DEMONSTRASI
Cerpen M. Umar Maksum
Matahari belum setengah badan, namun luapan emosi massa sudah di ubun ubun. Emosi ribuan warga yang menyatu. Memperjuangkan sesuatu yang dianggapnya benar. Mereka berpanas panas di bawah matahari tanpa penutup awan.
Sementara dalam ruangan ber AC, Jerime minum kopi, merokok, dan berbunga bunga. Dengan modal kurang dari Rp 30 juta sudah bisa mengerahkan ribuan orang.
”Piye Bas, hasile? Rame ora demone?” tanya Jerime kepada Basiman yang ditunjuknya sebagai ’orang lapangan ’. Yang ditanya angkat jempol tanda berhasil.
”Gitu , Bas. Cara mencari rizki. Cukup ongkang ongkang , duit
mengalir sendiri,” tambah Jerime.
”Uang yang kau bagikan tidak sampai Rp30 juta to? Tapi kita diberi Rp50 juta. Hanya untuk membangun opini seperti ini.”
Basiman kembali ke lokasi demo. Beberapa orang sedang teriak teriak berorasi.
”Turunkan Lurah Gombel! Atau kami yang menurunkan!” teriak demonstran berapi api. Teriakan itu memang pesan utama, sebab sang Lurah dikenal mempersulit investor.
Di dalam ruang, Lurah Gombel berkumpul dengan beberapa stafnya. Dia menjelaskan, penolakannya terhadap investor itu berdasarkan informasi dari Bandot, lelaki yang dikenalnya sejak sama sama menjadi aktivis. Bahwa jika investor datang, hal itu akan merugikan warga karena kelak mereka akan tergusur.
Demo di luar semakin memanas. Bahkan aparat kepolisian sampai terlibat bentrok dengan pendemo yang mencoba menerobos pintu gerbang.
”Aduh, kepalaku bonyok !” teriak Truno, salah seorang pendemo. Tanpa ba bi bu lagi, Truno mengambil batu dan melempar sekenanya.
”Asu iki! Sirahku diantem watu !” teriak pendemo lain, tak sadar batu itu berasal dari kawan sesama demo.
Melihat kejadian itu, Basiman mengelus dada. Mereka itu rakyat yang tidak tahu menahu. Kasihan harus terluka, pikirnya. Tapi Basiman masih diam saja.
Melihat suasana yang semakin anarkis, akhirnya aparat keamanan mencoba bernegosiasi dengan Basiman, meminta agar massanya membubarkan diri. Basiman segera menyudahi demo hari itu. Di dalam hatinya diam diam sebenarnya ia tidak ikhlas ketika dilihatnya demo telah membawa korban luka.
Sore harinya, Bandot menemui Lurah Gombel. ”Besok kita turun. Ini demi rakyat!” ucap Bandot berapi api di depan Lurah Gombel. Dalam hati Bandot berharap keras Lurah Gombel mengikuti sarannya. Bandot teringat investor lain yang mengincar lahan yang sama juga telah menjanjikan Rp 500 juta kalau ia berhasil menggagalkan investor pertama.
”Jangan ragu ragu, Pak Lurah,” ucap Bandot tak sabar. Membuyarkan pikiran Lurah Gombel.
”Tapi aku khawatir akan terjadi bentrok antar warga. Kasihan mereka,” jawab pak Lurah yang memang terkenal berhati lembut itu.
”Tapi kalau tidak turun, apa kau tega rakyatmu nanti sengsara,” lanjut Bandot.
Sementara itu jarum jam di Gardu XI menunjuk angka 12:00. Sekitar delapan orang masih asyik mendiskusikan demo yang dilakukan pagi tadi sembari selepas kerja bakti. ”Ini harus kita lawan. Kalau investor sampai masuk, mati kita,” kata Sutisman. ”Kita pasti terusir dari tanah kelahiran,” timpal yang lain. ”Oke, kita hubungi teman teman. Besok sore kita berkumpul di rumah Lurah Gombel,” yang lain menyahut.
***
Lurah Gombel tidak habis pikir dengan perilaku warganya yang semakin beringas. Tiba tiba ada pedang diasah. Bambu runcing dibuat.
”Kalau kelompok lawan datang, kita serang!” ucapan Basir, salah seorang warga saat kerja bakti siang tadi. Cukup membuat Lurah Gombel terhantui terus menerus isi kepalanya. Kalau hal ini dibiarkan, betul betul bisa terjadi pertumpahan darah, pikirnya.
Belum enyah pikirannya dari persoalan yang rumit itu, tiba tiba pintu rumahnya diketok ketok dengan agak sedikit keras.
”Kulonuwun , Pak Lurah,” ucap beberapa warga hampir bersamaan. Lurah Gombel tersentak.
”Silakan masuk, pintunya tidak dikunci ”.
Belasan orang itu berebut masuk duluan dan langsung duduk di kursi yang memang sengaja ditata untuk menerima tamu.
”Pendemo tadi pagi harus kita tandingi, Pak Lurah. Kami tidak rela Pak Lurah mundur,” salah seorang warga langsung buka suara.
”Menurutku, kita sabar dulu sebelum melangkah jauh,” balas Lurah Gombel.
”Tidak, Pak Lurah. Pokoknya harus kita lawan! Dan kami siap mati untuk ini!” timpal warga lain. Hati Lurah Gombel kian
miris.
Mendengar laporan mata matanya kalau warga tengah berkumpul di rumah Lurah Gombel dan akan melakukan demo tandingan, Bandot manggut manggut.
”Bagus..bagus. Ada dana Rp 25.000 per sepeda motor yang besok mau demo,” Bandot menjanjikan.
”Jangan lupa pesanku, apa yang harus diteriakkan saat orasi besok!” lanjut Bandot menyuruh pada sang mata mata. Yang dimaksud mengangguk mantap. Lantas lima lembar seratus ribuan dan segepok uang beralih ke tangannya.
***
”Ayo, Dasih. Kita mampir ke café dulu,” sang mata mata mengajak Dasih, perempuan yang menemaninya.
”Uang kita banyak. Uang yang untuk pendemo nanti, tak usah dibagi semua. Kalau memang nanti pesertanya kurang, kita dongkrak saja dengan Rp25 ribu lagi per motor. Selebihnya, untuk kita senang senang. Oke?” sang mata mata menyeringai puas.
Mendengar penjelasan itu Dasih diam saja. Dalam hatinya tidak rela. Rakyat tidak menahu apa apa diadu hanya untuk kepentingan cekak beberapa orang. Namun Dasih tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak berani melawan arus.
Demo tandingan besok yang tengah dirancang benar benar akan terlaksana. Ribuan orang sudah dikontak dan menyatakan diri siap bergabung.
”Pokoknya target kita adalah melindungi pak Lurah dan menolak investor,” kata Bandot.
”Kalau nanti kita dihadang pihak lain, piye ?” tanya salah seorang pendemo.
”Ya kita lawan. Siap siap saja kalian dengan senjata. Tapi hati hati, jangan sampai aparat keamanan tahu,” jawab Bandot.
Mendengar akan adanya demo tandingan, Basiman menjadi khawatir. Ini bisa terjadi bentrok, pikirnya. Tetapi lain Basiman, lain Jerime. Mendengar laporan itu, Jerime girang bukan main. ”Bagus! Artinya akan ada duit melimpah lagi,” komentarnya.
Jarum jam menunjuk angka dua dini hari. Tapi ayam jantan berkokok mendahului waktu. Mata Basiman tidak juga mau terpejam. Kantuk yang menyerangnya tak mampu meredakan kekhawatiran akan terjadinya bentrok fisik besok. Untuk apa uang jutaan rupiah yang kuterima kalau teman temanku saling bermusuhan? Tapi ibuku sakit dan butuh uang banyak. Pikiran Basiman terus bertengkar sendiri. Di satu sisi, ibunya sangat membutuhkan uang itu untuk pengobatan, di sisi lain cara yang dilakukannya selama ini justru mengadu teman temannya sendiri.
Sementara di rumah Lurah Gombel, tak jauh beda. Pak Lurah yang terkenal baik hati itu, resah. Khawatir akan terjadi bentrok. Mungkin lebih baik aku mengudurkan diri saja, batinnya. Tetapi apa itu akan menyelesaikan masalah? Atau, jangan jangan ada agenda tersembunyi di balik peristiwa ini? Lurah Gombel gelisah bukan main...
Waduk Sermo, 13 September 2007
BILIK REDAKSI
Salam Sastra !
Pecinta LONTAR yang budiman, bulan Desember setahun silam bagi kami sarat makna yang sulit dilupakan. Di bulan itulah kami lahir sebagai ”bayi ”. Usia setahun, seharusnya sudah harus beranjak dari belajar merangkak menjadi bisa berdiri dan berjalan. Syukur syukur mampu berceloteh ’cemethis ’ menggemaskan. Kendati demikian, perjalanan waktu yang genap ukuran tahun bagi kami tak perlu lantas musti mengisahkan banyak hal. Ya! Tak akan kami kisahkan banyak hal dalam tempuhan perjalanan usia kami. Bukan kami enggan berbagi. Akan tetapi, kami masih rumangsa belum bisa berbuat banyak selain merangkak tertatih tatih. Kami masih dalam masa ’pertumbuhan ’ yang membutuhkan suplai ”asam omega tiga ” tidak saja bagi tubuh kami tapi juga jiwa kami. Setahun usia LONTAR, kami masih harus banyak belajar dan berbenah. Menghadirkan ’rasa baca sastra yang berbeda ’ bagi Anda semua.
Untuk itu ijinkanlah kami tetap rendah hati (bukan merendah untuk menaikkan mutu), semata sebagai tanda cinta tulus kami pada sastra dan Anda sekalian untuk memayuhayuning prakaryan aksara. Dan di tahun kedua ini pula...perkenankan kami jatuh cinta pada Anda. I LOVE YOU !
Selamat Membaca....
BYAR
Nggetih ....
Setelah karyanya dimuat majalah Mimbar Indonesia dan Sastra (H.B. Jassin), ia memutuskan untuk “hidup mati ” dari menulis. Itulah Hadjid Hamzah, salah satu sastrawan low profile Yogya yang wafat tengah malam 9 Desember 2007.
Apa yang istimewa dari Pak Hadjid? Sejumlah karya yang dihasilkan, tak ada yang membuat gempar publik sastra. Bahkan, orang awam lebih mengenalnya sebagai Hendrasmara: penulis beragam tema – dari soal tinju, kisah (skandal) para diva sampai masalah humaniora. Agaknya, keistimewaan Pak Hadjid tak mudah dikenali. Tapi begitu kita menghampiri …..
Ia adalah pribadi yang hangat, santun dan care . Ya, Pak Hadjid adalah sosok yang peduli –peduli pada penulis yang memandang penting sharing dan tegur sapa. Sebagai pribadi maupun redaktur sastra di Minggu Pagi (MP), ia “merasa bertanggung jawab ” atas nasib seorang penulis dan dunia sastra. Sehingga, ketika hendak meloloskan sebuah karya untuk dimuat di MP, ia tak hanya melihat materi (untuk disajikan pada pembaca), tapi juga punya misi “memelihara dan membakar elan vital penulis ”. Dan, Pak Hadjid mampu mensinergikan dua standar tersebut secara apik: tak mengorbankan pembaca sekaligus mampu melahirkan penulis muda. Dari sisi ini, sulit kiranya mencari pengganti redaktur (sastra) seperti Pak Hadjid.
Sebagai “orang tua ” bagi sejumlah penulis di Yogya, Pak Hadjid memang bisa bersikap bijaksana. Ia sama sekali tidak mengindap penyakit khas seorang redaktur: merasa bangga jika rubrik yang diasuhnya sulit ditembus. Namun ia juga jauh dari sikap memanjakan anak anaknya. Pak Hadjid pernah tidak memuat tulisan saya setahun penuh, padahal sejak tulisan sastra saya dimuat di MP tahun 2002, hingga kini saya terus mengirim rata rata dua tulisan perbulan. ada suatu siang di bulan September 2006, di kantor MP, Pak Hadjid pernah berkata pada saya: “Sebagai penulis, sepertinya kamu kurang prihatin …”
Seminggu sebelum wafat, ketika saya sowan bersama sejumlah penulis dari Lumbung Aksara (LA) maupun Sangsisaku, ia sempat memberi cambuk yang terakhir: “Jadi penulis itu yang total, sampai berdarah darah atau nggetih …..” Saya selalu teringat pesan itu sambil membayangkan bunyi mesin ketik manual yang hingga akhir hayatnya masih sering ia pakai. Bunyi mesin ketik itu: tak …tik …tak …tik …tak … tik …. –bagai suara tetes darah yang mengiringi setiap kelahiran karya karyanya.
Ayah, darahmu akan kami lanjutkan ……..
MARWANTO
GEGURITAN
NDLEMING
Oleh : Wahid Rejo PB
Udan grimis ora uwis uwis
Ndadekna suasana adhem atis
Kumlebeting kalbu kang nembe miris
Apa pancen wis padha ginaris
Wayahe wayah tengah ndalu
Udan kuwi tansaya mundhak ngganggu
Marang sewu gambarku...
Lan kabeh jalma kang padha keplayu playu
Senajan to tanpa gelap kaliwat liwat
Ananging bisa gawe wedhiku
Kelangan kabeh panjangkaku
Marang pambudhiku sing durung padha diruwat
Mbok ya ndang padhang, terang
Lungakna rasa was was sumelang
Sirnakna jiwa sing lagi kapang
Kareben bali mapan ana ing kandhang
Mbok ya ndang terang...
Padhang gamblang...
Wis rakuwat nyonggo panandang
Padha bareng bareng njoget lan nembang
SELAMAT & SUKSES
Atas terselenggaranya
“ Temu Sastra 3 Kota ”
(Purworejo, Kulonprogo, Yogyakarta)
Wates, 13 Januari 2008
PUISI
Di Senja yang Begini Beku
Oleh : AriZur
Di senja yang begini beku
Kita masih saja bertahan
Membincang daun daun tanggal
oleh angin yang menerobos diamdiam
Di senja yang begini beku
Engkau masih juga bertahan
Dengan sulutan tembakau linting
Bertuliskan Dji Sam Soe pelanpelan
menyulap bibirmu menjadi abu
Secangkir kopi kental hitam sayang juga
kalau dilewatkan. Tak peduli
itu merk lokal dan teronggok
sekurang dari 2 jam
Lantas obrolan pun menjadi hangat;
Tentang romantisme, kemanusiaan bahkan
Segala tetek bengek idealisme HAM!
Begitu melengking
Senyaring jengkerik yang bertingkah riang
Seolah tak sudahsudah mengejek;
aku kau tak lebih dari seorang hipokrit sialan!
Ahh...
Senja sudah terlanjur beku
Aku masih saja bertahan
(dan kacamataku pun pucat pasi)
Sewu padi, medio November ’07
KERING
Oleh : Akhiriyati Sundari
Atas nama batu sungai kering
Cadas menghantar udara
Panas
Setetes darah luka
Memijar di gelap jangat
Engkau yang hilang
TBJT Surakarta, Juli ’07
PARA PENGAMEN
antara Jogja Wates
Oleh : Imam Wahyudi
1. dari bus ke bus lain
pijaki hari demi hari
gitar usang saksi bisu
perjuangan tak kenal mati
2. lagu koes plus sampai campur sari
terlontar nakal kala bersapa
sekedar sambung rasa
penghibur hati nan lara
3. jangan pandang kami hina
walau kami debu jalanan
pantang kami iba memaksa
hanya nurani yang kami minta
Jogja Wates 2002
GURAT WAJAH
Oleh : Dodo el Fakir
waktu tlah menjadi usang
kereta masa berjalan sebegini
dalamnya kisah tentang hidup
keluar jujur dalam gurat wajah
sebagai jawaban atas sebuah tanya
seberapa baik aku hidup?
menterjemahkan kondisi hati
mewakili nilai perjalanan
sungguh siapa Dia?
sang penjaga hati menundukkan kepala
terbenam dalam keAgungan
wujud keberadaan sang Raja Kasih
walau terhalang 1800 alam
kiranya gurat wajah meyakinkan pandangan
2007
Dari Dalam
Oleh : Asti Widakdo
Dalam deru mesin bergerak
Berarak menelan jarak
Berlalu selalu penuh liku
Langit masih beratap mega mendung
Rapuh berpeluh
Mata mata itu menatap dalam ratap
Menembus jendela menuju warta
Tentang pucuk atap di antara coklat
Coklat bergelombang
Mengalir deras menyapu
Banjir, kataku
Ini Jakarta yang sedang berendam
Jakarta yang mengeram menyelam
Tenggelam dalam coklat kelam
Lihatlah
Ribuan rumah terkurung dalam basah
Manusia manusia itu mendesah
Menatap air penuh resah
Penuh pasrah
Menggenang dalam basah
Jakarta Bekasi, 5 Februari 2007
Kataku Pada Masa
Oleh : Siti Suwarsih
Ketika masa mempertemukan kita...
teringat aku akan angan itu
Setiapkali mata ini bertatap pandang
setiap itu pula kuingin teteskan air mata
Dan...aku bertanya apa ada,
selembar daun yang mau menampung embun
kesedihanku?
Andai semua kembali
aku takkan sekejam itu
sesuatu yang melarikanku dari sekuntum senyum
Katakan padaku
Masa!
Ada apa dibenakmu saat itu?
Aku berkata, bukan tepatnya bertanya
Kapan semua ini berakhir...?
Anganku melayang hingga padang Zahara
Pasir pasir putih yang hangat...
Mungkin mampu menertawakanku
Melihat telapak kakiku yang panas dan mengeras
Bendungan, 16 Agustus 2007
Tanpa Suatu Apa
—Sebuah Sajak untuk Siti Rochimah
Oleh : Marwie Hendrianto
Mengapa? Bolehkah tanda tanya itu
Aku letakkan
dalam lubuk hatimu yang memberi sejuta simpul mati
di antara
Warna merah muda yang membuatku luka
Seandainya aku boleh meminta
jawablah sesuatu yang aku mau itu
dengan rona simpul senyuman hanya untukku
karena kau tahu aku teramat menginginkanmu
maka berilah aku tanda
tentang indah kata
untaian jawaban indah seperti sajak
dengan nada Rendra
aku ingin kau menjawabnya
JAWABLAH
mungkin padang di petang hari memang tak selalu indah
maka bawa aku pulang
tanpa suatu apa
KATA MUTIARA
Damai Bukanlah Sekadar Absennya Perang,
Melainkan Adanya Keadilan, Hukum, dan Ketertiban
(Albert Einstein)
Presented by
Komunitas Sastra LUMBUNG AKSARA
Membaca – Menulis ; Menjaga Hidup
Ada Apa Dengan LA
Senja di Perum Gowok Yogya
Dalam rangka kegiatan Temu Sastra Tiga Kota (Purworejo, Kulonprogo, Yogyakarta), komunitas LA dan Sangsisaku melakukan silaturahmi ke sejumlah sastrawan Yogya yang akan diundang pada acara tersebut. Silaturahmi di hari Minggu 2/12/2007 itu diawali di rumah Raudal Tanjung Banua, kemudian dilanjutkan ke Evi Idawati, Sanggar Kutub, Koh Hwat, Iman Budhi Santosa, Hadjid Hamzah, Gerilyadi dan Joni Ariadinata.
Ada kehangatan, dialog, dan tukar pengalaman yang amat bermakna serta sulit dilupa pada silaturahmi tersebut. Terutama saat mengunjungi Hadjid Hamzah. Sebab, seminggu setelah LA dan Sangsisaku menikmati senja di rumahnya (Perum Gowok Blok 3C/142 Yogya), Pemimpin Redaksi Minggu Pagi itu berpulang ke pangkuan Illahi. Sugeng tindak Pak Hadjid, semoga khusnul khatimah . (Asti Widakdo).
Malam Sastra untuk Semua
Di penghujung tahun 2007 ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kulonprogo mengadakan helat besar yang bertajuk ”Malam Pentas Teater Lokal & Baca Puisi ”. Acara dimaksudkan untuk menggeliatkan potensi berkesenian di daerah ini melibatkan 3 komunitas sastra yang ada di KP, yakni komunitas sastra Lumbung Aksara KP, Sangsisaku, dan Teater Kulonprogo.
Pada tanggal 22 Desember 2007, ”Diary Diary yang Terserak ” menjadi tema pertama yang diusung oleh 3 komunitas sekaligus. Dalam kolaborasi ini, sebagai opening , TKP menyuguhkan teater ”Semrawut ” arahan Puthut Buchori. Dilanjutkan dengan pembacaan puisi dan geguritan oleh komunitas LA dan Sangsisaku.
Pada tanggal 29 Desember 2007, 2 generasi yang berbeda, yakni LA dan Sangsisaku berkesempatan live performance puisi ”Indonesia dalam Sepotong Sajak ” dengan iringan musik komunitas seni Padhang mBulan . Meski diwarnai gerimis pada penampilan pertama, tampak hadir Bambang Pidegso (Ka DisBudPar), Bambang Sumbogo (DKD KP), H. Anwar Hamid (mantan Wabup KP), Yusuf Cahyono (aktivis politik), dan penikmat seni dari berbagai kalangan. ”Dengan acara yang bisa dibilang jarang ini, diharapkan semangat bersastra khususnya di KP semakin bergairah ”, ungkap H. Toyo Santosa Dipo dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Ka DisBudPar KP. ( Hening )
Baca Buku
Panjang atau Pendeknya (Cuma) 5 CM?
Judul : 5 CM
Penulis : Donny Dhirgantoro
Penerbit : P.T. Grasindo
Cetakan : VIII, Maret 2007
Tebal : 381 halaman
5 cm. Judul yang unik. Lain daripada yang lain. Tapi bukankah justru ‘yang lain ’ itu yang menarik? Membuat kita penasaran untuk mengetahui lebih jauh. Seandainya saja judulnya bukan 5 cm, bisa jadi pembaca malas untuk sekedar melirik sampul bukunya. Terlebih membaca dan membelinya.
Cerita berawal dari sebuah tongkrongan lima orang sahabat. Tersebutlah nama Arial, Zafran, Ian, Genta dan seorang perempuan bernama Riani. Kelima sahabat ini mempunyai kegemaran mengeksekusi hal hal yang tidak mungkin dan mencoba segala hal. Mulai dari kafe paling terkenal di Jakarta sampai nonton layar tancap. Kesemuanya menyukai film dan musik. Meski diakui selera film dan musik masing masing dari mereka berbeda. Bagi mereka, ada yang lebih penting dari sekedar selera. Ialah tetap bersama sama berlima, menghargai pendapat semuanya, selera semuanya, bahagia dan sedih untuk semuanya.
Pada suatu ketika, kebosanan menghampiri mereka. Bukan pada sosok siapa di antara mereka. Namun pada persahabatan mereka. Terdorong oleh kebosanan tersebut, mereka memutuskan untuk tidak saling komunikasi dan bertemu satu sama lain selama tiga bulan. Dalam jangka waktu tiga bulan itulah telah terjadi banyak hal yang membuat hati mereka semakin kaya.
Pertemuan setelah masa tiga bulan yang mereka nantikan akhirnya datang juga. Sebagaimana kesepakatan awal mereka merayakannya dengan melakukan perjalanan. Perjalanan yang penuh dengan keyakinan, mimpi, cita cita dan cinta. Sebuah perjalanan yang telah mengubah mereka menjadi manusia sesungguhnya. Manusia yang mempunyai mimpi dan keyakinan, dan bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama. Lalu kaitannya dengan 5 cm dimana? Cobalah Anda temukan sendiri dengan membaca novel best seller Donny Dhirgantoro ini. (Maftuhatul Khoiriyah)
SMS dari PEMBACA
“Met mlm, lontar! Q mau tny kalo mau krm cerpen ato puisi ke lontar alamatnya dmn y?” (narendra 12 A SMADA – 085643641xxx)
”mb, ni fu...pgn gbung ma LA, cry gmn y...oh y mb. Puisi yg without U itu kok bs diterbitkan y pdhl byk slhnya. Kt2ny g pas …he3. maaf y. mgkn tk pnlsn slnjtx bs lbh tliti. Thx ” (FUFU – 08564208xxx)
BIODATA PENULIS
Akhiriyati Sundari , masih suka minum kopi dan menulis puisi. Obsesi terdekatnya; bisa memainkan gitar agar bisa menyanyikan puisi puisinya. Berdiam di Ngestiharjo. AriZur , penyair yang masih saja menuliskan biodatanya demikian; “aku hanya seorang perempuan yang selalu cemas dengan purnama dan hujan. Selebihnya aku tak ingin kau tau apa apa mengenai diriku ”.
Asti Widakdo , saat ini masih dalam masa penyembuhan setelah mengalami kecelakaan saat hendak berangkat pentas puisi “Diary Diary yang Terserak ” di Alun Alun Wates 22 Desember 2007 lalu. Masih belajar di sebuah Pondok Pesantren di Bantul.
Dodo el Fakir , mengaku menjadi begitu tertarik dengan puisi lantaran ia mampu berkata jujur walau kadang kata tak cukup untuk menerjemahkan gejolak jiwa. Lelaki yang menyebut dirinya “Si fakir ” ini, kini sedang dalam perjalanan mencapai kemerdekaan jiwa dalam komunitas kajian islam "para pecinta". Bagi yang minat koresponden, emailnya: widodo_qnet@yahoo.co.id
Imam Wahyudi , seorang penggemar, penikmat, dan penulis sastra. Karya karyanya pernah dikirim ke Horison , Kompas , dan Kedaulatan Rakyat tapi belum pernah dimuat. Buruh di supermarket di Jogja. Tulisannya dapat disimak di www.ilalang berbisik.blogspot.com
Marwie Hendrianto , lelaki kelahiran (?) 11 April 1991. Belajar di SMAPTA kelas XII. Syair, baginya seperti menjelma jembatan yang indah untuk mengungkap perasaan terdalam (ehem!!). Simak saja syair ’sendu ’nya sang pencinta yang tinggal di Salamrejo Sentolo ini.
M. Umar Maksum , penulis cerpen edisi kali ini adalah wartawan Kedaulatan Rakyat Biro KP. Sempat rehat dari kegiatan jurnalistiknya, demi menjalankan tugas sebagai anggota KPU Kulonprogo yang sebentar lagi berakhir. Saat ini pula dia memimpin ormas kepemudaan di Nahdhatul Ulama KP sebagai Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (2006 2010).
Rejo Wahid , masih giat menekuni kesenimanan sejati dengan ngrembaka komunitas seni Padhang mBulan Kulonprogo bersama kawan kawannya. Pernah mengisi acara puisi di RAM dengan nama beken “Pujangga Rimba ”. Tinggal di Wates.
Siti Suwarsih , lahir di Yogyakarta, 26 Mei 1990. Belajar di dua tempat sekaligus yakni di SMA N 2 Wates dan Pondok Pesantren Zahratul Jannah (Pondok Z é J é ), Giripeni Wates. Cerpennya Derita dari Kekasih Nenek pernah dimuat dalam Antologi Bengkel Bahasa & Sastra Yogyakarta / BBY. Selain menulis sastra juga pernah menulis essai tentang Meminimalisasi Pornografi di Kalangan Pelajar. Pernah terlibat sebagai pemain teater Balai Bahasa Yogyakarta dengan cerita “Semesta Runa ”.