah kami selama ini tidak putus-putus memberangusmu. Tetumbuhan; maafkanlah kami selama ini tidak puas-puas kami menebasmu. Para pemimpin; maafkanlah kami selama ini tidak habis-habis kami membiarkanmu. Rakyat; maafkanlah kami selama ini tidak sudah-sudah kami mempergunakanmu.

Pembaca LONTAR yang budiman, sengaja kami tuliskan puisi Gus Mus di atas sebagai pengantar, dengan harapan semoga kami tidak "latah sosial" apalagi "latah ritual", ketika kami tak ketinggalan berucap Selamat Beridul Fitri 1428 H. Untuk semuanya. Untuk seluruhnya. Tak ada lain selain kami turut bersuka cita merayakan kemenangan menjadi "bayi" kembali. Idul Fitri atau lebaran, sejatinya merupakan rahmatan lil 'alamin; rahmat bagi seluruh alam. Seluruh semesta. Salam Semesta!

Selamat Membaca...



BIODATA PENULIS

LONTAR Edisi 11/Th. I/Oktober/2007


Alfanuha Yushida, lahir di Kulonprogo, 24 Januari 1977. Ayah satu anak asal Bendungan Wates ini alumni Komunikasi UGM dan Tadris MIPA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tulisannya terkumpul di antologi catatan harian Aku Cinta Kau (2002) dan SGSI (2006). Berkat beasiswa DEPAG, ia kini melanjutkan studi Pascasarjana (S2) di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Andarisa, nama pena dari Retno Prihandaru. Saat ini berstatus alumni SMA N 2 Wates. Perempuan misterius ini rupanya pemalu. Terbukti dari tak pernah hadirnya ia di acara TP yang diadakan LA meski kerap diundang (hehe).Tinggal di Panjatan.

AriZur, mengaku hanyalah seorang perempuan yang selalu cemas dengan purnama dan hujan. Selebihnya, ia mengatakan "aku tak ingin kau tau apa-apa mengenai diriku". Tetapi puisi "misuh"-nya bisa disimak di SGSI.

Dhimas Putri H. Perempuan ini mengaku lahir di ujung barat Kulonprogo, 17 Mei 1982. Mencoba mencari sastra di Fak. Ty UIN Sunan Kalijaga. Kini lebih sering mengendapkan hati di sebuah desa di Jawa Timur. Sayangnya, cerpenis satu ini misterius. Buktinya, ia tak menyertakan alamat dan kontak pribadinya ke meja redaksi.

Muh. Rio Nisafa, lelaki berkaca mata minus dan mengaku masih bujangan. PNS di BKD Kulonprogo. Penyanyi Rock yang suka menulis kata "Rock d World" ini, mengaku lebih suka memainkan pulpen daripada memainkan hati perempuan. Profil lebih jauh klik saja di www.friendster.com/rionisafa.

Nur Islamiyatun, alumni MAN Wonokromo Pleret Bantul. Beberapa tulisannya kerap menghiasi majalah BAKTI DEPAG DIY. Tinggal di Galur.

Nur Widodo, LL, Sp, adalah penyair 'kawakan' Kulonprogo. Bersama para sastrawan 'kawakan' Kulonprogo lainnya bergabung membentuk komunitas sastra Sangsisaku. Lelaki yang pernah tinggal di Ambon ini adalah warga Temon Kulon - Temon.

Nurul Lathiffah, lahir di Kulonprogo, 21 September 1989. Hobi membaca dan menulis, terutama esai dan artikel remaja. Karyanya pernah dipublikasikan di Kedaulatan Rakyat, BIAS, dan buletin Coret. Saat ini masih belajar di kelas XII IA 2 SMA N 1 Lendah.

Sri Hardhian, dalam acara "TP & Buka Puasa Bareng LA" September lalu, ia tampil memukau dengan pembacaan puisinya di hadapan khalayak pecinta sastra Kulonprogo. Lelaki yang tengah belajar di SMA N 1 Pengasih (SMAPTA) dan hobi nge-net plus baca buku ini, tinggal di Rt.116/ 35 Hargorejo Kokap.

Wahid Agus Supriyanto, lahir 11 Maret 1978. Memiliki nama panggilan "Redjo". Alumni MAN Wates 2 (1997). Pegiat sekaligus ketua komunitas seni Padhang mBulan Kulonprogo ini, suka menulis geguritan. Tinggal di Panjatan dan Wates.



BYAR

Orang Suci


Pasca bulan Ramadhan, diam-diam, banyak orang mengaku sebagai "orang suci". Kembali ke fitrah atau fitri. Bagai bayi merah yang baru lahir. Tak punya dosa, tak ada noda. Dari pengakuan inilah, orang lalu sering berperilaku ekstra hati-hati tatkala menjalin relasi sosial: aja cerak-cerak kebo gupak ! Memang demikian juga anjuran agama. Seperti tersurat dalam salah satu bait tembang yang diadaptasi Kiai Bisri Musthofa dari Sayidina Ali bin Abi Thalib yang kemudian dipopulerkan Emha Ainun Nadjib: wong kang shaleh kumpulana.

Barangkali ada yang alpa kita telisik: bahwa demarkasi antara mereka yang mendeklarasikan diri sebagai "orang suci" dan yang terlanjur dicap sebagai kebo gupak tadi telah sedemikian kokoh sehingga memisahkan mereka seolah-olah tak lagi sebagai hamba yang kedudukannya sekedar debu di sisi-Nya. Ada semacam kasta, yang kontra produktif bagi jalinan kemanusiaan, mulai ditegakkan di sini: kami orang suci dan alim, mereka berlumur dosa dan najis --mereka "harus" terpisah atau satu pihak mesti memisahkan diri.

Menurut Daniel H. Ludlow, dalam Encyclopedia of Mormonism, dalam bahasa Yunani kata suci berarti: "menetapkan, memisahkan, dan kudus". Apakah maksud "memisahkan" di sini sebanding dengan demarkasi yang kokoh dan kontraproduktif terhadap jalinan kemanusiaan tadi? Hemat saya tidak. Namun lebih ke makna memisahkan dari perbuatan tercela. Dus bukan memisahkan dari orangnya. Tapi bahwa kenyataan yang terjadi masih pada memisahkan dari orangnya, adalah sesuatu yang sulit kita tampik. Minimal hati kita acapkali masih berdendang: aku suci dan alim, kamu berlumur dosa dan najis. Lalu yang terjadi mudah ditebak: jarang ada orang yang mau ngedusi kebo gupak.

Tentu masih banyak "orang suci" yang, dalam arti luas, mau nyerak kebo gupak. Ketika terjadi Reformasi di negeri ini pada tahun 1998, "orang suci" itu diantaranya intelektual kampus yang bahu-mambahu bersama rakyat ngedusi kebo gupak (melengserkan penguasa korup). Di Myanmar, sejak 19 September lalu, orang suci (baca: biksu) menggugat kebo gupak berlabel junta militer: sebuah rejim yang konon mengalokasikan uangnya 120 kyat ke tentara, dan hanya 1 kyat ke rakyat.

Memang bukan perkara mudah, bagi orang yang sudah terbiasa memisahkan dari perbuatan tercela kemudian disuruh dekat-dekat dan membersihkan kebo gupak. Mungkin ada bimbang, dan bahkan takut, yang selalu mengintai dan menyerang. Tapi tidakkah kita ingat, bahwa takut dan bimbang adalah musuh pertama dan terbesar bagi manusia ?***

M A R W A N T O (www.markbyar.blogspot.com)



CERPEN

PEREMPUAN PENGUNJUNG MAKAM

Cerpen Dhimas Putri H.


Dia mendekatiku. Seorang laki-laki penjaga makam. Wajahnya yang ramah membuatku jantungku terluka.

"Kuburan siapa?", tanyanya. Aku menatapnya sekilas. Buru-buru memalingkan wajah yang tiba-tiba memaksa berubah menjadi merah. Dia tahu, atau pura-pura tidak tahu, sebenarnya aku sangat tidak peduli pada pertanyaannya. Dia penjaga makam ini. Bertahun-tahun, bahkan mungkin sejak dia dilahirkan. Kuangkat bahu dan mendesah acuh. Berharap dia mengerti bahwa hanya itu yang mewakili jawaban atas pertanyaannya.

Laki-laki itu tersenyum, mengedipkan mata lalu memalingkan pandangan pada hamparan tanah di depannya. Beberapa meter yang menampung kuburan di depanku. Dan aku. Senyumnya seperti mengejek.

"Barangkali seorang kekasih yang terlelap selalu begitu damai di samping gadis yang selalu setia memangkunya. Aku seperti melihat mimpi." Kata-kata yang kupikir tidak membutuhkan jawaban. Dan memang tidak seperti sebuah pertanyaan. Diam-diam aku mengutuknya. Mengutuk kehadirannya. Mengutuk keindahannya, dan mengutuk kelancangannya membacaku, membaca makam yang terbujur di depanku. Bahkan mungkin mencoba mengurai maknanya seperti seorang detektif yang teliti membaca tanda.

"Sok tahu!", teriakku yang hanya dipantulkan dinding bisu. Masih enggan bersapa dengannya. Jika dia pergi karena diamku, kurasa aku tidak sedang menumpuk-numpuk dosa. Semata-mata bahwa itu lebih baik bagi malam yang terasa menjadi membosankan.

* * *

Selepas istirah, kukunjungi makam pada malam berikutnya. Entah untuk apa. Seolah gairah hanya tumbuh dalam satu ruang. Makam dan nisan. Seperti prasasti yang mencatatkan sejarahku.

"Salamullah 'alaik", ucapan pembuka (seperti biasanya) yang mengisyaratkan kedatanganku di dinding rumahnya. Sebentuk gundukan tanah yang terbujur. Basah. Mawar menelusupkan aromanya yang layu. Nisan kayu menancap di kedua ujungnya seperti tugu. Tanpa nama. Kecuali angka-angka yang menunjukkan tanggal, bulan, dan tahun. Enam September dua ribu lima.

"Wa'alaika salam". Kupastikan hatiku mendengar jawabnya. Meski sesungguhnya aku tak yakin. Dan hanya percaya jika adanya menjadi nyata.

"Mengapa masih membelenggu diri dengan mimpi tak pasti?" Pendengaranku menajam. Sebentuk suara terdengar seperti tangan musuh memenjara doa-doa. Ketika kubuka mata, kusadari diriku masih berpijak di dunia. Laki-laki penjaga makam yang menurutku terlalu lancang telah berdiri di sisi belakangku. Berkata seolah mewakili suara kubur paling dalam.

"Kesetiaan selalu memberi waktu untuk menentukan arah", sahutku cepat. Sedetik kemudian sudah terlambat untuk menarik kata-kata. Menyesal memberinya peluang untuk bercakap. Dia tertawa. Masih seperti mengejek yang mempesona.

"Memang. Waktu bisa memberi harapan. Tapi manusia tidak selalu berdiri di persimpangan. Arah hanya memberi tiga pilihan: maju, mundur, atau diam di tempat. Sejarah tak pernah bisa diulang. Kurasa kau paham di mana kau berdiri"

"Aku sedang memilih hatiku. Dan bukan kamu yang sengaja mencatatkan nama di dalamnya. Jika kau pikir bisa menyirami benih yang tumbuh, tidak sedikitpun hakmu mencabut sesuatu darinya." Aku tersinggung. Laki-laki ini seperti ingin menguji kesabaranku. Menggelitik jinakku. Usik ekstaseku. Seperti mencoba membangunkan tidur dan merampas mimpi-mimpiku.

Aku menatapnya. Menantang kedua matanya yang tak berkedip (kurasakan mataku mulai menggenang). Buru-buru kualihkan pandangan sebelum tenggelam di wajahnya yang tiba-tiba meneduh. Aku tak ingin terlihat lemah. Meski aku tak lebih dari si penakut yang terperangkap bayang-bayangnya. Hening. Entah apa yang dipikirkannya. Aku tak berminat menarik garis batas pemaknaannya terhadap diriku. Aku tak peduli. Kulihat risau menandai di sepanjang peta perjalanan yang kugenggam.

* * *

Makam yang kukunjungi semakin hari semakin sepi. Barangkali manusia semakin enggan untuk mati. Ahli waris pun tak peduli pada bangkai-bangkai yang tak berguna untuk digali. Mungkin tak ada pahalanya pula membangunkan nisan yang bergelimpangan. Maka biarkan. Daun dan ranting kering seperti tikar yang dihamparkan. Gundukan kubur mengabur. Datar. Sedatar angin yang setiap saat menampar dan mengiris gumpalan tanah.

Seperti bisu pusara di depanku. Sekelopak mawar kering sendirian tersisa. Coklat masau. Lalu bergulingan digiring angin. Menyelinap di antara rerimbunan rumput teki. Sepojok kertas usang di atas pusara terlihat menyembul. Embun telah mengubahnya sewarna dengan tanah.

Tak pernah kulihat juga laki-laki penjaga makam. Setelah waktu itu dia berlalu seperti menanggung beban. Mungkin sekarang dia sibuk mengunjungi makam lain yang ditunggui perempuan sepertiku. Atau barangkali perempuan itu yang mengundangnya. Bau tanah mengabarkan cemburu. Hinggap di jantung dan perasaan yang tiba-tiba digentarkan oleh kemeranaan tentang cinta. Dan laki-laki penjaga makam itu kini menjelma menjadi kuburan di depanku. Pilu menyulap kemarau begini luka. Seperti nisanmu yang hampir luruh dan berdebu. Kulihat ia seperti belati yang menancap di ubun-ubun.

Tanpa sadar kusapu debu-debu yang menutupi angka. Seperti menyingkapkan jidatmu dari rambut saat kau terlelap di pangkuanku. Ingatanku berputar-putar pada lima lembar risalahmu. Dua tahun lalu.

"...I can see the paint living in your eyes. I know your heartbreak. But, kuminta padamu, luaskan hatimu untuk menerima ini. Aku tak ingin kita terpisahkan oleh takdir yang menyisakan segores luka. Meski tinggal di ruang yang berbeda, kalian berdua tetap ada dalam diriku. Menjadi bagian dari duniaku. Dunia yang tak akan pernah ada tanpa kehadiranmu. Seseorang yang pernah memberi lentera dalam jalan gelapku. Aku yakin kau lebih tangguh dari semua lukisan orang tentang dirimu. All I want from you is forgive me. I gotta go, my friend. Dia menungguku…"

(masih dengan rapuhmu yang angkuh)

Debu yang menempeli jari-jari perlahan menterorku. Mengiris seluruh peredaran darahku dan mengalirkannya demi kedewasaan nurani. Aku menjerit! Hingga nafasku hampir habis. Dan segalanya tetap tak berubah. Pada nisan tertera tulisan di atas angka-angka: "Makam Kenanganku.."



KATA MUTIARA

Melakukan Kesalahan adalah Hak

Sebagaimana Hak untuk Memperbaikinya

(JJ Kusni)

Presented By

Komunitas Lumbung Aksara

Membaca – Menulis ; Menjaga Hidup


GEGURITAN

Wanci Sore ing Pesisir Kidul

Dening : Nur Widodo, LL, Sp


Ing antarane sepi segara Kidul

Lan getering alun

Nyempyok wangine kembang-kembang Pandan


Lakuku kesandung wedi-wedi malela

Ana manuk prenjak ngoceh nggantor sak jodo

Gegojegan ing pange wit Trembesi


Apa iku sejatining janji-janji suci

Dudu reroncen tembung-tembung manis, lelamisan


Antarane tresna lan setya

Kadangkala tan praseda

Ndeder wisa lan sesuker

Sak wise nyecep sarine kembang krandan


Matkala srengenge wis gumlewang

Angslup gunung lanang


Lan rembulan wis telat ndadari

Padudon rebut bener

Sapa sing rila lan sapa sing meksa


Banjur iki salahe sapa?

Glagah, 22 September 2007


PUISI

Badut-Badut Jalang

Oleh : Wahid Agus Supriyanto


Dari tempat ke tempat kau berlalu

Dan waktu ke waktu pun iringi lentik tanganmu

Senada irama indah kuras peluhmu

Sepenggal kisah kau lakonkan selalu


Deru canda tangis kadang menerkam

Menghias mereka dalam terbungkam

Tiada tahu lakonmu itu

Penuh misteri gurat garis-garis wajahmu


Namun laksana berselimut sembilu luka

Bongkah kebimbangan asa kian menyeringai

Terhenti, dan berlari mengejar topengnya terjatuh

Lalu diam... di depan topeng monyet nan gemulai


Kini lakonmu terhenti berserakan

Mereka pun kembali pulang ke rumahnya

Tiada kepuasan berada dan dirasakan

Cercaan, kecewa dobrak semuanya


Terpaku dikau di puing-puing kehancuran

Tergelepar di hadapan cermin kegalauan

Kisah yang amboy indah berirama

Tinggal bangkai kering kuliti persada


Antarkan harapannya kawan

Dan kembali lakonkan kisah tertunda

Dia kan kembali menyapa peran kenangan

Walau lawanmu kini besar, tegar berwibawa

27-04-04


Di Rindu yang Hampir Putus

Oleh : Andarisa


Sajak yang kutulis dengan darah

Kau...

Menyumbang air mata

hingga sajakku

setengah memudar


Musim Bercinta

Oleh : Muh. Rio Nisafa


Dinda, ijinkan aku luruh di pangkauanmu

Lirihkan aku dengan dongeng ksatria

Di Negeri Asmara

Atau sajak cinta para pujangga

Lalu kita bercinta di bawah purnama



Serenada Pagi

Oleh : Nurul Lathifah


embun jatuh. Meluruh debu.

membasuh daun, bertawasul

: pada cahaya embun.

lalu sebuah cahaya...

memeluknya dengan lembut...

Syawal membersemikan wajah bersihnya.

Lalu seribu malaikat,

membuka pintu nirwana

dan menutupnya dengan sederhana

dengan gerak cahaya

apa kau bisa melihatnya?


PAGI PETAKA

Oleh : Sri Hardhian


Asalnya,

Terpancar seberkas cahaya

darimanakah asalnya?

ya, dari ufuk barat asalnya


Tiba-tiba,

sang penguasa melebarkan sayap-Nya

dari semua yang tampak

hancur sudah dibuatnya


Kemudian,

terdengar suara teramat gaduh

“tolong, toloong, tolooong!"

betapa membuat luka


Lalu,

satu, dua, seribu, sepuluh ribu

bumi perlahan mereka tinggalkan

sang penguasa mengembalikan umat-Nya


Akhirnya,

suara yang terhenti

Berganti,

dengan seruan do'a

"Ya Tuhan berikanlah petunjuk

atas sesuatu yang menimpa kami"

Amin.


Ombak

Oleh : AriZur


teruslah mendebur

sebelum lautmu surut oleh airmata


Pinggir Pantai Glagah, September 2007



Di Mana...?

Oleh : Nur Islamiyatun


Mengais segala yang tersisa

Merapatkan hati dengan galau

Meraih yang semu menjadi nyata

Mengorek yang belum terkuak


Merintih pada yang Esa

Mengaum dalam sepi malamku

Mengartikan perih yang terlena

Menghentikan tangis di kelopak mata


Menoreh Asa yang terkapar

Menabur benih-benih kejora

Mencoba menggapai masa dalam

Mencari Cinta yang Hakiki


Malam, 13 Februari 2007


MU_KAU

Oleh : Alfanuha Yushida


Sebesar cintaku pada-MU

Hingga ruhku dicucuk hidung pada-MU

Bagiku KAU adalah semua yang ada di dunia ini

Yang terlihat

Yang terdengar

Yang tercium

Yang terasa

Yang segalanya

Bagaimana aku akan meninggalkan-MU

Bahkan matiku pun

Hanya

Untuk

Oleh

Karena

Menuju-MU

Yogya 01-02-2007

SMS PEMBACA

"Mbak, saya mau usul, kalo bisa suatu saat nanti Buletin Lontar dijadikan majalah saja, yg mencakup sastra dan diperluas budaya dan pariwisata Kulon Progo, pasti OK!" (Wahyu - 085643089XXX)


"Oo.. gitu y?! Waah sayg sekali. Pdhl, Buletinny bagus bgt. Wlwpun tipis,tp menarik. Apalagi crpeny. Oya, lam knal Nama sy: M. Fahrul S. Scool: MAN I Pengasih"

(Fahrul - 085643495XXX)

Thursday, September 27, 2007

LONTAR 10

BILIK REDAKSI

Salam Sastra !

Pembaca LONTAR yang budiman, pernahkah Anda mendengar atau menemukan kalimat berikut ini; "hidup yang tidak direnungi, tidak layak untuk diterusi"?

Kami mengutip ucapan Socrates itu dari tulisan Christopher Phillips dalam bukunya Socrates Café; Citarasa Baru Filsafat (2002). Kami bukan bermaksud mengajak Anda untuk bersuntuk dalam pikiran rumit dan sok filosofis. Kami hanya bermaksud mengajak diri kami sendiri dan Anda sekalian untuk mencoba tidak "waton urip" di dunia ini. Sekurang-kurangnya, bagaimana hidup mesti tetap dijaga 'kualitasnya' (bisa jadi tidak cukup hanya dengan "membaca - menulis", tetapi merenung jua!). Iwan Fals bahkan mengingatkan dengan hendaknya kita juga "saling asah, saling asih, saling asuh. Berdoalah sambil berusaha; agar hidup jadi tak sia-sia".

Tidakkah Anda mencintai hidup Anda sendiri? Sesekali cobalah untuk rehat, berhenti sejenak dari rutinitas yang kerap menjebak, luangkan waktu barang sebentar. Bertanyalah pada diri sendiri: "hidupku .. hidupku .. apa kabarmu?".

Merenung adalah pekerjaan. Meskipun ia terlihat pasif namun bila dilakukan dengan baik (dan sempurna) niscaya ia menjadi sesuatu produktif yang luar biasa. Tidak percaya? Silahkan coba! Jika pun belum berhasil, kami tak pernah berharap Anda lantas bunuh diri. Hehe...

Selamat Membaca …





CERPEN

Kepulanganku

Cerpen Santoso


Lima kali lebaran. Belum pernah aku pulang. Di sini. Di jantung kota Impian. Aku hidup di rundung dalam ketidakpastian. Menggadaikan nasib, demi secercah harap yang menggantung. Menerawang. Kerasnya kehidupan, sebelumnya tak pernah aku rasakan. Tak terbayangkan bila keadaannya akan lebih parah, dibanding waktu aku tinggal di kampung, dulu. Setiap hari. Aku menjejak jalan sepanjang kota. Mengais barang-barang bekas untuk kutukar dengan sebungkus nasi. Menyambung hidup. Demi sebuah nama: harga diri. Antara musnah atau abadi

Awalnya, dari kampung aku berharap. Di jantung kota impian ini. Aku bisa mendapatkan seperti umumnya yang didambakan setiap orang hidup. Tak lebih. Sebab di kampung halaman sulit mendapatkan pekerjaan, kalaupun ada, hasilnya hanya pas buat makan. Memang hidup di dunia ini tak selamanya. Tapi dunia inilah tempat untuk meraih kehidupan selanjutnya.

Dan beginilah nasibku yang tak pernah beruntung. Hanya karena tak punya status formalitas. Sebagai warga kelas bawah, selalu saja aku tertindas. Sakit. Diam. Terkadang juga ingin berontak.

Sebentar lagi lebaran. Hiruk-pikuk pemudik mulai berhamburan. Juga aroma lebaran mulai tercium. Nuansanya. Aku harus pulang. Kerinduanku pada kampung halaman, membuncah.

Rukoiyah, perempuan yang sangat kucintai, juga ibu dari Rifki dan Jalal, anakku. Masihkah kau seperti dulu? Rukoiyah, seorang istri yang pengertian. Beruntung sekali aku memilikinya. Ia bukan dari kalangan ningrat atau akademisi. Tapi jiwa sosialnya sangat menyentuh hati. Mungkin itu yang membuatku tertarik hingga menjadikan dirinya sebagai pendampingku. Juga, Rifki dan Jalal, dua pendekar yang kutinggal waktu seumur jagung. Sekarang, pasti selalu menanyakan tentang diriku. Sabar, Nak. Ayah pasti pulang.

Di bawah atap jembatan. Berdinding tiang beton. Aku mematung. Menatap langit cerah yang berarak awan. Dengusan udara pagi yang membisik telingaku. Menterjagakanku. Seketika. Aku teringat pada mereka. Manjanya. Tawanya. Semua. Melintas.

Terik meninggi. Kerjaku semakin semangat. Peluh mengucur di ubun kepala, mengalir dan terkadang bermuara di pintu bibir ini. Serasa setetes anggur, yang akan kucucup di kehidupan baruku, nanti. Terik yang menyengat kulit ternyata tak mampu menyurutkan langkahku. Demi semua yang ada di rumah. Aku janji. Aku akan pulang. Segera.

Sama sekali aku tak pernah berkeluh kesah terhadap apa yang aku terima, saat ini. Aku jalani dengan mengalir. Kunikmati. Kuhayati. Sebab aku yakin Tuhan pasti akan memberikan jalan. Entah dari dan seperti apa datangnya

* * *

Dahulu, aku tinggal di sebuah desa suku pedalaman di salah satu pulau, Sumatra. Sebut saja Lampung, sebuah kota yang mempunyai tempat pembiakan Gajah. Berjarak satu jam perjalanan motor berkecepatan 80 Km/jam dari pusat kota. Di situlah aku tinggal. Suasana damai. Hening. Senyap. Selalu menyambut sinar mentari pagi. Kicauan burung. Lambaian daun. Hamparan tanah sawah. Menjadi pemandangan di desaku.

Tiap musim tanam tiba. Aku selalu ikut membantu orang tuaku untuk menyemai benih-benih padi di sawah, dekat hutan. Ditanam. Dan setiap panen, ayah selalu menceramahiku tentang bermacam problem kehidupan. Seperti laiknya orang tua menginginkan anaknya jauh lebih baik. Nasihatnya enak dan tidak menggurui. Yang paling menyentuh dan masih kuingat hingga kini adalah "barang siapa menanam, kelak akan menuai".

* * *

Seakan sabdo pandito ratu. Benar adanya. Aku baru mengerti setelah dewasa. Setelah menikah dan mempunyai dua anak. Kebutuhan semakin mendesak. Aku bingung mencari kerja. Sebab aku tak lagi punya sawah. Terlebih menggarap. Diam. Aku sering berpikir.

Demi kesejahteraan keluarga, aku pergi menggadaikan nasibku di jantung kota impian. Sebut saja Jakarta, peringkat ke sepuluh yang disandang atas penelitian baru-baru ini. Daftar kota dengan biaya hidup tertinggi di dunia. Fantastis. Tapi naas. Keberuntungan tidak pernah memihaknya. Berbagai bencana selalu menimpanya. Hingga menjadi sebuah kota yang kehilangan jati diri. Membebek. Nasib.

Gema takbir menyeruak di pelosok penjuru nusantara. Seperti tradisi yang sudah berjalan. Di malam takbir. Muda-mudi mengadakan pawai keliling kampung atau desa. Mengarak, katakanlah ogo-ogo. Menyambut hari kemenangan, setelah sebulan penuh berpuasa. Lebaran tiba.

Seakan tak boleh warga kelas bawah merasakan indahnya kehidupan, begitulah teori yang di bangun oleh Marx, dalam perjalanan pulang, bus yang aku tumpangi tergelincir masuk jurang. Hangus. Seketika semua penumpang tewas. Berita yang tersebar di berbagai media. Salah satu penumpang yang tewas adalah namaku di deretan 13, persis tanggal yang sama lebaran tahun ini. Sudah menjadi skenario Tuhan. Ada apa di balik semua ini?

Berita yang kudengar lewat kabar burung. Istriku cemas mencari tahu tentang keberadaanku. Maafkan aku, istriku! Jika lebaran tahun ini dan selanjutnya, aku tak bisa pulang. Menjengukmu dalam bentuk utuh. Membawa "janji" yang aku ucapkan di depan pintu saat semua, melepas kepergianku. Haru-biru.

Usai diotopsi dari pihak rumah sakit. Akhirnya jasadku sampai juga di rumah duka. Wajah-wajah sedih berhambur menyambutku. Istriku, orang pertama yang sangat kehilangan. Entah bagaimana perasaannya. Sekian lama kutinggal dan kini aku pulang. Juga, Rifki dan Jalal. Sungguh! Aku sangat berdosa pada mereka.

Berhambur wajah-wajah sedih menyurutkan kaki ke rumah. Suasana berkabung menyelimuti keluargaku. Mereka mengantarkan aku pulang dengan kereta beroda delapan. Ah, jangan bersedih. Nanti. Pasti kita akan bertemu kembali.

Di sini, di kehidupan baruku. Aku berdoa. Semoga "benih-benih yang telah kutanam, di dunia, kalian bisa menuainya". Aku yakin terhadap sesuatu yang kukerjakan dulu.

Asing. Kehidupan baru. Lembaran baru. Kini aku memulai.





BYAR

Gelombang Cinta


Sungguh menakjubkan memang, ketika kenikmatan mesti direngkuh dengan laku berpantang. Bayangkan, jika alam membentang ini menyajikan yang serba-boleh saja, barangkali kita akan mengulang "tragedi" yang pernah dialami Eyang Adam. Mungkin tesis di atas ada yang membantah: bukankah yang kita pertontonkan selama ini lebih tragis daripada sekedar "khilaf" seorang Adam? Padahal, kita tahu, Tuhan telah menetapkan aturan berpantang itu? Ah, salah sendiri manusia hanya melakoni "periode berpantang" seperti ketika murid-murid sekolah dasar atau bapak ibu pejabat menghormat Sang Merah Putih saat upacara Agustusan!

Ramadhan adalah salah satu "periode berpantang", yang akan naif jika hanya dimaknai layaknya murid sekolah dasar atau para pejabat menghormat Sang Merah Putih saat upacara bendera. Ramadhan adalah kawah candradimuka yang menuntun manusia ke titik sublim. Sublimasi cinta seorang hamba pada Tuhan. Dan sublimasi acapkali memang dicapai lewat laku "berpantang", "mengasingkan diri", atau yang lebih ekstrim, "menyiksa diri". Zarathustra, karya monumental Nietzsche, ditulis ketika ia mengasingkan di pegunungan Alph. Novel yang menggetarkan dari Pram ditulis tatkala ia dipenjara. Dan Muhammad, manusia mulia itu, memperoleh pencerahan saat mengasingkan diri di Gua Hira.

Sejumput kisah tersebut seakan menyadarkan kita bahwa tujuan berpantang tak sekedar mengharap agar ketika "pelampiasan" datang kita merasakan kelezatan. Nikmatnya berpantang (puasa), pertama-tama memang ketika buka tiba (ragawi). Tapi, sejatinya ada kenikmatan (ruhani) yang jauh lebih subtil dari mereka yang berpantang yakni bersua dengan Tuhan. Ya, karena ketika manusia dalam kondisi tak punya/bisa apa-apa, sejatinya yang ia harapkan hanyalah hadirnya Cahaya. Mirip amsal seorang mahasiswa ketika pertama kali masuk kost dengan membersihkan (mengosongkan) kamar lalu menyalakan lampu.

Kita patut bersyukur dengan adanya Ramadhan. Sebab ia merupakan skenario terindah yang dianugerahkan Tuhan untuk hambanya. Ramadhan laksana gelombang lautan. Siapa yang berani dan lulus menempuhnya, cintanya pada Tuhan (kehadiran Cahaya) kian kuat terpatri dalam diri. Dan Tuhan telah membuka momentum untuk menempuh gelombang itu minimal setahun sekali. Tentu ada hamba-hamba yang "tak puas" menempuh gelombang atau periode berpantang tersebut dalam jangka waktu setahun sekali. Sehingga tiap bulan, minggu, hari, dan bahkan setiap detik, ia sengaja menciptakan gelombang itu dalam dirinya:

Apabila Kau anugerahkan aku rembulan, bisakah kuelus dengan hati lapang / Apabila Kau anugerahkan aku matahari, bisakah kugenggam agar gelap tak menjadi / Apabila Kau anugerahkan aku sederet kata, bisakah kutepis mana yang maya / Apabila Kau anugerahkan aku air mata, bisakah kubuang segala duka lara / Apabila Kau tuntun aku dalam sujud sunyi, semoga hanya Engkau yang mengetuk ini hati, ya Rabbi .

M A R W A N T O (www.markbyar.blogspot.com)




ADA APA DENGAN LA

LA Sambut HUT RI ke-62

Bergayung sambut dengan keinginan beberapa warga LA agar ada sesuatu yang bersangkut dengan perayaan HUT RI, LA mengadakan nonton bareng pawai karnaval di Wates. Diikuti oleh 10 orang, kegiatan nongkrong bareng yang diprakarsai oleh Jeng Rohmi ini, diadakan di jalan Khudhori. "LA belum mampu untuk mengadakan kegiatan menyambut HUT RI dalam skala massif untuk tahun ini, mudah-mudahan tahun depan kawan-kawan sudah siap", ungkap Jeng Rohmi saat ditanya seorang wartawan lokal. (Chyto)


Launching buletin "Prasasti" di TP ke-11

Komunitas LA kembali menyelenggarakan tradisi bulanan "Tadarus Puisi", Selasa 4 September 2007. Kali ini bertempat di Pondok Pesantren Zahratul Jannah (ZeJe) Giripeni Wates. Tetap seperti biasa, dihadiri oleh punggawa-punggawa LA serta fans-fans yang masih setia mengikuti ritme kehidupan LA. Ritual kali ini beda, karena sekaligus launching "Prasasti" edisi perdana yang merupakan karya kawan-kawan hasil penggodokan di PMK. Lebih seru lagi karena selalu ada oleh-oleh khusus dari beberapa person LA yang saat-saat lalu mengikuti dan menghadiri kegiatan-kegiatan yang bernuansa sastra dan budaya di kota Jogja dan sekitarnya. (Rohmi Astuti)





BIODATA PENULIS


Dewi Fatimah, salah satu founding mothers komunitas sastra Lumbung Aksara. Aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga dengan putri semata wayang (Azza, 5 thn), dijalaninya dengan penuh khidmat dan cinta. Kegemarannya pada beragam bacaan membuatnya selalu muda. Tinggal di Jl. Khudlori Wates.

Ki Soegiyono M.S., (gelar "Ki" dari DisBudPar), menulis sejak 1987 di Mekar Sari, Djoko Lodang, Penyebar Semangat, Pelita, Bakti, Sempulur, Kedaulatan Rakyat, dll. Karyanya masuk di antologi Di Batas Jogja (FKY 2003), Codel (FKY 2005), Paitan (Balai Bahasa Jogja). Penyair yang satu ini termasuk "Begawan Sastra Jawa" Kulonprogo. Berdiam di Blok 3 Ngestiharjo Wates.

Landung, penyair yang satu ini jarang membaca puisi karya orang lain dan menulis puisi sebagai "pelampiasan rasa". Lelaki yang mengaku berusia 26 tahun ini tinggal di Kedunggong Wates.

Mintarsih, kelahiran Kulonprogo, 15 Januari 1991. Belajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Wates kelas XI S3. Perempuan yang berasal dari Gunung Kukusan Hargorejo Kokap ini nyantri di Pondok Pesantren Zahratul Jannah (ZeJe) Giripeni Wates.

Osephe H. W., lahir di Kulonprogo. Belajar di Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Volunteer di sebuah Mobil Klinik anak-anak jalanan di Yogyakarta. Sajaknya "Berkelakar, Adam dan Kekasihnya" pernah dibawakan di Panggung Penyair Muda se-Jogja I di TBY (2006). Tinggal di daerah Ring Road Utara Con-Cat Sleman.

Santosa, cerpenis kelahiran Pati (Jawa Tengah), 10 Mei 1982. Mengaku mengenyam pendidikan hanya setingkat SD, selebihnya bergelut di rimba kehidupan. Pernah menekuni dunia seni di pulau Bali. Saat ini tertambat di Lesehan Sastra dan Budaya "KUTUB" Yogyakarta.

Siti Masitoh (Chyto), Pemimpin Umum LONTAR ini baru saja bertarung mempertahankan skripsinya yang berjudul "Nilai-nilai Tauhid dalam Syair Lagu "Satu" karya Ahmad Dhani DEWA 19" pada sidang munaqosyah (pendadaran) di UIN Sunan Kalijaga Jogja dengan hasil sangat memukau. Kini sembari menanti Hari Wisuda, ia terus menyelami dunia batin hingga meneteslah puisi dari pucuk kalbunya. Tinggal di Gebang I Plumbon Temon.

Wening Wahyuningsih, adalah pelajar di SMK N 1 Pengasih. Anggota komunitas CORET, Komunitas Sastrawati Remaja nDalem Poetry, dan Bengkel Bahasa Yogyakarta (BBY). Puisinya pernah dimuat di majalah sastra Horison, Kedaulatan Rakyat, Coret, dll. Saat ini tengah mencoba membuka hati pada semesta.



SMS PEMBACA

"Mlm mba mf ggu_cm mw kse saran_mbok halmn E ki d tmbh n kmasn antara edisiN d beda"

(Vera - 081804357XXX)


"Nama Okta, sekolh di SMK 2 Pengasih, sya dpt lontar dr prpz sklh, sbnrny sya cm pgn ikt kegiatny sj, krn sya ign bljr menuls”

(Okta - 085292279XXX)



PUISI

Kau dan Kopi

Oleh : Siti Masitoh


(Selalu saja ada kopi dan dirimu seperti lekukan jurang)


Menghitung jari-jari malam

Mengendap

Menimbun pembaringan yang basah

Sebutir dingin menjilati ubun-ubun

Mendidihkan otak kanan kiri


Secangkir kopi masih teronggok di pelataran hati

Setelah semalam ampasnya mengendapi

dasar nurani diri

Hitam

Dan tetap seperti terjaga

  • april medio – en




Sepucuk Pesan untuk Rembulan

Oleh : Wening Wahyuningsih


Sebagai rembulan, wajahmu tercermin di bola mataku

Melarutkan pesona dalam desir alir darah

Maka kusampaikan pesan lewat angin

dan daun yang mendesah

; pada rembulan, izinkan aku menjadi bintang

beri cahayamu untuk sebagian diriku

kemudian biarkan aku bersanding denganmu

bertahta menyatukan cinta di angkasa

sebab aku rela hidup dalam kehidupanmu

meski harus mati terbunuh pagi.


23032007




Sebelum Gelap

Oleh: Osephe H.W.


malam merebutnya,

baru saja siang mengadu pilu.

sebelum gelap melahapnya,

warna pelangi meluntur

secepat kornea mataku menangkap


Street Spirit fur @

Yogyakarta, Juni 07



Keangkuhan

Oleh : Mintarsih


Dua insan bagai nisan

Diam tanpa ucapan

Menggenggam erat keangkuhan

Pamerkan ego dan kekuatan

Kacau hatinya ingin bertanya

Membuat goyah angkuh sendiri

Membawa terbang curiga hatinya

Hari silih berganti

Hingga timbul keberanian diri

Membuat suasana asri

Menghadirkan debar tak henti

Akhirnya, datang jua

Batas keangkuhan

Akan berganti kedamaian

Tapi sayang, ujung sebuah

kenangan

Terkalahkan oleh sebutir

Keangkuhan





Untuk Seseorang

Oleh : Landung


langit biru ...

sombong kau lintasi dengan sayap emasmu

tetap saja ku masih di sini

terkubur dalam kubangan


langit kelabu ...


kepakan sayapmu getarkan rindu

khayalku masih tentangmu

mengadu pada tanah yang juga merindumu langit hitam ...

terdengar jeritmu

iba di hatiku

tertutup oleh inginku

membelah malam dengan patahan sayapmu





Anak Akhir Zaman

Oleh : Dewi Fatimah


Pengasuhmu televisi

Cita-citamu selebriti

Bakda Maghrib tak lagi mengaji

Temanmu iklan

Teladanmu Sinchan

Hobimu smackdown


Ayah ibumu kewalahan

Menghadapi persaingan

Agar ijazahmu terbeli

Sebab tanpa ijazah,

Kemampuan tak dihargai

Tak mampu seperti para sufi

Berenang cinta ilahi

Bahagia bukan di materi

Walau cacimaki ataupun mati


Teringat kata ibu

"Kau boleh terlantarkan anakmu

Tapi jangan terlantarkan cucuku"


Kulonprogo, 14 Juni 2007



GEGURITAN

Tafakkur

Dening : Ki Soegiyono M.S.


Gumrenggeng ngumandang

nyigar sepining ratri

pangangen nyoblos langit pitu

dumlewering wasa kang anget bening

pindha milining gegetun

binarung ceceluking angkup

lan sumiliring maruta

mracihnani yektining pepasrah

ngempit tawakkal

ngindit tawwadu'


Dhuh Robbi Robbul 'izzati

sepira pangajine tasyakur iki

regane cumadhonging tangan iki

ing jobining Rahman Mu

sepira pangajine panyuwun iki

yen istiqomahe wardaya lunga teka

sepira regane luh kang tumetes iki

yen tumiba ing tlaga Mu kang suci

takarrub iki mung njedul nalika butuh

tinalasak dening dholiming dhiri

kang kuwawa medhot talining tuma'ninah

bisa rumangsa kalindhih rumangsa bisa


Dhuh Kang Maha Agung

merjan-merjan tasbeh iki suwala

ginarayang jempol driji kang bacin

sajadah mlengos nalika dak lungguhi

nalika ngungak hakikining qalbu

kang congkrah ing was-wasing manah


Lambe kang ndremimil iki

ati pecicilan jlalatan nunjang palang

sedhela lungguh, glingsatan 'uzlah

ana prabawa kang nyeneng pangangen

sinuguhan kekidung samar

saka beksaning iblis

ilang nering Ywang Suksma

bali sakawit, kaya nalika lungguh wiwit.




KATA-KATA MUTIARA

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah



SMS (SEPUTAR MENULIS SASTRA)

Manfaat Menulis


Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari aktifitas menulis. Setidaknya pertama, kalau kita ingin menulis pasti menimbulkan rasa ingin tahu (curiocity) dan melatih kepekaan dalam melihat realitas di sekitar. Kepekaan dalam melihat suatu realitas lingkungan itulah yang kadang tidak dimiliki oleh orang yang bukan penulis. Tanpa terkecuali pada penulisan sastra.

Kedua, dengan kegiatan menulis mendorong kita untuk mencari referensi seperti buku, majalah, koran, jurnal, dan sejenisnya. Dengan membaca referensi-referensi tersebut tentu kita akan semakin bertambah wawasan dan pengetahuan kita tentang apa yang akan kita tulis.

Ketiga, dengan aktifitas menulis, kita terlatih untuk menyusun pemikiran dan argumen kita secara runtut, sistematis, dan logis. Dengan keteraturan tersebut membantu kita untuk menyampaikan pendapat atau pemikiran kita pada orang lain. Pendek kata kita menjadi semakin cerdas.

Keempat, dengan menulis secara psikologis akan mengurangi tingkat ketegangan dan stres kita. Segala uneg-uneg, rasa senang atau sedih bisa ditumpahkan lewat tulisan di mana dalam tulisan orang bisa bebas menulis tanpa diganggu atau diketahui oleh orang lain. Dalam tulisan seorang penulis membuat dunia yang tersendiri yang bebas dari intervensi orang lain.

Kelima, dengan menulis di mana hasil tulisan kita dimuat oleh media massa atau diterbitkan oleh suatu penerbit kita akan mendapat honorarium (penghargaan) yang membantu kita secara ekonomi.

Keenam, dengan menulis di mana tulisan kita dibaca oleh banyak orang (mungkin puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan) membuat sang penulis semakin populer dan dikenal oleh publik pembaca. Popularitas kadang membuat seseorang merasa puas dan dihargai oleh orang lain.

Demikianlah setidaknya beberapa manfaat menulis dan mungkin masih ada lagi kalau mau menambahkan. Dengan menulis setidaknya kita mengeluarkan gagasan maupun uneg-uneg kita agar tetap sehat dan sejahtera. Semoga.

***

(Didik Komaidi, anggota redaksi LONTAR, guru MAN 2 Wates, dan penulis buku "Aku Bisa Menulis: Panduan Praktis Menulis Kreatif Lengkap")

Tuesday, September 11, 2007

LONTAR 9

BILIK REDAKSI


Salam Sastra !


Selamat HUT RI ke-62. Merdeka! “Merdeka” atau “Merdeka?”.


Dari sanubari terdalam, kami mengucapkan selamat merayakan Hari Merdeka. Gempita atau tak. Selebihnya; Stop penindasan, Bos! Usah lagi perayaan kemerdekaan hanya menjadi semangat ritus tahunan belaka. Panjat pinang melulu, Karnaval melulu tapi kerapkali kita alpa pada realitas mendasar sebagai anak bangsa di mana masih banyak saudara-saudara kita yang masih terkacungi kemerdekaan beroleh hak-haknya. So What Gitu Loh…?


Pembaca LONTAR yang budiman, mulai edisi ini dan rencananya lanjut ke depan, LONTAR menghadirkan sisipan, yakni buletin “Prasasti” hasil kreasi yang digawangi oleh kawan-kawan peserta PMK angkatan pertama yang diadakan oleh komunitas Lumbung Aksara bulan lalu. Semoga kehadirannya dapat lebih memberi warna cerah bagi jagad tulis-menulis di Kulonprogo.


Paling tidak, sejarah akan menuliskan catatannya sendiri bahwa elemen masyarakat muda di Kulonprogo masih semangat untuk terus Membaca - Menulis; Menjaga Hidup.


Selamat Membaca….



CERPEN

Dua Tahun Kau Menghilang

Cerpen Retno Prihandaru

Jam mulai menunjukan jam 4 sore, segera Andin bergegas mengambil kunci motornya, berangkat menuju kafe tempat dia akan bertemu rekan kerjanya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di tempat itu. Kali ini dia tak boleh terlambat karena ini adalah kesempatan emas baginya untuk mendapat investor besar sehingga ia tak akan dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja karena berhasil memberi pemasukan yang besar bagi perusahaan.


Sampai di kafe itu ia mencari-cari di mana mitra kerjanya duduk. Namun tak dilihatnya orang yang ingin ia temui. Andin berpikir bahwa mungkin orang yang ia tunggu datang terlambat. Ia pun memesan Cofee Mix kepada pelayan kafe yang nampak tampan di matanya.


Sambil menunggu orang itu datang, Andin mengambil laptop yang ada di tasnya, kemudian ia mulai mengutak-atik laptop itu. Tiba-tiba suara HP-nya berbunyi. HP 3G yang baru ia beli tiga minggu yang lalu.


Hallo.....ini siapa ya?” Sapa Andin


Maaf, apa benar ini saudari Andin”.


Ya, benar...ada apa ya?”


Hari ini Pak Doni tidak bisa datang menemui Anda dan saya diberi tugas untuk mewakilinya menemui Anda. Apa Anda masih di sana?”


Ya, saya masih di kafe Kaserina”.


* * *


Sudah hampir satu jam dia duduk di kursi itu sambil mengutak-atik laptop. Pikirannya resah karena kliennya tak kunjung datang. Dia tak ingin pertemuan kali ini gagal. Tiba-tiba saja seorang lelaki berumur sekitar 22 tahun menggunakan kemeja berwarna biru menghampirinya. Kehadiran lelaki itu membuyarkan konsentrasinya mengutak-atik laptop yang sedari tadi dia mainkan.


Maaf, apa benar ini saudari Andin?” Sapa lelaki itu.


Andin mengangguk, kaget tak percaya melihat orang yang berdiri di depannya. Jantungnya langsung berdegup kencang, nafasnya seakan terhenti. Tak percaya, orang yang telah menghilang dua tahun lalu, saat ia tinggal di kota Surabaya, kini hadir di depan matanya. Orang itu adalah pria yang telah menghancurkan hatinya karena cinta yang pergi itu.


Maaf, boleh saya duduk disini” Ucap lelaki itu.


Oh ya .... silahkan” Jawab Andin gugup.


Mari kita mulai saja pembicaraan kali ini”


Ar.... kamu Arya Andung Setya kan..?” Tanya Andin


Maaf, siapa itu Arya..saya Rino, saya bukan Arya” Jawab lelaki itu beraut heran.


Apa Anda mengenali saya?” Tanya Andin lagi


Maaf saya rasa saya bertemu Anda baru kali ini” Ucap lelaki yang bernama Rino itu.


Dalam hati Andin bertanya-tanya. Bagaimana mungkin lelaki yang dulu pernah menjalin asmara dengannya dua tahun, kini tidak mengenalinya sama sekali. Ini kenyataan atau sebuah kesengajaan? Arya tidak mengenali Andin. Ia pandangi lelaki yang ada dihadapannya itu. Masih tampan pula ia setelah dua tahun lamanya tak pernah bertemu. Terlintas lagi kenangan-kenangan indah bersama Arya. Hingga akhirnya Rino membuyarkan lamunan Andin.


Maaf, bisa kita mulai sekarang” Ucap Rino


Ba...ik, baik” Jawab Andin.


* * *


Pertemuan dengan rekan bisnis tak disangka adalah sebuah pertemuan yang mengejutkan bagi Andin. Berbagai pertanyaan terlintas di benaknya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Arya? Direguknya kaleng soft drink yang ada di tangannya. Sambil mengingat kisah saat ia bersama Arya, lantas ia mengambil HP yang ada di meja kerjanya. Dicarinya nama Rio di phone book teleponnya. Andin mencoba menghubungi Rio yang notabene teman karib Arya sejak kecil. Andin hanya bisa berharap nomor itu masih bisa ia hubungi. Semenjak Arya menghilang ia tak pernah berhubungan dengan Rio. Terakhir dia ingat menghubungi Rio untuk menanyakan keberadaan Arya. Namun Rio tak tahu keberadaan Arya.


Ternyata harapan Andin terkabul. Ia berhasil menghubungi Rio. Rio pun mengangkat telepon itu.


Ini siapa ya?” Tanya Rio.


Ini Andin, teman lamamu. Aku sekarang tinggal di Jakarta”.


Andin.....kemana saja kamu selama ini. Kamu ganti nomor ya”.


Tanpa basa-basi Andin mulai menceritakan kejadian yang ia alami hari ini. Ia bertanya kepada Rio apa sebenarnya yang terjadi dengan Arya.


Itu dia yang sejak dulu ingin aku ceritakan sama kamu. Tapi aku kehilangan kontak denganmu” Papar Rio.


Apa yang terjadi?”


Aku bertemu Arya enam bulan sesudah ia menghilang. Ia pun tak mengenaliku”.


Lalu...”


Kata ibunya dia mengalami kecelakaan saat pergi ke Jakarta, kecelakaan yang fatal”.


Andin terdiam mendengar penjelasan Rio. Lebih-lebih mendengar ucapan Rio yang terakhir. Perkataan yang memberi jawaban atas semua yang terjadi. Menggoreskan kembali luka yang hampir sembuh.


Dia...terkena amnesia”.


***



BYAR

Bandot


Seperti apa gambaran orang merdeka itu? Ijinkan saya membayangkan Bandot, tokoh dalam salah satu prosa karya Putu Wijaya, yang dapat kita temui dalam kumpulan cerpennya: Protes. Bandot adalah seorang penjahat, yang tatkala dalam penjara punya hasrat menggebu untuk bisa hidup di dunia luar --yang menawarkan kemerdekaan, kebebasan. Benarkah ketika dikeluarkan dari penjara, Bandot menikmati kemerdekaan?


Tentu. Namun kemerdekaan yang ia rasakan bukan terutama karena ia telah meninggalkan pengapnya hotel prodeo. Bandot baru merasa betul-betul menikmati kemerdekaan saat ia tak menginginkan apa-apa. Dengan kata lain, kemerdekaan itu sejatinya “ada dalam dirinya” dan bukan karena “lempangnya dunia luar”. Tampaknya Bandot tak sendirian. Orang-orang yang mengabdikan hidupnya dalam pengembaraan sunyi (asketis) sadar benar kemerdekaan itu bermula ketika manusia telah khatam dari segala keinginan.


Tapi tunggu dulu. Jangan salah arti. Khatam dari segala keinginan bukan berarti manusia tak lagi punya kebutuhan. Sebab, kebutuhan adalah konsekuensi dari eksistensi manusia. Makan, pakaian, rumah, pendidikan adalah kebutuhan. Juga kesehatan, alat transportasi, dan yang lainnya. Nah, ketika kita sudah cukup makan dengan lauk satu tempe tapi berhasrat nambah satu lagi, itu sudah keinginan namanya. Sudah punya rumah bagus dan besar, masih mau yang mewah dan tersebar di beberapa tempat. Sudah menikah dengan istri cantik atau suami tampan, masih melirik kebun tetangga. Dan seterusnya.


Keinginan adalah sumber penderitaan, kata Iwan Fals dalam sebuah lirik lagunya. Tapi, benarkah hidup harus steril dari “penderitaan”? Ah, rasanya kok tidak. Adam dan Hawa, ketika diturunkan ke bumi, sudah sejak awal berbekal penderitaan. Dan sejarah peradaban manusia itu sendiri tak lain adalah narasi agung tentang penderitaan. Tapi, bukankah dari penderitaan ini kebudayaan manusia digali? Untuk nantinya bisa eksis mengikuti akselerasi zaman? Dari sinilah, bagi segelintir orang, “penderitaan” bisa dijadikan titik tolak juga pemantik sekaligus untuk maju. Asal kita punya kemauan untuk keluar dari jebakan penderitaan.


Jadi, biarkanlah diri anda menderita oleh keinginan. Tertindih mimpi-mimpi. Jangan takut dijajah oleh obsesi. Hadapilah dan perjuangkan mimpi dan obsesimu. Sebab, seperti pesan Napoleon Bonaparte, mereka yang takut dijajah tak akan memperoleh kemenangan. Sampai akhirnya anda akan menyadari: trembelane…. betapa dalam mengolah hidup ini amat tipis beda antara keinginan dan kebutuhan. Meski esensi keduanya sangat jauh berjarak.***


MARWANTO (www.markbyar.blogspot.com)



ADA APA DENGAN LA

Komunitas LA dan Karang Taruna Garap Pembelajaran Menulis

Selama 2 hari, 14-15 Juli, Komunitas LA bekerjasama dengan Karang Taruna (KT) Kabupaten Kulonprogo menyelenggarakan Pembelajaran Menulis Kreatif (PMK) bagi siswa dan pemuda. Kegiatan yang secara resmi dibuka oleh Kasubag TU Perpusda Kulonprogo Drs Supardi tersebut menghadirkan tiga narasumber: Umar Maksum (wartawan KR), Aguk Irawan MN (Novelis dan Penyair) dan Marwanto (Esais dan Cerpenis). Untuk PMK (Angkatan I) kali ini diikuti 13 peserta, meliputi: 5 (SMA N 1 Wates), 2 (SMA N 2 Wates), 1 (SMK N 1 Pengasih), 1 (SMP N 1 Temon), 1 (UNY) dan 3 (utusan pemuda). Ketua panitia PMK, Tri Wahyuni SIP mengatakan, dari kegiatan ini diharapkan terjalin komunikasi yang intensif antara komunitas LA dengan para siswa untuk menggairahkan dunia kepenulisan. Follow-up kegiatan ini, alumni PMK menerbitkan buletin sastra (yang diberi nama Prasasti) dengan segmen pembaca terutama siswa. Untuk penerbitan Prasasti tersebut, Direktur “AB Community” Burhanul Fahruda, menyatakan siap membantu. (Asti Widakdo)


Baca Puisi di TP ke-10

Tanggal 20 Juli 2007 lalu, komunitas LA mengemas acara pembacaan puisi lewat agenda bulanan yang bertajuk “Tadarus Puisi”. Di edisi yang ke-10, TP kali ini di adakan di Taman Binangun KP, kompleks alun-alun Wates. Acara yang sedianya dijadwalkan jam 13.00 molor hingga beberapa jam. Sehingga ada sebagian dari kerabat pecinta puisi yang meninggalkan lokasi sebelum acara dimulai. “Yang bisa digarisbawahi dalam pertemuan kali ini adalah : meski hanya dihadiri oleh beberapa orang saja, paling tidak tradisi ini masih bertahan hingga sekarang” ujar Marwanto selaku koordinator LA. Selain pembacaan puisi dalam TP kali ini juga dilakukan “pengadilan puisi” sekaligus launching LONTAR edisi 8. (AriZur)


Workshop Sastra di TBJT Solo

Sabtu-Minggu (28-29 Juli 2007) bertempat di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah yang terletak di 100 M barat UNS Solo, 4 orang perwakilan LA diundang untuk mengikuti Workshop Sastra yang diadakan oleh komunitas sastra PAWON Solo. Workshop dengan materi penulisan novel, cerpen, puisi, dan publikasi karya di media massa ini diisi oleh S. Prasetyo Utomo (cerpenis), Triyanto Triwikromo (cerpenis yang juga redaktur sastra Harian Suara Merdeka), penyair Iman Budhi Santosa, Abidah el-Khalieqy (penulis novel Geni Jora: pemenang runner-up sayembara novel DKJ 2004), Dwicipta (cerpenis, mahasiswa HI UGM) dan penulis lokal Solo. Selain mengikuti workshop, pada kesempatan itu pula dijadikan sebagai ajang komunikasi, sharing serta barter karya antar komunitas-komunitas sastra dari Solo, Jogja (LA Kulonprogo), Semarang, Karanganyar, Blora, Purwokerto, dan Bandung. LA berterima kasih atas apresiasi mereka terhadap buletin LONTAR. (Chyto)



BACA BUKU

Samarkand

(Terjemahan dari ”Samarcande”, edisi Bahasa Prancis)


Pengarang : Amin Maalouf

Penerjemah : Winarsih Arifin

Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta

Cetakan : Pertama, Januari 2007

Ukuran : 13 cm X 20 cm

Jumlah halaman isi : 502 halaman (dari halaman 9-511)


Menakjubkan, novel ini merangkum kisah sejarah, cinta, dan pergulatan politik kekuasaan dalam satu alur yang berkaitan. Peristiwa yang berjarak delapan abad dirangkai menjadi satu dengan benang penghubung naskah Samarkand yang berisi kumpulan puisi Omar Khayyam dalam Rubaiyyat (puisi berbaris empat) dan kisah perjalanan naskah itu sendiri yang dituliskan di pinggirnya.


Judul buku ini diambil dari nama tempat Omar Khayyam merantau, sebuah kota tertua di kawasan Asia Tengah atau lebih tepatnya di Uzbekistan yang dalam novel ini disebut Transoksiana. Buku ini berbentuk tetralogi (empat cerita yang saling berhubungan).

Buku pertama : Sepasang Penyair dan Sepasang Kekasih (halaman 13-149)

Buku kedua : Surga Kaum Pembunuh (halaman 153-268)

Buku ketiga : Akhir Sebuah Alaf (halaman 271-385)

Buku Keempat : Seorang Penyair di Lautan(halaman 389-511)


Sebelum buku pertama, pengarang memberikan pembuka (dua halaman) yang merangkaikan keempat tetralogi dengan kalimatnya:


DI DASAR Samudra Atlantik telah terkubur sebuah buku. Riwayat buku itulah yang akan kuceritakan.


Kata ganti 'ku' pada kalimat tersebut adalah seorang tokoh dalam novel bernama Benjamin O. Lesage, yang disebutkan pada halaman kedua (halaman 10). Buku Pertama dan Kedua menceritakan perjalanan Omar Khayyam sejak umur dua puluh empat tahun dengan latar belakang peristiwa yang terjadi pada masa itu hingga menulis Rubaiyyat. Buku kedua dan ketiga bercerita tentang Benjamin O. Lesage (O adalah singkatan dari Omar) dalam perjalanannya yang berliku-liku mencari naskah Rubaiyyat Omar Khayyam. Meskipun akhirnya ketemu, tetapi naskah itu kemudian tenggelam bersama tenggelamnya kapal Titanic.


(Z. Latif, Lay-Outer LONTAR, pecinta buku, tinggal di Bendungan Wates)



BIODATA PENULIS


Akhiriyati Sundari, alumni MAN 2 Wates dan UIN SuKa. Aktif di Forum Téh Toebroek dan LA. Pernah diundang menjadi peserta Forum Penyair Muda 4 Kota, Februari silam di Taman Budaya Yogyakarta. Karyanya dimuat di majalah Syir'ah, buletin Paradigma FTy UIN SuKa, BÉN!, www.tandabaca.com juga di Herbarium; Antologi Puisi 4 Kota (Padang, Denpasar, Bandung, Yogyakarta) (PUJA-2007) dan SGSI. Berdiam di Ngestiharjo Wates.


AriZur, aktif di FTT. Mendapat ilham menulis puisinya itu saat melintasi bukit gersang di daerah Randu Blatung BLORA sekitar dua tahun lalu. Waktu itu merasakan kesedihan yang sangat, ungkapnya. Tulisan-tulisannya belum pernah dimuat di KOMPAS, Horison, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Harian Seputar Indonesia dan The Jakarta Post. Tinggal di Blok 2 Ngestiharjo Wates.


Didik Komaidi, lahir di Magetan 21 September 1972. Alumni S2 UNY ini mengajar di MAN 2 Wates sejak 2004. Tahun 2006 menikah dan hingga kini kerasan tinggal di Ngestiharjo Wates. Direktur Penerbit Sabda Media ini telah banyak menulis dan menerbitkan sendiri beberapa buku. Bukunya yang terbaru Aku Bisa Menulis (Sabda Media, 2007). Putrinya semata wayang diberi nama Nayla Zakia Sholehah.


Hasta Indriyana, lahir di Gunungkidul, 31 Januari 1977. Alumni UNY. Manajer Komunitas di Yayasan Tandabaca. Pernah memimpin Unit Studi Sastra dan Teater (UNSTRAT) UNY dan sekretaris di Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Saat ini belajar bersama anak-anak wilayah gempa di Nglipar, Gunungkidul. Tulisan dipublikasikan di Horison, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jurnal Puisi, Nova, KR, dll. Buku yang telah ditulis: Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta (Jendela-2004), Perempuan Tanpa Lubang (Pinus-2005), dan menyusul Teater Pendidikan untuk Pembebasan (INSIST Press-2007).


Iul Muna, punya nama lengkap Ahmad Muflikhul Muna. Lahir 12 Juni 1993. Masih belajar di SMP N 1 Wates. Lelaki asal desa Karangsari Pengasih ini nyantri di Pondok Pesantren Al-Qur'an (Pesawat) Wates.


Marwi Hendrianto, penyair satu ini tidak banyak menyertakan biodatanya kecuali bahwa ia adalah pelajar di SMAPTA Kelas XII. Memiliki hobi berpetualang dan cuci mata.


Retno Prihandaru, baru saja menamatkan belajar di SMA N 2 Wates. Gemar membaca novel, khususnya karangan Kahlil Gibran. Gadis yang mengaku sebagai simpatisan LONTAR ini tinggal di Panjatan.


Tari, perempuan yang mengaku asal Maesan Wahyuharjo Lendah ini tengah bekerja di rantau, tepatnya di daerah Tangerang. Meski begitu ia dapat mengakses LONTAR di www.lontar-online.blogspot.com di sana.



SMS PEMBACA

mlm, bisa kasih info bot kegiatan sastra/teater? Kalo mo gabung gmn cranya? Thx.” (harno edi 085228362XXX)


tulisan apa aja yg diterima LONTAR? Ada honornya?” (Nasrullah Idris 081802028XXX)



PUISI

Suatu Senja di Randu Blatung

; dalam kerinduan yang payah dan tak sudah-sudah

Oleh : AriZur


Segalanya.

Tentang ku-mu.

Menjadi berdebu.


Usaikan cerita

Di antara perdu ilalang dan bisingnya waktu


- Mei 2007





Seplawan

Oleh : Didik Komaidi


Di atas bukit

Terlihat lembah-lembah hijau

Gunung-gunung biru

Segerombolan awan menyelimuti puncak bukit

Di sini masih kutemukan kesejukan embun

Yang mendinginkan pikiran yang lelah

Yang membuat katarsis dari kepenatan kota

Yang menyimpan ambisi yang licik

Untuk menyegarkan ruhani

Agar tetap berarti


Kulonprogo, Oktober 2006




Kau dan Aku adalah Puisi paling Luka

Oleh : Akhiriyati Sundari


Siasia saja menjahit mimpi

usai robek bagian tengahnya

Sungai di matamu tak mengalirkan

apaapa

kecuali lengkung tanya membuncit

di perut ikanikan dekat pemandian

yang kita kunjungi Januari silam

demi melunaskan perjanjian


Sepotong bait, bacalah lekas!

Racik menjadi jamu dan angsurkan padaku

Biar kuminum

Hingga tandas

luka paling luka

di sumur jantungku yang kadung kau cacah


Rampung sudah kubaca filsafat air

yang hujan di tubuhmu

Telah kusalin dan kurapalkan

menjadi tulisan batu paling nisan

di lahat dadaku yang mengumandangkan adzan ;

“Kau dan aku adalah puisi paling luka

yang dilahirkan saat bulan kesiangan”


Ngestiharjo, 07-07-2007




BATU

teringat Puthut EA

Oleh : Hasta Indriyana


Selamat malam. Namaku batu. Kita pernah

Ketemu di senja hari ketika janji dan

Teken kontrak siang itu ternyata terlalu

Pagi untuk sebuah urusan tentang debu

Sich!


Tak mengapa. Masih cukup sore mengenang

Sesuatu yang ternyata kita benci: sesuatu

Yang begitu jelas


Aku jelas mengingatmu. Matamu batu, telingamu

Batu, mulutmu batu, seperti ruang yang

Disekat-sekat, sedikit aroma cemas, jadwal

Yang rapi, dan poster pesepak bola yang sembab

Mencibir semua. Batu?


Itu bagus. Setidaknya debu yang kau

Keluarkan dari saku kemeja itu sebagai

Pengganti kemarau yang selalu ingin

Melupakan segala hal. Termasuk air mata


Termasuk kata selamat malam. Selamat batu


Tapi Raudal, Hernawan, Satmoko,

Marhalim, Binhad, dan orang-orang asing barangkali

Tengah merebus batu-batu

Dihidangkan menjadi puisi lebih dari sekedar

Kata selamat malam, selamat batu, selamat

Air mata!


Dewadaru, 2003




ASA Ku

Oleh : Tari


jauh kini

aku berjalan

terluka

hingga perih tak kurasakan lagi

kepiluan panjang tak henti

rinduku pada kampungku


perjalanan panjang tlah kutempuh

lelah

hilang dalam ingatan

sebelah hatiku hancur, tak berbekas

dalam asaku

temanku pergi …………

jauh tinggalkan aku dalam kesendirian

tak ada

acuh, gila, piluku

hatiku semrawut

gundah

kembalilah jiwaku

yang dulu tenang

tak pernah hancur untuk yang kedua


Tangerang, 21 Februari 2007





sYair seoRang penYair

Oleh : Iul Muna


esEnsi penuh diMensi

meRecap raSio

bukaN inSpirasi

mEncoBa menguBah perSepsi

menjadi inTuisi

mencoBa menguBah fakTa

menjadi kata-kata penuH makna





BOLA MATA

Oleh : Marwi Hendrianto


Lama juga kutatap dua bola matamu

dan Sang Bayu bermalu-malu menemaniku

aku mencoba menggenggam kota yang bernama duka

tapi semua sia-sia......


Masih perih dan hangat tatapan cintamu

kala kita menari dari masa ke masa


seandainya saja...


Jambu merah tua itu tak segera terlukis

gerimis kesedihan takkan mengalir deras


ini mimpi pagi hari

aku sayu dan awan dalam lamunan

Aku ingin menari tentang petang

yang terbentang hingga ujung mata

Lama juga kutatap dua bola matamu

itu yang kan buatku bersamamu selalu





KATA MUTIARA


PERJUANGAN ADALAH PELAKSANAAN KATA-KATA

(WS RENDRA)


Presented by

KOMUNITAS LUMBUNG AKSARA

Membaca - Menulis ; Menjaga Hidup