Saturday, January 26, 2008

LONTAR 13

DEMONSTRASI

Cerpen M. Umar Maksum

Matahari belum setengah badan, namun luapan emosi massa sudah di ubun ­ubun. Emosi ribuan warga yang menyatu. Memperjuangkan sesuatu yang dianggapnya benar. Mereka berpanas ­panas di bawah matahari tanpa penutup awan.

Sementara dalam ruangan ber ­AC, Jerime minum kopi, merokok, dan berbunga ­bunga. Dengan modal kurang dari Rp 30 juta sudah bisa mengerahkan ribuan orang.

”Piye Bas, hasile? Rame ora demone?” tanya Jerime kepada Basiman yang ditunjuknya sebagai ’orang lapangan ’. Yang ditanya angkat jempol tanda berhasil.

Gitu , Bas. Cara mencari rizki. Cukup ongkang ­ongkang , duit

mengalir sendiri,” tambah Jerime.

”Uang yang kau bagikan tidak sampai Rp30 juta to? Tapi kita diberi Rp50 juta. Hanya untuk membangun opini seperti ini.”

Basiman kembali ke lokasi demo. Beberapa orang sedang teriak ­ teriak berorasi.

”Turunkan Lurah Gombel! Atau kami yang menurunkan!” teriak demonstran berapi ­api. Teriakan itu memang pesan utama, sebab sang Lurah dikenal mempersulit investor.

Di dalam ruang, Lurah Gombel berkumpul dengan beberapa stafnya. Dia menjelaskan, penolakannya terhadap investor itu berdasarkan informasi dari Bandot, lelaki yang dikenalnya sejak sama ­sama menjadi aktivis. Bahwa jika investor datang, hal itu akan merugikan warga karena kelak mereka akan tergusur.

Demo di luar semakin memanas. Bahkan aparat kepolisian sampai terlibat bentrok dengan pendemo yang mencoba menerobos pintu gerbang.

”Aduh, kepalaku bonyok !” teriak Truno, salah seorang pendemo. Tanpa ba bi bu lagi, Truno mengambil batu dan melempar sekenanya.

Asu iki! Sirahku diantem watu !” teriak pendemo lain, tak sadar batu itu berasal dari kawan sesama demo.

Melihat kejadian itu, Basiman mengelus dada. Mereka itu rakyat yang tidak tahu ­menahu. Kasihan harus terluka, pikirnya. Tapi Basiman masih diam saja.

Melihat suasana yang semakin anarkis, akhirnya aparat keamanan mencoba bernegosiasi dengan Basiman, meminta agar massanya membubarkan diri. Basiman segera menyudahi demo hari itu. Di dalam hatinya diam ­ diam sebenarnya ia tidak ikhlas ketika dilihatnya demo telah membawa korban luka.

Sore harinya, Bandot menemui Lurah Gombel. ”Besok kita turun. Ini demi rakyat!” ucap Bandot berapi ­api di depan Lurah Gombel. Dalam hati Bandot berharap keras Lurah Gombel mengikuti sarannya. Bandot teringat investor lain yang mengincar lahan yang sama juga telah menjanjikan Rp 500 juta kalau ia berhasil menggagalkan investor pertama.

”Jangan ragu ­ragu, Pak Lurah,” ucap Bandot tak sabar. Membuyarkan pikiran Lurah Gombel.

”Tapi aku khawatir akan terjadi bentrok antar warga. Kasihan mereka,” jawab pak Lurah yang memang terkenal berhati lembut itu.

”Tapi kalau tidak turun, apa kau tega rakyatmu nanti sengsara,” lanjut Bandot.

Sementara itu jarum jam di Gardu XI menunjuk angka 12:00. Sekitar delapan orang masih asyik mendiskusikan demo yang dilakukan pagi tadi sembari selepas kerja bakti. ”Ini harus kita lawan. Kalau investor sampai masuk, mati kita,” kata Sutisman. ”Kita pasti terusir dari tanah kelahiran,” timpal yang lain. ”Oke, kita hubungi teman ­teman. Besok sore kita berkumpul di rumah Lurah Gombel,” yang lain menyahut.

***

Lurah Gombel tidak habis pikir dengan perilaku warganya yang semakin beringas. Tiba ­tiba ada pedang diasah. Bambu runcing dibuat.

”Kalau kelompok lawan datang, kita serang!” ucapan Basir, salah seorang warga saat kerja bakti siang tadi. Cukup membuat Lurah Gombel terhantui terus ­menerus isi kepalanya. Kalau hal ini dibiarkan, betul ­betul bisa terjadi pertumpahan darah, pikirnya.

Belum enyah pikirannya dari persoalan yang rumit itu, tiba ­tiba pintu rumahnya diketok ­ketok dengan agak sedikit keras.

Kulonuwun , Pak Lurah,” ucap beberapa warga hampir bersamaan. Lurah Gombel tersentak.

”Silakan masuk, pintunya tidak dikunci ”.

Belasan orang itu berebut masuk duluan dan langsung duduk di kursi yang memang sengaja ditata untuk menerima tamu.

”Pendemo tadi pagi harus kita tandingi, Pak Lurah. Kami tidak rela Pak Lurah mundur,” salah seorang warga langsung buka suara.

”Menurutku, kita sabar dulu sebelum melangkah jauh,” balas Lurah Gombel.

”Tidak, Pak Lurah. Pokoknya harus kita lawan! Dan kami siap mati untuk ini!” timpal warga lain. Hati Lurah Gombel kian

miris.

Mendengar laporan mata ­matanya kalau warga tengah berkumpul di rumah Lurah Gombel dan akan melakukan demo tandingan, Bandot manggut ­ manggut.

”Bagus..bagus. Ada dana Rp 25.000 per sepeda motor yang besok mau demo,” Bandot menjanjikan.

”Jangan lupa pesanku, apa yang harus diteriakkan saat orasi besok!” lanjut Bandot menyuruh pada sang mata ­mata. Yang dimaksud mengangguk mantap. Lantas lima lembar seratus ribuan dan segepok uang beralih ke tangannya.

***

”Ayo, Dasih. Kita mampir ke café dulu,” sang mata ­mata mengajak Dasih, perempuan yang menemaninya.

”Uang kita banyak. Uang yang untuk pendemo nanti, tak usah dibagi semua. Kalau memang nanti pesertanya kurang, kita dongkrak saja dengan Rp25 ribu lagi per motor. Selebihnya, untuk kita senang ­senang. Oke?” sang mata ­mata menyeringai puas.

Mendengar penjelasan itu Dasih diam saja. Dalam hatinya tidak rela. Rakyat tidak menahu apa ­apa diadu hanya untuk kepentingan cekak beberapa orang. Namun Dasih tidak bisa berbuat banyak. Dia tidak berani melawan arus.

Demo tandingan besok yang tengah dirancang benar ­benar akan terlaksana. Ribuan orang sudah dikontak dan menyatakan diri siap bergabung.

”Pokoknya target kita adalah melindungi pak Lurah dan menolak investor,” kata Bandot.

”Kalau nanti kita dihadang pihak lain, piye ?” tanya salah seorang pendemo.

”Ya kita lawan. Siap ­siap saja kalian dengan senjata. Tapi hati ­hati, jangan sampai aparat keamanan tahu,” jawab Bandot.

Mendengar akan adanya demo tandingan, Basiman menjadi khawatir. Ini bisa terjadi bentrok, pikirnya. Tetapi lain Basiman, lain Jerime. Mendengar laporan itu, Jerime girang bukan main. ”Bagus! Artinya akan ada duit melimpah lagi,” komentarnya.

Jarum jam menunjuk angka dua dini hari. Tapi ayam jantan berkokok mendahului waktu. Mata Basiman tidak juga mau terpejam. Kantuk yang menyerangnya tak mampu meredakan kekhawatiran akan terjadinya bentrok fisik besok. Untuk apa uang jutaan rupiah yang kuterima kalau teman ­temanku saling bermusuhan? Tapi ibuku sakit dan butuh uang banyak. Pikiran Basiman terus bertengkar sendiri. Di satu sisi, ibunya sangat membutuhkan uang itu untuk pengobatan, di sisi lain cara yang dilakukannya selama ini justru mengadu teman ­temannya sendiri.

Sementara di rumah Lurah Gombel, tak jauh beda. Pak Lurah yang terkenal baik hati itu, resah. Khawatir akan terjadi bentrok. Mungkin lebih baik aku mengudurkan diri saja, batinnya. Tetapi apa itu akan menyelesaikan masalah? Atau, jangan ­jangan ada agenda tersembunyi di balik peristiwa ini? Lurah Gombel gelisah bukan main...

Waduk Sermo, 13 September 2007

BILIK REDAKSI

Salam Sastra !

Pecinta LONTAR yang budiman, bulan Desember setahun silam bagi kami sarat makna yang sulit dilupakan. Di bulan itulah kami lahir sebagai ”bayi ”. Usia setahun, seharusnya sudah harus beranjak dari belajar merangkak menjadi bisa berdiri dan berjalan. Syukur ­syukur mampu berceloteh ’cemethis ’ menggemaskan. Kendati demikian, perjalanan waktu yang genap ukuran tahun bagi kami tak perlu lantas musti mengisahkan banyak hal. Ya! Tak akan kami kisahkan banyak hal dalam tempuhan perjalanan usia kami. Bukan kami enggan berbagi. Akan tetapi, kami masih rumangsa belum bisa berbuat banyak selain merangkak tertatih ­tatih. Kami masih dalam masa ’pertumbuhan ’ yang membutuhkan suplai ”asam omega tiga ” tidak saja bagi tubuh kami tapi juga jiwa kami. Setahun usia LONTAR, kami masih harus banyak belajar dan berbenah. Menghadirkan ’rasa baca sastra yang berbeda ’ bagi Anda semua.

Untuk itu ijinkanlah kami tetap rendah hati (bukan merendah untuk menaikkan mutu), semata sebagai tanda cinta tulus kami pada sastra dan Anda sekalian untuk memayuhayuning prakaryan aksara. Dan di tahun kedua ini pula...perkenankan kami jatuh cinta pada Anda. I LOVE YOU !

Selamat Membaca....

BYAR

Nggetih ....

Setelah karyanya dimuat majalah Mimbar Indonesia dan Sastra (H.B. Jassin), ia memutuskan untuk “hidup ­mati ” dari menulis. Itulah Hadjid Hamzah, salah satu sastrawan low ­profile Yogya yang wafat tengah malam 9 Desember 2007.

Apa yang istimewa dari Pak Hadjid? Sejumlah karya yang dihasilkan, tak ada yang membuat gempar publik sastra. Bahkan, orang awam lebih mengenalnya sebagai Hendrasmara: penulis beragam tema – dari soal tinju, kisah (skandal) para diva sampai masalah humaniora. Agaknya, keistimewaan Pak Hadjid tak mudah dikenali. Tapi begitu kita menghampiri …..

Ia adalah pribadi yang hangat, santun dan care . Ya, Pak Hadjid adalah sosok yang peduli –­peduli pada penulis yang memandang penting sharing dan tegur sapa. Sebagai pribadi maupun redaktur sastra di Minggu Pagi (MP), ia “merasa bertanggung ­jawab ” atas nasib seorang penulis dan dunia sastra. Sehingga, ketika hendak meloloskan sebuah karya untuk dimuat di MP, ia tak hanya melihat materi (untuk disajikan pada pembaca), tapi juga punya misi “memelihara dan membakar elan vital penulis ”. Dan, Pak Hadjid mampu mensinergikan dua standar tersebut secara apik: tak mengorbankan pembaca sekaligus mampu melahirkan penulis muda. Dari sisi ini, sulit kiranya mencari pengganti redaktur (sastra) seperti Pak Hadjid.

Sebagai “orang tua ” bagi sejumlah penulis di Yogya, Pak Hadjid memang bisa bersikap bijaksana. Ia sama sekali tidak mengindap penyakit khas seorang redaktur: merasa bangga jika rubrik yang diasuhnya sulit ditembus. Namun ia juga jauh dari sikap memanjakan anak ­anaknya. Pak Hadjid pernah tidak memuat tulisan saya setahun penuh, padahal sejak tulisan sastra saya dimuat di MP tahun 2002, hingga kini saya terus mengirim rata ­rata dua tulisan perbulan. ada suatu siang di bulan September 2006, di kantor MP, Pak Hadjid pernah berkata pada saya: “Sebagai penulis, sepertinya kamu kurang prihatin …”

Seminggu sebelum wafat, ketika saya sowan bersama sejumlah penulis dari Lumbung Aksara (LA) maupun Sangsisaku, ia sempat memberi cambuk yang terakhir: “Jadi penulis itu yang total, sampai berdarah ­darah atau nggetih …..” Saya selalu teringat pesan itu sambil membayangkan bunyi mesin ketik manual yang hingga akhir hayatnya masih sering ia pakai. Bunyi mesin ketik itu: tak …tik …tak …tik …tak … tik …. –bagai suara tetes darah yang mengiringi setiap kelahiran karya ­ karyanya.

Ayah, darahmu akan kami lanjutkan ……..

MARWANTO

GEGURITAN

NDLEMING

Oleh : Wahid Rejo PB

Udan grimis ora uwis ­uwis

Ndadekna suasana adhem atis

Kumlebeting kalbu kang nembe miris

Apa pancen wis padha ginaris

Wayahe wayah tengah ndalu

Udan kuwi tansaya mundhak ngganggu

Marang sewu gambarku...

Lan kabeh jalma kang padha keplayu ­playu

Senajan to tanpa gelap kaliwat ­liwat

Ananging bisa gawe wedhiku

Kelangan kabeh panjangkaku

Marang pambudhiku sing durung padha diruwat

Mbok ya ndang padhang, terang

Lungakna rasa was ­was sumelang

Sirnakna jiwa sing lagi kapang

Kareben bali mapan ana ing kandhang

Mbok ya ndang terang...

Padhang gamblang...

Wis rakuwat nyonggo panandang

Padha bareng ­bareng njoget lan nembang

SELAMAT & SUKSES

Atas terselenggaranya

“ Temu Sastra 3 Kota ”

(Purworejo, Kulonprogo, Yogyakarta)

Wates, 13 Januari 2008

PUISI

Di Senja yang Begini Beku

Oleh : AriZur

Di senja yang begini beku

Kita masih saja bertahan

Membincang daun ­daun tanggal

oleh angin yang menerobos diamdiam

Di senja yang begini beku

Engkau masih juga bertahan

Dengan sulutan tembakau linting

Bertuliskan Dji Sam Soe pelanpelan

menyulap bibirmu menjadi abu

Secangkir kopi kental hitam sayang juga

kalau dilewatkan. Tak peduli

itu merk lokal dan teronggok

sekurang dari 2 jam

Lantas obrolan pun menjadi hangat;

Tentang romantisme, kemanusiaan bahkan

Segala tetek bengek idealisme HAM!

Begitu melengking

Senyaring jengkerik yang bertingkah riang

Seolah tak sudahsudah mengejek;

aku ­kau tak lebih dari seorang hipokrit sialan!

Ahh...

Senja sudah terlanjur beku

Aku masih saja bertahan

(dan kacamataku pun pucat pasi)

Sewu padi, medio November ’07

KERING

Oleh : Akhiriyati Sundari

Atas nama batu sungai kering

Cadas menghantar udara

Panas

Setetes darah luka

Memijar di gelap jangat

Engkau yang hilang

TBJT Surakarta, Juli ’07

PARA PENGAMEN

­antara Jogja Wates

Oleh : Imam Wahyudi

1. dari bus ke bus lain

pijaki hari demi hari

gitar usang saksi bisu

perjuangan tak kenal mati

2. lagu koes plus sampai campur sari

terlontar nakal kala bersapa

sekedar sambung rasa

penghibur hati nan lara

3. jangan pandang kami hina

walau kami debu jalanan

pantang kami iba memaksa

hanya nurani yang kami minta

Jogja Wates 2002

GURAT WAJAH

Oleh : Dodo el ­Fakir

waktu tlah menjadi usang

kereta masa berjalan sebegini

dalamnya kisah tentang hidup

keluar jujur dalam gurat wajah

sebagai jawaban atas sebuah tanya

seberapa baik aku hidup?

menterjemahkan kondisi hati

mewakili nilai perjalanan

sungguh siapa Dia?

sang penjaga hati menundukkan kepala

terbenam dalam keAgungan

wujud keberadaan sang Raja Kasih

walau terhalang 1800 alam

kiranya gurat wajah meyakinkan pandangan

2007

Dari Dalam

Oleh : Asti Widakdo

Dalam deru mesin bergerak

Berarak menelan jarak

Berlalu selalu penuh liku

Langit masih beratap mega mendung

Rapuh berpeluh

Mata ­mata itu menatap dalam ratap

Menembus jendela menuju warta

Tentang pucuk atap di antara coklat

Coklat bergelombang

Mengalir deras menyapu

Banjir, kataku

Ini Jakarta yang sedang berendam

Jakarta yang mengeram menyelam

Tenggelam dalam coklat kelam

Lihatlah

Ribuan rumah terkurung dalam basah

Manusia ­manusia itu mendesah

Menatap air penuh resah

Penuh pasrah

Menggenang dalam basah

Jakarta ­Bekasi, 5 Februari 2007

Kataku Pada Masa

Oleh : Siti Suwarsih

Ketika masa mempertemukan kita...

teringat aku akan angan itu

Setiapkali mata ini bertatap pandang

setiap itu pula kuingin teteskan air mata

Dan...aku bertanya apa ada,

selembar daun yang mau menampung embun

kesedihanku?

Andai semua kembali

aku takkan sekejam itu

sesuatu yang melarikanku dari sekuntum senyum

Katakan padaku

Masa!

Ada apa dibenakmu saat itu?

Aku berkata, bukan tepatnya bertanya

Kapan semua ini berakhir...?

Anganku melayang hingga padang Zahara

Pasir ­pasir putih yang hangat...

Mungkin mampu menertawakanku

Melihat telapak kakiku yang panas dan mengeras

Bendungan, 16 Agustus 2007

Tanpa Suatu Apa

—Sebuah Sajak untuk Siti Rochimah

Oleh : Marwie Hendrianto

Mengapa? Bolehkah tanda tanya itu

Aku letakkan

dalam lubuk hatimu yang memberi sejuta simpul mati

di antara

Warna merah muda yang membuatku luka

Seandainya aku boleh meminta

jawablah sesuatu yang aku mau itu

dengan rona simpul senyuman hanya untukku

karena kau tahu aku teramat menginginkanmu

maka berilah aku tanda

tentang indah kata

untaian jawaban indah seperti sajak

dengan nada Rendra

aku ingin kau menjawabnya

JAWABLAH

mungkin padang di petang hari memang tak selalu indah

maka bawa aku pulang

tanpa suatu apa

KATA MUTIARA

Damai Bukanlah Sekadar Absennya Perang,

Melainkan Adanya Keadilan, Hukum, dan Ketertiban

(Albert Einstein)

Presented by

Komunitas Sastra LUMBUNG AKSARA

Membaca – Menulis ; Menjaga Hidup

Ada Apa Dengan LA

Senja di Perum Gowok Yogya

Dalam rangka kegiatan Temu Sastra Tiga Kota (Purworejo, Kulonprogo, Yogyakarta), komunitas LA dan Sangsisaku melakukan silaturahmi ke sejumlah sastrawan Yogya yang akan diundang pada acara tersebut. Silaturahmi di hari Minggu 2/12/2007 itu diawali di rumah Raudal Tanjung Banua, kemudian dilanjutkan ke Evi Idawati, Sanggar Kutub, Koh Hwat, Iman Budhi Santosa, Hadjid Hamzah, Gerilyadi dan Joni Ariadinata.

Ada kehangatan, dialog, dan tukar pengalaman yang amat bermakna serta sulit dilupa pada silaturahmi tersebut. Terutama saat mengunjungi Hadjid Hamzah. Sebab, seminggu setelah LA dan Sangsisaku menikmati senja di rumahnya (Perum Gowok Blok 3C/142 Yogya), Pemimpin Redaksi Minggu Pagi itu berpulang ke pangkuan Illahi. Sugeng tindak Pak Hadjid, semoga khusnul khatimah . (Asti Widakdo).

Malam Sastra untuk Semua

Di penghujung tahun 2007 ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kulonprogo mengadakan helat besar yang bertajuk ”Malam Pentas Teater Lokal & Baca Puisi ”. Acara dimaksudkan untuk menggeliatkan potensi berkesenian di daerah ini melibatkan 3 komunitas sastra yang ada di KP, yakni komunitas sastra Lumbung Aksara KP, Sangsisaku, dan Teater Kulonprogo.

Pada tanggal 22 Desember 2007, ”Diary ­Diary yang Terserak ” menjadi tema pertama yang diusung oleh 3 komunitas sekaligus. Dalam kolaborasi ini, sebagai opening , TKP menyuguhkan teater ”Semrawut ” arahan Puthut Buchori. Dilanjutkan dengan pembacaan puisi dan geguritan oleh komunitas LA dan Sangsisaku.

Pada tanggal 29 Desember 2007, 2 generasi yang berbeda, yakni LA dan Sangsisaku berkesempatan live performance puisi ”Indonesia dalam Sepotong Sajak ” dengan iringan musik komunitas seni Padhang mBulan . Meski diwarnai gerimis pada penampilan pertama, tampak hadir Bambang Pidegso (Ka DisBudPar), Bambang Sumbogo (DKD KP), H. Anwar Hamid (mantan Wabup KP), Yusuf Cahyono (aktivis politik), dan penikmat seni dari berbagai kalangan. ”Dengan acara yang bisa dibilang jarang ini, diharapkan semangat bersastra khususnya di KP semakin bergairah ”, ungkap H. Toyo Santosa Dipo dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Ka DisBudPar KP. ( Hening )

Baca Buku

Panjang atau Pendeknya (Cuma) 5 CM?

Judul : 5 CM

Penulis : Donny Dhirgantoro

Penerbit : P.T. Grasindo

Cetakan : VIII, Maret 2007

Tebal : 381 halaman

5 cm. Judul yang unik. Lain daripada yang lain. Tapi bukankah justru ‘yang lain ’ itu yang menarik? Membuat kita penasaran untuk mengetahui lebih jauh. Seandainya saja judulnya bukan 5 cm, bisa jadi pembaca malas untuk sekedar melirik sampul bukunya. Terlebih membaca dan membelinya.

Cerita berawal dari sebuah tongkrongan lima orang sahabat. Tersebutlah nama Arial, Zafran, Ian, Genta dan seorang perempuan bernama Riani. Kelima sahabat ini mempunyai kegemaran mengeksekusi hal ­hal yang tidak mungkin dan mencoba segala hal. Mulai dari kafe paling terkenal di Jakarta sampai nonton layar tancap. Kesemuanya menyukai film dan musik. Meski diakui selera film dan musik masing ­masing dari mereka berbeda. Bagi mereka, ada yang lebih penting dari sekedar selera. Ialah tetap bersama ­sama berlima, menghargai pendapat semuanya, selera semuanya, bahagia dan sedih untuk semuanya.

Pada suatu ketika, kebosanan menghampiri mereka. Bukan pada sosok siapa di antara mereka. Namun pada persahabatan mereka. Terdorong oleh kebosanan tersebut, mereka memutuskan untuk tidak saling komunikasi dan bertemu satu sama lain selama tiga bulan. Dalam jangka waktu tiga bulan itulah telah terjadi banyak hal yang membuat hati mereka semakin kaya.

Pertemuan setelah masa tiga bulan yang mereka nantikan akhirnya datang juga. Sebagaimana kesepakatan awal mereka merayakannya dengan melakukan perjalanan. Perjalanan yang penuh dengan keyakinan, mimpi, cita ­cita dan cinta. Sebuah perjalanan yang telah mengubah mereka menjadi manusia sesungguhnya. Manusia yang mempunyai mimpi dan keyakinan, dan bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama. Lalu kaitannya dengan 5 cm dimana? Cobalah Anda temukan sendiri dengan membaca novel best seller Donny Dhirgantoro ini. (Maftuhatul Khoiriyah)

SMS dari PEMBACA

“Met mlm, lontar! Q mau tny kalo mau krm cerpen ato puisi ke lontar alamatnya dmn y?” (narendra 12 A SMADA – 085643641xxx)

”mb, ni fu...pgn gbung ma LA, cry gmn y...oh y mb. Puisi yg without U itu kok bs diterbitkan y pdhl byk slhnya. Kt2ny g pas …he3. maaf y. mgkn tk pnlsn slnjtx bs lbh tliti. Thx ” (FUFU – 08564208xxx)

BIODATA PENULIS

Akhiriyati Sundari , masih suka minum kopi dan menulis puisi. Obsesi terdekatnya; bisa memainkan gitar agar bisa menyanyikan puisi ­puisinya. Berdiam di Ngestiharjo. AriZur , penyair yang masih saja menuliskan biodatanya demikian; “aku hanya seorang perempuan yang selalu cemas dengan purnama dan hujan. Selebihnya aku tak ingin kau tau apa ­apa mengenai diriku ”.

Asti Widakdo , saat ini masih dalam masa penyembuhan setelah mengalami kecelakaan saat hendak berangkat pentas puisi “Diary ­Diary yang Terserak ” di Alun ­Alun Wates 22 Desember 2007 lalu. Masih belajar di sebuah Pondok Pesantren di Bantul.

Dodo el ­Fakir , mengaku menjadi begitu tertarik dengan puisi lantaran ia mampu berkata jujur walau kadang kata tak cukup untuk menerjemahkan gejolak jiwa. Lelaki yang menyebut dirinya “Si fakir ” ini, kini sedang dalam perjalanan mencapai kemerdekaan jiwa dalam komunitas kajian islam "para pecinta". Bagi yang minat koresponden, e­mailnya: widodo_qnet@yahoo.co.id

Imam Wahyudi , seorang penggemar, penikmat, dan penulis sastra. Karya ­karyanya pernah dikirim ke Horison , Kompas , dan Kedaulatan Rakyat tapi belum pernah dimuat. Buruh di supermarket di Jogja. Tulisannya dapat disimak di www.ilalang ­berbisik.blogspot.com

Marwie Hendrianto , lelaki kelahiran (?) 11 April 1991. Belajar di SMAPTA kelas XII. Syair, baginya seperti menjelma jembatan yang indah untuk mengungkap perasaan terdalam (ehem!!). Simak saja syair ’sendu ’­nya sang pencinta yang tinggal di Salamrejo Sentolo ini.

M. Umar Maksum , penulis cerpen edisi kali ini adalah wartawan Kedaulatan Rakyat Biro KP. Sempat rehat dari kegiatan jurnalistiknya, demi menjalankan tugas sebagai anggota KPU Kulonprogo yang sebentar lagi berakhir. Saat ini pula dia memimpin ormas kepemudaan di Nahdhatul Ulama KP sebagai Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (2006 ­2010).

Rejo Wahid , masih giat menekuni kesenimanan sejati dengan ngrembaka komunitas seni Padhang mBulan Kulonprogo bersama kawan ­kawannya. Pernah mengisi acara puisi di RAM dengan nama beken “Pujangga Rimba ”. Tinggal di Wates.

Siti Suwarsih , lahir di Yogyakarta, 26 Mei 1990. Belajar di dua tempat sekaligus yakni di SMA N 2 Wates dan Pondok Pesantren Zahratul Jannah (Pondok Z é J é ), Giripeni Wates. Cerpennya Derita dari Kekasih Nenek pernah dimuat dalam Antologi Bengkel Bahasa & Sastra Yogyakarta / BBY. Selain menulis sastra juga pernah menulis essai tentang Meminimalisasi Pornografi di Kalangan Pelajar. Pernah terlibat sebagai pemain teater Balai Bahasa Yogyakarta dengan cerita “Semesta Runa ”.