Tuesday, August 7, 2007

LONTAR 5

Cerpen
Aku Masih Supri !

oleh : Diana Trisnawati

Setahun sudah aku meninggalkan kampung, hijrah ke kota besar yang penuh dengan gemerlap rona kehidupan. Jakarta! Kota yang tak pernah sunyi itu akan menjadi tujuanku mengadu nasib. Di setiap sudut kota, kulihat gedung-gedung menjulang tinggi bak pencakar langit, bangunan-bangunan mewah dan keramaian kota yang selalu mengusik ketenangan jiwa. Aku pun berharap, semoga kutemukan kehidupan yang lebih baik di kota ini.

Berbekal sedikit uang dari bapakku, usai lulus SMA aku pergi merajut kehidupan di Jakarta. Dengan sedikit uang itu, kucoba mengubah jalan hidup. Sementara, waktu terus berputar bagai roda bajaj yang melaju entah ke mana, dompetku kian tipis. Sementara pekerjaan belum di tangan.

Suatu hari, seorang teman menawari sebuah pekerjaan. Memang, sebenarnya pekerjaan itu kurang layak bagiku. Namun disebabkan kebutuhan hiduplah akhirnya aku menerima tawaran itu. Sebuah pilihan yang sebetulnya pahit.

”Pri, pakailah baju ini. Biar kamu kelihatan lebih menarik.” Tono memberiku satu stel pakaian.

”Apa? Ini kan baju wanita! Aku nggak mau!”

”Apa katamu? Nggak mau? Katanya pingin dapat duit. Ya beginilah caranya kita menghasilkan uang!”

”Jadi, kamu nyuruh aku jadi waria lalu mangkal di perempatan gitu? Aku ini masih lelaki normal, Ton!”

”Iya, aku tahu! Tapi memang beginilah pekerjaan yang aku tawarkan buat kamu. Ayolah, Pri. Kamu mau ya?” Tono berusaha meyakinkan.

”Bbb...Baiklah, akan kucoba.”

Semula aku tak mau memerankan lakon seorang wanita dengan jiwa laki-lakiku, hanya demi uang. Aku masih menjunjung tinggi nilai moral, agama, dan norma yang aku patuhi selama ini. Tapi, seolah nasib mujur tak pernah berpihak. Selalu saja kesialan yang menimpa, hingga akhirnya aku menyanggupi tawaran Tono.

”Gimana pekerjaanmu sekarang, Pri? Kamu senang 'kan jadi waria, bisa dapat uang tiap malam?”

”Ya, senang nggak senanglah. Mungkin ini yang terbaik buat aku saat ini. Aku 'kan harus kirimi orang tuaku uang.”

”Dulunya aku juga nggak mau kok kerja kayak gini. Tapi lama-lama aku jadi senang, soalnya gampang dapat duit. Mungkin memang sudah nasib kita ya Pri, jadi waria!

Malam semakin larut, aku dan Tono masih terhanyut dalam suasana sedih bila selalu mengingat derita hidup saat ini. Hidup di Jakarta memang tak semudah dan tak seindah yang terbayang dulu. Rumah mewah, pendapatan melimpah dan kebahagiaan hidup, mungkin hanya milik orang-orang yang berperuntungan mujur saja. Tidak untuk aku dan temanku, Tono!

”Pri, kamu cantik deh pakai baju itu. Pantes banyak yang tertarik sama kamu.”

”Ah, biasa aja deh. E-ke jadi malu kamu bilang begitu...” Aku berkata sambil berlagak khas waria pada umumnya.

Banyak temanku bilang kalau perawakanku tinggi-langsing, kulitku kuning langsat dan wajahku terlihat cantik dengan make-up yang biasa aku pakai. Seolah aku terlihat bak bidadari cantik. Bidadari malam yang selalu mangkal di perempatan. Dan nama Vina mungkin memang pantas untukku. Tapi, aku masihlah Supri! Hati dan jiwaku masih sebagai laki-laki yang selalu mendambakan cinta wanita.

”Polisi datang...polisi datang!”

”Ayo, Pri. Kita lari! Aku nggak mau ketangkap!” teriak Tono.

”A...ayo, Ton! Tapi lari ke mana? Mungkin kita udah dikepung!”

Rasa gugup, tegang dan khawatir silih berganti mengusik hati kecilku. Iringi langkahku berlari tinggalkan perempatan yang terang-benderang berhiaskan kerlip lampu metropolitan. Aku takut kalau polisi menemukanku dan membawaku ke kantor polisi.

Ternyata apa yang aku takutkan terjadi! Belum jauh aku berlari, polisi telah memergokiku. Akhirnya aku dan Tono dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Setelah itu kami diberi bimbingan penyuluhan dan siraman rohani. Kegiatan bimbingan ini benar-benar membuat hatiku terketuk! Membuatku tersadar akan semua salah dan dosa yang pernah tertoreh. Aku ingin meninggalkan semuanya. Kembali menjadi Supri yang dulu. Kembali ke kampung halaman.

Tok...tok..tok...

”Pak, Bu, Supri pulang!” Kuketuk pintu rumah dengan hati riang. Berharap bapak dan ibuku menyambut kedatanganku dengan suka cita.

”Ayo masuk, bapakmu ada di dalam.” Aku bagaikan tamu tak diundang. Kedatanganku sepertinya membawa kesialan bagi mereka. Bapak dan ibu ternyata membiarkan aku begitu saja, tanpa kata sambutan yang terucap.

Aku terkejut. Tiba-tiba kulihat kedua mata ibuku mengeluarkan air mata. Dan isak tangis pun semakin mengharu-biru suasana.

”Nak, ibu kecewa padamu. Kenapa kamu jadi seperti ini? Kenapa harus bekerja di tempat kotor, Nak? Kamu mencoreng muka keluargamu sendiri!”

”Maafkan Supri, Bu. Semula Supri juga nggak mau. Tapi karena nggak ada kerjaan lain, terpaksa .... Bu, hidup di Jakarta ternyata sulit!”. Kata maaf mungkin takkan pernah bisa menghapus rasa sakit di hati ibuku. Ternyata bukan bahagia yang aku bawa dari Jakarta, tapi kekecewaan dan kepedihan yang amat dalam. Plus rasa malu yang selalu mengikuti kemana aku pergi. Seakan setiap bertemu orang-orang kampung mereka selalu berkata: ”Hallooo...Mbak Supri. Eee keliru....Mas Vina......”

***


BILIK REDAKSI
Salam Sastra,
Pembaca LONTAR yang budiman, di bulan April (ingat RA Kartini?) sejarah mencatat adanya "zaman pencerahan" yang mengantarkan kaum perempuan berkesempatan merengkuh kehidupan yang semestinya, sebagaimana hak kemanusiaan mengakuinya. Di LONTAR sendiri, sebagian besar personil perempuannya berkeinginan kuat untuk belajar bersama. Ini seperti sebuah puisi yang indah. Seperti kata-kata yang sarat makna.

Membersitkan keinginan untuk bisa hidup "seribu tahun lagi" seperti dituangkan Chairil Anwar dalam puisinya "AKU". Di kalangan sastrawan, bulan April acapkali dikenangkan pada sosok penyair besar tersebut yang wafat di usia muda. LONTAR mengajak pembaca sekalian untuk mengambil "spirit muda" dari penyair kenamaan itu. Selamat membaca ....


BACA BUKU
Judul buku : The Zahir
Pengarang : Paulo Coelho
Alih bahasa : Andang H. Sutopo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (2005)


Membaca tak ubahnya seperti menikmati alam. Keindahannya terasa ketika kita melihat, mendengar, mencium, dan menyatu sendiri dengan alam. Selihai apapun seseorang menceritakan pengalamannya tentang terjalnya gunung, sunyinya gua dan damainya pantai, tentu tak seindah jika dibandingkan dengan apa yang telah ia rasakan. The Zahir akan terasa keindahannya apabila kita membaca sendiri halaman demi halaman novel Paulo Coelho ini.

Aku --- tokoh utama novel ini --- adalah seorang suami yang ditinggalkan istrinya secara tiba-tiba. Kepergiannya menimbulkan pertanyaan dan kenangan yang ditinggalkan tak mudah dihapuskan. Esther, istrinya, adalah wanita pendiam yang membiarkan suaminya pergi sendirian sebab cintanya pada suami lebih besar daripada cintanya pada diri sendiri. Bagi sang suami, wanita itu sudah menjelma menjadi Zahir.

Zahir, menurut Jorge Luis Borges sebagaimana dikutip oleh Coelho, berasal dari tradisi Islam dan diperkirakan muncul pada sekitar abad delapan belas. Zahir, dalam bahasa Arab berarti terlihat, ada, tak mungkin diabaikan. Zahir adalah seseorang (sesuatu) yang sekali kita kontak dengannya, lambat laun memenuhi seluruh pikiran kita. Keadaan ini bisa dianggap sebagai tingkat kesucian atau kegilaan.

Kehadiran sang Zahir sungguh menyiksa kehidupannya. Berbagai cara dilakukan untuk menghapus ingatan akan mantan istrinya itu. Termasuk saat ia berusaha mencintai Marie. Namun, cinta itu berbeda dengan cintanya pada sang Zahir.

Hingga suatu ketika hadirlah Mikhail. Kehadiran lelaki ini menjadi jalan pembuka untuk menemukan kembali istrinya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah ia berhasil menemukan istrinya? Bukan keberhasilan yang ingin ditegaskan penulis dalam novel ini. Namun keberanian untuk mewujudkan sebuah keinginan. Apapun hasilnya, itu berkah Tuhan. Dan, menurut Coelho Tuhan tahu bahwa manusia adalah seniman dalam hidup.

(Maftuhatul Khoiriyah, pembaca sastra, pengelola perpustakaan komunitas Lumbung Aksara.)


ADA APA DENGAN LA
LA Bedah “The Zahir”
Guna mengeratkan jalinan intern, komunitas LA mencoba mentradisikan membaca dan menelaah pustaka, utamanya karya sastra. Ide ini direncanakan menjadi kegiatan rutin setiap bulannya dalam bentuk diskusi kecil bertajuk “Bedah Buku”. Edisi perdana bedah buku kali ini mendaulat Maftukhatul Khoiriyah (Itul) untuk membedah novel “The Zahir” karya Paulo Coelho. Selain diikuti anggota komunitas LA, acara yang bertempat di TEXAZ CafĂ© Wates pada Rabu 28 Maret 2007 pukul 14:30 WIB ini juga dihadiri para simpatisan, termasuk anggota DPRD Kulonprogo. (Ndari)

Silaturahmi LA dengan Joko Mursito
Rabu malam, 28 Maret 2007 sebagian awak komunitas LA silaturahmi ke rumah seniman yang juga sekretaris Dewan Kebudayaan Kulonprogo Joko Mursito S.Sn. Dalam jumpa santai yang diiringi rintik gerimis dan ditemani mie goreng hangat itu salah satunya terungkap bahwa potensi seni-budaya di Kulonprogo belum tergarap maksimal. “Kita punya pemandian Clereng dan lainnya yang jika digarap serius dan sinergis oleh berbagai pihak bisa dijadikan wisata budaya yang handal”, kata alumni jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta. (Samsul)

Pembelajaran Menulis Kreatif
Senin siang 19 Maret 2007, Komunitas Lumbung Aksara mengadakan Tadarus Puisi (TP) edisi keenam di rumah sahabat Burhan - kontrakan AB Giripeni Wates. Beda dari biasanya, TP kali ini diisi ”Pembelajaran Menulis Kreatif” dengan menampilkan nara sumber Hasta Indriyana, penyair-penulis dari komunitas Tandabaca Yogyakarta. Di hadapan sekitar 30 peserta, Hasta berbagi ilmu dan pengalaman seputar proses kreatif menulis puisi. Bahwa untuk berproses menulis puisi dan menjadi seorang penyair, memerlukan waktu yang lama serta ketekunan yang luar biasa. Pada kesempatan ini pula seluruh peserta dimintanya mempraktikkan menulis puisi dengan pengantar cerita tentang Roro Jonggrang. Dalam waktu 10 menit, seluruh peserta menuliskan cerita itu berbentuk puisi yang selanjutnya dibaca dan diapresiasi oleh Hasta. (Ndari)


BYAR
Seribu Tahun Lagi

………….
Apakah waktu / seperti yang kita angankan pada jarum jam / seperti yang ditunggu orang tua dan kereta berjalan (Menaksir Waktu, 1996)

Sepeninggal sahabat Zainal Arifin Thoha, teman saya --penyair Abdul Azis Sukarno-- menulis puisi yang bertutur “maut adalah sebuah antrian” (Minggu Pagi, No.01/Th. 60/ April 2007). Mungkin Aziz benar. Atau sedang melihat dari sudut tertentu. Tapi mungkin juga ia alpa: maut (baca: mati) bukanlah sebuah akhir dari hidup. Sebab, hidup dijalani bukan sekedar untuk antri mati.

Semisal orang membaca buku, lembar demi lembar ia baca, bukan sekedar menuju halaman terakhir lalu tamat. Pertanyaannya: ketika buku ditutup, apa ia paham isinya? Ada yang tak paham . Ada yang paham setelah selesai membaca hingga titik akhir. Namun, bagi yang bernaung di lauh al-mahfud, bisa saja paham saat baru menyimak separoh isi buku.

Analogi tersebut mendasari “definisi mati” yang tigabelas tahun lalu saya terima dari seorang pakar filsafat Timur. Terang, ilmu ini mengusik saya --dimanapun berada. Hingga menyeret pada sebuah pertanyaan tentang waktu. Saat itu saya memang belum paham terminologi zeitgeist (roh waktu). Meski begitu, penggalan puisi di atas, jelas mengarah terminologi zeitgeist.

Puisi tersebut saya tulis di Tawangmangu disela-sela Ospek Fakultas Ilmu Sosial-Politik UNS Solo, dimana saya terlibat kepanitiaan. Saat menyimak jalannya Ospek itulah, terutama ketika sesama teman senior memberi “wejangan” pada mahasiswa baru, di lubuk hati saya terngiang sebuah tanya: “Apa hak mereka memlonco? Karena lebih senior?

Lamanya waktu tak menjamin seseorang lebih mutu memberi “kesaksian” atas hidup. Si A dan Si B yang penumpang kereta dari Kediri menuju Padalarang belum tentu memiliki kesamaan kualitas “kesaksian”perjalanan. Bisa jadi Si C yang berangkat dari Kediri namun turun di Wates justru lebih berbobot kesaksiannya. Tergantung intensitas mereka menggauli hidup, untuk ditarik ke garis ilahiah, dan memberi dampak pada sesama.

Memang di dalam kematian batas ditancapkan. Namun “batas” tersebut adalah ranah dimana manusia berpeluang memberi kesaksian atas hidup. Dan “kesaksian” (syahid) paling konkret membekas, kata para arifin, ada tiga hal: amal (jariyah), ilmu (manfaat) dan anak (saleh). Itulah kesaksian yang tak kan pernah “mati”.

Maka, sungguh cerdas ketika meninggal pada usia muda Chairil Anwar justru menulis larik sajak: Aku ingin hidup seribu tahun lagi. Chairil sadar, juga sahabat Zainal dan mereka yang mati muda lainnya: yang hidup bukanlah raganya, namun karya-karyanya --kesaksiannya.*** M A R W A N T O




PUISI
TENTANGMU
Oleh : Osephe H.W.

Tentang kegelisahanmu
Tentang rasa penatmu yang tak berbatas
Menghantui sepinya hari, saat dulu, sekarang,
Dan esok...

Tentang ketakutanmu
Tentang rasa kehilangan, membuntuti jejak tak pasti

Penantian yang tak bermuara
Singgahlah sekedar membicarakannya,
Barang semenit,

Tak akan lama, River West-August, 2006


Ketika Kamu Serupa Rindu
Oleh : Retno Prihandaru

Ketika matamu serupa rindu
Itulah rindu yang kukikis dari batu-batu alotku
Ketika rambutmu serupa penat
Itulah penat yang kutangkis dari malam-malam asamku
Ketika senyummu serupa peluh
Itulah peluh yang kualirkan dari saluran nadiku

Di sini, aku terdiam sendiri
Memandangi lekukmu yang menghanyutkan
Cukup banyak yang mesti kukristalkan
Di batas cakrawala kita

Matamu menjelma elang
Menukik ke sudutku menggelayuti perihku
Senyummu menjelma bulan sabit, terkadang
Bukankah begitu wahai pangeranku
Kamulah nafas di dadaku
Yang berdetak badai
Akankah begitu wahai pangeranku
Kamulah jiwa di tubuhku
Yang berdenyut angin

SEKUTU
Oleh : Nani

Mengapa engkau tertarik kepada orang gila
Padahal ia tak 'kan menyerahkan diri
Walau engkau mengejar & berusaha menangkapnya
Perjuanganmu akan sia-sia
Dia hanya akan menyerahkan buah beraroma pahit
Energimu akan habis
Dimakan bayang-bayang tariannya
Ditelan permainan akrobatnya

Dibalik keganasannya
Ia hanya mau berteduh
Nyaman mengabdi
Tunduk berlindung pada majikan
Yang mengabaikan kehadirannya

Ia tak memiliki dirinya
Tapi tak sanggup menjadi budak kesiaan
Hanya sedia berpadu
Untuk menempuh kembali jalan yang lapang
Januari 2007


PARANGGI
Oleh : Hasta Indriyana

Ke rumah Raudal, bukan
Dengan kuda kupacu laju

Batang lalang dan
Aroma kampung halaman
Kujinjing buat
Menuntaskan satu puisi
Yang lama membatu
Dan jadi rindu

Masa lalu, begitulah
Seperti kekasih yang bikin
Betah dan merasa kenal
Nama sendiri

Kata-kata, kata Mas Iman,
Banyak berkisah tentang
Hal dan sesuatu

Maka sempatkan pulang
Ke rumah hatimu
Yang lapang
Yang dijagai kuda-kuda
Yang ditunggui ibu
Yang bercerita segala tanpa
Kata-kata
Rumahlebah, 2004


Husnul Khotimah
Oleh: Anib Nuham

Hati terang tiba,
Bahagia dalam jiwa,
Langit tegak berdiri di cakrawala.

Hati terang tiba,
Bahagia dalam dada,
Langit cerah berseri semburat warna.

Itu tanda jiwa kembali fitrah,
Menutup mata dalam damai,
Husnul khotimah...
Nagung, 23 Maret 2007


PROGO#1
Oleh: Muh Rio Nisafa

ratusan orang mengiringku ke jakarta,
berusaha menjajakan asa di laju kereta

PROGO#2
kereta ini telah menjadi pasar panjang,
Mengadu nasib menantang masa depan

PROGO#3
“aqua jos yang dingin-dingin”
“yang ngopi-ngopi, kopi-kopi, dua ribu ngopi panas”
mereka berniaga sambil bernada,
sebuah mantra penggugah selera.


Hujan di Pagipagi Sekali
Oleh: Akhiriyati Sundari

Dongengmu ini seperti hujan di pagipagi sekali
Mengirim kesedihan luar biasa
Sewarna dengan perasaan ketika ditinggal pergi kekasih

Dan di pagipagi sekali ini
Hujan kembali mengunjungiku
Menderaskan air mataku

Teringat Pamujiku
(Teringat in memoriam-ku)

Teringat ibuku
(Teringat kesedihanku)

Ngestiharjo, 24 Januari 2007


SMS Pembaca



Ass, Sy Lia, slh 1 pmbc Lontar. Btw, Lntr sgt mbggakn. Sy mo ty, Lntar biasa'a kluar + - tgl brp ya stiap prgtian bln?? Mf kl ggu. Wass.
(Lia-081904018xxx)

Salut deh buat LA! Dg mndatangkn pnulis2 hndal sy jd tau bhwa sya blum mjd seorang pnulis, pokoe pgalaman yg g bs dilupakn, bnyk akhwatnya ya! bagoeuss.. (Andhika-085643246xxx)


Kata Mutiara
Orang Yang Sukses Adalah Orang Yang Mampu Hidup dalam Ketidaknyamanan By Komunitas Lumbung Aksara
Membaca-Menulis,Menjaga Hidup


Biodata Penulis

Akhiriyati Sundari, alumni MAN 2 Wates (1997) ini lahir di Kulonprogo, 16 Oktober 1979. Puisinya masuk di Herbarium, Antologi Puisi 4 Kota; Bandung, Denpasar, Padang, Yogyakarta (PUstaka puJAngga,2007). dan Seorang Gadis Sesobek Indoneisia: Antologi Puisi Kulonprogo (2006). Email: monggo_mocomoco@yahoo.co.id

Anib Nuham, nama pena dari HM Anwar Hamid, S.Sos adalah mantan Wakil Bupati Kulonprogo (2001-2006). Lahir di Bantul tahun 1958. Alumni Fakultas Adab IAIN SuKa dan Sosiologi Stisipol Kartika Bangsa Yogyakarta. Tinggal di Bendungan Wates.

Diana Trisnawati, masih belajar di SMA 2 Wates.

Hasta Indriyana, lahir di Gunungkidul, 31 Januari 1977. Manajer komunitas Tandabaca Yogyakarta ini pernah menjabat Sekretaris Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY, 2003-2005). Mengikuti workshop penulisan esai Majelis Sastera Asia Tenggara di Palembang (2005). Buku yang telah ditulis: Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta (Jendela-2004), Perempuan tanpa Lubang (Pinus-2005) dan menyusul Teater Pendidikan Untuk Pembebasan (INSISTPress-2007).

Muh Rio Nisafa, PNS di Pemda Kulonprogo ini lahir 23 September 1978. Sempat menjadi penumpang setia KA Progo selama 2 tahun. Tulisannya dapat dinikmati di www.rio-nisafa.blogspot.com

Nani, lengkapnya Isnani Nurhalimah, aktivis perempuan yang pernah menggeluti wacana formalnya di jurusan Akidah Filsafat UIN SuKa. Guru MAN 2 Wates ini tinggal di Plumbon Temon.

Osephe H. W., Lahir di Kulonprogo, tinggal di Catur Tunggal Sleman. Belajar Sastra Inggris di USD Yogyakarta. Volunteer di sebuah Mobil Klinik anak-anak jalanan di berbagai persimpangan jalan Yogyakarta. Sajaknya "Berkelakar, Adam dan Kekasihnya" dibawakan di "Panggung Penyair Muda se-Jogja I di Taman Budaya Yogyakarta (20 Agustus 2006).

Retno Prihandaru, siswi SMA N 2 Wates kelas 3 ini lahir di Semarang, 19 Juli 1989. Hobi membaca, menulis, mendengarkan musik dan nge-net. Tinggal di Panjatan.

No comments: