Wednesday, June 18, 2008

LONTAR 17

BILIK REDAKSI­


Salam!
Kami putera puteri Indonesia; ”Bertanah air satu satu tanah air tanpa penindasan, Berbangsa satu bangsa yang gandrung keadilan, Berbahasa satu bahasa kebenaran.”
Pembaca LONTAR yang budiman, pada bulan Mei ini genap satu abad Kebangkitan Nasional. Sengaja kami membuka tulisan ini dengan sedikit ”berapi-api”. Syukur-syukur bisa menggelorakan semangat siapa saja yang masih mencintai bangsa ini. Tentu saja semangat untuk menerusi perjuangan menuju cita-cita bangsa.
Di saat himpitan beban rakyat kian sesak, ditambahi oleh kenaikan BBM yang tidak berhenti di tingkat isu tapi secara nyata telah merasuk di kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Di saat cita-cita kesejahteraan seluruh rakyat masih ada di sudut kepala. Dan di saat-saat lain bangsa negeri yang besar geografis dan kekayaan alam ini ternyata mengalami ironi yang tak kunjung sudah, masihkah ingatan kita bisa disundut oleh semangat Kebangkitan Nasional yang dikobarkan sejak 1908 silam? Rasa-rasanya jawabannya harus terpulang kepada para pengambil kebijakan di negeri ini. Bisakah tanggung jawab mereka kepada rakyat menjadi layak untuk ”diangkat topi”?
Selamat Membaca...


BYAR
Bangun

Adakah Kristal//(yang sungguh kristal)//mengganti tatal-tatal
Sebagai indahnya gurun//dilukis waktu bangun (1999)
Puisi tersebut mendadak muncul di ingatan ketika saya bangun pada sebuah pagi tanggal 21 Mei 2008 di salah satu sudut kampung Kemayoran (Jakarta Pusat). Memang, tak ada gurun di Jakarta. Lanskap ibukota masih seperti biasa: lalu lintas semrawut, pemukiman kumuh menyobek keindahan gedung bertingkat, dan air sungai mengecer bau tak sedap. Aktivitas warga pun tak ada yang istimewa. Namun, di kampung tempat saya singgah sejenak tersebut, ada juga warga yang bicara satu abad kebangkitan nasional. We-eh, benarkah gema peringatan seabad kebangkitan nasional menyusup hingga ke pelosok orang-orang kecil?
Saya takjub pada obrolan mereka orang biasa yang hidup terjepit di antara keangkuhan dan hiprokrisi pengusa. “Mana bisa bangkit? Apa yang masih kita miliki? Semua sudah dijual ke orang asing…!” Dan kemudian, masya Allah, mereka begitu hafal mengabsen aset milik bangsa kita yang telah pindah tangan ke pihak asing. “Yang realistis, kita menjadi gelandangan di kampung sendiri”, lanjut mereka (seakan menirukan sebuah judul buku karya budayawan Emha Ainun Nadjib). Saya hanya bengong mendengar obrolan mereka. Lalu beranjak keluar rumah, keluar gang, mencari metro mini untuk keliling ibukota. Dari jendela bus, gambaran bangsa ini melintas di angan:
Pasca reformasi sepuluh tahun silam, bangsa ini mirip tatal. Pecahan atau kepingan dari keseluruhan. Tatal yang dalam dunia pertukangan hanya layak dibuang. Tak jauh beda dengan sampah. Tapi, sebentar, menurut ilmunya para wali, justru dari kepingan atau tatal itulah kita bisa meraih “kristal”. Mau amsal? Tiang utama Masjid Agung Demak. Barangkali ini yang jarang kita sadari: bangsa kita justru kuat karena berangkat dari tatal-tatal.
Selain mirip tatal, kondisi bangsa kita juga seperti gurun yang gersang: seakan siapa saja yang memerintah tak bakalan merubah keadaan. Tapi bukankah dalam gurun itu ada oase. Dan, seperti bunyi sebuah sajak, bukankah gurun dan oase masih saling setia? Tafsir dari larik kalimat ini memang tidak tunggal. Dalam konteks ini, bisa saja ditafsirkan: dalam kesulitan ada kemudahan. Maksudnya, sesulit apapun kendala yang dihadapi bangsa ini, sebuah kebangkitan dari keterpurukan itu tetap ada. Agaknya, yang luput kita telisik adalah “belum ada kesinambungan antara bangkit dan bangun”. Kita maunya bangkit, tapi sejatinya belum bangun. Padahal kalau kita sudah “bangun”, apapun yang kita lihat terasa indah. Gurun gersang sekalipun.
M A R W A N T O (www.markbyar.blogspot.com)


ADA APA DENGAN LA
Chairil Anwar Ketemu RA Kartini
Pada hari Sabtu, 4 April 2008, Sangsisaku (Sanggar Seni Sastra Kulon Progo) mengadakan pentas terbuka di Taman Binangun Alun-Alun Kulon Progo. Pentas terbuka itu mengambil tema Chairil Anwar Ketemu RA Kartini. Tema itu diambil karena bulan April merupakan bulan wafatnya Chairil Anwar yang sekaligus dijadikan Hari Puisi Nasional. Selain itu bulan April juga diperingati sebagai hari Kartini, sehingga dalam pentas di situ banyak diceritakan tentang kehidupan perempuan era Kartini kaitannya dengan era sekarang. Pentas tersebut dimulai pukul 20:30 22:30 dengan para pemain: Ki Soegiyono MS, Joko Budhiarto, Danu PP, Papi Sadewa, A Legiyo, Nur Widodo, Kelik Bule, St Suryani, Bardal, Sunarto, Guntoro, Sukadi, Ayuk, Suci Astuti, dan lain-lain. Walaupun pada saat itu suasana pentas dibarengi dengan hujan sehingga membuat alun-alun menjadi becek dan suasana menjadi dingin, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat para seniman tersebut untuk berkarya dan berapresiasi. Para penontonpun dibuat berdecak kagum oleh penampilan mereka. Sukses buat Sangsisaku....
(Sukardi Cimeng)

LA Mementaskan ”BENDERA”
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kulonprogo (DisBudPar) kembali menggelar pentas rutin setiap bulan di Panggung Terbuka Alun-Alun Wates. Setelah bulan lalu dibuka oleh komunitas Sangsisaku, kini giliran komunitas sastra Lumbung Aksara (sekadar mengingatkan, Lumbung Aksara adalah sebuah komunitas sastra, BUKAN komunitas teater, seperti yang diucapkan oleh MC dari DisBudPar dan yang tertulis di spanduk-spanduk pinggir jalan raya). LA diundang oleh DisBudPar untuk mengisi pada Sabtu, 3 Mei 2008 pukul 19:30 WIB. LA yang bukan komunitas teater mencoba berteater dengan melakonkan ”BENDERA” hasil besutan naskah dan sutradara Zaki Zarung dari Teater Sangkal Kotagede. Meski di satu Alun-Alun ada dua panggung (satunya adalah pentas wayang BARAKULER), ketika LA pentas semua penonton bisa fokus ke Panggung Terbuka Lumbung Aksara. Meski berdurasi cukup pendek, LA mampu menyedot perhatian penonton dan juga wartawan media yang banyak hadir. Dari aktivitas LA yang ”aksara” ke ”raga-swara”, LA merasa harus ”melompat lebih tinggi”.
(Ndari AS)

LA Potong Tumpeng yang ke-2
Di tengah kesibukan mempersiapkan pentas teater, Kamis 1 Mei 2008 bertempat di Gedung NU Kulonprogo, Komunitas LA mengadakan syukuran dan doa bersama atas usianya yang menginjak ke-2. Dalam acara yang bergelar ”Refleksi 2 tahun sudah kita menjalaninya” tampak hadir kerabat besar LA dan para apresiator LA selama ini, yakni: Komunitas Sangsisaku, Komunitas Padhang mBulan, Komunitas AB Giripeni dan Teater Sangkal PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta.
Meski cukup lelah setelah seharian Gladi Resik di Panggung Terbuka Alun-alun Wates, tidak mengurangi ucapan selamat dan kado-kado penuh cinta yang terus mengalir di sepanjang acara. Mulai dari Pembacaan puisi, musikalisasi puisi juga lounching Antologi Puisi Tunggal Marwanto ”Menaksir Waktu” yang diterbitkan oleh Komunitas LA dan www.markbyar.blogspot.com.
Apapun, SELAMAT !!! Semoga saja bukan sekedar romantisme perayaan belaka.
(Izur)


CERPEN

DI PENGHUJUNG ASPAL KOTA
Cerpen Tamam Ayatullah

Semburat merah senja menuai hampir temaram. Di kota yang separuh metropolis, separuh desa ini segala sesuatu terpampang sempurna di mata. Sedikit ke tengah, tentu sudah memasuki jantung kota. Sedikit membalikkan beberapa langkah kau tentu memasuki pinggiran kota. Kalau kau tidak percaya, letakkan motor bututmu tepat di tengah Jalan Kaliurang ke selatan, setelah lima menit kau akan memasuki bibir lentiknya kota dengan segala kekotaannya; tebalnya polusi; pekaknya telinga dengan suara kendaraan; atau mungkin tebalnya mukamu menyaksikan situasi hingga lupa duduk di bangku beton di perempatan pos besar Malioboro sana. Nah, tidak sampai sepuluh menit, gerakkanlah motormu ke utara. Dingin dan sejuknya hawa pedesaan pesisir Merapi segera menyergap ketakjubanmu tentang betapa indah dan naturalnya alam yang masih sangat murni kemurniannya.
“Mas, lebih baik di lembah UGM saja,” aku garuk-garuk kepala mendengarnya. Belahan hati yang duduk di belakangku ini emang aneh-aneh saja. Barusan ketika di jalan Malioboro dia meminta ke jakal, katanya biar mesranya lebih sejuk. Lha, belum turun saja dari motor dia malah minta balik. Kurasa dia terlalu romantis sih. Aku menghentikan laju motor, kemudian balik lagi ke selatan dengan hati tak berhenti memaki.
Beberapa menit meliuk-liuk, tiba juga di lembah itu. Kami turun dari motor dan segera menyeleksi tempat-tempat terbaik ngobrol. Kami memilih suatu tempat yang sepi di sebelah sana itu. Kemudian duduk tidak saling berhadapan. Sama-sama menghadap ke timur. Kami sudah setahun ini berhubungan sebagai dua lawan jenis yang bersepakat satu pikiran. Satu hati. Semingguan ini, sesuatu terjadi. Mendadak dia meminta menikah. Kau tahu sendirilah, aku ini masih mahasiswa semester enam. Wajar saja kan jika kagetnya luar biasa? Lha, ketahuilah untuk beberapa semester kuliah ini saja bapak sudah sering menggadaikan isi rumah buat bayar uang semester. Kalau aku menikah, barangkali dirikulah yang lumayan tinggi digadai demi kebutuhan. Memangnya dari mana dapat biaya hidup? Sekarang ini biaya kebersamaan untuk berdua sangatlah mahal.
“Terus-terang jangan sekarang Mel.” Kataku setelah beberapa detik kami saling diam. “Jujur saja, kita harus realistis mengalami hidup.”
“Aku setuju. Memang harus demikian.” Sahutnya santai seakan sama sekali tidak terbebani kayak dulu. Jujur saja, aku lega dia tidak lagi sekuat dulu menggugat karena ketidaksiapanku menghadapi kebersamaan yang sempurna itu. Aku bahagia, kini Amelia menjadi lebih bijak dari yang biasanya.
“Aku sangat paham situasi mas sangat tidak memungkinkan untuk itu.”
“Terima kasih kau mau mengerti.” Amelia manggut-manggut mengiyakan. Aku bakalan repot jika masih seperti minggu lalu. Selama dua jam dia menangis, agar segera meresmikan hubungan kami. Aku menolak. Untuk membayar uang semester aja, aku terpaksa menjual HP. Gimana mau menikah?
“Berarti semua urusan sudah selesai kan?” tambah Amelia. Aku mengangguk senang, meski sekilas wajah Amelia seperti muram. Sayang malam makin turun, sehingga tidak menampakkan kelengkapan raut di wajahnya.
“Baiklah, sebaiknya kita langsung pulang.”
“Loh, kan baru beberapa menit duduknya? Lelahnya saja kan masih ada Mel.”
“Hehe, kan semuanya sudah terselesaikan? Bukankah kita ke sini hanya demi menyelesaikan suatu urusan? Dan urusan itu sekarang sudah beres? Lalu apalagi?”
Aku menarik napas tidak mengerti arah pembicaraan.
“Memang sih. Tapi masak cepat-cepat pulang begitu? Masih letih nih.”
“He, kamu ini gimana sih? Pulang ya pulang!” aku tersentak kaget. Sikap Amelia tiba-tiba berubah sangat ketus. Tanpa menunggu sahutan, dia berdiri dan kemudian melangkah sendirian. Aku mengejar, setelah itu menggamit tangannya. Amelia berbalik dan melotot.
“Kamu ini kok aneh banget toh?” kataku agak keras. Amelia justru berkacak pinggang.
“Siapa yang aneh? Bukankah sudah kubilang ribuan kali kapan kau akan melamarku? Dan sekarang…”
Nggak tahu apa alasannya, Amel tahu-tahu menangis sesenggukan seperti itu.
“Ketika pulang kemarin.. orangtuaku menerima lamaran seseorang.” Aku terdongak tidak percaya. Amelia memelukku. “Maaf mas, aku hanyalah perempuan biasa. Aku tidak bisa menolak.”
Aku diam. Sulit mengatakan apa yang harus kukatakan. Kerongkonganku serasa dijejali ribuan kerikil-kerikil kecil dan tak bisa dikeluarkan. Amelia tambah kuat saja mendekap dan terisak.
“Aku mau menyalahkanmu. Tapi aku tidak bisa. Ini bukan salahmu.” Aku tetap terdiam. Gelap yang mulai turun menggantikan senja seperti tambah gelap saja. Dan aku hanya bisa membisu. Pantas saja sejak tadi suara Amelia terasa mengganjal. Akhirnya, kubiarkan saja Amelia puas terisak. “Mungkin mas benar. Kita memang harus realistis dan proporsional pada situasi yang tidak memihak.”
Kata-kata Amelia semakin saja membuat hatiku ngilu dan tersobek di tengah-tengahnya.
“Ya, sudahlah.” Akhirnya aku berbicara meski dua patah. Kusentuh bahunya dan mengajaknya naik ke atas motor.
Sepanjang perjalanan, kemerlip lampu-lampu kota makin memudar. Hiruk-pikuk kendaraan kian tak terdengar. Hitamnya aspalan tambah menyatu dengan kegelapan. Kau benar manisku dengan menyangga dirimu dengan kata-kataku sendiri itu. Kita memang harus realistis dan proporsional dengan kehidupan. Kita hanyalah rakyat kecil yang tidak berguna berjalan di jalan yang hanya setapak ini. Kita harus banyak-banyak menahan napas demi diri kita sendiri. Bagaimana pun para wakil kita di atas sana sedang kelaparan. Mereka tentu lebih berhak hidup sejahtera ketimbang diri kita. Kita sudah terlalu banyak merepotkan mereka dengan banyaknya urusan kita, rakyat kecil ini. Mereka tentu perlu kenyang yang lebih biar lebih bersemangat lagi bekerja demi kemakmuran negeri ini. Tidak apa-apa, meski bahkan lauk-pauk tahu-tempe tidak bisa lagi kita beli, masih ada tiwul, singkong dan sisa-sisa kerak nasi kemarin yang masih tersisa banyak. Kita berdoa saja kepada Tuhan, mereka sejahtera, sentosa hidupnya. Kita sudah terlalu banyak merepotkan mereka.

Blakk!! Buk!!
Brak!!
Aku terhenyak, tiba-tiba terdengar sesuatu begitu keras dan menggelegar di telinga. Entah apa yang sedang terjadi. Yang pasti jalanan kota yang temaram dan elok dengan kemerlipnya lampu-lampu kini tidak terlihat lagi. Segala sesuatu tiba-tiba menjadi sangat gelap. Yang pasti, tiba-tiba ada keinginan memelukmu lebih rapat setelah itu. Bahkan mungkin lebih dari sekedar rapat.

Jogja, 31 Januari 2008.


GEGURITAN

Tanpa Tinemu
Dening: Siti Hinggil

Dak sangga langite wengi
Nalika wewayanganmu gemlubet ing ati
Apa ya pancen panjering rina iku bakal
Gemuleng ing sawayah-wayah wektu
Dadi candaraning rasa kang dak temu
Ing atimu lan sukmaku

Wus dak coba kanggo lumaku ing wayah esuk
Nalika riyaya surya nglebur anaku
Lan anamu. Dadi pedhut
Kang kesapu angin sedina-dina
Banjur cidra antarane jantung uluku
Kang gumrebes
Gegodres
Ing wiwitane tatu uripku

Lakumu anjangkah lumaku maju
Tanpa karep mengo bali memburi
Pungkasane sliramu tanpa tinemu
Ing dedalan kang dak tuju

Langgar, 15/02/08


PUISI

Air untuk Zahratul Jannah
Oleh : Marwie Hendrianto

mengingat tanggal tigapuluh lima Januari merona
terkesima dengan apa yang senja berikan
mungkin saja esok bulan
tak memberi senyuman padaku
maka beri aku sebuah nada optimis
bukan pesimistis yang kini melekat dalam tulang belikat ini
bunga sunyi untuk zahrathul jannah.....
bukan Siti Rachimah
Sxxx?bukan!
aku hanya ingin dia menyapu warna merah di mataku
inginku hanya menatap derap ombak bersamanya
kala aku tak mampu tuk mendengar apa yang dimaksud naar
atau
aku memang tak mampu lagi?
ada dia
pangeran ufuk timur yang panjang umur
ini butiran pasir kala pagi begitu berkesan
yang aku simpan untuk zahrathul jannahku
yang kini mulai enggan menatapku
36,kala subuh menjelang pagi


Ajari Aku
Oleh : Wening Wahyuningsih

Ajari aku melakukan apa yang tak aku bisa
Ajari aku menaklukkan lautan
membuat gelombang mengalir tenang
Menafsirkan gemuruh bahasa ombak
di atas pasir yang berdzikir
Ajari aku melembutkan badai
biar dedaunan kembali menari gemulai
Lalu angin mengalunkan musik
dari dawai desahannya
Bukankah seperti laut dan angin itu hidup kita?
Berjalan mengikuti pusaran waktu
dengan arah yang tak tentu
Namun tetap bertahan ada pada dunia.

24032007


Cinta Sudah Mati
Oleh : Wahyu Gendon

Mata hati, Semalam aku melihat bayang-bayang
Kerumunan mata hati di langit-langit mimpiku
berbincang tentang kelicikan
Cinta yang terjebak dalam muslihat
Jurang nafsu membentang jauh memalung dalam
Mencecerkan kesejatian di lumpur
Patah dua
Semalam aku hendak bergabung
Dalam kerumunan mata hati yang duduk melingkar
Menyaksikan cinta hancurlebur
Kehilangan keindahannya yang agung
Sebab angka-angka telah menguasai hati
Dalam pertimbangan untung dan rugi
Aku melihat segalanya jelas pagi ini
Cinta yang mempertahankan makna-makna
Yang menyentuh sisi jiwa dengan kelembutannya
Yang tak berambisi
Habis terlanggar keinginan tak bermata hati
Cinta telah menjelma kemasan atas racun-racun
Menyusup halus ke dalam nadi

Aku melihat segalanya utuh pagi ini
Duhai mata hati yang berkumpul dalam mimpiku
Mari selesaikan menulis cinta yang
koyak-moyak tersuruk di lumpur
Aku bersamamu mengikis cinta yang tak murni
Habis, lepas dan jangan kembali sebelum sejati
Jangan, sebelum cinta mampu membuat
dirinya kembali
kupercaya


Kala Aku Berenang
Oleh : Siti Suwarsih

Kulihat hamparan laut didepanku....
Kulepas pakaian yang kukenakan, kutinggal masa laluku.
Dan kumulai berenang dan menyelam...menyelam dan teus menyelam. Sampai sesuatu terlihat oleh hatiku...
"Aku menemukannya", jerit suara dalam dadaku
Tempat itu...
Istana dewa dewi
Sebuah Kastil...
Dengan atap sang pencipta
Dinding dindingnya berlapis Islam
Tiang-tiangnya tersusun oleh permata do'a
Lantai lantai dari marmer ketabahan, yang dilapisi permadani kesucian
Singgasana itu...
dibuat dengan kayu kesabaran,
kemudian diplitur dengan kasih dan sayang
Dan terasa halus dan lembut, ketika jemariku merabanya
karena ternyata ada busa persatuan yang menghiasinya
Aku mulai menyelam kembali
Aku terus menyelam...
aku telusuri lorong lorong kastil itu
Aku semakin terpesona...
Hampir seluruh perabotan di tempat itu
Menjadikan mataku tak berkedip
Dan sepertinya lorong itu tak berujung
Setiapkali aku temukan ruang
Seketika itu pula seribu lorong menantang kedatanganku
Aku ingin tahu bagaimana isi setiap lorong
Wates, 28 Agustus 2007


Lupa Kau
Oleh : Lathif

Di balik laut selatan
Ada tanah dan rumah-rumah
Di balik menoreh dan merapi
Ada taman dan kebun bunga
Kenapa kita merantai diri
Dengan kepongahan tak sudah-sudah
Maafkan aku ...
Namamu tak tereja lagi
(Kauman, awal Oktober 2007)


SATU HATI
Sebuah puisi untuk 090407
Oleh : Mariyann Ka

Saat itu...
saat aku temukan anugrah terindah
ketika aku merasa tak sempurna
mencintai sosok pribadi yang aku anggap
paling sempurna
Dan itu...
adalah kamu
Satu hati yang selalu
aku beri sanjungan
aku beri rasa untuk saling menjaga,
menghormati, dan saling menyatukan
Tapi entah mengapa?..
sikap dan tingkah laku kita
selalu saja belum cukup untuk
mengungkapkan cinta..


Ketika Sang Kinanah melambai-lambai
oleh : Iul Muna

ketika Sang Kinanah melambai-lambai
hanya itu yang dapat aku rasakan
seramai itukah
sehening itukah

hangat pasir coklat
menjadi lebat-lebat dalam mimpiku
khayalanku
Sang Manusia Singa yang slalu meraung-raung
memanggil-manggil
untuk menjenguknya



SMS DARI PEMBACA

"Af1 mb. Br blz.mksh undanganny, ya...keren bgt..tp g bisa brgkt, lg fokus UAN, Mg..next, go fight 4 sastra KP ^_^ 'kita sperti diam...tp kita sedang bergerak dgn bhs cahaya..' "
(Nurul Lathiffah - 0818267XXX)

"Met mlm, mbk/maz mo ny klu krm crt lucu n' sru blh kg? Blz gpl"
(Dody - 081804044XXX)


BACA BUKU

Para Pembunuh Waktu

Penulis : Dorothea Rosa Herliany
Penerbit : Bentang Budaya
Cetakan : Pertama, Juli 2002
Tebal : 152 halaman

Buku ini merupakan kumpulan sajak-sajak Dorothea R.H. tahun 1985-2000 dan juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Puisi tak mengenal kata basi, sebagaimana puisi-puisi Dorothea ini, yang memotret sisi-sisi kehidupan manusia yang tak henti bergulir, dari waktu ke waktu, menggelitik setiap jiwa, menyentil kehidupan semesta yang penuh misteri.

Ungkapan-ungkapan estetiknya terkadang lembut namun juga menolak, menggugat kenyataan. Seumpama air kadang terasa sejuknya, tak jarang keruh dan meluap-luap. Seumpama batu kadang terasa berat sehingga membuat dahi berkerut, kadang membuat tersenyum dengan ungkapan-ungkapan nakalnya.

Kesunyian, kesedihan, percintaan, kerinduan pada kebenaran, kehilangan, gelap terang, terungkap dengan apik, meski metafor yang sama banyak terulang-ulang dalam puisinya. Ingin membaca buku ini? Bisa meminjam di TBM Lumbung Aksara. Hehe... Promosi?
(Dewi Fatimah, pecinta pohon. Gak suka masak kecuali kalau terpaksa, tinggal di Wates)



BIODATA PENULIS LONTAR
EDISI 17/Th. II/2008

Iul Muna atau Ahmad Muflikhul Muna, pelajar SMP N 1 Wates yang mencoba bersyair dan aktif mengirimkannya ke meja redaksi. Bagi yang ingin kontak bisa di friendster: last_time@proletar.nyu atau bisa juga di e-mailnya: iul_moena@yahoo.co.id
Lathif, lay-outer LONTAR. Pendidik di MTs Ma'arif Bendungan. Tinggal di Bendungan Wates.
Mariyann Ka, lahir di Kulonprogo tahun 1991. Masih berstatus sebagai pelajar di SMA N 2 Wates kelas XI IPA. Mengaku hobi membaca novel. Tinggal bersama orang tuanya di Giripeni Wates.
Marwie Hendrianto, pelajar SMAPTA atau SMA N 1 Pengasih kelahiran Jakarta, 11 April 1991. Juga tengah menanti hasil UAN. Emailnya: sheri3l_marwie@yahoo.co.id
Siti Hinggil, tengah belajar menulis geguritan. Itu saja biodata yang dia tuliskan. Redaksi jadi penasaran; yang mana to orangnya?
Siti Suwarsih, santri PP Zahrotul Jannah Giripeni Wates. Tengah menanti hasil UAN yang baru saja diikutinya. Sebentar lagi meninggalkan SMA N 2 Wates karena akan menjadi alumni. Semoga!
Tamam Ayatullah, alumni Ponpes Tambakberas Jombang dan jurusan Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Semasa kuliah aktif di pers mahasiswa kampus ARENA. Novel perdananya Dicari: Sandal Kiai! tidak lama lagi akan terbit. Lelaki asli Madura ini kini bekerja di Surabaya.
Wahyu Gendon, adalah alumni SMK Muhammadiyah 2 Wates. Lelaki kelahiran Kulonprogo, 13 Juli 1989 ini sekarang bergiat di Pramuka Saka Bhayangkara Kulonprogo. Memiliki hobi sport, adventure, camping, scouting, dll. Tinggal di Parasan 23/10 Gunung Gempal Giripeni Wates.
Wening Wahyuningsih, gadis mungil ini sebentar lagi juga akan berstatus alumni; alumni SMK N 1 Pengasih karena telah mengikuti UAN. Tinggal di Brosot Galur.



KATA-KATA MUTIARA

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra, kalian hanya tinggal hewan yang pandai”
(Pramoedya Ananta Toer Dalam Bumi Manusia)