BILIK REDAKSI
Salam Sastra !
Pernahkah Anda bertanya, mengapa wajah sosial di negeri ini terlihat berderap mencoba menjangkau pergaulan global dengan mengikuti (bukan hanya mengambil saja) budaya yang senyatanya tidak berakar dari tradisi bangsa ini? Kami tidak begitu tahu apakah gejala tersebut sudah tampak atau belum, merasuki wilayah sekitar kita yang notabene bukan "wilayah metropolis". Terlepas dari oke dan tidak oke budaya itu ada.
Pecinta LONTAR yang budiman, salah satu dari contohnya adalah Kami menyebutnya "rekayasa sosial", seperti budaya "merayakan Hari Valentine/Kasih Sayang". Sebegitu perlunyakah sebuah kasih sayang "dirayakan?" Atas nama apa? Kedengarannya memang konyol. Pernahkah pula Anda bertanya, mengapa musti perlu pemakaian 'bendera' warna pink? Apakah cinta dus kasih sayang itu hanya memiliki satu macam warna saja; pink? Mengapa kalau hanya satu warna, warna pink yang dipilih? Tidak hijau, kuning, ungu atau hitam misalnya? Ah, rasa-rasanya kita kelewat lama berkenalan dengan warna, dengan bendera. Dan kita kelewat lama pula dibudayakan untuk pintar berekayasa. Tak heran jika banyak "rekayasa sosial" lain selain budaya Valentine yang "direkayasa pula" jatuh di bulan Februari ini. Salam Sayang!
Selamat Membaca...
BYAR
Dulu saya sering berpikiran (mungkin ini sebentuk kecengengan) begini: dua warna yang sama ketika digabung menjadi satu tak kan menimbulkan warna lain. Misal: warna putih dibaurkan dengan putih, hasilnya tentu juga putih. Sementara dua warna yang berbeda, jika dicampur, akan menghasilkan warna yang sama sekali lain: warna biru dan kuning, kalau kita oplos maka hasilnya hijau. Menurut guru gambar saya, fenomena oplos warna ini tak hanya berlaku di dunia lukis, tapi juga pada kehidupan sehari-hari.
Awalnya, mungkin karena kecengengan pula, saya memercayai "hukum" ini. Namun kini, seiring bertubi-tubinya peristiwa yang datang menghunjam tak sesuai kaidah oplosan warna tersebut, saya berani berkata non-sens pada apa yang dikatakan guru gambar saya. "Ah teori", kata sepenggal iklan yang dulu sempat kondang. Persoalannya tentu tak terletak pada "menerima" atau "menolak" hukum tersebut. Tapi, mengapa hal demikian bisa terjadi? Konon, Romeo dan Juliet -juga kisah asmara lain yang menggetarkan-- berangkat dari rasa (warna) yang sama: cinta. Namun, alih-alih mereka bisa membangun mahligai, justru yang mereka temui adalah akhir yang tragis? Pada kehidupan kenegaraan: tak ada satu partai politik pun yang punya asas dan landasan perjuangan bersifat "nista", namun mengapa pentas politik selalu tak jauh dari main kayu dan praktik dagang sapi? Dan contoh yang sulit kita tampik: sejumlah aliran keagamaan sama-sama ingin mempergelarkan tatanan kehidupan berdasar firman Tuhan, tapi mengapa yang terjadi adalah saling menghunus pedang?
Dalam koteks ini, saya tak hendak memberi argumentasi: bahwa gagalnya mereka membaurkan warna yang sama karena mereka baru berangkat pada tataran konsep (akan warna) yang sama, tapi miskin bahkan nol dalam praktik. Agaknya, radikalisme logika mesti kita arahkan pada: bahwa diantara mereka yang hendak "menyatu" membawa warna yang sama tadi terbentang jarak. Dan jarak adalah "warna" itu sendiri. Perjuangan menempuh jarak adalah pergulatan merangkai warna kehidupan. Semakin jauh dan intens seseorang menempuh, mengolah dan menggauli jarak (di sini jarak tidak mesti diukur dengan parameter fisik seperti kilometer dsb), kian berwarna pula kehidupannya. Dan ketika kehidupan seseorang makin berwarna, bukan tidak mungkin ia bisa mencapai pada kesimpulan: bahwa sejatinya warna-warni itu hanya pantulan dari Yang Maha Cahaya. Daun itu sejatinya tak berwarna hijau, ia hanya memantulkan Cahaya Hijaunya Tuhan. Sementara Cahaya Kuning Tuhan, dipantulkanlah oleh kenanga. Dan seterusnya. Demikian pesan orang bijak. Pertanyaannya: warna buram kehidupan ini pantulan dari mana? Ya, bagi insan yang taat, ia tak berjarak dengan Tuhan. Tapi bagi yang ingkar, jarak-jarak yang mereka ciptakan membuat warna kehidupan terasa berat untuk dibelai dengan kasih sayang.***
MARWANTO (www.markbyar.blogspot.com)
ADA APA DENGAN LA
Temu Sastra Tiga Kota di Gedung PCNU Kulonprogo
Minggu, 13 Januari 2008 menjadi hari besar pertama bagi sejarah sastra di Kulonprogo. Meskipun mengambil tempat yang "terbatas" di sebuah ruangan gedung PCNU Kulonprogo, acara yang bertajuk "Temu Sastra 3 Kota (Kulonprogo, Purworejo, Yogyakarta)" berlangsung sangat meriah-meruah. Komunitas sastra Lumbung Aksara dan Sangsisaku adalah dua komunitas sastra penggagas acara tersebut. Perhelatan besar ini diikuti oleh sastrawan dari tiga kota dengan masing-masing membawakan karya sastra mereka. Hadir dalam acara tersebut penyair senior antara lain Iman Budhi Santosa, Evi Idawati, Koh Hwat, Ki Soegiyono MS, Soekoso DM, Atas Danusubroto dan penyair-panyair muda seperti Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Kristina Kusuma, Aguk Irawan MN, Mahwi Air Tawar, dan lain-lain. Hadir pula KaDisbudpar Kulonprogo: Bambang Pidekso. Acara ini diharapkan menjadi langkah awal untuk membangun jaringan sastra antar daerah, kata Syamsul yang menjadi moderator dalam diskusi Membangun jaringan sastra.
(Chito )
MEREKA BICARA TENTANG TEMU SASTRA 3 KOTA (TS3K
“…ini merupakan fenomena kesastraan yang baik…berjalan dengan baik dan sukses. Setidaknya ia bisa menjadi ajang silaturahmi antar sastrawan. Di sini akan lahir kemungkinan baru, sebuah energi baru dan ruang kreatif baru yang lebih dahsyat. Sebagai pembuka, acara semacam ini patut diacungi jempol...sebuah mediasi yang kita harap akan selalu ada dan terus ada di tengah kondisi kesusastraan yang semrawut. Acara sastra tak hanya milik orang "kota"...”
(Indrian Koto, Cerpenis)
"Saya mencintai sastra Jawa karena memiliki gereget rasa. Selain itu, ada tata krama yang mencerminkan kebudayaan Jawa”
(Koh Hwatt, Penyair)
"Selamat ya, acaranya keren”
(Hasta Indriyana, penyair-penulis)
"Saya senang sekali diundang di acara ini. Orangnya ramah-ramah. Kapan ada lagi saya diundang ya?”
(Mutia Sukma, penyair muda Jogja)
CERPEN
Gerimis di Stasiun Kereta dan Sepotong Sajak Cinta
Cerpen Akhiriyati Sundari
Musim hujan bertandang. Tanpa pesan. Dan, aku tak pernah siap. Musim hujan seperti musuh laten di dadaku. Aku mengingatnya. Seperti tahun yang sudah-sudah.
Hujan selalu membawa banyak hal menyengat. Selalu ada perasaan hangat. Selalu ada kenangan. Selalu ada kecemasan. Selalu ada kesedihan. Juga nyaris selalu ada nuansa romantis yang menggenang. Selalu.
Aku duduk tergugu di peron stasiun. Kereta Senja sebentar lagi tiba. Tetapi mendung yang bergulung-gulung di atas langit kota kecil ini, telah lebih dulu tiba. Hawa dingin berkesiur rendah menembus telapak kakiku yang telanjang tak bersepatu. Lampu-lampu stasiun berdenyar suram. Kurapatkan jaket dan mengangkat kedua lutut rapat, bersidekap. Aku mencoba menata batin yang gamang.
Pedagang asongan tampak tak putus asa mengusikku, juga orang-orang di sekitarku, menjajakan dagangannya meski tak satu pun yang membeli. Air mineral, soda gembira, tissue, obat masuk angin, minyak kayu putih, dan gula-gula. Beberapa tukang becak dan tukang ojek terlihat bermain kartu di pojok stasiun. Menunggu giliran mengantar penumpang kereta yang tiba. Menuju alamat kedatangan atau kepulangan, entah ke mana. Mereka seolah asing dengan kata selamat datang, selamat jalan atau selamat tinggal.
Kurang dari 500 meter arah utara stasiun ini, tampak Alun-Alun kota. Riuh oleh pertandingan sepak bola yang mendekati usai. Aku menghitung waktu sejak menit pertama pertandingan digelar, dan sekarang sudah menit ke delapan puluh lima lebih sekian detik (artinya sudah satu jam lebih aku menantimu di sini dan keretamu belum juga datang). Aku tidak tahu adakah gol yang tercetak di sana. Aku hanya sempat melihat dua kartu kuning diacungkan ke udara oleh wasit. Ah, dulu kau juga menjadi bagian seperti mereka di tempat itu. Mengenakan kaos putih bernomor punggung lima, kesayanganmu.
Gerimis mulai turun perlahan. Para penumpang dan pengantar (sebagian mungkin penjemput, sepertiku) menepi di dekat pelimbahan. Kursi tunggu yang tak seberapa jumlahnya telah penuh terisi. Ini stasiun kecil di kota kecil. Sementara pengguna jasa kereta api tidak kecil. Ironisnya, jaminan kenyamanan dan keselamatan transportasi jenis ini sungguh kecil. O, aku lupa. Bukankah memang begini kenyataan di negeri ini? Kecelakaan kereta api hanyalah salah satu yang kerap terjadi. Tiba-tiba aku teringat kerabatku yang hilang karena menjadi korban kecelakaan kapal motor Senopati Nusantara, tenggelam di perairan Rembang ketika hendak pulang dari Kalimantan. Sejenak kuheningkan cipta dalam batin untuknya. ”khushushon li rûhihi, Al-fâtihah...”
Rintik gerimis seperti irisan air yang menjelma ribuan jarum, melesatkan hunjaman ke bumi. Kau lebih menyukai gerimis daripada hujan. Lebih menyukai titik-titik air serta hawa yang dibawa gerimis daripada titik air hujan dan suasana yang tertinggal ketika hujan usai. Apalagi jika gerimis pertama menyentuh tanah, kau tak akan melewatkan harumnya bau tanah basah. Gerimis, katamu, adalah kegelisahan yang membawa pesan keindahan luar biasa, seakan-akan surga telah bocor dan menciprat ke bumi (kau suka membual seperti itu di depanku. Sialnya, aku suka!). Engkau sering berkeyakinan terlalu tebal bahwa kata-kata mampu mengungkap cinta. Tiba-tiba aku merasa kita seperti murid SMA saja.
Kau belum mengirim pesan. Begitu juga aku. Aku tahu, kau seperti halnya diriku, tak begitu suka mengirim pesan ketika tengah dalam perjalanan, baik mengabarkan atau menanyakan. Selebihnya aku hafal, kita lebih suka kejutan-kejutan kecil seperti perjumpaan yang tiba-tiba. Kau hanya mengabarkan bahwa hari ini akan datang (hanya datang, bukan pulang?) dan memintaku menjemputmu saat petang. Kau bahkan tak mengatakan dengan kereta apa kau akan datang.
Cinta, rasa-rasanya telah membuatku sakit jiwa. Hampir dua jam aku menanti, kau belum juga tiba. Mataku tak lepas-lepasnya menatap ke arah barat, arah di mana kuperkirakan kau akan muncul. Tapi sudah beberapa kereta yang tiba, melintas, berhenti sejenak dan pergi lagi, kau tak ada. Kereta, seolah sudah menjadi takdirnya untuk hanya akrab dengan persinggahan, bukan kepulangan.
Mendadak aku ingin sekali menghubungimu. Kecemasan seperti menyatu dengan ketidaksabaran. Merambat perlahan di ubun-ubun kepala. Jangan-jangan kereta yang kau tumpangi anjlok atau kecelakaan. Bayangan itu lantas menangkupku.
Terdengar suara mengagetkan dari pengeras suara stasiun, mengumumkan bahwa kereta dari Jakarta terlambat karena terhenti di stasiun Purwokerto. Ada gangguan mesin sehingga musti menunggu perbaikan. Ah, tepat! aku lega. Bayangan buruk itu akhirnya lenyap. Tapi aku sadar, kesabaranku hanya pas-pasan. Aku mulai memaki lagi. Betapa buruknya jasa transportasi yang satu ini. Seolah tak memiliki pengertian sama sekali bahwa seorang perempuan di sini tengah gelisah menanti kekasihnya...
Malam dijelang. Gerimis yang awet seperti mengejekku habis-habisan. Aku melangkah ke mushola. Sekadar menunaikan kewajiban (maaf, Tuhan. Aku kangen kekasihku dan tak sabar menantinya. Jadi, tak bisa berlama-lama dengan-MU). Aku kembali lagi ke peron. Kubuka telepon genggam. Kubaca-baca lagi pesan pendekmu. Ada sepotong sajak cinta:
”Bila cinta begitu sederhana. Mengapa keberanian tak juga mengalung di leherku?
Ingin kubawa Kereta Kencana.
Dengan hanya berbekal cinta, semoga cukup untuk menjelangmu. Tapi apakah sesederhana itu?
Nyatanya, aku hanya pecinta yang koma”
Dua tahun silam menjelang pergimu ke Jakarta, di stasiun ini pula, kita seperti enggan berpisah. Wajahmu seperti tertimbun batu. Berat. Rentangan waktu, ruang, dan hambatan yang menjarakkan kenyataan dengan impian, lantas menjadi aksessoris hidup yang kadang cantik, kadang tidak. Dipandu ketidakpastian, kita terus berusaha saling meneguhkan. Merangkai masa depan. Membuat peta-peta. Menyusun rencana-rencana. Begitu sederhana. Sesederhana sajak cinta darimu yang tengah kubaca.
Melodi pesan berbunyi tiba-tiba. Dadaku bergetar menatap layar. Kau, yang kutunggu-tunggu!
”Aku tak sabar berhenti di Purwokerto. Aku melanjutkan langkahku. Naik bus malam. Kini, aku telah tiba di terminal. Bisa jemput aku di sini 'kan, Sayang?”
Aku tersenyum riang. Bergegas ku melangkah keluar stasiun. Kurogoh sakuku, mengambil kunci motor. Hah.. kunci motorku tak ada!! Aku hampir pingsan.
Saat kebingungan dan kepanikan nyaris membunuhku, seorang lelaki yang rupanya penjaga mushola stasiun, datang menghampiriku. Mengulungkan sesuatu. Seketika musnahlah gemuruh api di kepalaku.
”Terima kasih, Mas”, aku gugup.
”Lain kali hati-hati ya, Mbak? Jangan naruh kunci sembarangan”, lelaki itu lantas berlalu begitu saja. Aku terbengong. Aih, lelaki yang baik hati...
Lumbung Aksara, 11 Oktober 2007
GEGURITAN
Ngupadi Pepadhang Jati
Dening: A. Legiyo
Dak remké mripatku
tetep ora bisa turu
Dak coba metu
Nyawang wengi kang sepi
Swasana rinasa tintrim nggegerit nala
Mung tansah ngreridhu osiking kalbu
Aku sedhakep lungguh ijèn
Rembulan wus angslup, langit semburat abang
Remeng-remeng cahyaning lintang panjer esuk
Wewayangan mung sarwa ireng
Obahing gegodhongan katon jejogédan
Dèn wiramani sumiliring angin
Amung rinasa kekes kang mbalung sungsum
Atiku nglambrang
Mecaki lakuning nasib kang durung karuwan
Embuh mulya, embuh malah rekasa
Kabèh mau mung marahi bingung
Krodaning atiku takon marang lintang panjer esuk
Apa wus cepak plethèking sang pepadhang jati
Kang mbengkas pedhut peteng nggemuleng ing jroning atiku
Tan dangu gya kasaru
Pangeliking azan subuh sarta jago kluruk
Kang dumeling mlintir kuping kebak ing pananting
Eling lan memujiya, pasrah marang gusti
Sakèhing reribet bakal kabirat sarta pinaringan
Pepadhang margining gesang tansah tinuntun. Amin
Sentolo, 21-1-2008
PUISI-PUISI
Tumbal
Oleh : Dewi Fatimah
Inikah bela sungkawa
Rencana besar selalu saja menelan
Korban-korban
Tumbal sejarah dan peradaban
Apa pula tumbal perdamaian dan pluralitas
Tanpamu dunia menjadi jemu
Semua perempuan ingin menjadi
Ratu
Perdamaian haruskah sim salabim
Mulut-mulut bungkam
Otak diam
Tangan-tangan terikat
Pluralitas haruskah bla bla bla
Mana kebebasan
Mana toleransi
Mana penghormatan
: Bela sungkawa
Perempuan Penunggu Pantai
Oleh : Rohmi Astuti
Kalau matahari tak pernah ingkar janji
Kuingin jadi matahari
Sampai detik ini pun ku masih mematri
Asa itu dalam hati
Mungkin...
Ombak, pasir, karang di pantai ini
Sudah semakin bosan dengan kehadiranku
Tiap pagi dan petang
Buah hati kita pun
Tak pernah ragu menyertaiku
Berharap dialah orang pertama
Yang merasakan dekapan ayahnya
Jujur..
Perih itu ada
Tapi ku tetap harus tersenyum
Dan melanjutkan perjalanan ini
Walau tanpamu
Karna ku yakin waktu itu kan tiba
Kau hadir dalam sempurna
(Diilhami "Tragedi Levina I")
Tuhan
Oleh : Faiz al Hady
Kucari engkau
Di setiap sudut perenungan panjang
Yang menyatukan jiwaku dalam debu
Dan hablur biru
Tapi Engkau adalah satu
Di setiap mega dan pencarian
Engkau jauh dan samar
Tapi Kau sudi menyapaku
Mengajarkan hakikat keabadian
Walau jauh sungguh! Oleh waktu
Dan dinding berlapis memisahkan
Aku damai mengingat-MU
Oktober 2004
SAMPAI KAPAN AKU...
Oleh : Andarisa
Empatpuluh delapan jam berlalu
Aku berjalan di antara jarum jam
Melalui angka yang itu sebuah tanda
Mengusik mata yang melihatnya
Detaknya pun,..
Aku mencoba merambahi iramanya
Mencoba menari bersama
garis-garis waktu Berapa hari lagi harus kulalui
Setelah empatpuluh delapan jam berlalu
Untuk melepaskan diri dari
sorotan kenangan ini
sorotan dosa,
Bahkan seribu jam lagi pun
Belum sanggup, Masih
Panjatan, 31 Juli 07
Angie
Oleh : Muh Rio Nisafa
Angie,
Ceritakan padaku tentang kekuranganmu
Tentang rapuhnya jiwamu di suatu waktu
Tentang nafasmu yang terkadang memburu
Tentang runtuhnya istana pasir di Hatimu
Angie,
Jangan kau buat aku selalu merindu
Dengan tatap indah lentik matamu
Dengan senyum manis di ujung bibirmu
Dengan asa dan semangat di hari-harimu
Mungkin aku bukan yang pertama
yang coba merayu dirimu
Tutup saja kedua telingamu
dengan telapak tanganmu
Namun jangan pernah ingkari hatimu
Bahwasannya kaupun cinta/rindu aku
Ampenan, 18 Sep '00
SELAMAT DATANG
Oleh : Mukhosis Noor
Bulan datang
Dengan segenggam salam api perdamaian
Dengan segembol tawa kemerdekaan
Dengan secawan deru kecerahan
Dengan aku menyalakan lilin merah di tangan
Dengan mereka membawa bunga aneka warna
Dengan Engkau menertawakan kejahilan
Bulan datang tepat di titik nol dunia
Disini kuakhiri
Disini kumulai
Menghitung lafal kenestapaan
Membaca abjad kealpaan
Menulis jejak yang akan datang
Jogjakarta, 01 Januari 2007
PERPISAHAN
Oleh : Mujiyanto
Saat itu ku ingat dirimu
Kucium keningmu
Kubelai rambutmu
Kupeluk tubuhmu
Dan kuucapkan
Innalillahi...
SMS DARI PEMBACA
"Maaf, Cuma mau tanya. Kl mau dapetin buletin LONTAR dmn. Kl d UIN d Fakultas apa. Thanks”
(Huri - 081917772xxx)
"Assalam...Saya NURI siswi SMK 1 Panjatan. Sya b'minat gbng dlm bltn LONTAR gmn crnya?"
(Nuri - 081931711xxx)
BIODATA PENULIS LONTAR
EDISI 14/Th. II/2008
A. Legiyo, staf pengajar bidang studi Pendidikan Jasmani di SMP N 2 Pengasih. Penggiat seni sastra, terutama geguritan. Tinggal di Dlaban Sentolo.
Akhiriyati Sundari, perempuan yang biasa dipanggil "Ndari" ini sebenarnya tidak begitu produktif menulis. Tulisannya ada di "media sastra indie"; BEN! UGM Jogja, PAWON Solo, Hysteria UNDIP Semarang, dan tandabaca.com. Ia mencoba ber-sketsa di blog pribadinya; www.sketsajagad.blogspot.com.
Andarisa, penyair yang memiliki kesibukan luar biasa. Tetapi tetap saja kawan-kawan redaksi penasaran ingin kopi darat dengannya alias kenalan langsung. Kapan ya? katanya tinggal di Panjatan.
Dewi Fatimah, menurut pengamatan redaksi, sajak-sajaknya cukup 'subversif' meneriakkan gugatan atas berbagai ketimpangan. Lebih jauh bisa disimak di antologi Seorang Gadis, Sesobek Indonesia dan Antariksa Dada.
Faiz al-Hady, santri tulen asal nDondong Panjatan (yang penyair ?). Ia pun tak ingin kalah dengan kedua kakaknya yang kini meneruskan belajar dan bermukim di Makah - Saudi Arabia, karena disela-sela menorehkan syair, ia juga nyantri di sebuah Pondok Pesantren di Purworejo.
Mujiyanto, adalah pelajar SMK Muh 1 Moyudan. Beralamat di Banaran Pendoworejo Girimulyo.
Mukhosis Noor, penyair asal Banyumas ini sekarang jarang berkabar kepada kawan-kawan redaksi. Mungkin sedang sibuk kuliah (Jurusan Bahasa dan Sastra Arab) dan bergiat di Sanggar NUUN (UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta. Tapi sajaknya tetap menyapa pembaca. Kost di Ambarukmo Gg. Arjuna 197 A Jogja.
Rio Nisafa, pegawai negeri di PEMDA Kulonprogo. Penyanyi Rock yang "Rocker juga Manusia Penyair" ini bisa di-klik di www.rio-nisafa.blogspot.com.
Rohmi Astuti, alumni SMA 1 Wates dan FE Universitas Cokroaminoto. Perempuan pendidik di STM Ma'arif Wates ini adalah aktivis Ikatan Puteri-Puteri Nahdhatul Ulama (IPPNU) Kulonprogo. Sajak-sajaknya ada di SGSI. Tinggal di Pripih Temon.
SEPUTAR MENULIS SASTRA
Puisi Pamflet
Orde baru telah membuat jagad Indonesia kelam, penuh kekerasan, dan hegemoni. Lalu muncul suara keras di podium-podium. Demikian juga dunia sastra. Coba simak puisi penyair besar kita:
Inilah sajakku//Pamflet masa darurat//Apakah artinya kesenian//Bila terpisah dari derita lingkungan//Apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan//
Demikian kredo pamflet Rendra yang ditulisnya pada 1974. itu adalah pamflet. Tapi bukan berarti bahwa pamflet itu tidak bisa menjadi puisi. Bisa saja. Tapi dorongannya adalah dorongan kebutuhan menulis pamflet. Dan dalam pamflet itu tidak menulis agitasi. Penyair pamflet menulis dengan harapan mendorong orang jangan meninggalkan standar atas hak kolektif. Sasarannya jelas. Bukan ideologi politik, kecuali demokrasi, hak asasi, dan keadilan sosial. Bagi Rendra, kalau diundang membuat massa oposisi, dia tidak akan ikut. Ia takut kehilangan kontemplasi. Padahal massa yang sampai sekarang dikenal oleh kebanyakan "orang politik" adalah selalu organisasi massa yang kurang kontemplasi. Jadi, begitu masuk organisasi massa, Rendra mengaku mengalami dehumanisasi. Penyeragaman . Maka Rendra pun menempati posisi sebagai sebuah ikon perlawanan kelas bawah.
Ia pun terus bergerak dengan kesadaran politik baru. Menurut Rendra, pemerintah harus berterima kasih kepada penyair-penyair macam dia, yang menunjukkan kekurangan pemerintah yang harus diperbaiki. Orang semacam Rendra akan selalu dan selalu berhadapan dengan penguasa yang dianggapnya salah, kata HB Jassin.
Lain Rendra lain Wiji Thukul. Puisi-puisi Thukul lahir dari kesadaran menjadikan seni sebagai media perjuangan terhadap kesewenang-wenangan. Urusan kepenyairan sesungguhnya berhadapan dengan kenyataan, bukan khayalan yang ditumpahkan melalui ketrampilan karang-mengarang tulisan atau merangkai-rangkai kata indah serupa kata-kata mutiara. Saini jujur menyatakan urusan itu dalam "Kepada Seorang Penyair Muda". Bagi Saini, puisi menjadi berharga karena mutu bahasa dan kedalaman maknanya, dan jika sekadar menyuarakan keprihatinan sosial dengan meradang, menghujat, dan melolongkan protes pada ketidakadilan, bukanlah juru selamat atau jaminan mutu puisi, bukan pula tempat berlindung dalih-dalih bagi puisi buruk yang muluk, tinggi hati, dan ngotot diganjar sebagai karya agung yang menggelorakan kenyataan masyarakat dan semangat zamannya.
(A. Samsul Ma'arif, Redaksi LONTAR)
KATA-KATA MUTIARA
“Kegilaan, mungkin mengungkapkan kebenaran, namun bila tanpa disiplin kegilaan hanya dapat menghasilkan ketidakseimbangan dan kekurangharmonisan dengan masyarakat”. (Paul Stange).
No comments:
Post a Comment