Tuesday, August 26, 2008

LONTAR 19

BILIK REDAKSI

Salam Sastra!
Mulai hari-hari ini dan hampir setahun ke depan, kita akan dihadapkan kembali pada hingar-bingar musim kampanye, mobilisasi massa demi menuju PEMILU 2009. Kita semua barangkali masih akan menduga-duga, euphoria ini mampukah mengalahkan euphoria bulan lalu ketika masyarakat negeri ini bersorai dan gempita menonton Piala Eropa. Kampanye adalah sebuah musim, yang satu saat pasti akan berlalu. Kampanye adalah bagian sah dari sebuah pesta demokrasi. Akan tetapi, semua tersebut itu hanyalah tataran idealnya saja. Berapa PEMILU kita telah ikuti, kondisi bangsa tidak semakin membaik, bukan? Apanya, di mananya yang salah? Seolah-olahkah kalimat ini tendensius mengkambinghitamkan PEMILU? Rasanya tidak. Kami hanya enggan berpikir terlalu rumit dan jauh. Maka kami sendiri merasa harus kembali membuat ”bayangan”. Sebuah komunitas yang dibayangkan bernama Indonesia lebih baik, syukur-syukur yang maju. Bolehlah sedikit nasionalis. Ah....
Selamat Membaca...


BYAR
Kethoprak
( Utik TW )

Ajakan nonton kethoprak. Itulah SMS terakhir yang kuterima darimu. Sebelum kau berpulang pada sebuah pagi yang tak lagi dingin. Matahari, di pagi itu, telah senyum begitu lebar. Ah, bahkan tertawa. Ya, seperti tawamu yang amat lepas: ketika kita sedang tadarus puisi, menyiapkanTBM atau menggarap laporan PMK yang tak kunjung rampung. Dan di jalan Deandeles itu agaknya kau juga tertawa meski dalam dekapan malaikat--, tawa yang terakhir.
Dan bukankah kethoprak (setidaknya dalam perspektif modern) mengajak kita tertawa? Mungkin memang bukan yang utama. Tapi, dalam konotasi tertentu, tawa dalam istilah kethoprak tidak bisa sekedar disebut bumbu. Simak misalnya dalam ungkapan: “Wah, malah kethoprak-an” atau “Jangan sok kethoprak-an, ah”. Ungkapan tersebut sering diartikan: jangan membuat lelucon. Akhirnya, pada tafsir kontemporer, acapkali seni kethoprak direduksi sekedar (pentas) lelucon.

Padahal, pada awal kemunculannya, kethoprak bukanlah berisi cerita yang cuma mengajak kita tertawa. Konon, sejarah kethoprak yang bergulir tahun 1887 dengan jenis kethoprak lesung, dimulai dengan mengusung tema-tema “serius”: babad, legenda, dan adaptasi karya pujangga ternama semacam Pangeran Hamlet karya Shakespeare. Tapi, dalam perkembangannya kethoprak diidentikkan pentas yang mengusung lelucon. Muncullah kethoprak plesetan dan kethoprak humor.

Hal ini agaknya karena kehidupan yang kian pragmatis dan gersang. Dalam pragmatisme hidup, mengusung keseriusan ibarat berteriak ditengah gemuruh gelombang. Dan di dunia yang telah gersang, sesuatu yang serius acapkali membuat kram otak. Sebaliknya, lelucon/humor menjadi segelas es pelepas dahaga. Lalu dengan ditunjang perkembangan audio visual, pentas kethoprak meraih booming. Tapi, kejemuan memang gejala alamiah. Publik pun bosan. Masyarakat muak. Kethoprak tak lagi lucu. Sebab kehidupan nyata itu sendiri yang kemudian menjelma lelucon. Dan, dalam konteks ini, Utik tak salah: menyikapi dunia yang letih dengan tawa yang lepas.
Ah, Utik. Mungkin teman-teman lebih mengenangmu sebagai aktivis yang tak jenak diam (mobilitas telah identik dengan dirimu) atau kedua tahi lalat di pipimu. Namun ijinkan aku selalu terkenang dengan tawamu. Seperti di sore itu, memang ada isak dan air mata mengiringi jenazahmu tapi selanjutnya yang terngiang adalah tawamu. Tawamu yang khas. Mengingatkanku pada pepatah Yahudi: saat manusia berpikir, Tuhan tertawa.***

MARWANTO (www.markbyar.blogspot.com)

RALAT:
Pada LONTAR 18 tertulis “Utik” Tri Wahyuni meninggal pada 8 Mei 2008. Yang betul adalah meninggal pada 8 Juni 2008. Dengan ini kesalahan telah dibetulkan. Redaksi mohon maaf atas kesalahan penulisan tersebut.


ADA APA DENGAN LA

LA Bedah ”Sang Musafir” di Sanggar Singlon
Setelah sekian lama absen dari agenda rutin bulanan LA, Sabtu 28 Juni '08 di Sanggar Singlon Pengasih, komunitas Lumbung Aksara (LA) kembali mengadakan kegiatan bedah buku. Di panggung terbuka yang mirip pendopo berukuran 5 X 10 m, kerabat LA disodori ”Sang Musafir” sebagai menu utama.
Novel Sang Musafir besutan Mohamad Sobary ini begitu detil dikupas oleh Burhanul Fahruda selaku pembedah buku ini. ”Adalah bahasa 'kebebasan' yang menjadi muara perjalanan hidup seseorang” begitu tandasnya usai menceritakan isi novel tersebut. Meski hanya beberapa yang hadir, suasana menjadi hangat karena dimoderatori oleh A. Soendari. Acara ini kemudian ditutup dengan Tadarus Puisi dan lounching LONTAR edisi 17. (Izur EA)

”Panji Koming” di Alun-Alun Wates
Alun-alun Wates kedatangan Panji Koming. Sosok dalam cerita kartun Kompas itu telah menyatroni masyarakat Kulon Progo lewat pementasan teater yang digelar di panggung terbuka Alun-alun Wates, oleh Komunitas Trotoar, Sabtu, 5 Juli 2008,19:30 WIB. Komunitas Trotoar menampilkan teater sebagai bentuk respon terhadap program Dinas Pariwisata dan Budaya Kulon Progo yang memberi kesempatan unjuk gigi pada beberapa komunitas di Kulon Progo. Lewat sosok yang merakyat, konyol, namun cerdas itu Komunitas Trotoar mampu memotret kehidupan masyarakat Indonesia yang penuh dengan trik kasus suap dan sedang terombang-ambing ini.
Sebagai rakyat kecil, Panji koming memiliki impian besar bagi dirinya dan negerinya. Upaya mengadu nasib sebagai orang penting dalam kerajaan mengalami banyak aksi sikut menyikut; mulai dari kasus suap, sogok-menyogok, sampai akhirnya pemberontakan. Alhasil, hukuman mati pun harus ditanggungnya. Beruntung, Pailul mampu menyelamatkannya.
Pentas teater garapan Joko Mursito berdurasi kurang lebih selama 2 jam itu mengolaborasikan gamelan dan beberapa alat musik modern lainnya. Pertunjukan pun menjadi lebih menyatu dengan budaya lokal dan masyarakat setempat. Tampak beberapa pejabat dinas KP, perwakilan dari komunitas LA dan beberapa komunitas lainnya, serta masyarakat setempat menonton dalam suasana yang bergairah. (Osephe)

Bimtek Perpusda DIY
Penuhi undangan Perpusda DIY, senin 30 juni 3 juli 2008 LA mengirimkan wakilnya, The Pukon, untuk mengikuti Bimbingan Teknis Perpustakaan Desa, di gedung pusat Badan Perpustakaan DIY, Jl. Tentara Rakyat Mataram no. 4 Yogyakarta.
Bimbingan yang melibatkan kurang lebih 40 pengelola perpustakaan kecil yang tersebar di seluruh pelosok desa di DIY tersebut mengusung tema peningkatan SDM melalui pendekatan perpustakaan. Dalam pengantarnya, Kepala Bidang Pembinaan Perpustakaan DIY, Drs. Tulus Widodo menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi pendidikan kita. Dengan bimbingan teknis ini diharapkan perpustakaan-perpustakaan yang berada di desa semakin meningkat baik jumlahnya maupun kualitasnya. Materi yang disampaikan pun cukup menjawab persoalan-persoalan kecil para pustakawan desa selama ini, yaitu pelayanan, klasifikasi, katalogisasi, dan pelestarian perpustakaan. Dengan dinamika tanya jawab dan praktek, bimbingan yang berlangsung selama 4 hari tersebut diikuti secara antusias oleh para peserta. Pihak perpustakaan daerah mengerahkan tak kurang dari 5 stafnya untuk menjadi pembicara, antara lain: Drs. Heru Purwanto sebagai pengampu katalogisasi, Rini Handayani, Msi. sebagai pengampu klasifikasi, Drs. Iskak Budi L sebagai pengampu pelayanan, Petrus Wihardo sebagai pengampu pelestarian, dan beberapa staf lain yang membantu secara teknis. Acara ditutup dengan upacara kecil dan pembagian buku kenangan.
Setelah penuh dengan bekal pengelolaan perpustakaan, para peserta akhirnya pulang dengan PR-nya masing-masing. Di LA sendiri, rencananya akan mengerahkan personilnya untuk merealisasikan bimbingan teknis ini. Mudah-mudahan! (Osephe)


CERPEN

Anak Laki-Laki di Teras Rumah
Dua Belas Tahun yang Lalu

Cerpen Fafa

Mungkin dia bukan siapa-siapa kami. Aku bahkan tak mengenalnya hingga suatu sore ia berdiri di teras rumah, mengepit tas kain kumal, bercelana pendek dan kaos oblong yang sudah mulur. Kakinya polos tanpa alas. Waktu itu aku yang teringat film-film dengan adegan seorang ibu berpesan kepada anaknya ; don't talk to stranger, langsung berlari ke dalam rumah, menjumpai kedua orang tuaku. Mereka keluar, dengan aku membuntut memegangi rok ibuku. Anak kecil itu berdiri menggigil sebab gerimis tiba-tiba bertambah deras. Rambutnya yang masai menutupi sebagian wajahnya. Ayah membimbingnya masuk. Ibuku mengeluarkan serentet pertanyaan seperti muntahan peluru di serial Combat sambil menepiskan peganganku pada roknya.
Sekarang sudah duabelas tahun berselang. Anak itu tumbuh bersama-sama denganku. Ibuku sudah enggan lagi bertanya siapa gerangan dia sebab ayahku akan selalu bilang; dia tak penting. Ibuku sudah tak bertanya-tanya lagi akhirnya. Tapi rupanya keingintahuan seorang perempuan melebihi apapun. Rasa ingin tahu ibu bertahan melewati tahun sampai aku tumbuh dewasa dan anak laki-laki asing itu juga. Apakah ia anak ayah dengan perempuan lain?
Suatu hari ibuku berkata.
"Ibu tak membenci siapapun, apalagi hanya anak kecil kumal yang tiba-tiba datang di tengah gerimis."
Aku diam saja tapi menemukan kelelahan sarat di mata ibuku. Setelah itu ia mengiris kubis sambil menangis.
Anak laki-laki itu tumbuh baik. Ia rajin membantu ayahku di ladang pantai kami. Ia betah menyiangi rumput liar di antara tanaman cabe merah, terbakar matahari. Jika musim bertanam melon, ia akan terlibat dari penanaman benih hingga mengangkut melon-melon matang ke bak pick-up. Kulitnya semakin hari semakin legam tapi ia jauh lebih bersih daripada ketika pertama kali datang ke rumah kami.
Suatu hari yang lembab seperti saat pertama kali dia datang, aku dan anak laki-laki itu bercakap-cakap.
"Ibu selalu sedih karena aku?'
" Barangkali jika kau mau beritahu siapa kau...."
"Kau tahu, aku bisa membaca apa yang akan terjadi besok. Maka biarkan apa yang tak diketahui tetap begitu adanya."
Aku tertawa. Zaman sudah sangat maju, meski kami hidup di desa aku sudah tak percaya lagi dengan hal-hal berbau mistis dan supranatural. Aku lebih percaya pada internet. Maka kubiarkan dia menunggu gelakku habis.
"Kau tak percaya kan? Tapi ayah dan aku percaya."
Sejak hari itu, dia berusaha membuatku percaya bahwa ia bisa membaca masa depan. Ke kamarnya yang penuh dengan gambar konstelasi zodiak anak laki-laki itu sering menuntunku masuk. Di dalam ia akan mencoret-coret menunjukkan gambaran di pikirannya tentang ayam-ayam ayah, berapa bertelur minggu ini, berapa ton hasil ladang cabe, dan ikan apa saja yang dibawa pulang nelayan di pantai dekat ladang kami. Suatu kali ia tak mencoret-coret tapi menatapku dalam-dalam.
"Apa-apaan sih?"
"Ssstt. Aku sedang membaca masa depanmu."
"Ah, katakan saja padaku apa soal ujian besok daripada kau baca masa depanku. Itu lebih penting buatku." Aku tergelak dan dia melotot.
Ibuku, menangkap kelebatan anak laki-laki itu menuntun aku masuk ke kamarnya suatu sore.
"Kau tak tahu siapa dia."
Ibuku mengiris kubis keras-keras, hingga aku khawatir jika meleset dan mengenai tangannya tanpa sadar seperti perempuan-perempuan di perjamuan Zulaikha.
"Aku hanya bercakap-cakap. Katanya ia bisa membaca masa depan."
Ibuku makin keras mengiris kubis. Aku merasa bersalah.
Anak laki-laki itu telah membawa warna yang lain ke rumah kami. Aku merasakan kegembiraan seorang ayah memiliki anak laki-laki yang bisa diajaknya mengerjakan ladang. Aku tak mungkin membantunya sebab sedikit saja kulitku terkena rumput maka gatal-gatal seluruh badan dan ibuku sambil berkeluh akan membedaki ruam-ruam di kulitku. Tapi di dalam rumah ada bara yang juga siap meledak. Aku masih ingat muntahan pertanyaan seperti rentet peluru di serial Combat itu, dan setelah bertahun-tahun ini, masih banyak ranjau tertanam yang siap meledak. Ayahku tak pernah berkata apa-apa tentang anak laki-laki itu.
Dan pada sebuah subuh, aku masih meringkuk di bawah selimut setelah terlambat tidur sebab harus mengetik berlembar-lembar laporan praktikumku, terdengar gaduh di ruang tengah. Aku beranjak melawan dingin sebab suara itu membuatku tak bisa lagi memejamkan mata. Daun pintu perlahan kubuka sedikit, berusaha tak menimbulkan derit. Cahaya lampu panjeran di ruang tengah yang redup tak menghalangiku melihat apa terjadi. Anak laki-laki itu berdiri di tengah ruangan, membelakangi televisi yang tak menyala. Ayahku duduk dan ibuku berdiri di tentang pintu antara ruang tengah dan dapur. Dan, seorang lelaki tak kukenal berdiri membelakangi pintu kamarku hingga tak kulihat wajahnya.
"Sudah saatnya ia menjadi hakku."
"Lalu bagaimana dengan janjimu?"
" Bagaimana bisa waktu dua belas tahun tak kau gunakan dengan benar?"
Ibuku menatap mereka silih berganti.
"Janji apa yang kau tunggu sebab anak laki-laki ini?!"
Lelaki asing itu memandang ibuku. Aku melihat ibuku yang meradang seolah tunduk di bawah tatapan laki-laki itu. Ayahku seperti hendak menjelaskan sesuatu tapi hanya terkunci di mulutnya. Aku melihat ruang tengah terbalut suasana mistis. Bukankah aku tak percaya pada hal-hal semacam ini? Tapi tak bisa kucegah tiba-tiba aku merinding.
Lelaki tak kukenal itu memanggil si anak laki-laki dengan isyarat tangan. Anak laki-laki itu mendekat. Mereka kemudian pergi tak berkata-kata. Ibuku beku di tentang pintu dan ayahku duduk terpaku. Aku menutup pintu. Tak tahu apa yang kupikirkan.
Tak ada yang berubah esok harinya, kecuali ibu yang semakin riang, suara irisan kubisnya terdengar merdu, dan ayah yang terlihat lebih murung. Anak laki-laki yang dua belas tahun lalu berdiri di teras kami itu, aku tak pernah tahu siapa.
***



GEGURITAN

CANDRA KALIMASADA
Dening Redjo

Kapan anggonmu teka kang...
Datan kaweruh dumadimu kadiparan
Apa bebarengan kelawan untang
Tekamu pindha tathit tanpa udan

Ngancik ing wewengkon iki
Suwara-suwara kuwi tansah hangandhani
Marang sak kabehing guru suci
Rumesep pangeran luhur mring gusti

Tekamu samar ndak sawang
Ananging sewu werdi kang ndak gawang
Prasasat nemu ing sak jroning pralambang
Ya ing sak tumekaning ati sing kapang

Kudune aku lumaku ing kana kae
Ngancik lad-ladan kancane dhewe
Nggayuh ayang-ayang sing dadi sesawangane
Lan marang kabeh wae kang wis rinonce

Kudune aku tumandang cipta
Ngampiri kabeh sing padha tandang karya
Bisa gawe gumyak senajan mung sedela
Nyirnakna bebendu kang bakal mbalela

Ananging kang...mung digawe bubrah
Bubar-bubar sumebar tanpa wadhah
Apa kudu ana bebanten maneh
Nggendong kamulyan tanpa jiwa sareh?

Apa bakal ketemu maneh
Oncating dubita bisa gumuyu ngekeh..

Kang.. apa jagade wis padhang
Banjur anapaki ara-ara sinebrang
Manekung amrih rahayu sing digadhang
Bisa nggulung murka ati sing kemramang abang

120205



PUISI-PUISI

Kau Yang Tak Pernah Menemukan Namaku
Oleh : Chyto

Di jembatan pertemuan kau tanyakan nama
Yang tak terdapati
Dalam deretan huruf dan angka
Sungai sungai yang tak hendak berhenti sebelum ceruk menggenangkanmu
Sebegitu waktu
Menenggelamkan apaapa
atau menyatu di antara matahari yang terluka

Sayang engkau lupa mencatat sejarah yang kutitipi sebagian diriku
Untuk menggenapkan perkenalan

Andai arah angin bisa kau putar mungkin
Dapat kau ambil serpihanku yang telah mendebu
Disembunyikan waktu entah ke mana
Dan kau dapatiku belum punya nama

Andai cahaya mampu mengantarmu
Di kegelapan. Kau boleh punguti namaku
Tercecer di Jogja antara perjalanan kita ke Surabaya
Terlalu lelah buku harianmu mengeja
Tak yakin kapan saat kau tiba
Aku mungkin telah berada di Jakarta

Akhirnya kita tak pernah bertemu
Kecuali diriku tubuh tanpa nama

Mungkin sebaiknya kita mendekam di rahim yang sama
Setetes darah kita nikmati berdua

Lumbung Aksara, 21Jan08


DARI BALIK KACAMATA
: perempuan-perempuan lumbung aksara

Oleh : Imam Wahyudi

Dari balik kacamata yang tenang. Aku selalu saja terkesima.
Pada mereka yang masih setia menanti. Kekasih yang
tiada pernah berkabar. Datang dan pergi.
Tak bisa diduga dan dimengerti

Lihatlah. Perempuan-perempuan itu duduk melamun di muka
jendela sepanjang hari. Bersama sepi yang bernyayi.
Ditemani secangkir kopi yang mulai basi. Dan pohon sawo
di samping rumah yang mulai renta.
Sebentar lalu rintik hujan turun menetes satu-satu di teritisan.
Seolah menaksir rindu yang menahun.

“Oh...kekasih datanglah ?! Aku menantimu.
Aku menunggumu...”

Perlahan semilir angin berhembus pelan. Tak dinyana
menerbangkan para kekasih ke hadapan. Berloncatan.
Mereka menghambur ke pelataran.
Menyambut kata-kata yang berjumpalitan.
Menangkapnya dengan rindu yang makin meradang.
Makin sayang

Konon kemudian orang-orang ramai bercerita. Tentang
perempuan-perempuan yang bahu membahu membuat
rumah inspirasi bagi kata-kata. Berkembang semakin besar
Makin berkibar. Menjadi lumbung kata-kata.

Sementara disini, dari balik kacamata yang gamang.
Aku makin terkesima. Melihat mereka tiada lelah bercumbu
dengan kata-kata sepanjang malam....

Kulon Progo, Mei 2008


Sajak Buat Laut Kita
Oleh : Nurul Lathiffah

hujan ini, tetes pertama
seteleh kau susur Yogya-Surakarta
di perjamuan ini, wangi mawar, kau susun di dekat
:perapian
lalu kita eja jarak yang panjang
rindu yang mengejar pertemuan
menitiskan selaut keharuan
menyesak.
mendesak.
menggelorakan.
Laut kita yang semula mati.sepi. hening. Kering.


Jangan Menelponku Malam Ini
Oleh : Akhiriyati Sundari

Jangan menelponku malam ini
Sebab sinyal telah hilang di tikungan gedung dewan
Akan sia-sia kau jelajahi sunyi
Seperti pernah kau puja
Dan kau tulis dalam altar ruang senyapmu

Jangan menelponku malam ini
Sebab rembulan tak lagi luruh
Melewati kelokan hatimu yang menyepuh
Lipatan demi lipatan sepenuh sungguh

Jangan menelponku malam ini
Sebab tak lagi ada rinai air
yang menghanyutkan sepi kembara
langkah yang tak terbaca
menyudut di titian

Jangan menelponku malam ini
Kecuali kau kabarkan
BBM batal naik detik ini
Ah,
Sketsahati, 23 Mei '08


NASIYEM
Oleh : Lathif

Apa kabarmu Nasiyem?
kemarin kau mempesonaku
bahkan karenamu
aku hampir menduakan Tuhanku
kau datang dalam mimpiku
dalam sadarku
dalam i'tikafku
bahkan dalam shalatku

Apa kabarmu Nasiyem?
Ada apa dengan perutmu?
Aku kan sudah bilang
jangan buka jendela malam-malam
karena angin malam tak baik untukmu

Apa kabarmu Nasiyem?
Parfummu menyelinap di sela-sela nafasku
Kenapa kini berbau comberan?
Ohh ... betapa sayang
Bidadariku terpuruk di tempat sampah

Kauman, 30 September 2007


Aku Jalan Tengah Malam
Oleh : Firdaus Asykar

Aku jalan tengah malam
Ada yang berjajar jajakan diri
Bukan, bukan lelaki
Perempuan, seksi
Di sekitaran Pangsud
Hingga dini hari

Aku jalan tengah malam
Dari gedung anggota dewan kota
Kekanan susuri tepian Kalimas
Bersandar pada pagar di trotoar
Lelaki gagah dengan press-body T-shirt
Kadang sendiri-berdua-bertiga

Aku jalan tengah malam
Kembang kuning, Diponegoro
Remang kuburan Cina
Jadi tempat sukasuka
Bukan laki juga wanita
Waria saja, waria saja

Aku jalan tengah malam
Dari simpang lima Pasar Burung
Naik
Berderet etalase, penuh sofa
Ditawarkan lelaki bersafari
Beberapa pakai Batik,
Ini katanya yang paling gede se-Asia Tenggara
Komplit dari yang
Hampir remaja sampai setengah baya
Yang langsing sampai segembrot tebing

Aku jalan tengah malam
Aku jalang tengah malam
Jalan Surabaya tengah malam
Jalang Surabaya tengah malam

(2008)


BACA BUKU

Apa Ya?*

Judul buku : Sang Musafir
Penulis : Mohamad Sobary
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Agustus 2007
Tebal : 272 halaman

Pertanyaan ini akan selalu ada kapan saja. Tidak akan berhenti. Memusingkan. Dan sulit atau tidak sulit untuk kita jawab.
Berjalan. Ada tembok. Kita hadapi. Kita ambrolkan. Kita lalui. Kita lega...ada lagi. Kita lakukan hal yang sama dan kita ulangi berkali-kali danterus-menerus.
Mungkin ini sekilas pribadi sang musafir.
Banyak hal yang bisa kita dapatkan dari Sang Musafir, kalau saja ini terjadi dalam diri kita sendiri atau kita jalani, segala apa yang ada dan kita hadapi adalah sekian banyak mutiara hidup penuh sensasi. Betapa tidak, musafir kehidupan berjalan tiada henti dari waktu ke waktu, dia adalah petualang yang mendapatkan apa yang ia cari dan apa yang belum ia dapatkan.
Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami menjadikan novel Mohamad Sobary ini enak untuk dibaca, dimengerti artinya, dipahami isinya dan banyak lagi. Perjalanan setiap judul membawa kita pada persoalan hidup dan kehidupan. Perjalanan musafir menjadikan orang tidak boleh berhenti, menjadikan orang harus berjuang untuk hidup, bercengkerama dengan kehidupan, menghadapi benteng yang ia ciptakan dan tercipta.
Kebebasan, mungkin ini inti setiap kehidupan, mungkin ini yang sekian lama manusia mencari, mengejar dan bahkan demi kebebasan itu, ia rela memenjarakan orang lain, ia rela membunuh orang lain.
Betapa tidak. Kebebasan seorang yang sudah ia dapat, ia harus terbelenggu dengan sebuah sistem birokrasi yang penuh aturan, penuh kepentingan pribadi, kelompok bukan lagi demi kepentingan bangsa. Ini sungguh penyiksaan yang harus dialami orang yang akan masuk ataupun yang dipaksa masuk dalam sistem itu, seperti dalam judul empat. Keterbelengguan seorang pada birokrasi menjadikan ia harus beradaptasi dengan hal yang baru dan berlainan, walaupun tidak selamanya kita akan merasakan kebebasan itu selamanya, ewuh-pekewuh itu kadang juga harus muncul pada setiap diri.
Atau kita bayangkan Muhammad sang nabi. Status musafir dia jalani selama 23 tahun di Madinah, ketika Makah kebebasannya dirampas oleh musuh-musuhnya, kesimpulan yang terbaik adalah hijrah. Memusafirkan kelompoknya yang setuju dengan ide-idenya, keluar dari Makah. Mereka diterima kelompok Ansor, bersatu, membangun, berstrategi untuk mendapatkan hak setiap manusia atas nama kebebasan. Sungguh luar biasa.
Saya tidak mengomentari isi buku Sang Musafir. Terlalu wagu untuk melakukan itu, tapi sebagai pengagum pengarangnya, saya sangat banyak mendapatkan seluk-beluk kehidupan pribadinya ketika harus berbagi untuk dirinya, keluarganya, dan bahkan untuk manusia pada sekitarnya yang terlihat ataupun yang jauh. Bagaimana perjuangan kehidupan ia lakukan demi kebahagiaan bersama.
Demikian saja yang bisa saya tuliskan, masih banyak sisi lain dan terlalu banyak yang tidak kita tahu.

(* adalah kesan dari pembacaan ”Sang Musafir” oleh Burhanul Fahruda, pegiat AB Giripeni Wates)



SMS PEMBACA

”Halo Lontar..sy penggemarmu d Jkrta..usul blh kan...kgiatan LA dtayangin d situs Lontar dong. Mksie..B-) ”
(Fathin 085643011XXX)

”Mo nanya neeh, LONTAR, q toe suka nulis2, bikin puisi, cerpen, b-leh gak q salurin hobi q ke LONTAR and gimana caranya?”
(Arif, Margosari 081802645XXX)


BIODATA PENULIS LONTAR

Akhiriyati Sundari, masih aktif mengurusi keredaksian LONTAR sehari-hari. Berdiam di Blok 2 Ngestiharjo Wates. Sketsa-sketsa gumamannya bisa dibaca di blog pribadinya: www.sketsajagad.blogspot.com

Chyto, alumni PAI UIN Sunan Kalijaga. Memiliki PD yang tinggi hingga berani menyanyikan lagu SATU Dewa 19 saat ujian pendadaran skripsinya di hadapan sidang dewan penguji. Puisinya pernah dimuat di koran Seputar Indonesia.

Fafa, pemilik nama lengkap Fajar R. Ayuningtyas ini sekarang sibuk bekerja di sebuah mini market di daerah Wates. Masih suka berpuisi dan menulis apa saja di www.selepas-lautan.blogspot.com. Tinggal di Ngulakan Hargorejo Kokap.

Firdaus Asykar, lelaki asli Ngawi Jawa Timur yang mengaku berusia 27 tahun ini aktif di Teater Kusuma Surabaya sejak tahun 2001 dan telah menerbitkan buku kumpulan cerpen tunggalnya Aku Mengumpat Setiap Hari (2008). Beberapa puisinya terdokumentasi di www.surgadaim.blogspot.com.

Imam Wahyudi, suka menamai diri sendiri dengan sebutan ”Mbah Im”. Mengaku masih terus sabar mencari inspirasi walau karya-karyanya tak pernah membumbung tinggi. Puisi-puisinya bersemayam dengan damai di pondok mayanya www.ilalang-berbisik.blogspot.com.
Lathif, staf pengajar MTs Ma'arif Dondong Wates. Tinggal di Kauman Bendungan.

Nurul Lathifah, sekarang telah berstatus alumni SMA N 1 Lendah dan meneruskan belajar di Fakultas Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lahir di Kulonprogo, 21 September 1989. Karya-karyanya pernah dimuat di Horison, buletin Coret dan SKH Kedaulatan Rakyat.Tinggal di Dusun 3 Rt.12/05 Brosot Galur.

Redjo, memiliki nama asli Wahid. Memiliki nama pena yang puitis ”Pujangga Rimba”. Aktif nimbrung berkesenian di komunitas Padhang mBulan. Tinggal di Wates, sesekali di Panjatan atau sebaliknya.


KATA-KATA MUTIARA
“Kebebasan berarti tanggung jawab, itulah sebabnya, mengapa kebanyakan orang takut kepadanya” (George Bernard Shaw).