Tuesday, February 19, 2008

LONTAR 15

BILIK REDAKSI

Salam Sastra !

Kami mencoba menangkap cuaca. Sesungguhnya cerita apa yang hendak dikisahkan oleh cuaca yang akhir-akhir ini banyak kalangan menyebutnya "tak ramah"? Benarkah cuaca memiliki keramahan dan ketidakramahan? Lantas bagaimana bentuk cuaca yang ramah dan cuaca yang tidak ramah itu?

Pembaca LONTAR yang budiman, beberapa saat lalu kami menyempatkan berkunjung ke pantai Glagah. Angin kencang meniupkan dingin dan gigil ke tubuh kami. Tapi tidak sampai mengantar ombak menjilati kaki-kaki kami atau menghempaskan tubuh kami meski kami begitu dekat dengan garisnya. Kami tak menangkap ramalan cuaca apa-apa. Atau kami saja yang tidak memiliki kemampuan ke sana? Selanjutnya, cuaca yang alamnya coba kami dekati dengan lanskap pantai dan laut itu bagi kami menjadi suasana tersendiri yang kami tak ingin menyebutnya "ramah atau tak ramah". Bagi kami, alam beserta cuacanya adalah sahabat. Yang tak jemu mengingatkan bagaimana kami musti berbagi, menghargai, dan menyayangi semesta. Rasa-rasanya setelah bertemu laut, kami jadi lupa akan menceritakan apa...

Selamat Membaca...




BYAR

Gemuyu

Maafkan. Ini adalah catatan yang terlambat Tapi bagaimanapun harus saya tuliskan. Sebab, semasa hidupnya ia selalu membuat wong cilik gemuyu –meski ia bukanlah pelawak. Ya, Ki Hadi Sugito, dalang kebanggaan warga Kulonprogo yang wafat Januari lalu itu, kiranya tiada duanya dalam hal membuat penonton “gemuyu” –kata ini kurang tepat benar jika disepadankan dengan tertawa. Tertawa hanyalah salah satu aspek saja dari gemuyu. Dan Pak Gito mampu membuat orang tertawa justru karena ia tidak berniat menjadi pelawak. Lalu, apa rahasianya?

Tampaknya lagi-lagi ini soal jarak. Ketika mendalang, Pak Gito tak membuat jarak: baik dengan penonton maupun kru (wiyogo-nya). Penonton dan kru, yang notabene “orang luar cerita”, ia anggap sebagai “satu kesatuan” dari cerita yang ia bangun. Alhasil, lakon yang disuguhkan pun menjadi mengalir lancar dan enak diterima audiens. Dialog antar tokoh wayang pun bisa berloncatan. Kesana-kemari (seakan) tanpa merusak pakem. Seorang Abimanyu bisa pekoleh bersinggungan dengan kentut. Apalagi Punakawan, bebas bicara dari A sampai Z. Padahal, dibanding dalang segenerasinya, Pak Gito lebih “carangan”. Meski jika dibanding dalang masa kini semacam Ki Enthus Susmono dan Warseno Slank, Pak Gito lebih konservatif. Carangan, bagi Pak Gito, kiranya lebih pada “penceritaan”, dan bukan tampilan fisik.

Tentu Pak Gito bukan satu-satunya pemilik teknik ini. Di bidang lain, misalnya, kita pernah mengenal obrolan Pak Besut di RRI. Di dunia tulis menulis, kita ingat kolom Umar Kayam dengan ikonnya yang sempat populer: Pak Ageng, Mister Rigen, dll. Di dunia entertainmen kontemporer, banyak yang punya teknik tak hendak berjarak dengan penonton. Talkshow “empat mata” dari Thukul, juga demikian. Semua itu intinya ingin megajak “orang luar” untuk masuk menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita yang disuguhkan.

Tapi, hemat saya, Pak Gito lebih berhasil membawa masuk orang luar itu daripada contoh pencerita (penghibur) lainnya. Apa karena ia sukses memangkas jarak tak hanya tatkala tampil di panggung, namun juga dalam kehidupan sehari-hari? Atau karena wayang memang media yang paling pas digunakan untuk membuat orang gemuyu? Entahlah. Yang jelas dengan meninggalnya Pak Gito kita kian kehilangan stok orang yang bisa mengajak wong cilik gemuyu, tertawa, senang dan bahagia. Yang kita saksikan kini justru banyak orang yang senang mengajak untuk menertawakan kesusahan orang. Seperti kata Thukul: SMS, senang melihat orang lain susah.***

MARWANTO (www.markbyar.blogspot.com)



ADA APA DENGAN LA

Ketika Sastra mampu Mencegah Timbulnya Sektarian

Sabtu, 9 Februari 2008, bertempat di area gedung Kesenian Wates, Komunitas LA mengadakan Tadarus Puisi (TP) ke-14 yang sempat absen beberapa saat. Hadir dalam kesempatan itu 15 orang dengan pembacaan puisi masing-masing. Sebuah diskusi kecil terungkap ketika itu. Bahwa seusai penyelenggaraan Temu Sastra 3 Kota beberapa saat lalu yang diselenggarakan oleh LA dan Sangsisaku, ternyata sastra mampu merangkum semua lini dan hapus sekat. Tidak ada sektarian di antara para sastrawan karena sastra memang bersifat universal dan tidak berbau sara.

Dalam kesempatan TP ini pula, louncuhing LONTAR edisi 14 dan buletin Prasasti yang pada edisi ini tampil dengan format baru. Ke depan, Prasasti akan tetap konsisten tampil dengan sorot-sorot tajam terhadap fenomena sosial remaja seperti diungkap PU Prasasti. (Sukardi Cimeng)

Agenda Pentas Budaya Sastra Kulonprogo 2008

Kamis, 14 Februari 2008 DisBudPar mengundang LA dan komunitas sastra dan teater lain se-Kulonprogo untuk hadir dalam rapat mengagendakan Pentas Budaya Sastra-Teater 2008. Setelah sukses dengan pementasan akhir tahun di 2007 lalu, DisBudPar akan menyelenggarakan lagi pementasan budaya sastra dan teater yang akan dimulai pada bulan April. Mengambil tempat di panggung terbuka di Alun-alun Wates, pentas ini akan diselenggarakan selama 6 kali pertunjukan dalam setahun. Diikuti oleh komunitas-komunitas sastra dan teater di Kulonprogo. (Zur EA)



CERPEN

TITIK BALIK

Cerpen Z. Latif

Kedua orang itu berjalan berdampingan. Tinggi keduanya tidak jauh berbeda. Mungkin selisih setengah senti saja.Yang satu rambutnya cepak memakai baju kaos warna krem. Dengan baju itu terlihat otot-ototnya yang kencang. Langkahnya tegak dan mantap. Satunya lagi berambut sedikit gondrong berkucir sebahu dengan jaket kulit yang longgar. Memakai sarung warna merah hati bergaris kotak putih. Melihat warnanya, sarung itu seperti belum lama keluar dari toko. Keduanya melangkah ke arah sebuah lincak dan duduk di sana.

”Met,” si Gondrong melanjutkan pembicaraan setelah keduanya terdiam beberapa saat. ”Aku betul-betul heran sama dia.” Dia berhenti sebentar untuk menghisap rokoknya yang masih seperempat batang. ”Aku berhubungan dengan dia sudah lama tapi kenapa dia mengajukan syarat itu sekarang?”. Sunyi. Slamet belum berkomentar, sepertinya dia ingin temannya meneruskan cerita.

”Kau tahu, Met?” Si gondrong bertanya, seperti kepada dirinya sendiri karena jawaban pertanyaan itu ada pada cerita selanjutnya. ”Waktu aku bilang akan melamarnya, dia tanya padaku, Mas Toni di rumah sholat nggak? Tentu saja aku serba salah menjawabnya. Kalau aku katakan sholat, kapan aku mengerjakannya? Lalu kalau aku katakan tidak, yaa... malu dong sama dia. Aku akhirnya hanya diam. Sepertinya dia tahu kalau aku nggak pernah sholat sama sekali.”

”Met”

”Ya. Kenapa?” Slamet menegakkan kepalanya.

”Kamu dengar nggak ceritaku?” Si gondrong bernama Toni itu bertanya menyelidik, khawatir ceritanya hanya didengar oleh angin malam dan jengkerik di kebun sebelah. ”Ya dengar dong. Masak nggak dengar. Aku ini belum tuli dan semoga sampai tua telingaku masih sepeka sekarang. Terus gimana?” Sahut Slamet menegaskan perhatiannya.

”Aku sebenarnya agak khawatir kalau ceritaku ini hanya didengar burung hantu”, lanjut Toni tanpa ekspresi.

”Apa kau kira aku ini hantu? Aku memang punya burung tetapi aku bukan hantu. Enak saja!” Sela Slamet dengan suara sedikit mengeras. Wajahnya lebih ditegakkan. Matanya memandang Toni untuk memberi perhatian lebih.

Sunyi lagi. Asap rokok dari hisapan terakhir mengepul di udara. Toni melempar puntungnya ke sela-sela kerikil halaman.

”Kemudian dia tanya begini Met, kalau baca al-Qur’an Mas Toni bisa nggak? Tentu saja pertanyaan ini juga seperti pukulan telak bagiku. Boro-boro baca, hurufnya saja aku nggak tahu namanya. Hurufnya kriting semua, Man” lanjut Toni mengutip kata-kata dalam sebuah film Dedy Mizwar. Sunyi lagi. Terdengar derit pohon bambu tertiup angin malam.

”Kenapa kau nggak bilang bisa? Dia ’kan nggak akan mengujimu, to? Kecuali kalau dia memegang al-Qur’an dan menyorongkannya padamu”, tanya Slamet. Pertanyaan yang diikuti kalimat sedikit ketus. Toni tidak menunjukkan reaksi tersinggung atau jengkel. Ekspresinya datar. Dia tahu Slamet bukannya tidak peduli. Komunikasi bagi keduanya tidak semata-mata kata-kata tapi lebih kepada sikap dan perilaku.

”Ya nggak bisa begitu. Nanti kalau dia betul jadi istriku dan aku ketahuan nggak bisa baca Al-Qur’an, terus bagaimana?” bela Toni.

”Ya nggak apa-apa ’kan? Toh dia sudah jadi istrimu,” balas Slamet.

”Ah, nggak enak rasanya menipu diri sendiri. Aku jawab saja, nggak bisa. Lalu dia bilang begini, ’Mas, suami itu adalah imam keluarga. Kalau imamnya nggak bisa baca Al-Qur’an, terus sholatnya bagaimana, sedangkan sholat harus pakai bacaan Al-Qur’an?’ Dia tanya begitu. Mendengar itu aku nggak bisa berkomentar. Kami kemudiam terdiam beberapa saat. Rasanya seperti beberapa abad. Aku nggak tahu mesti bicara apa. Bibirku lengket seperti kena lem alteco.

”Jangan berlebihan begitu. Memangnya kamu doyan lem?” Slamet menyela supaya Toni tidak terlalu larut dalam perasaannya.

”Entahlah, Met.” Lirih Toni berucap. Ucapan yang sebenarnya menyikapi suasana tetapi terdengar seperti menjawab pertanyaan, padahal dia tidak pernah makan lem sama sekali.

Toni melanjutkan, ”Entah berapa lama kami terdiam. Setelah aku merasa pembicaraan selanjutnya sudah tidak nyaman lagi, aku pun pamit pulang. Kau perlu tahu, Met. Sepanjang perjalanan pulang itu aku menangis. Untung saja waktu itu malam hari, Malam Minggu, jadi aku tidak terlalu malu pada orang-orang di jalan.”

”Laki-laki nggak boleh menangis”, Ucap Slamet menirukan orang tua yang menenangkan anak laki-lakinya yang menangis. Toni tidak berkomentar. Dia malah melanjutkan ceritanya.

”Sejak itu aku ingin sekali belajar baca Al-Qur’an. Aku menyesal, kenapa aku dulu tidak sekolah di Madrasah Tsanawiyah saja kemudian ke Madrasah Aliyah supaya sekarang aku sudah lancar baca Al-Qur’an.”

”Belajar Al-Qur’an kan bisa di rumah. Ngaji ke Kyai Munif.” Bantah Slamet.

”Persoalannya bukan itu, Met. Aku malu kalau belajar bareng anak-anak kecil. Aku takut diketawain, orang sebesar ini kok baru belajar Iqra’.” Toni membela diri.

”Ya kalau malu terus, kapan bisanya? Malu memang perlu, karena itu yang membuat dirimu jelas laki-laki atau perempuan. Tetapi kalau tidak pada tempatnya, atau bertempat di tempat lain apalagi di kepala, malu justru akan merugikan diri sendiri” komentar Slamet.

”Apa maksudmu? Malu itu nggak ada hubungannya dengan jenis kelamin”, sahut Toni.

”Ada temanku yang lebih tua dari kamu,” Slamet berubah lebih serius. Rupanya dia khawatir kalau komentar-komentar yang tidak jelas akan membuat kawannya ini marah.

”Dia sudah punya dua anak dan sekarang baru belajar Iqra’. Bayangkan, sudah punya dua anak. Tapi kalau kamu ingin belajar sekarang, janganlah karena kau ingin melamar perempuan. Karena jika itu sebabnya, maka ketika lamaranmu ditolak kau juga berhenti belajar.” Lanjut Slamet. Dalam hatinya dia tertawa ketika mengucapkan petuahnya. Dia merasa seperti guru spiritual. Keduanya terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sampai rasa kantuk menyerang dan keduanya sepakat untuk terlelap.

Kulonprogo, Juni 2007



GEGURITAN

GEGURITAN

Bongso Tempe
(Kagem Mas Presiden)

Oleh : A. Samsul Ma’arif

Bung Karno sesorah
Ojo mung dadi bangsa tempe
murahan
Cekereme.
Mulane
Diagitasi terus
Gempur Nekolim
Inggris dilinggis
Jepang ditendang
Amerika disetrika.
Ning saiki cingak
Jaman wis Presiden ganti bola-bali
Ananging Rakyat malah san saya rekasa
Di linggis
Di tendang
Di setrika
Wa akhiruhu
Tan ana kumecap
Mung:
Gempur
L a w an

Somenggalan, 23 Januari 2008




PUISI

Gerimis di Bulan Maret

Oleh : Andjar

Lancip jarum-jarum hujan, menandai jejalan cemara jarang

Menghantar langkahku di kelokan itu

Di situ kau berdiam;

Membuka korden pagi di musim-musim tropis

Mengemasi mimpi-mimpi di rantau

Kuyup jiwaku mengenalmu

Ada sedu katamu di gerimis itu

Kukenang lagi malam, wajahmu hadapku berpendar lelampu jalan

Sederap jarak mendekat

Sepertinya kita pernah bertemu; kau tak asing bagiku

Lama bermukim-berumah di jiwaku,

Menjadi degup hari-hari

Jum’at, 16 Maret 2007

Karang Malang, Yogyakarta



tentang-mu

oleh : fathin chamama

biarkan selalu melagu

jagakan jiwa menadakan-mu

tentang-mu adalah bertanya

dan jawab adalah engkau

karena engkau adalah cinta

meski dari-mu adalah misteri

diri-mu lah sebenar sejati

pada-mu…….

seluruh alamlah menunduk

maha benar engkau

dengan segala kehendak-mu

Kulon progo, August 31 2005



Namaku Sarjana

Oleh : Pukon

ibuku seorang guru sekolah dasar

bapakku memeras keringat guna mengairi sawah

padahal kakekku seorang kyai,

lalu namaku sarjana

orang-orang mengatakan kami sedarah

ada yang mengatakan kami tak setumpah

karena kami tidak jatuh dalam satu wadah,

lalu, namaku sarjana?

Ibuku berharap aku jadi pintar

bapakku sesekali menyuruhku kerja di sawah

hidup memang susah

kakekku punya pesan, jadilah anak soleh,

memang namaku sarjana

namaku sarjana

cita-cita selalu kubawa

menjadi pintar, pekerja keras, dan

tau mana yang baik, mana yang buruk

jadi, ibuku, bapakku, juga kakekku,

adalah bagian dari namaku

Sebuah Rongga, November 2007



LURUH

Oleh : Yani

Tak lagi tergubahkan apa yang kau ingini

Tiada lagi keinginankah hatimu untuk menyudahi

Tak terpikirkan olehmu kau telah menyakiti

Perasaan luka hatiku yang tak lagi kau temui

Yang aku rindu kini tak lagi di sisi

Yang aku puja tak lagi ingin mengerti

Salahkah jika aku memberimu suatu uji

Relakah kau andai kuterima yang tak ku mimpi

Kau relakan aku lepas tanpa suatu arti

Kau restui masa mengambilku dari sisimu

Adakah kesungguhan kasihmu menyertaiku

Adakah kesungguhan cintamu menemaniku

Kini tak lagi ujiku terlampaui

Kau terlalu ikhlas bersama mimpi

Tiada kesungguhan dirimu yang tak kuingini

Karena kini kau bermimpi beda dengan yang kumimpi

Mungkinkah dulu kau harapkan hanya suatu khayalan

Dan sehingga kau telah tepikan kini

Seperti apakah kau hendak samai

Ciptakan hatiku yang kini telah kau lukai




Cinta

Oleh : Verlienda Yunita

Ketika malam datang

Hati ini jadi tak karuan

Foto dan wajahmu selalu kupandangi

Dengan penuh rindu dan harapan

Kutahu dan selalu kupikirkan

Kalau penantian itu sangat membosankan

Namun ini sudah aku putuskan

Karena tidak mudah untuk menanti seseorang

Yang akan kembali dengan kepastian

Kucoba dan selalu kurenungkan

Ternyata cintaku ini penuh gangguan

Walaupun kutahu ini memang sebuah rintangan

Yang harus dihadapi agar tak jadi penghalang

Seandainya semua ini hanya tipuan

Maka cepatlah aku dibangunkan

Agar tidak larut dalam sebuah hayalan

Menghayalkan cinta yang tak karuan

Cintaku tak pernah ada penyesalan

Cintaku tak pernah ada perkenalan

Cintaku berawal dari sebuah pertengkaran

Cintaku adalah kedamaian

Cintaku adalah keberuntungan

Karena cintaku adalah dunia pisang??

Yang hijau dan kuning melambangkan kesuburan...



Assalamualaikum

Oleh : Hendri Sulistya

Inilah salamku

yang pertama ku ucap

sebagai tanda perkenalanku

maka perkenankanlah aku

masuk dalam kehidupanmu

tuk mengukir waktu



Zamrud

; EA

Oleh : Chyto

Kata yang kubangun dari gelisah

Saat hujan dinginkan tulang-tulangku hingga kaku

: Teringat percumbuan kita tadi siang

Aroma terapi tubuhmu gairahkan resahku

Selebihnya hanya itu..

Hujan tak habis-habis, 130108



SMS DARI PEMBACA

”Tadi aq buka website lontar. Bagus..” (Lathif MP - 0817274xxx)

”Mbak aq mo ngsh saran bwt Lontar, gmn klo 1 saat nnt semua puisi dLontar tu dibukukn trs klo laku y dijual. Lmyn. Bsa mmbri knngan bwt penulisan KP”

(Marwi - 0817467xxx)



BACA BUKU

Hidup adalah Perjuangan?

Judul : Diary Hitam Putih

Penulis : Restu R.A.

Penerbit : Matapena (Novel Pop Pesantren), Yogyakarta

Cetakan : I, Mei 2007

Tebal : vi + 152 halaman, 11 x 17 cm

Warna kehidupan manusia berbeda-beda, begitu juga kombinasi dan detil perubahannya. Kata Inayat Khan—spiritualis asal India, semua manusia mengalami evolusi terus menerus untuk menemukan jati dirinya, untuk mengetahui dan mengembalikan siapakah sebenarnya dirinya. Karena itu Tuhan menghargai seseorang yang menyadari proses tersebut. Evolusi dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan.

Novel sederhana ini mengisahkan pencarian jati diri seorang remaja, Ryan. Ia memiliki komunitas pecandu minuman keras yang menjadi bagian dari masa silamnya. Tapi sang ayah berhasil mengeluarkan Ryan dari hal buruk itu dengan mengirimnya ke pesantren, yang membuka kisah novel ini.

Menjalani kehidupan yang sama sekali baru tentu tidak mudah, apalagi kebebasan-kebebasan masa silam telah ’dirampas’ dan diganti aktivitas yang sarat aturan, mulai dari bangun tidur sampai jam berangkat tidur pun harus ditepati, lengkap dengan ritual pendekatan kepada Tuhan yang tidak mengenal waktu berhenti. Semula Ryan merasa asing dan tertekan, tetapi berkat bimbingan Kyai dan para santri senior yang ulet, sedikit demi sedikit Ryan mengalami perkembangan positif. Tidak berarti tanpa tantangan, Ryan sering mengalami ujian terberat, yakni saat-saat datang godaan untuk kembali mengonsumsi minuman haram. Ironisnya, ada oknum seniornya yang juga bernasib sama dan menggodanya untuk menenggak minuman itu. Dia harus berjuang keras. Ryan kerap kewalahan mengendalikan tubuhnya yang kecanduan. Ternyata tidak mudah menetralkan pengaruh tersebut jika rangsangan untuk minum itu datang.

Kisah diakhiri ketika memasuki bulan suci Ramadhan di pesantren. Ryan sudah lumayan memiliki kesadaran untuk konsisten membunuh habis kebiasaan masa lalunya. Niatan suci Ryan untuk mengisi lembaran baru yang putih bersih dari rantai hawa nafsu dipersaksikan kepada Tuhannya dalam sebuah munajat doa.

Yang khas dari novel ini adalah menyajikan karya puisi pendek setiap awal bagian. Sedangkan bagian ke satu sebagai pembuka diformat dengan puisi panjang. Begitu juga bagian ke-16 sebagai pamungkas dihidangkan beberapa puisi doa.

Di dalam novel ini, seperti mengandung beberapa teka-teki karena tidak diceritakan secara tegas apa yang sebenarnya yang terjadi dalam kehidupan Ryan. Apakah hanya hitamnya Ryan dengan minuman kerasnya? Tak ada jawaban mengapa Ryan sampai terjerumus ke lembah hitam. Juga tidak ada deskripsi bagaimana latar belakang santri-santri di pesantren tersebut berikut visi misi pesantren yang ditempati.

Sebagai pelengkap pustaka, buku ini layak dibaca. Betapa gejolak anak muda tetap butuh pengarahan dan sentuhan kasih sayang dari sekelilingnya. Tak mudah mengganti lembar hitam menuju putih. Tuhan akan menghargai setiap perjuangan!

(Isnani Nurhalimah, alumnus UIN, mengajar di MAN 2 Wates)



BIODATA PENULIS LONTAR

Andjar, nama panggilan dari A.Ginandjar Wiludjeng. Lelaki kelahiran Banyumas, 11 Juni 1983. Mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), dan ASDRAFI (Akademi Seni Drama Film Indonesia). Dipercaya sebagai Ketua Teater Dokumen UWMY (Pendopo Mangkubumen) 2005-2007. Puisinya terkumpul di Kumpulan sajak; "Gamang, Ragu, Resah" (cetak terbatas) dan "Atjeh, Sebuah Kesaksian Penyair". Aktif ngamen puisi dari trotoar, bus, rumah ke rumah, sambil jualan antologi sajak. Kost di nDalem Mangkubumen Yogyakarta.

A. Samsul Ma’arif staf pengajar di MTs Ma’arif Dondong Panjatan. Kini, sibuk kuliah lagi di Bantul sambil berjualan buku-buku. Tinggal di Galur.

Chyto, perempuan energik yang tetap rendah hati alumnus UIN Sunan Kalijaga. Dengan tangan dinginnya, ia masih berkesibukan memimpin LONTAR. Tinggal di Plumbon Temon.

Fathin Chamama, penyair yang sering mengeluh kalau diminta biodata siapa jati dirinya. Sulit, katanya. Yang pasti perempuan penyair satu ini adalah alumnus Statistik UGM dan bergiat aktif di dunia pendidikan dan pergerakan perempuan.

Hendri Sulistya, lahir di Kulonprogo, 15-05-’85. Nyantri di PP. An-Nadwah Bendungan. Puisinya pernah dimuat majalah HORISON sewaktu duduk di bangku SMA. Bersama kawan-kawannya, pernah menerbitkan buletin Kettappel (Kita Peduli Pelajar) yang dipelopori ISPGM (Ikatan Santri Peduli Generasi Muda) di mana ia sebagai Ketuanya. Tinggal di Kauman Bendungan.

Pukon, merupakan nama lain dari Osephe H. W. Mahasiswa Sastra Inggris Sanata Dharma Yogyakarta. Kini tinggal menanti detik-detik meraih Sarjana (seperti judul puisinya, hehe..). Tinggal di Yogyakarta.

Verlienda Yunita, alumni SMK Muh. Gadingan Wates. Sekarang dia jarang berkabar kepada kawan-kawan redaksi. Tapi puisinya masih tertinggal di meja redaksi.

Yani, perempuan kelahiran Kulonprogo, 12 Februari 1981. Alumni MAN Wates 2. Tinggal di Siluwok Temon.

Z. Lathif, cerpenis yang penyair atau penyair yang cerpenis? Dua-duanya memang melekat pada sang lay-outer LONTAR ini. Tinggal di Kauman Bendungan.



KATA-KATA MUTIARA

Hati orang tolol ada di lidah sedang lidah orang bijak ada di hati.

(mahfudzat)

Friday, February 15, 2008

LONTAR 14

BILIK REDAKSI

Salam Sastra !

Pernahkah Anda bertanya, mengapa wajah sosial di negeri ini terlihat berderap mencoba menjangkau pergaulan global dengan mengikuti (bukan hanya mengambil saja) budaya yang senyatanya tidak berakar dari tradisi bangsa ini? Kami tidak begitu tahu apakah gejala tersebut sudah tampak atau belum, merasuki wilayah sekitar kita yang notabene bukan "wilayah metropolis". Terlepas dari oke dan tidak oke budaya itu ada.

Pecinta LONTAR yang budiman, salah satu dari contohnya adalah Kami menyebutnya "rekayasa sosial", seperti budaya "merayakan Hari Valentine/Kasih Sayang". Sebegitu perlunyakah sebuah kasih sayang "dirayakan?" Atas nama apa? Kedengarannya memang konyol. Pernahkah pula Anda bertanya, mengapa musti perlu pemakaian 'bendera' warna pink? Apakah cinta dus kasih sayang itu hanya memiliki satu macam warna saja; pink? Mengapa kalau hanya satu warna, warna pink yang dipilih? Tidak hijau, kuning, ungu atau hitam misalnya? Ah, rasa-rasanya kita kelewat lama berkenalan dengan warna, dengan bendera. Dan kita kelewat lama pula dibudayakan untuk pintar berekayasa. Tak heran jika banyak "rekayasa sosial" lain selain budaya Valentine yang "direkayasa pula" jatuh di bulan Februari ini. Salam Sayang!

Selamat Membaca...

BYAR

Dulu saya sering berpikiran (mungkin ini sebentuk kecengengan) begini: dua warna yang sama ketika digabung menjadi satu tak kan menimbulkan warna lain. Misal: warna putih dibaurkan dengan putih, hasilnya tentu juga putih. Sementara dua warna yang berbeda, jika dicampur, akan menghasilkan warna yang sama sekali lain: warna biru dan kuning, kalau kita oplos maka hasilnya hijau. Menurut guru gambar saya, fenomena oplos warna ini tak hanya berlaku di dunia lukis, tapi juga pada kehidupan sehari-hari.

Awalnya, mungkin karena kecengengan pula, saya memercayai "hukum" ini. Namun kini, seiring bertubi-tubinya peristiwa yang datang menghunjam tak sesuai kaidah oplosan warna tersebut, saya berani berkata non-sens pada apa yang dikatakan guru gambar saya. "Ah teori", kata sepenggal iklan yang dulu sempat kondang. Persoalannya tentu tak terletak pada "menerima" atau "menolak" hukum tersebut. Tapi, mengapa hal demikian bisa terjadi? Konon, Romeo dan Juliet -juga kisah asmara lain yang menggetarkan-- berangkat dari rasa (warna) yang sama: cinta. Namun, alih-alih mereka bisa membangun mahligai, justru yang mereka temui adalah akhir yang tragis? Pada kehidupan kenegaraan: tak ada satu partai politik pun yang punya asas dan landasan perjuangan bersifat "nista", namun mengapa pentas politik selalu tak jauh dari main kayu dan praktik dagang sapi? Dan contoh yang sulit kita tampik: sejumlah aliran keagamaan sama-sama ingin mempergelarkan tatanan kehidupan berdasar firman Tuhan, tapi mengapa yang terjadi adalah saling menghunus pedang?

Dalam koteks ini, saya tak hendak memberi argumentasi: bahwa gagalnya mereka membaurkan warna yang sama karena mereka baru berangkat pada tataran konsep (akan warna) yang sama, tapi miskin bahkan nol dalam praktik. Agaknya, radikalisme logika mesti kita arahkan pada: bahwa diantara mereka yang hendak "menyatu" membawa warna yang sama tadi terbentang jarak. Dan jarak adalah "warna" itu sendiri. Perjuangan menempuh jarak adalah pergulatan merangkai warna kehidupan. Semakin jauh dan intens seseorang menempuh, mengolah dan menggauli jarak (di sini jarak tidak mesti diukur dengan parameter fisik seperti kilometer dsb), kian berwarna pula kehidupannya. Dan ketika kehidupan seseorang makin berwarna, bukan tidak mungkin ia bisa mencapai pada kesimpulan: bahwa sejatinya warna-warni itu hanya pantulan dari Yang Maha Cahaya. Daun itu sejatinya tak berwarna hijau, ia hanya memantulkan Cahaya Hijaunya Tuhan. Sementara Cahaya Kuning Tuhan, dipantulkanlah oleh kenanga. Dan seterusnya. Demikian pesan orang bijak. Pertanyaannya: warna buram kehidupan ini pantulan dari mana? Ya, bagi insan yang taat, ia tak berjarak dengan Tuhan. Tapi bagi yang ingkar, jarak-jarak yang mereka ciptakan membuat warna kehidupan terasa berat untuk dibelai dengan kasih sayang.***

MARWANTO (www.markbyar.blogspot.com)

ADA APA DENGAN LA

Temu Sastra Tiga Kota di Gedung PCNU Kulonprogo

Minggu, 13 Januari 2008 menjadi hari besar pertama bagi sejarah sastra di Kulonprogo. Meskipun mengambil tempat yang "terbatas" di sebuah ruangan gedung PCNU Kulonprogo, acara yang bertajuk "Temu Sastra 3 Kota (Kulonprogo, Purworejo, Yogyakarta)" berlangsung sangat meriah-meruah. Komunitas sastra Lumbung Aksara dan Sangsisaku adalah dua komunitas sastra penggagas acara tersebut. Perhelatan besar ini diikuti oleh sastrawan dari tiga kota dengan masing-masing membawakan karya sastra mereka. Hadir dalam acara tersebut penyair senior antara lain Iman Budhi Santosa, Evi Idawati, Koh Hwat, Ki Soegiyono MS, Soekoso DM, Atas Danusubroto dan penyair-panyair muda seperti Joni Ariadinata, Raudal Tanjung Banua, Kristina Kusuma, Aguk Irawan MN, Mahwi Air Tawar, dan lain-lain. Hadir pula KaDisbudpar Kulonprogo: Bambang Pidekso. Acara ini diharapkan menjadi langkah awal untuk membangun jaringan sastra antar daerah, kata Syamsul yang menjadi moderator dalam diskusi Membangun jaringan sastra.

(Chito )

MEREKA BICARA TENTANG TEMU SASTRA 3 KOTA (TS3K

“…ini merupakan fenomena kesastraan yang baik…berjalan dengan baik dan sukses. Setidaknya ia bisa menjadi ajang silaturahmi antar sastrawan. Di sini akan lahir kemungkinan baru, sebuah energi baru dan ruang kreatif baru yang lebih dahsyat. Sebagai pembuka, acara semacam ini patut diacungi jempol...sebuah mediasi yang kita harap akan selalu ada dan terus ada di tengah kondisi kesusastraan yang semrawut. Acara sastra tak hanya milik orang "kota"...”

(Indrian Koto, Cerpenis)

"Saya mencintai sastra Jawa karena memiliki gereget rasa. Selain itu, ada tata krama yang mencerminkan kebudayaan Jawa”

(Koh Hwatt, Penyair)

"Selamat ya, acaranya keren”

(Hasta Indriyana, penyair-penulis)

"Saya senang sekali diundang di acara ini. Orangnya ramah-ramah. Kapan ada lagi saya diundang ya?”

(Mutia Sukma, penyair muda Jogja)

CERPEN

Gerimis di Stasiun Kereta dan Sepotong Sajak Cinta

Cerpen Akhiriyati Sundari

Musim hujan bertandang. Tanpa pesan. Dan, aku tak pernah siap. Musim hujan seperti musuh laten di dadaku. Aku mengingatnya. Seperti tahun yang sudah-sudah.

Hujan selalu membawa banyak hal menyengat. Selalu ada perasaan hangat. Selalu ada kenangan. Selalu ada kecemasan. Selalu ada kesedihan. Juga nyaris selalu ada nuansa romantis yang menggenang. Selalu.

Aku duduk tergugu di peron stasiun. Kereta Senja sebentar lagi tiba. Tetapi mendung yang bergulung-gulung di atas langit kota kecil ini, telah lebih dulu tiba. Hawa dingin berkesiur rendah menembus telapak kakiku yang telanjang tak bersepatu. Lampu-lampu stasiun berdenyar suram. Kurapatkan jaket dan mengangkat kedua lutut rapat, bersidekap. Aku mencoba menata batin yang gamang.

Pedagang asongan tampak tak putus asa mengusikku, juga orang-orang di sekitarku, menjajakan dagangannya meski tak satu pun yang membeli. Air mineral, soda gembira, tissue, obat masuk angin, minyak kayu putih, dan gula-gula. Beberapa tukang becak dan tukang ojek terlihat bermain kartu di pojok stasiun. Menunggu giliran mengantar penumpang kereta yang tiba. Menuju alamat kedatangan atau kepulangan, entah ke mana. Mereka seolah asing dengan kata selamat datang, selamat jalan atau selamat tinggal.

Kurang dari 500 meter arah utara stasiun ini, tampak Alun-Alun kota. Riuh oleh pertandingan sepak bola yang mendekati usai. Aku menghitung waktu sejak menit pertama pertandingan digelar, dan sekarang sudah menit ke delapan puluh lima lebih sekian detik (artinya sudah satu jam lebih aku menantimu di sini dan keretamu belum juga datang). Aku tidak tahu adakah gol yang tercetak di sana. Aku hanya sempat melihat dua kartu kuning diacungkan ke udara oleh wasit. Ah, dulu kau juga menjadi bagian seperti mereka di tempat itu. Mengenakan kaos putih bernomor punggung lima, kesayanganmu.

Gerimis mulai turun perlahan. Para penumpang dan pengantar (sebagian mungkin penjemput, sepertiku) menepi di dekat pelimbahan. Kursi tunggu yang tak seberapa jumlahnya telah penuh terisi. Ini stasiun kecil di kota kecil. Sementara pengguna jasa kereta api tidak kecil. Ironisnya, jaminan kenyamanan dan keselamatan transportasi jenis ini sungguh kecil. O, aku lupa. Bukankah memang begini kenyataan di negeri ini? Kecelakaan kereta api hanyalah salah satu yang kerap terjadi. Tiba-tiba aku teringat kerabatku yang hilang karena menjadi korban kecelakaan kapal motor Senopati Nusantara, tenggelam di perairan Rembang ketika hendak pulang dari Kalimantan. Sejenak kuheningkan cipta dalam batin untuknya. ”khushushon li rûhihi, Al-fâtihah...

Rintik gerimis seperti irisan air yang menjelma ribuan jarum, melesatkan hunjaman ke bumi. Kau lebih menyukai gerimis daripada hujan. Lebih menyukai titik-titik air serta hawa yang dibawa gerimis daripada titik air hujan dan suasana yang tertinggal ketika hujan usai. Apalagi jika gerimis pertama menyentuh tanah, kau tak akan melewatkan harumnya bau tanah basah. Gerimis, katamu, adalah kegelisahan yang membawa pesan keindahan luar biasa, seakan-akan surga telah bocor dan menciprat ke bumi (kau suka membual seperti itu di depanku. Sialnya, aku suka!). Engkau sering berkeyakinan terlalu tebal bahwa kata-kata mampu mengungkap cinta. Tiba-tiba aku merasa kita seperti murid SMA saja.

Kau belum mengirim pesan. Begitu juga aku. Aku tahu, kau seperti halnya diriku, tak begitu suka mengirim pesan ketika tengah dalam perjalanan, baik mengabarkan atau menanyakan. Selebihnya aku hafal, kita lebih suka kejutan-kejutan kecil seperti perjumpaan yang tiba-tiba. Kau hanya mengabarkan bahwa hari ini akan datang (hanya datang, bukan pulang?) dan memintaku menjemputmu saat petang. Kau bahkan tak mengatakan dengan kereta apa kau akan datang.

Cinta, rasa-rasanya telah membuatku sakit jiwa. Hampir dua jam aku menanti, kau belum juga tiba. Mataku tak lepas-lepasnya menatap ke arah barat, arah di mana kuperkirakan kau akan muncul. Tapi sudah beberapa kereta yang tiba, melintas, berhenti sejenak dan pergi lagi, kau tak ada. Kereta, seolah sudah menjadi takdirnya untuk hanya akrab dengan persinggahan, bukan kepulangan.

Mendadak aku ingin sekali menghubungimu. Kecemasan seperti menyatu dengan ketidaksabaran. Merambat perlahan di ubun-ubun kepala. Jangan-jangan kereta yang kau tumpangi anjlok atau kecelakaan. Bayangan itu lantas menangkupku.

Terdengar suara mengagetkan dari pengeras suara stasiun, mengumumkan bahwa kereta dari Jakarta terlambat karena terhenti di stasiun Purwokerto. Ada gangguan mesin sehingga musti menunggu perbaikan. Ah, tepat! aku lega. Bayangan buruk itu akhirnya lenyap. Tapi aku sadar, kesabaranku hanya pas-pasan. Aku mulai memaki lagi. Betapa buruknya jasa transportasi yang satu ini. Seolah tak memiliki pengertian sama sekali bahwa seorang perempuan di sini tengah gelisah menanti kekasihnya...

Malam dijelang. Gerimis yang awet seperti mengejekku habis-habisan. Aku melangkah ke mushola. Sekadar menunaikan kewajiban (maaf, Tuhan. Aku kangen kekasihku dan tak sabar menantinya. Jadi, tak bisa berlama-lama dengan-MU). Aku kembali lagi ke peron. Kubuka telepon genggam. Kubaca-baca lagi pesan pendekmu. Ada sepotong sajak cinta:

Bila cinta begitu sederhana. Mengapa keberanian tak juga mengalung di leherku?

Ingin kubawa Kereta Kencana.

Dengan hanya berbekal cinta, semoga cukup untuk menjelangmu. Tapi apakah sesederhana itu?

Nyatanya, aku hanya pecinta yang koma

Dua tahun silam menjelang pergimu ke Jakarta, di stasiun ini pula, kita seperti enggan berpisah. Wajahmu seperti tertimbun batu. Berat. Rentangan waktu, ruang, dan hambatan yang menjarakkan kenyataan dengan impian, lantas menjadi aksessoris hidup yang kadang cantik, kadang tidak. Dipandu ketidakpastian, kita terus berusaha saling meneguhkan. Merangkai masa depan. Membuat peta-peta. Menyusun rencana-rencana. Begitu sederhana. Sesederhana sajak cinta darimu yang tengah kubaca.

Melodi pesan berbunyi tiba-tiba. Dadaku bergetar menatap layar. Kau, yang kutunggu-tunggu!

Aku tak sabar berhenti di Purwokerto. Aku melanjutkan langkahku. Naik bus malam. Kini, aku telah tiba di terminal. Bisa jemput aku di sini 'kan, Sayang?

Aku tersenyum riang. Bergegas ku melangkah keluar stasiun. Kurogoh sakuku, mengambil kunci motor. Hah.. kunci motorku tak ada!! Aku hampir pingsan.

Saat kebingungan dan kepanikan nyaris membunuhku, seorang lelaki yang rupanya penjaga mushola stasiun, datang menghampiriku. Mengulungkan sesuatu. Seketika musnahlah gemuruh api di kepalaku.

”Terima kasih, Mas”, aku gugup.

”Lain kali hati-hati ya, Mbak? Jangan naruh kunci sembarangan”, lelaki itu lantas berlalu begitu saja. Aku terbengong. Aih, lelaki yang baik hati...

Lumbung Aksara, 11 Oktober 2007

GEGURITAN

Ngupadi Pepadhang Jati

Dening: A. Legiyo

Dak remké mripatku

tetep ora bisa turu

Dak coba metu

Nyawang wengi kang sepi

Swasana rinasa tintrim nggegerit nala

Mung tansah ngreridhu osiking kalbu

Aku sedhakep lungguh ijèn

Rembulan wus angslup, langit semburat abang

Remeng-remeng cahyaning lintang panjer esuk

Wewayangan mung sarwa ireng

Obahing gegodhongan katon jejogédan

Dèn wiramani sumiliring angin

Amung rinasa kekes kang mbalung sungsum

Atiku nglambrang

Mecaki lakuning nasib kang durung karuwan

Embuh mulya, embuh malah rekasa

Kabèh mau mung marahi bingung

Krodaning atiku takon marang lintang panjer esuk

Apa wus cepak plethèking sang pepadhang jati

Kang mbengkas pedhut peteng nggemuleng ing jroning atiku

Tan dangu gya kasaru

Pangeliking azan subuh sarta jago kluruk

Kang dumeling mlintir kuping kebak ing pananting

Eling lan memujiya, pasrah marang gusti

Sakèhing reribet bakal kabirat sarta pinaringan

Pepadhang margining gesang tansah tinuntun. Amin

Sentolo, 21-1-2008

PUISI-PUISI

Tumbal

Oleh : Dewi Fatimah

Inikah bela sungkawa

Rencana besar selalu saja menelan

Korban-korban

Tumbal sejarah dan peradaban

Apa pula tumbal perdamaian dan pluralitas

Tanpamu dunia menjadi jemu

Semua perempuan ingin menjadi

Ratu

Perdamaian haruskah sim salabim

Mulut-mulut bungkam

Otak diam

Tangan-tangan terikat

Pluralitas haruskah bla bla bla

Mana kebebasan

Mana toleransi

Mana penghormatan

: Bela sungkawa

Perempuan Penunggu Pantai

Oleh : Rohmi Astuti

Kalau matahari tak pernah ingkar janji

Kuingin jadi matahari

Sampai detik ini pun ku masih mematri

Asa itu dalam hati

Mungkin...

Ombak, pasir, karang di pantai ini

Sudah semakin bosan dengan kehadiranku

Tiap pagi dan petang

Buah hati kita pun

Tak pernah ragu menyertaiku

Berharap dialah orang pertama

Yang merasakan dekapan ayahnya

Jujur..

Perih itu ada

Tapi ku tetap harus tersenyum

Dan melanjutkan perjalanan ini

Walau tanpamu

Karna ku yakin waktu itu kan tiba

Kau hadir dalam sempurna

(Diilhami "Tragedi Levina I")

Tuhan

Oleh : Faiz al Hady

Kucari engkau

Di setiap sudut perenungan panjang

Yang menyatukan jiwaku dalam debu

Dan hablur biru

Tapi Engkau adalah satu

Di setiap mega dan pencarian

Engkau jauh dan samar

Tapi Kau sudi menyapaku

Mengajarkan hakikat keabadian

Walau jauh sungguh! Oleh waktu

Dan dinding berlapis memisahkan

Aku damai mengingat-MU

Oktober 2004

SAMPAI KAPAN AKU...

Oleh : Andarisa

Empatpuluh delapan jam berlalu

Aku berjalan di antara jarum jam

Melalui angka yang itu sebuah tanda

Mengusik mata yang melihatnya

Detaknya pun,..

Aku mencoba merambahi iramanya

Mencoba menari bersama

garis-garis waktu Berapa hari lagi harus kulalui

Setelah empatpuluh delapan jam berlalu

Untuk melepaskan diri dari

sorotan kenangan ini

sorotan dosa,

Bahkan seribu jam lagi pun

Belum sanggup, Masih

Panjatan, 31 Juli 07

Angie

Oleh : Muh Rio Nisafa

Angie,

Ceritakan padaku tentang kekuranganmu

Tentang rapuhnya jiwamu di suatu waktu

Tentang nafasmu yang terkadang memburu

Tentang runtuhnya istana pasir di Hatimu

Angie,

Jangan kau buat aku selalu merindu

Dengan tatap indah lentik matamu

Dengan senyum manis di ujung bibirmu

Dengan asa dan semangat di hari-harimu

Mungkin aku bukan yang pertama

yang coba merayu dirimu

Tutup saja kedua telingamu

dengan telapak tanganmu

Namun jangan pernah ingkari hatimu

Bahwasannya kaupun cinta/rindu aku

Ampenan, 18 Sep '00

SELAMAT DATANG

Oleh : Mukhosis Noor

Bulan datang

Dengan segenggam salam api perdamaian

Dengan segembol tawa kemerdekaan

Dengan secawan deru kecerahan

Dengan aku menyalakan lilin merah di tangan

Dengan mereka membawa bunga aneka warna

Dengan Engkau menertawakan kejahilan

Bulan datang tepat di titik nol dunia

Disini kuakhiri

Disini kumulai

Menghitung lafal kenestapaan

Membaca abjad kealpaan

Menulis jejak yang akan datang

Jogjakarta, 01 Januari 2007

PERPISAHAN

Oleh : Mujiyanto

Saat itu ku ingat dirimu

Kucium keningmu

Kubelai rambutmu

Kupeluk tubuhmu

Dan kuucapkan

Innalillahi...

SMS DARI PEMBACA

"Maaf, Cuma mau tanya. Kl mau dapetin buletin LONTAR dmn. Kl d UIN d Fakultas apa. Thanks”

(Huri - 081917772xxx)

"Assalam...Saya NURI siswi SMK 1 Panjatan. Sya b'minat gbng dlm bltn LONTAR gmn crnya?"

(Nuri - 081931711xxx)

BIODATA PENULIS LONTAR

EDISI 14/Th. II/2008

A. Legiyo, staf pengajar bidang studi Pendidikan Jasmani di SMP N 2 Pengasih. Penggiat seni sastra, terutama geguritan. Tinggal di Dlaban Sentolo.

Akhiriyati Sundari, perempuan yang biasa dipanggil "Ndari" ini sebenarnya tidak begitu produktif menulis. Tulisannya ada di "media sastra indie"; BEN! UGM Jogja, PAWON Solo, Hysteria UNDIP Semarang, dan tandabaca.com. Ia mencoba ber-sketsa di blog pribadinya; www.sketsajagad.blogspot.com.

Andarisa, penyair yang memiliki kesibukan luar biasa. Tetapi tetap saja kawan-kawan redaksi penasaran ingin kopi darat dengannya alias kenalan langsung. Kapan ya? katanya tinggal di Panjatan.

Dewi Fatimah, menurut pengamatan redaksi, sajak-sajaknya cukup 'subversif' meneriakkan gugatan atas berbagai ketimpangan. Lebih jauh bisa disimak di antologi Seorang Gadis, Sesobek Indonesia dan Antariksa Dada.

Faiz al-Hady, santri tulen asal nDondong Panjatan (yang penyair ?). Ia pun tak ingin kalah dengan kedua kakaknya yang kini meneruskan belajar dan bermukim di Makah - Saudi Arabia, karena disela-sela menorehkan syair, ia juga nyantri di sebuah Pondok Pesantren di Purworejo.

Mujiyanto, adalah pelajar SMK Muh 1 Moyudan. Beralamat di Banaran Pendoworejo Girimulyo.

Mukhosis Noor, penyair asal Banyumas ini sekarang jarang berkabar kepada kawan-kawan redaksi. Mungkin sedang sibuk kuliah (Jurusan Bahasa dan Sastra Arab) dan bergiat di Sanggar NUUN (UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta. Tapi sajaknya tetap menyapa pembaca. Kost di Ambarukmo Gg. Arjuna 197 A Jogja.

Rio Nisafa, pegawai negeri di PEMDA Kulonprogo. Penyanyi Rock yang "Rocker juga Manusia Penyair" ini bisa di-klik di www.rio-nisafa.blogspot.com.

Rohmi Astuti, alumni SMA 1 Wates dan FE Universitas Cokroaminoto. Perempuan pendidik di STM Ma'arif Wates ini adalah aktivis Ikatan Puteri-Puteri Nahdhatul Ulama (IPPNU) Kulonprogo. Sajak-sajaknya ada di SGSI. Tinggal di Pripih Temon.

SEPUTAR MENULIS SASTRA

Puisi Pamflet

Orde baru telah membuat jagad Indonesia kelam, penuh kekerasan, dan hegemoni. Lalu muncul suara keras di podium-podium. Demikian juga dunia sastra. Coba simak puisi penyair besar kita:

Inilah sajakku//Pamflet masa darurat//Apakah artinya kesenian//Bila terpisah dari derita lingkungan//Apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan//

Demikian kredo pamflet Rendra yang ditulisnya pada 1974. itu adalah pamflet. Tapi bukan berarti bahwa pamflet itu tidak bisa menjadi puisi. Bisa saja. Tapi dorongannya adalah dorongan kebutuhan menulis pamflet. Dan dalam pamflet itu tidak menulis agitasi. Penyair pamflet menulis dengan harapan mendorong orang jangan meninggalkan standar atas hak kolektif. Sasarannya jelas. Bukan ideologi politik, kecuali demokrasi, hak asasi, dan keadilan sosial. Bagi Rendra, kalau diundang membuat massa oposisi, dia tidak akan ikut. Ia takut kehilangan kontemplasi. Padahal massa yang sampai sekarang dikenal oleh kebanyakan "orang politik" adalah selalu organisasi massa yang kurang kontemplasi. Jadi, begitu masuk organisasi massa, Rendra mengaku mengalami dehumanisasi. Penyeragaman . Maka Rendra pun menempati posisi sebagai sebuah ikon perlawanan kelas bawah.

Ia pun terus bergerak dengan kesadaran politik baru. Menurut Rendra, pemerintah harus berterima kasih kepada penyair-penyair macam dia, yang menunjukkan kekurangan pemerintah yang harus diperbaiki. Orang semacam Rendra akan selalu dan selalu berhadapan dengan penguasa yang dianggapnya salah, kata HB Jassin.

Lain Rendra lain Wiji Thukul. Puisi-puisi Thukul lahir dari kesadaran menjadikan seni sebagai media perjuangan terhadap kesewenang-wenangan. Urusan kepenyairan sesungguhnya berhadapan dengan kenyataan, bukan khayalan yang ditumpahkan melalui ketrampilan karang-mengarang tulisan atau merangkai-rangkai kata indah serupa kata-kata mutiara. Saini jujur menyatakan urusan itu dalam "Kepada Seorang Penyair Muda". Bagi Saini, puisi menjadi berharga karena mutu bahasa dan kedalaman maknanya, dan jika sekadar menyuarakan keprihatinan sosial dengan meradang, menghujat, dan melolongkan protes pada ketidakadilan, bukanlah juru selamat atau jaminan mutu puisi, bukan pula tempat berlindung dalih-dalih bagi puisi buruk yang muluk, tinggi hati, dan ngotot diganjar sebagai karya agung yang menggelorakan kenyataan masyarakat dan semangat zamannya.

(A. Samsul Ma'arif, Redaksi LONTAR)

KATA-KATA MUTIARA

“Kegilaan, mungkin mengungkapkan kebenaran, namun bila tanpa disiplin kegilaan hanya dapat menghasilkan ketidakseimbangan dan kekurangharmonisan dengan masyarakat”. (Paul Stange).