Friday, August 17, 2007

LONTAR 8

DARI MULUTMU AKU TAHU
Cerpen Siti Suwarsih

“Bangsat!” kata-kata yang tak enak terdengar oleh telinga normal.

“Prangggg! Grubyak!” apa itu?

Ooo…Laki-laki itu! Sudah biasa kelakuannya yang selalu menimbulkan suara-suara yang aneh, tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa selain…tutup telinga! Yeah. Pagi yang cerah. Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar. Kamar yang tidak begitu banyak kenangan hidupku. Lantas kusapu halaman dengan tatapan mataku.

Laki-laki itu, laki-laki itu ditemani dua wanita yang merawatnya.

“Dunyo sing wis bubrah…, dunyo sing wis muntir walik, dunyo sing wis owah…” sebuah kalimat yang dia nyanyikan dengan nada kejawen. Laki-laki itu menatap kosong ke arah depan menerawang ruang di antara hembusan nafasnya. Senyum simpul kulihat terukir di atas bibirnya, lantas ia beranjak dari kursi di pojok taman itu, melangkah pergi diikuti dua wanita
yang setia menemaninya.

Keasyikanku melukis di tembok depan kamarku terusik ketika sebuah tangan merampas cat di tanganku dan memoleskannya di wajahku. Marah aku! Tapi dia..laki-laki itu, “Ha…ha…ha” terdengar keluar dari mulutnya. “Dunyo wis abang ijo” tambahnya.

“Edan…! Bajingan…! Sundal…! Wong wedok opo! Wong wedok kudu manut ro wong lanang. Goblok!!” terdengar lagi suara tetanggaku itu.

Kubiarkan laki-laki itu terus berjalan diikuti dua wanita yang setia menemaninya. Dan aku hanya bisa menatap hampa dengan muka yang belepotan cat. Aku belum begitu tahu apa yang terjadi, sehingga sikap dan tingkah lakunya seperti itu, tapi aku menduga itu semua karena seorang erempuan!!?

“Guten tag! Wie heißen (heisen) Sie? Ich heißen Jack”

Belum selesai marahku pada laki-laki kasar itu, kini datang orang aneh ang entah ngomong apa? Aku hanya bengong mendengar apa yang dia ucapkan.

“Jack! Sind sie fertig? Weiter bleibst mit wir” seorang wanita penghuni rumah ini juga berbicara dengan orang asing itu.

“Aufwindersehen” orang aneh itu pergi meninggalkanku sambil melambaikan tangannya, tertawa seperti menertawaiku yang diam mematung. Kemudian aku masuk kamarku, merenungi apa yang selama ini terjadi.

Tiga bulan yang lalu api mendatangi kamarku. Ketika itu aku bersama adik terkecilku berada di dalam rumah. Aku bisa lolos dari maut sedang adikku masih berada di dalam rumah. Terakhir aku melihat, di depan mataku sendiri, adikku yang berusaha lari keluar tertimpa kayu yang telah terbakar. Mereka yang tak melihat fenomena itu mengatakan adikku sudah mati. Penyesalan yang mendalam menyelimuti hatiku, tapi aku tak percaya. Seminggu kemudian ketika orang rumah pergi semua, aku duduk di belakang rumah baruku. Tiba-tiba ada tangan mungil menarik ujung bajuku.

“Mbak! Ayo dolanan! Ayo mbak!!” sesaat aku tertegun.

“Aning” ucapku pelan. “Aning!!” seruku kemudian. “Ayo. Kita dolanan. Tunggu Mbak” Setelah itu kami sering bermain bersama. Kadang Aning mengajak main petak umpet dan dia ngumpet dalam waktu yang cukup lama dan tidak nongol-nongol. Jarang sekarang aku melihat Aning minta gendong Ibu. Jarang pula aku melihat Aning menangis. Aning selalu ceria, sepertiku. Suatu hari ibuku bertanya, “Ndar, kamu kok sering senyum-senyum sendiri, lari-lari sendiri. Apa yang bikin kamu senang? Dapat pacar baru, po?”

“Ibu ini gimana, to? Wajar to kalau Ndari ceria karena ngemong adik Ndari sendiri. Ibu tu yang sekarang ga' pernah perhatian sama Aning. Dia 'kan butuh kasih sayang”

“Pyarrr” tiba-tiba piring yang dipegang ibu jatuh, pecah, berserakan di lantai. Aku hanya bengong. Kok bisa-bisanya piring itu mrucut.

“Ndar, adikmu itu tinggal Tiwi dan Ari. Aning sudah mati”

“Ah, Ibu tu ngawur saja”

“Ndar sadar Ndar, kamu yang nrimo ya, Nduk?”

“Sadar gimana to, Bu? Ndari sadar. Itu Aning duduk di sudut tembok bingung melihat kita” Mendengar ucapanku, Ibu melihat tembok sambil berkerut jidat.

Beberapa waktu kemudian aku dibawa ke sini. Tempat di mana keluargaku bermaksud mengajak liburan dan di villa ini pula mereka meninggalkanku, juga memisahkanku dari Aning. Aku masih bingung, villa ini tidak seperti villa kebanyakan yang kutahu melainkan mirip…

Laki-laki kasar yang memoleskan cat ke wajahku semakin hari semakin liar. Kata-kata kotor terus mengalir dari mulutnya. Dia terus mengumpat, apalagi jika ada wanita di dekatnya, wanita itu pasti akan jadi obyek pelampiasan kelakuannya. Pernah suatu hari aku melihat wanita yang tak kukenal, dihampiri oleh laki-laki itu. Disapa dengan manis dan detik selanjutnya wanita itu tiba-tiba sudah berada dalam dekapan laki-laki itu
yang belakangan kuketahui bernama Herdi. Wanita itu hanya diam. Tapi kemudian ketakutan setelah Herdi menciumnya secara paksa. Tak disangka apa yang kemudian dilakukan Herdi, ia membopong wanita itu kemudian dengan kasar dibanting!!

“Aooow!! Aaaaaaaaakk!!” teriak wanita itu, hingga membuat orang-orang berlari mencari sumber suara itu. Yang kutahu kemudian, wanita itu adalah penghuni baru di sini. Dia diselamatkan oleh petugas. Sedang Herdi dijaga ketat tetapi tidak oleh dua wanita seperti biasanya tetapi oleh
dua orang laki-laki.

Aku semakin bingung, mengapa banyak orang-orang aneh di sini. Dengan bekal rasa penasaranku, aku bertanya pada pengurus tempat ini. Tempat apa sebenarnya ini. Pengurus itu hanya tersenyum. Dengan kecewa aku berbalik menuju kamarku, tapi baru beberapa langkah aku berjalan, seorang wanita muda dengan pakaian lusuh, rambut awut-awutan dengan datar dan dingin memberitahuku, bahwa tempat ini…

Pengurus yang sempat kutanya tadi mukanya tegang.

“Tidaaaaaaaak!! Ini Rumah Sakit Jiwaaaaaaa!!!!”

Footnote :
1 Selamat siang! Siapa namamu? Nama saya Jack
2 Jack sudah selesai? Selanjutnya kamu tinggal dengan kami
3 Sampai jumpa




BILIK REDAKSI

Salam Sastra!

Pembaca LONTAR yang budiman, setelah ke sekian buletin sastra ini terbit disertai sambutan yang cukup positif dari masyarakat (kami berterima kasih untuk itu, juga untuk mereka yang mengirimkan karya meskipun mungkin belum dimuat), kini LONTAR lagi-lagi mengajak pembaca sekalian untuk menerus berkarya dan mengirimkannya ke meja redaksi kami. Kami berhasrat pembaca sekalian bergairah dan meletupkan gairah tersebut dalam bingkai sastra yang meng-indah. Tidak ada batasan dari kami tentang sesiapa yang bakalan dimuat. Kalangan manapun tidak kami kecualikan. Hanya dengan begitu kami kira jagad sastra di Kulonprogo dapat menumbuh ramai-ramai. Sastra menjadi milik semua tanpa ada sesuatu yang dibingkai ”kelas”.

Persoalan tulis-menulis sastra kami rasa bukanlah dimaksud untuk mencari popularitas apalagi menganggap diri sebagai yang paling 'wah', paling pertama, paling dikenal, dan seonggok paling-paling yang lain yang sarat kebanggaan semu. Menulis adalah berkomunikasi. Menulis adalah menghargai diri sendiri sekaligus orang lain sebagai manusia secara ”suci”. Menulis adalah seperti melahirkan puisi di dalam tubuh kita sendiri yang pada akhirnya memancarkan aura bahwa sebagai manusia, kita ada. Maka, muntahkanlah kata-katamu...

Selamat Membaca....




BYAR
Nawm fil 'asal


Istilah nawm fil ‘asal saya peroleh bulan lalu, ketika seorang teman yang sedang kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo mengirim email. Thoyib Ariffin, teman saya tadi, merasa “tidur di lautan madu” selama 10 tahun tinggal di Mesir. “Dalam gemilang fasilitas, saya tak ubahnya seonggok batu yang bisu”, tulisnya.

Saya tercenung menyimak kata demi kata dalam suratnya. Sebab, sepengetahuan saya, ia bukanlah sosok yang berpangku tangan. Tidak juga larut dalam kenikmatan. Di tengah musim dingin Kairo yang mencincang tubuh kurusnya (ia mengaku sering sakit jika musim dingin tiba), ia masih akan melakukan sederet aktivitas ini: mengaji pada syeikh, menghafal 400an bait syair-syair tugas kuliah, melahap buku-buku tebal di perpustakaan,
memandu para senior dari Yogya yang sedang mengerjakan desertasi. Belum tugasnya sebagai penerjemah di penerbit Maghfirah Pustaka yang sering mencambuknya dengan deadline!

Namun, ia tetap merasa dalam kondisi nawm fil' asal. Apa ia sedang menyindir?

Mungkin tidak. Ini hanyalah bahasa seorang pekerja keras: merasa belum mengerjakan apa-apa padahal sudah banting-tulang. Sebab, kata Voltaire, kerja bisa menghilangkan rasa bosan, sepi dan dosa. Tapi, Thoyib tak sekedar pekerja keras. Ia telah menjadi antitesis dari sikap pragmatisme. Barangkali kita sudah sering mendengar cerita ini: banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Mesir lebih suka mencari uang (terutama kalau musim haji) daripada menuntut ilmu. Dan Thoyib memilih ilmu dengan segala konsekuensinya.

Kalau orang yang telah memeras keringat menganggap dirinya “tidur”, bagaimana dengan kita? Konon, dalam seminggu kita butuh 2 hari libur. Dan di hari libur seakan “sunat” untuk bangun siang. Lembur jangan sampai larut, sebab angin malam tak baik bagi kesehatan. Jika puasa, jangan lupa makanan suplemen…. Dan perayaan kemanjaan tubuh lainnya, yang memenuhi ribuan halaman jika diuraikan. Di sisi lain, konon kita gemar pula mendengar cerita sukses seseorang.

Diam-diam, ada yang tanggal dari perjalanan karakteristik anak bangsa: kesuksesan dan proses dilihat secara terpisah. Mengingatkan saya pada seorang penulis “kemarin sore” yang baru mengirim satu dua karya lalu menggerutu karena puisinya tak kunjung dimuat. Ia sih mengaku pengagum Emha Ainun Nadjib. Tapi jelas ia lupa (atau belum tahu), kalau Cak Nun --gara-gara kelaparan-- pernah jatuh pingsan di Malioboro dalam perjalanan kakinya menuju kantor KR dan MP,demi mengirim sepucuk amplop berisi puisi.*** M A R W A N T O ( www.markbyar.blogspot.com )



ADA APA DENGAN LA

LA Bedah “Samarkand” di TP-9

Selalu ada yang beda di setiap Tadarus Puisi (TP) yang digelar LA. Pada TP putaran ke-9 kali ini, yang dilangsungkan di Gedung Kesenian Wates tanggal 27 Juni jam 15.00 sampai 17.00 WIB, selain melaunching Lontar, juga dibedah buku karya Amin Maalouf berjudul Samarkand. Pendedah “baca buku bulanan” komunitas LA kali ini adalah sahabat Zukhruf Latif (atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Kiai Lumbung”). Dihadiri sekitar 25 anggota LA dan pecinta sastra, suasana diskusi terasa hidup, meski “pembacaan” terhadap Samarkand sendiri terasa berat. Ini karena alur novel karya pengarang Lebanon itu berbingkai-bingkai. Namun, selingan pembacaan puisi yang dibawakan para hadirin mampu mengimbangi beratnya pembacaan terhadap Samarkand. (Asti Widakdo)


Monitoring TBM Lumbung Aksara

Program komunitas LA untuk mendirikan taman bacaan masyarakat (TBM) mendapat dukungan banyak pihak. Tanggal 3 Juli lalu, Badan Perpustakaan Daerah Propinsi DIY, yang akan menganggarkan bantuan buku kepada TBM Lumbung Aksara senilai Rp. 6,5 juta, melakukan kunjungan dan monitoring di lokasi TBM LA yang terletak di Jl. Makam Kiai Batok Bolu Maesan Wahyuharjo Lendah. Kunjungan yang juga didampingi karyawan kantor Perpustakaan Kabupaten Kulonprogo tersebut dalam rangka penjajakan kerjasama pendirian pilot-project pengembangan TBM. “Jumlah koleksi sudah lumayan. Tinggal merapikan pengklasifikasian dan pematangan tenaga administrasi serta pustakawan. Kiranya TBM LA layak dijadikan pilot-project untuk kemudian bisa go public”, ungkap Bandung Wibowo dari Badan Perpustakaan Daerah DIY. (Asti Widakdo)


Lumbung Aksara di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XIX

Sabtu, 16 Juni 2007 bertempat di komplek pasar seni FKY di Benteng Vredeburg Jogja, Fathin Chamama mewakili LA mengikuti lomba menulis dan membaca puisi yang diadakan oleh divisi sastra FKY. Meski 'belum berhasil' menjuarai, namun Fathin 'berhasil' memukau pengunjung di panggung FKY dengan bacaan puisinya. Sementara pada saat bersamaan di kafé FKY, LA juga mengikuti bedah novel Ranting Sakura karya Maria Bo Niok, seorang Pekerja Rumah Tangga yang menjadi buruh migran di Hongkong. Pada FKY kali ini (7 Juni - 7 Juli 2007), LA diundang oleh panitia divisi sastra untuk berpartisipasi dengan mendisplay karya seperti LONTAR dan buku SGSI di stand Dapur Sastra serta bersama komunitas sastra dari berbagai daerah membangun jaringan komunikasi sastra antar kota antara lain dengan Pawon Solo, Hysteria Semarang, Mnemonic Bandung, Poros Madura, Hujan Tak Kunjung Padam Purwokerto, dan beberapa dari kota Jogja sendiri. (Ndari)





PUISI
Padang Rembulan

Oleh : M. Zaynal Arifin

Bintang-bintang menatap enggan
Rembulan tak bergeming
Awan menghilang
Langit membentang tak terbatas

Padangmu selembut salju
Kau simbol keayuan
Dalam fatamorgana
Karna kau bisa dinikmati
Hanya dari kejauhan

Sinar rembulan masuk di dada
Menerpa hati
Membias paru jantung
Mewarnai darah

Kehadiranmu dimiliki anak negeri
Dan kepergianmu tak selalu disesali
Karna kau adalah alternatif
Sebagai penghias bumi

Oh Tuhan....
Terima kasih
Kau sempurnakan ciptaanmu
Kau hiasi alam ini
Kau terangi sukma mengembara.

Kotagede, April 2000



Kalian
Oleh : Diah Fera Kismawati

Kini…
Kurasakan betapa sakitnya
Rasa tak berbalas

Teman...
Hanya kalian yang aku punya sekarang
Hanya senyum bahagia kalian
Yang ingin aku lihat
Hanya cerita-cerita indah
Yang ingin aku dengar

Ingin kulewati hari
Bersama kalian
Ingin kulupakan dia
Walau sejenak
Ingin kutepis rasa sakit ini
Dengan adanya kalian bersamaku

Tak ada yang lebih indah
Selain KALIAN



Saudara Besarku


Oleh : Fathin Chamama

Di mata Ibuku kulihat sepi
Memandang Saudara Besarku YANG TULI
Waktu Lumpur memancar di Porong-nya
Saat Banjir merebak di Jantung-nya
Kala Gempa membelah di Hati Nyaman-nya

Mata Ibuku semakin sepi
Melihat si TULI makan
Melahap saudaraku yang lain

Nak, ...hati hati
Ibuku terbangun
TULI menjawab : Ibu,
ini sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku

Mata Ibu semakin sepi
Nak, ...perutku mau meledak
TULI menjawab : Ibu,
Masih ada yang bisa kumakan darimu?

Vredeburg, 16 Juni 2007



Dalam Pertaubatanmu


Oleh : Utik

Ketika kau lantunkan ayatayat pertaubatanmu
Kau senandungkan sepenuh jiwa
Lisan berkamit tubuh menggigil
Menyesali yang telah terjadi
Kau sujudkan diri ke Yang Maha Suci
Aku mencoba menerawang
Menekuri jalan taubatmu
Melewati padang luas yang lepas
Tanpa oase atau zamzam
Hanya panas dan terik menemani
Namun asa yang membakar jiwa
Kan' berujung di pengampunanmu
Ngawi-Sragen, 22 mei 2007



Kau terlalu Jauh
Oleh : Neneng Surani

Saat kita bersama walau saling tak bicara
Kutahu bahwa…
Kau tak pernah menganggapku ada
Saat kita di dunia yang sama tapi tak saling menyapa
Kumengerti bahwa...
Hanya punggungmu yang bisa kupandang
Berharap kau berbalik
Tapi itu tak pernah terjadi
Saat senyummu terlihat begitu tulus
Tapi bukan untukku...
Kusadar kau bukan milikku
Malam takkan pernah membawaku kepadamu
Walaupun langit bertaburkan bintang
Dan kerinduan menggoyahkan iman
Meski letih kutertatih
Mencoba menggapai cinta yang putih
Tapi selalu terhenti
Pada ketidaksempurnaan diri
Salahkah...?
Serambi Masjid, 13 September 2006



Menunggu Kasih
Oleh : A. Samsul Ma'arif

Kapan kau lumuri seluruh tubuhku dengan segala kasih-cinta.




malam mayat
Oleh : Salman Rusydie Anwar

kau, yang gagal aku pahami dari sebuah ceruk
tiba-tiba menggali sumur paling kubur di dadaku
malam yang menjadi mayat
memancar dari keping-keping batu
mendatangi setiap pintu demi pintu
yang menggigil dalam rekah jemari
ucapmu, tuhan tak sedang melempar dadu
namun siapakah yang melemparku
hingga seluruh cinta terjerembab
dikulit cahaya
kau menuding langit
kepadaku
mengajarkan huruf-huruf bintang
yang setiap kali aku lihat
selalu saja ada masa lalu dan masa depan
menyatu di tubuh puisi
lalu ada juga sebait mantra
begitu kelam, begitu tuhan
namun selalu gagal aku bacakan
Kepadamu

Kediri 2007




KATA MUTIARA
”Menulis adalah salah satu bentuk doa paling kuno. Menulis berarti percaya bahwa komunikasi itu mungkin, bahwa orang-orang lain itu baik, bahwa anda akan dapat berhubungan dengan kebaikan mereka, membangkitkan rasa kedermawanan mereka serta hasrat mereka untuk menjadi lebih baik” (Fatima Mernissi)

Presented by
Komunitas Lumbung Aksara
Membaca, Menulis; Menjaga Hidup


SMS (SEPUTAR MENULIS SASTRA)
Kita adalah Penulis yang Hebat

Setiap kita mempunyai potensi menjadi penulis yang hebat. Sejak masih kecil kita mempunyai hobi mencoret-coret pada dinding, kertas, meja atau bahkan baju dan tubuh kita. Setidaknya itu adalah sebagian bukti kemampuan kita.

Setiap kita wajib menulis. Minimal beberapa abjad dan angka, sampai kemudian menulis pelajaran di sekolah, daftar belanjaan, lebih meningkat lagi buku harian, esai, makalah, dan seterusnya.

Setiap kita sudah dibekali dengan otak. Otak kanan tempatnya semangat, emosi, spiritualitas, imaji, dan seterusnya. Otak kiri tempatnya perencanaan, outline, tata bahasa, penyuntingan, dan seterusnya.

Nah, bagaimana setiap kita memaksimalkan beberapa modal yang telah dimiliki tersebut? Barangkali kita bisa mempertimbangkan beberapa tips berikut:

Satu, tulislah apa saja. Dari hal-hal yang sepele, apalagi hal-hal yang penting. Jangan pernah berhenti! Ingat, jangan pernah menganggap hal-hal kecil tidak berguna untuk dituliskan.

Dua, kembangkan tulisan-tulisan yang telah kita buat dengan berbagai literatur, baik buku, imajinasi, apapun, dan siapapun.

Tiga, komunikasikan pada orang lain yang telah kita tulis untuk mendapatkan umpan balik. Periksa kembali hasilnya, bagaimana ejaannya, tata bahasanya, alur idenya, dan seterusnya. Jika belum puas tanyakan ahlinya.

Empat, masukkan isu atau hal-hal yang luar biasa, di luar dugaan, atau hal-hal yang 'berbau' tajam untuk membuat kesan pada tulisan kita.

Lima, evaluasi karya-karya itu sekali lagi. Jangan dulu berpikir hasil, yang penting sajikan ia apa adanya selagi kita terus berproses.

Enam, dokumentasikan (simpan) setiap tulisan yang kita buat. Satu tahun, sepuluh tahun, atau seratus tahun kemudian buka kembali. Dan kita akan menemukan sesuatu yang luar biasa. Kita tinggal mempelajari bagaimana proses kita sebelumnya untuk menyempurnakan karya-karya hebat kita yang akan datang. Tak terkecuali karya sastra.

Yang pasti, tips-tips di atas bukanlah hal yang baku. Namun hal yang terpenting adalah mencoba. Jadi, why not ?(Siti Masitoh, Pemimpin Umum LONTAR)



Biodata Penulis




A. Samsul Ma'arif, anggota dewan redaksi LONTAR. Masih aktif di kegiatan yang bernuansa kebudayaan. Alumni jurusan Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN SuKa. Pernah aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Yk. Tinggal di Galur.

Diah Fera Kismawati, lahir di Kulonprogo, 27 Februari 1990. Berstatus sebagai pelajar kelas XII di SMA N 1 Wates. Memiliki hobi membaca apa saja. Tinggal di Dusun 2 Bojong Panjatan.

Fathin Chamama, mengaku lebih sulit membuat data diri daripada menulis puisi. Jadi, jika ingin tahu identitasnya, baca saja sekalian puisinya di buku SGSI; Antologi Puisi Kulonprogo (LKP2 Fatayat KP & Lumbung Aksara, 2006). Tinggal di Bendungan.

M. Zaynal Arifin, alumni Pidana_Perdata Fakultas Syari'ah UIN SuKa Jogja. Asli Plumbon Temon tapi kerap tinggal di Pondok ZéJé Giripeni Wates. Puisi-puisinya dimuat di majalah Tilawah PP Nurul Ummah Kotagede.

Neneng Surani (Nichi), gadis kelahiran 13 Agustus 1990 ini adalah pelajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN 2 Wates). Hal yang paling disukainya adalah memandang langit dan lumba-lumba. Penggemar tokoh kartun Shinichi Kudo ini tinggal di Cekelan Karangsari Pengasih.

Salman Rusydie Anwar, lahir di Madura pada 5 November 1981. Menulis cerpen, puisi, essai, opini, dan resensi. Berbagai tulisannya pernah dimuat di media massa lokal maupun nasional. Pernah aktif di sanggar Bias, Andalas, dan Somor Penang. Mahasiswa UIN SuKa yang kini bergiat di KUTUB Yogyakarta ini oleh alm. Zaenal Arifin Thoha dianugerahi kepercayaan menjadi penasehat Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'arie Yogyakarta.

Siti Suwarsih, lahir di Yogyakarta, 26 Mei 1990. Belajar di dua tempat sekaligus yakni di SMA N 2 Wates dan Pondok Pesantren Zahratul Jannah (Pondok ZéJé), Giripeni Wates. Cerpennya Derita dari Kekasih Nenek pernah dimuat dalam Antologi Bengkel Bahasa & Sastra Yogyakarta / BBY. Selain menulis sastra juga pernah menulis essai tentang Meminimalisasi Pornografi di Kalangan Pelajar. Pernah terlibat sebagai pemain teater Balai Bahasa Yogyakarta dengan cerita “Semesta Runa”.

Utik, adalah nama panggilan dari Tri Wahyuni. Alumni SMA N 1 Wates dan Fisipol UMY. Memiliki kegiatan seabreg selain di komunitas Lumbung Aksara. Kini ia menjabat sebagai Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) untuk Keadilan dan Demokrasi wilayah Kulonprogo serta Ketua Fatayat NU kecamatan Temon. Tinggal di Kebonrejo Temon. E-mail: utik_kecilku@yahoo.com

No comments: