Monday, May 25, 2009

Lontar 20

BILIK REDAKSI


Salam Sastra!

Pecinta LONTAR yang baik hati, dengan segala sesal yang sejatinya tak ingin kami bagi, kami harus berucap mohon maaf yang terdalam. Atas vakumnya buletin sastra tercinta ini selama….lamaaaaaa sekali. Jeratan tali di kaki-kaki kami yang sungguh sukar untuk kami urai dan kami enyahkan, membuat kami kesulitan berjalan dan berlari jauh mengejar kalian: pembaca dan pecinta LONTAR yang budiman, yang selalu setia mengirim rindu kepada kami. Sesungguhnya, kami tak malu dan tak ragu untuk mengatakan bahwa kami pun rindu. Mudah-mudahan ini tidak terdengar seperti apologi. He he.

Edisi terbaru kali ini dan seterusnya kolom BYAR sudah tak ada lagi digantikan dengan kolom “sejenis tapi tak sama”, seiring kebijakan pergeseran kerja-kerja redaksi dan sedikit alasan regenerasi. Semoga pembaca maklum.

Maka, mulai saat ini ijinkan kami bertandang lagi, menyapa kalian semua. Mendenyutkan kembali nafas bersastra di tlatah Kulonprogo yang selama ini terasa ‘mati suri’.

Rentangkanlah tangan kalian. Biar kita selalu hangat dan mesra.

Hmm, salam hangat!

Selamat Membaca...



TETES


Siklus: Mata Rantai yang tak Bisa Putus?

TULISAN ini tak hendak menempatkan diri sebagai katalis dari rona demokrasi yang tengah “dipestakan” di negeri ini. Sekedar guneman yang terbata-bata menyimak peta saja.

Ungkapan Lord Acton mungkin masih cukup populer hingga kini; “kekuasaan cenderung korup”, dan demokrasi di negeri ini, meminjam istilahnya Rocky Gerung, rupanya diturunkan maknanya menjadi dangkal dan banal: sekedar transaksi kekuasaan (garis bawah dari saya). Riskan untuk disusupi tindak korup. Korup dalam makna luas yang tak melulu berarti menilap duit. Tak sepenuhnya sinis memang, tetapi beberapa bulan terakhir ini semua tampak nyata di depan penciuman kita. Akrobat yang dianggap sebagai ”pesta demokrasi” yang indah dan dinanti-nanti, tak lebih dari rutinitas yang dangkal. Terasa sekali bancakan duit rakyat berhamburan di seluruh lokasi berikut persoalan yang bejibun meningkahi kekurangan demi kekurangan penyelenggaraan hajatan itu sendiri. Sikap pesimis dan apatis di elemen besar warga negeri ini, membuktikan helat yang diselenggarakan terasa kurang nresep. Hanya menambahi jenuh yang masih belum pergi. Entahlah.

Sahdan, negeri ini dinyalakan sumbu kemerdekaannya untuk menuai hak warganya meraih kesejahteraan hidup. Klise sih. Kemudian demokrasi disepakati sebagai ”yang dibayangkan” sebagai jalan pengelolaan sebuah negeri. Infrastrukturnya melalui di antaranya pemilihan umum. Namanya saja pemilihan; setiap individu berhak memilih ikut dan berhak memilih tidak. Dua hal yang sama-sama tak ringan sebenarnya. Dan pada taraf inilah sesungguhnya kita masuk di sebuah siklus.

Siklus adalah hal yang bersifat berulang, bahkan kadang hanya pengulangan saja, tanpa sesuatu perubahan berarti. Kita pasti tak ingin stagnasi keadaan berlangsung terus di sini. Apakah lantas siklus atau mata rantai itu bisa diputus demi hal besar yang lebih berarti? Jawabannya akan sangat bergantung pada kualitas pemimpin dan agenda kerja yang dihasilkan kelak. Ya. Sosok pemimpin, bukan sosok pejabat.

Wallahua’lam bi ash-showab

(NDARI saja, www.sketsajagad.blogspot.com)



ADA APA DENGAN LA

Tadarus Puisi dan Bedah Buku “Tasawuf Cinta”

Sebagai perwujudan khidmah terhadap dunia sastra di Kulon Progo, pada tanggal 16 Agustus 2008. Komunitas Sastra Lumbung Aksara mengadakan hajatan bulanannya yaitu Tadarus Puisi yang bertempat di Pondok AB, selatan Taman Makam Pahlawan Giripeni Wates. Hadir pada kesempatan itu para punggawa serta simpatisan LA., diantaranya Lurah Marwanto, Siti Masitoh, AriZur, Ndari, Didik Komaidi, Rio “Rock the World”, Burhan, Sukardi Cimeng, dll.

Acara yang dipandu oleh Borhanul Fahruda tersebut berlangsung meriah. Diawali dengan pembacaan tahlil oleh Didik Komaidi, dilanjutkan dengan bedah buku “Tasawuf Cinta” karya Gus Edo dari Jombang Jawa Timur. Sebagai pembedah kala itu adalah Sukardi Cimeng.

Sehabis bedah buku diadakan diskusi sastra diantara masing-masing peserta TP. Dalam diskusi tersebut banyak disinggung tentang merebaknya novel-novel bernuansa Islam dengan label “Cinta”. Fenomena tersebut disinyalir hanya sebuah “latah” belaka, dimana hal tersebut merupakan pragmatisme dari penulis dalam mengejar pasar yang hanya menguntungkan bagi pemodal (kapitalis), dimana dalam hal ini adalah penerbit. Menanggapi hal tersebut, proses kreatif yang terus-menerus sangat diperlukan sehingga akan terbentuk sebuah karakter dari karya sastra.

Acara tersebut diakhiri dengan pembacaan puisi oleh masing-masing peserta. (Cimeng).


Tadarus Puisi dan Diskusi Buku LA

Kamis, 26 Februari 2009 bertempat di Taman Binangun Kulon Progo. Di tengah cuaca mendung dan pekat disertai rintik hujan yang menyelimuti tidak menyurutkan sekitar 25 orang untuk membaca puisi dan berdiskusi tentang buku Kata-Kata Penggugah Motivasi untuk Mulai Menulis karya Anton WP. Sebagai pembedah buku kali ini adalah Rio Nisafa. Dalam kesempatan itu dikatakan bahwa bagaimana buku tersebut mampu memotivasi bagi setiap pembacanya untuk memulai menulis.

Setelah tanya jawab dengan peserta selesai, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi. Setiap peserta yang hadir turut membacakan puisinya, baik itu karya sendiri atau karya orang lain. Puisi dari Joko Pinurbo menjadi puisi yang kala itu banyak dibaca oleh peserta. Menurut Zahra, salah seorang peserta dari MAN 2 Wates ini mengatakan bahwa acara ini sangat bagus, setidaknya menginspirasi untuk menggerakkan sanggar sastra disekolahnya.(Sukardi Cimeng)


Berbuka dengan Puisi

Berita AAdLA kali ini dibuka dengan flashback di tahun 2008 lalu. Di berbagai tempat, buka puasa bersama menjadi kegiatan “dadakan” yang diagendakan masyarakat saat memasuki bulan Ramadhan. Pun demikian halnya bagi Komunitas LA pada Ramadhan 1429 H silam. Sebagai wadah masyarakat pecinta sastra di Kulon Progo, Ahad tanggal 28 September 2008, Komunitas LA secara ”dadakan” pula menyelenggarakan Tadarus Puisi yang dikemas dalam bentuk buka puasa bersama di kediaman koordinator Lumbung Aksara Marwanto, Maesan Lendah. Selain dihadiri oleh keluarga besar Komunitas LA, acara ini juga dihadiri oleh sahabat-sahabat dari komunitas Padhang mBulan dan Sangsisaku. Pada bulan yang sama 2 tahun sebelumnya dan di tempat ini pulalah, Tadarus Puisi pertama kali digelar dan hingga sampai saat ini masih terus rutin diselenggarakan. (Hening)



SMS (SEPUTAR MENULIS SASTRA)

Sportivitas dalam Berkarya

Beberapa tahun silam pernah terjadi polemik seru perihal menulis sastra kaitannya dengan pencapaian tujuan/imbalan materi. Ada yang mengutuk habis-habisan sikap pragmatis-pamrih penulis yang mengejar materi (atau kepentingan lain) dari tulisannya; nama dan uang. Ada yang toleran dan apologis dengan sekian alasan. Toh, semuanya kembali kepada si penulis sastra itu sendiri. Apakah menulis merupakan panggilan jiwanya yang ”tidak main-main”, luhur, agung, ataukah menulis itu baginya yang penting dimuat dan dapat honor/kontraprestasi, syukur-syukur namanya menjadi dikenal--terutama oleh redaktur agar jika mengirim karya di lain saat dapat dimuat lagi?

Bisa jadi, industri berikut infrastruktur sastra yang memberi tempat khusus pada karya sastra adalah mula bukane. Godaan pragmatis akan pundi-pundi susah ditolak. Pun halnya dengan prestisius nama yang menjadi dikenal orang. Media massa menyediakan kesempatan kepada siapa saja untuk mempublikasikan karyanya dengan teknis yang mudah dan murah dibanding jika menerbitkan sendiri--melalui buku misalnya. Di sini, kompetisi atas kualitas karya sesungguhnya diutamakan, meski juga bukan rahasia lagi kalau faktor kedekatan (relasi) dengan redaktur juga menjadi kunci bandrek bagi dimuatnya karya sastra.

Kedengarannya, faktor pragmatisme dalam menulis karya sastra adalah hal yang manusiawi--biasa. Akan tetapi, bisakah itu dibenarkan? Atau katakanlah jika itu bisa dibenarkan, bisakah dibenarkan pula jika demi mencapainya, maka seorang penulis harus ”melacurkan” integritas pribadinya dengan menanggalkan pakaian kejujuran dan sportivitas dalam berkarya? Banyak contoh bisa disebut, seperti plagiat (meniru atau mencuri karya orang lain baik separo atau keseluruhan), mengirim satu karya yang sama ke lebih dari satu media massa, mengirim karya dengan diatasnamakan orang lain (istri, anak, pacar, kawan atau bahkan atas nama lembaga atau komunitas tetapi untuk kepentingan pribadi), menulis dengan ”nggaruk sponsor” tokoh-tokoh kenamaan (yang bukan dimaksudkan untuk memperkuat wacana, tetapi untuk tujuan popularitas--politik citra--pribadi penulis), dan lain-lain. Hal terakhir sesungguhnya menurut saya justru memperlihatkan betapa tidak PD-nya si penulis itu akan ”siapa dirinya” sehingga musti mencatut nama orang lain agar ”siapa dirinya” menjadi ada atau memiliki ”nilai tambah”.

Kalau boleh sedikit berbagi kabar, menulis sastra tak ubahnya pekerjaan yang luhur dan agung. Karena ia menyampaikan bagian terdalam tak terlihat dari sosok manusia: pikiran, jiwa, dan perasaan. Seorang penulis barangkali bisa dikatakan seperti nabi-nabi, atau orang suci, yang memiliki tanggung jawab moral ”menyampaikan risalah” dan karenanya dituntut untuk selalu ”terjaga” dari hal pragmatisme semu yang akan merusak ”risalah terdalam” pribadinya itu sendiri.

Makanya saya sering berkerut kening jika ada iklan yang bombastis dalam setiap akan diadakannya pelatihan menulis; ”Anda ingin kaya? Ikutilah pelatihan menulis, dapatkan resep jitu menembus media massa atau penerbit. Jadilah terkenal dan kaya dengan menjadi penulis”. Wah!

Semoga kalimat saya barusan tidak terlalu hiperbolis. Apa pun, rasa-rasanya, sungguh indah jika kita bisa senantiasa berbudaya untuk menjunjung tinggi sportivitas dan kejujuran dalam berkarya. Setiap karya adalah berharga, orisinil, unik, luhur, yang karenanya sayang jika harus dikotori oleh ”pragmatisme kesemuan”. Seperti kata seorang kawan yang tidak mau disebut namanya, bahwa ”karya sastra itu separo wahyu”. Aih...

Wallahua'lam bi ash-showab.

Selamat Menulis, Dab!

(Akhiriyati Sundari, anggota redaksi LONTAR)



CERPEN

Senja Terakhir

Cerpen Deffnau

Tiap sore Raenjoh sibuk berkeliling dengan gerobaknya, mengangkut sampah. Sampah tetangga sekelilingnya yang sebagian besar orang kaya di sebuah kota kecil. Perutnya mual benar setiap kali menuang sampah ke gerobaknya, apalagi sudah dua hari ia libur tak mengambil sampah karena meriang, aromanya jadi berlipat ganda. Badannya masih terasa berat dan lesu, tapi dipaksakannya untuk bekerja.

Dan sore ini Raenjoh bekerja seperti biasanya. Sampah keluarga Suprana, sampahnya paling banyak, tapi tak pernah memberi uang lebih dari 6 ribu sebulan. Jumlah itu memang Raenjoh sendiri yang mematok tanpa pernah berani menaikkan upahnya. Kadang Raenjoh berharap Pak Suprana menolak uang kembalian ketika uang 10 ribu disodorkan kepadanya. “Yach, namanya juga pedagang, serba dihitung”, Raenjoh mengungkit pribadi pemilik sampah.

Berikutnya sampah dari rumah Bu Sinta, pemilik toko “Apa Saja” di pinggir Jalan Negara. Campur aduk kertas-kertas dan sayur basi. “Eman-eman nih kertas dan dus-dus kosong, lengket sama sayur basi, kenapa tak dipisah-pisahkan supaya bisa diambil pemulung. Malas amat!” sungutnya dalam hati. Sampah rumah berikutnya sudah menunggu Raenjoh. Bak demi bak dituang di gerobaknya.

Gerobak pun penuh, ditariknya ke tempat penampungan sementara di teteg kereta api. Esok pagi truk-truk akan mengangkutnya ke tempat pembuangan akhir. Adzan maghrib menggema di kejauhan, Raenjoh bergegas pulang, seperti sapi menarik gerobaknya yang sudah kosong. Langit jingga. Para tetangga juga pulang dari berbelanja di toserba, ada yang habis jalan-jalan sore, bermain sepeda santai sambil memamerkan motor modifikasi kebanggaannya bersama anak istri mereka. Satu dua senyum pada Raenjoh.

Hari sudah gelap. Diparkirnya gerobak sampah di samping rumah. Raenjoh lelah. Lapar. Raduedhit--istrinya--tak masak apa-apa, tinggal tersisa nasi yang ditanak tadi pagi. Jadilah sore ini Raenjoh makan nasi kecap, lumayan daripada biasanya yang hanya lauk jelantah (minyak goreng bekas) dan garam, meskipun gurih tapi tak cukup bergizi. Terbayang kaleng-kaleng ikan, setumpuk tusuk sate, dan kue-kue yang tadi diangkutnya di antara tumpukan sampah..

***

Pagi menjelang. Raduedhit sibuk membantu keperluan anak-anaknya sebelum berangkat sekolah. Sulung kelas 1 SMP, adiknya kelas 5 SD, adiknya lagi kelas 2 SD, sedang Rakopen--si bungsu--baru 3 tahun. Setelah itu Raduedhit mencuci di rumah keluarga Subondo. Si Rakopen selalu ikut ibunya karena di rumah sendirian. Sesekali Raduedhit berteriak-teriak menghalau Rakopen yang bermain-main air cucian. Jam 11 siang Raduedhit selesai mengerjakan perintah keluarga Subondo. Kontraknya sih cuma mencuci, tapi praktiknya Raduedhit masih disuruh ini itu, kalau dituruti tak ada habisnya. Dalam hal ini Raduedhit dianggap keluarga sendiri, artinya tanpa bayaran kecuali upah mencuci. Raduedhit tak kuasa menolak tetangga dan sekaligus bossnya itu.

Ketika Raduedhit pulang mencuci, seperti biasa rumahnya masih berantakan dan setumpuk pekerjaan rumah tangga menunggunya. Selama Raduedhit pergi kerja menjadi tukang cuci, Raenjoh bingung di rumah harus mengerjakan apa, mengurus rumah merasa bukan tugasnya meskipun tangannya nganggur, mau ngantor sudah pasti tak ada yang sudi menerima, ia tak punya ketrampilan apa-apa, juga tak mengenyam pendidikan. Kantornya yang sudah pasti dan harus dijalaninya setiap sore adalah dari bak sampah ke bak sampah.

***

Suatu sore. Raenjoh menarik gerobak sampahnya. “Ups, keterlaluan”, umpat Raenjoh. Pembalut wanita yang masih basah kemerahan dibuang begitu saja di tempat sampah Bu Jorse, tanpa dicuci, tanpa dibungkus. Raenjoh memungutnya, melempar ke gerobak.

Berikutnya sampah keluarga Subondo, tempat istri Raenjoh menjadi tukang cuci. Kaleng kornet, dos susu, bungkus sosis, Raenjoh belum tahu seperti apa rasanya, mungkin enak sekali, dan, aha… ada struk belanja toserba yang sudah lusuh. Raenjoh coba membaca… “Wah wah wah, banyak amat belanjanya, kenapa mesti membeli barang neko-neko seperti itu, mendingan uangnya dikasihkan aku aja untuk bayar sekolah dan lauk anak-anakku, toh dia nggak bakal mati meski nggak belanja aneh-aneh kayak gitu, dasar boros!”, Raenjoh terlihat geram.

Dituangnya semua isi tong sampah ke gerobak, lalu “plok!”, pampers bayi yang belum dibuang tinjanya melayang. Raenjoh sejenak tertegun, merasa tak berharga. “Pampers kotornya untukku, yang nemplok di popoknya untuk istriku, lalu anakku si Rakopen bermain-main dengan air cuciannya. Kasihan anak istriku. Subondo benar-benar manusia kemaki. Dumeh Sugih”.

Sampah berikutnya menunggu giliran. Raenjoh sudahi pikiran-pikirannya. Sampai juga di teteg kereta api, saatnya Raenjoh kosongkan lagi gerobaknya, lalu bergegas pulang. Jari tangannya luka, tergores pecahan gelas kaca di bak sampah Pak Sugaya.

***

Hari demi hari Raenjoh menjalani. Setiap petang mengangkut sampah. Kadang-kadang Raenjoh tak bersemangat. Ya, tapi setidaknya Raenjoh tak ingin anak-anaknya menjadi sampah. Lelaki itu merasa harus tetap bekerja. Raenjoh seolah tengah menunggu kapan nasibnya berubah. Mungkin sebuah keajaiban bila di negeri Raenjoh ada yang menaruh perhatian kepadanya. Mungkin memberinya modal, atau ketrampilan, atau…. “Atau…mungkin keadaan sepertiku sengaja dibiarkan untuk keuntungan mereka saja, mempekerjakan orang kepepet sepertiku dengan upah serendah-rendahnya…”, pikiran kacau melintas-lintas di kepalanya. Raenjoh ingin berubah, tapi bagaimana caranya? Apa harus menunggu seseorang menjemputnya, menanyakan keadaannya, lalu mengubah jalan hidupnya? Ah, rasanya itu harapan yang kelewat indah.

***

Pagi. Sampah menumpuk. Kemarin sore Raenjoh tak nampak. Seperi ada keperluan penting yang lain.

Sore. Raenjoh tidak “ngantor”. Mungkin mengunjungi orang tuanya di desa.

Sore berikutnya. Sampah makin menumpuk. Ah, mungkin Raenjoh belum selesai urusannya.

Sorenya lagi. Sampah tak diangkut. Baunya menusuk. Hingga sore-sore seterusnya, Raenjoh tak muncul-muncul. Sumpah serapah ditujukan kepadanya, Raenjoh dituduh menjadi biang keladi kekumuhan yang mengganggu kenyamanan orang-orang kaya.

***

Raenjoh di rumah saja. Tubuhnya yang rapuh terbaring. Typus membuat badannya panas, TBC membuat batuknya mengkis-mengkis. Lukanya mengalami infeksi, tergores pecahan gelas di bak sampah Pak Sugaya. Mungkin ini hadiah dari keuletan Raenjoh, yang bekerja dengan tangan telanjang, tanpa masker apalagi antiseptik, tanpa pengaman apa pun ketika ia bergelut dengan sampah: kotoran dan penyakit. Kini Raenjoh tahu, seiring senja yang merayap, seseorang telah datang menjemputnya untuk mengubah nasibnya. Entah siapa yang akan menjadi penggantinya nanti. Keheningan menyelimuti.

***

Wates, 13 April 2006



PUISI-PUISI


Untuk Temanku di Yaman

(Surat yang tak pernah kukirim)

Oleh : Alfanuha Yushida


Gemuruh cerita tentangmu

Seiring pulang rombongan haji

Kami di sini sedang menerima ujian hati

Tiang-tiang tempat kami berpegangan

Tiba-tiba menjadi gelombang dan badai

Mencengkeram dan menghempaskan

Menarik dan menghentakkan

Kami limbung kami bingung

Doakan kami

Fainna ma'al 'usri yusra

Fainna ma'al 'usri yusra

Agar tak hilang hati kami

Karena tinggal harapan lah milik kami

Hingga gelombang dan badai

Menjadi tiang kembali

Agar kami bisa berpegangan kembali

Ami…n

Kg, Januari 2007


Lagu Kidung

Oleh : Nur Islamiyatun


Kusenandung dalam rinduku

Di antara doa terucap tak sempurna

Kubariskan irama malam-malamku

Dalam khayal terselip mimpi tak pasti


Jika memang perjalanan ini boleh berujung

Terbuai pasti dalam satu titik

Kan ku rengkuh malam-malam indah-Mu

Dalam baris ayat meski tak sampai pada-Mu

Kan ku dekap sunyi dalam diamku

Yang mendatangkan selinap nikmat

Ketika acara sembabkan wajah

Di antara serpih setiap gerakku


Bukan kemarin terlewati

Bukan hari ini terlampaui

Bukan esok yang akan terganti


Namun...

Di antara setiap hari-hari

Nama-Mu tersuci di hati

Robby...



Senja Adalah Kau dan Aku

Oleh : Nichi


Sejak kau tinggalkan aku saat senja memerah di langit itu

Sejak itu pula aku masih menunggumu

Bersama janji yang kau selipkan malam itu

Kau akan kembali suatu saat nanti

Dan aku percaya itu, aku percaya padamu


Tapi kadang rinduku memuncak dalam sepi

Bergetar perlahan lalu tersingkap oleh bayangmu

Terasa sesak bergelayut dalam diri

Lalu gerimis di mataku mulai mencair

Mungkinkah rinduku terbaca olehmu?



Pagi

Oleh : Asti Widakdo


Dingin pagi membelenggu bersama putih

Kabut menyatu

Kicau burung bersahutan

Berlomba menyenandungkan syair cinta

Sambut sang surya

Perlahan, dingin terurai

Pekat kabut mengerut tersapu senyum

Mengulum

Kilau bintik-bintik embun pagi di pucuk

Daun pun memudar

Mengiringi mentari bersinar

Bising suara motor satu demi satu silih

Berganti

Berkolaborasi dengan kicau burung yang

Sayup-sayup senyap

Lalu-lalang orang, bersepeda, berjalan

Bergerak awali kehidupan

Curahkan pemandangan yang...

Mengumandangkan kuasa Tuhan


Kulonprogo, Januari 2007



JERIT

Oleh : dmeileni. w PB

senja ini aku mati

tertegun diantara resah hati

airmata berlomba turuni celah-celah

terjal asaku yang remuk tergilas

tertindas

terinjak


deru mega yang berarak

memecah lara yang

tersisa diantara duka


senyumku luruh tersapu pekat mata

jari jemari yang gerayangi guratan luka lamaku

terus merasuk

merobek

selaput sendu kidung malamku


tuhan........

biarkan hujan menghapus

jejak-jejak tikaman noda di nadiku



“Malam...”

Oleh : Itul


“Malam...”

Satu butir sapamu lewat telepon genggam kemarin malam

“Malam juga...”

Mestinya kutambah dengan “apa kabar?”

Dan percakapan kita pun mengalir

Sampai kokok ayam mengisyaratkan fajar


Sayang, warna itu sudah kau ramu menjadi ungu

Tinggal kardus coklat dan sampul yang menyimpan bisu



di gerbang lautan api

Oleh : fathin chamama


andai bukan nanMU

sudah menggelap ku ke-7

andai bukan nanMU

sudah menghilang ku kan ku

meski tak 1 cahaya termenangkan

bersyukur patut ku

masih ku meletak di tangga ini.

pada latar tingkat 0

antara surgaMU dan nerakaMU

patut bersyukur ku,

meski titikku dekat ke MalikMU

andai bukan nanMU

tiada bertahan ku mampu

pun tak tahu malu

andai terijinkan,

ingin ku menjauh api ini. aku sayang aku.

wahai……. itu bisaku cuma. cinta aku aku

wahai……. ijinkan ku menjauh api ini

Kulon Progo, June 4 2007



SMS DARI PEMBACA

”Mlm LA, da acr pertmuan gak? Klo ad mu ikut gabung. Penggemar LA ”

(Tanty M2W 085292843XXX)

”Selamat dan sukses buat LA. Di HUT yang ke-3”

(Nur Widodo - 081328005XXX)



BIODATA PENULIS LONTAR

EDISI 20/Th. III/2009

Alfanuha Yushida, entah kapan Bapak satu ini menyelesaikan studi pasca-Sarjananya di Bandung. Yang jelas, kawan-kawan LA selalu terhibur dengan ulah jenakanya. Asli Bendungan Wates.

Asti Widakdo, santri di sebuah pondok pesantren di Bantul yang nyambi mahasiswa. Dia sesekali terlihat masih beredar di seputaran Kulonprogo. Mencari-cari ilham untuk puisi-puisinya.

Deffnau, cerpenis yang ini adalah seorang ibu satu anak--perempuan. Rajin menemani putrinya yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak untuk menggambar. Hasilnya? Gambar karya putrinya itu sempat dimuat di Kedaulatan Rakyat. Meski begitu ia menjadi jarang berkonsentrasi untuk menulis cerpen. Tinggal di Wates.

dmeileni. w PB, penyair yang ini baru sekali mengirimkan karyanya ke redaksi. Tanpa biodata lagi. Tapi nama PB yang disandang di belakangnya ditengarai bahwa ia aktif di sanggar seni Padhang mBulan.

Fathin Chamama, penyair yang ini semenjak ditugaskan sebagai aparatur negara di ibukota-nya Indonesia, jarang kumpul bareng di kegiatan rutin LA. Semoga Jakarta tidak mengurungnya dari kegiatan berpuisi.

Itul, nama panggilan dari Maftukhatul Khoiriyah. Anggota redaksi LONTAR ini masih malang-melintang antara Kulonprogo-Jogja, demi tugas hidup yang diembannya. Meski begitu dia selalu mengeluh karena tak bisa bikin puisi. Tinggal di Tirtorahayu Galur.

Nichi, alumni MAN Wates 2 KP. Bisa dibilang gadis satu ini rajin mengirim karya ke redaksi LONTAR. Tapi kok belum pernah nongol di acaranya LA ya?


KATA-KATA MUTIARA

"Membaca buku memang tidak membuat kita jadi selalu benar, tetapi setidaknya buku dapat membantu kita untuk mengakui bahwa kita tidak selalu benar. Membaca buku tidak menjamin kita menjadi sukses, tetapi setidaknya kita tahu bagaimana jalan untuk sukses"

(Garin Nugroho, dalam katalog sebuah pameran buku)