Thursday, July 2, 2009
Salam Sastra!
Usai absennya buletin sastra tercinta ini, ada cerita mengesankan (meski agak sedikit emosional) dari seorang pembaca-penggemar LONTAR. Melalui pesan pendeknya yang dikirim kepada kami, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di distrik timur Pasar Wates, berusia 54 tahun, mengaku terharu mendapati LONTAR yang ‘tercecer’ di pojok Alun-Alun Wates. Puteranya, yang seorang pelajar, rupanya merupakan pembaca setia LONTAR dan kerap berbagi bacaannya itu dengan sang ibu. Selama ini si anak setia menanti LONTAR terbit, hingga beberapa waktu silam menanyakan kepada sang ibu, “kenapa LONTAR ngga terbit-terbit, Ibu?”
Duuuh… Rasa haru sang ibu yang dibopongkan ke kami itulah, meski hanya melalui pesan pendek, yang menyentuhkan ‘rasa emosional’ di bilik redaksi. Untuk selanjutnya, memantik kami agar segera bergegas, meracik sedap naskah-naskah yang bejibun di layar maya kami, dan bergegas pula kami hidangkan kepada kalian; sidang pembaca LONTAR yang budiman. Kami juga tak jemu menunggu-nunggu, karya-karya orisinil dari kalian semua. Bergegaslah pula untuk mengirim ya? Terima kasih, Kawan….
Selamat Membaca...
TETES
Membela Pancasila
Memasuki bulan Juni, kita langsung teringat dengan Pancasila, ideologi yang merupakan pilihan cerdas para pendiri NKRI yang kita cintai ini. Sampai sekarang Pancasila adalah alat pemersatu bagi negara kepulauan nusantara dan perlu kita teguhkan kembali dalam dunia yang semakin global. Ideologi transnasional sudah mulai masuk dan memengaruhi warga negara. Jika kita melupakan sejarah dipilihnya Pancasila sebagai dasar negara maka dikhawatirkan persatuan negara menjadi goyah.
Indonesia adalah negara besar dengan laut yang luas dan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Perlu kesadaran kebangsaan yang kuat untuk tetap menjadi negara besar. Berbagai suku bangsa, bahasa, budaya, agama, dan berbagai perbedaan adalah karunia yang perlu kita jaga kelestarian dan keberlangsungannya. Semua itu adalah kekayaan negara ini.
Mungkin ada orang yang membahas relevansi Pancasila dengan kondisi saat ini, dikarenakan Pancasila pernah menjadi alat penguasa untuk memaksakan kehendaknya. Kalaupun Pancasila pernah disalahgunakan, maka kita tidaklah kemudian menolaknya seperti halnya facebook yang juga bisa disalahgunakan, tetapi tidak kemudian kita mengharamkannya hanya karena sedikit penyimpangan.
Sejatinya, NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negaranya adalah sudah final sebagaimana yang telah diputuskan Muktamar NU tahun 1984. Jadi membela NKRI dan Pancasila adalah termasuk jihad dan merupakan manifestasi dari hubbul wathan (cinta tanah air). (Z. Latif)
ADA APA DENGAN LA
Tadarus Puisi dan Bedah Buku ”Mutiara Kata”
Mutiara kata mengalir di acara Tadarus Puisi Komunitas LA, Kamis 26 Februari 2009 yang digelar di Taman Binangun Kulonprogo, komplek Alun-Alun Wates. Selain diisi pembacaan puisi oleh seluruh hadirin, buku Mutiara Kata karya Anton WP dibedah oleh M. Rio Nisafa. Dengan dimoderatori Sukardi Cimeng, ”Mutiara Kata bisa menjadi semacam buku petunjuk bagi para penulis, sekaligus sebagai motivator untuk menemukan kata-kata yang bisa menjadi ikon versi diri sendiri”, ungkap Rio yang biasa meng-ikon-i diri sendiri dengan ”Rock d' Word”. Acara kali ini dihadiri pula oleh kawan-kawan dari Sanggar Sastra MAN 2 Wates dan komunitas Padhang mBulan. (Chito)
Tadarus Puisi bersama Salman Rusydi Anwar
Sebagai wujud khidmat dan eksistensi di dunia sastra, Komunitas Lumbung Aksara menyelenggarkan hajat bulanannya, Tadarus Puisi (TP). Acara yang diselenggarakan tanggal 26 Januari 2009 ini mengambil tempat di Taman Binangun KP. Peserta yang hadir kali ini 25 orang dengan pembicara seorang sastrawan muda berdarah Madura, Salman Rusydi Anwar.
Acara diawali dengan ritual LA, yaitu pembacaan tahlil oleh Zukhruf Latief. Dilanjutkan dengan sambutan oleh Lurah LA, Marwanto. Untuk memecah kebekuan suasana, diselingi dengan pembacaan puisi oleh beberapa peserta. Setelah itu dilanjutkan dengan diskusi sastra bersama Salman Rusydi Anwar. Sastrawan ini bercerita bagaimana proses kreatif menulis. Menurutnya, sebuah inspirasi bisa berasal dari mana saja, terutama dari pengalaman pribadi. Dari pengalaman-pengalaman pribadi tersebut, bisa dilukiskan kembali lewat kata-kata sehingga orang lain pun bisa terhanyut ketika menikmatinya. Bagi mereka yang pernah membaca karya-karya Salman, akan mendapati nafas spiritual, di mana hal tersebut berasal dari pengalaman pribadinya. (Sukardicimeng)
MENIKAH itu ENAK dan PERLU
Di sehampar tahun 2008 - 2009 ini, kabar bahagia tengah mengalun di ruang hati kawan-kawan sejarah Lumbung Aksara. Sebuah siklus kehidupan pelan-pelan tetapi nyata, merengkuhi segenap jiwa-jiwa yang dikebat cinta. Dimulai dari pekan pertama bulan Syawal tahun 2008: Samsul Maarif, mantan redaksi LONTAR, menggandeng Ummu Hani' (sekarang tengah menanti buah hati yang sudah tumbuh) di Piyungan Bantul, 25 Desember '08: Zukhruf Lathif (layouter LONTAR) dan Siti Ulfah Nabawiyah mengikrarkan diri di depan hadapan Tuhan di Pleret Bantul (sekarang juga tengah menanti kelahiran keturunan pertama), 13 Februari 2009: Fajar R. Ayuningtyas (Fafa) dan Dhiawan meresmikan ikatan cinta mereka di Hargorejo Kokap, dan di hari yang sama adalah Nur Widodo (komunitas Sangsisaku) menikahi kekasihnya di Kendal Jawa Tengah, dan 21 Juni 2009: Siti Masitoh (PU LONTAR) disunting oleh Burhanul Fahruda di Plumbon Temon. Tali kasih yang berpadu sedemikian itu pasti kian indah, seiring doa restu dari kawan-kawan semua, juga pembaca LONTAR; semoga kebahagiaan jualah yang senantiasa memandu kisah cinta mereka; melahirkan puisi terindah; puisi paling puisi... Amin. Andakah yang akan menyusul? Hayoooo... (Ndari AS)
Peringatan 3 Tahun Komunitas Sastra Lumbung Aksara Kulon Progo
Sabtu sore, 2 Mei 2009, bertempat di halaman kampus UNY Wates, Komunitas Sastra Lumbung Aksara Kulon Progo menggelar perayaan HUT-nya yang ke-3. Meski sederhana, tidak mengurangi kehangatan sekaligus keakraban di antara para “penyair” Kulon Progo. Tampak hadir Komunitas Padhang mBulan, para penggiat sastra dan masyarakat umum.
Lumbung Aksara sebagai satu-satunya ”komunitas kultural”, yang mencintai seni, pustaka, budaya, dan sastra, dalam 3 tahun usianya, tidak pernah lelah untuk terus menggeliatkan minat baca-tulis di kalangan masyarakat Kulon Progo. Banyak yang telah dilakukan di usianya yang begitu ranum, seperti penerbitan buletin sastra LONTAR, menggagas berdirinya Taman Bacaan Masyarakat, merutinkan agenda Tadarus Puisi, dll, di mana semuanya bermuara pada tujuan bersama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Aguk Irawan MN (penyair-sastrawan dan Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Jogja) yang di-dapuk untuk memberikan orasi sastra, menegaskan bahwa “sastra itu bisa menyapu peradaban, sastra itu bisa mencuci, menyenggol yang luka, bisa menghapus yang perih”, sembari berpesan kepada kawan-kawan Lumbung Aksara agar selalu menjaga 'nurani'nya dalam bersastra dan tidak usah latah mengikuti arus sastra “gelap” dan menyesatkan”. Acara yang berdurasi sekitar 2 jam itu di meriahkan dengan pembacaan puisi oleh para penyair Kulon Progo.
Selamat buat Lumbung Aksara, semoga tetap kekeuh untuk terus “Membaca-Menulis; Menjaga Hidup“. (Izur)
CERPEN
RUANG TUNGGU
Cerpen Elang Retak
“Didedikasikan kepada para kekasih yang tak jenuh menunggu”
Jubelan manusia tumpah di ruang itu. Berdiri enggan, duduk pun tak mau. Sebentar-sebentar menatap penanda waktu di dinding. Ada yang tersenyum cerah, sebentar lagi orang yang ditunggu tiba. Ada yang terlihat murung, bakal berpisah.
Di sebuah pojok, berdiri sepasang kekasih. Mereka termasuk barisan yang murung berat. Si perempuan itu menatap sayu wajah kekasihnya. Bibirnya mengguratkan senyum jingga. Sementara lelaki di depannya tampak menggumamkan sesuatu; sederet kata penguat.
Dawai perpisahan sedang dimainkan sang musisi waktu. Pada jeda ini alur rasa menggapai klimaks. Pola verbal kehilangan sentuhan ajaib.
“Enu, andai kau yang kutuju, aku tak perlu berlari, karena tanpa kukejar pun. Kuyakin kau tetap di sini menungguku ”, bisik Erang dengan bibir bergetar.
“Iya, saya akan bertahan sampai kau pulang”, balas Wella.
Dialog cinta bergulir. Entah sebentuk permohonan untuk tegar menjalani kisah yang akan terpisah ruang dan waktu, entah metamorfosis dari pertanyaan serpihan keraguan hati tak bertepi. Temu dan pisah adalah dua titik kecil yang bisa ditarik garis-garis mini membingkai sebuah kisah.
Akan halnya kisah cinta Erang dan Wella. Bermula tiga tahun silam. Erang, mahasiswa Ilmu Politik UGM Yogjakarta, sementara Wella, mahasiswi keperawatan UNDANA Kupang Nusa Tenggara Timur diperkenalkan oleh teman mereka lewat telepon. Lembut tutur Wella yang mempesona, ibarat panggilan pulang bagi Erang untuk kembali menapaki sebuah masa yang pernah membuat dia retak dan enggan berhubungan dengan semua sosok perempuan.
“Aku jatuh cinta lagi. Kali ini pada suaramu ”. Serangkai kata, awal kebekuan mencair terucap dari mulut Erang. “Iya, aku juga“, Wella terkontaminasi sindrom perasaan mutual yang sama.
Keduanya sepakat menamakan ini sebuah kebetulan yang indah. Kebetulan, karena terjadi begitu saja. Indah, sebab bermata airkan ledakan rasa yang tak tertahan, bermuara pada kesepakatan tak terucap untuk menjaganya. Dan semua pun mengalir, sejalan ritme yang tak sengaja dikonsep, larut dalam manis dan getir. Mereka masih bertahan, tenggelam dalam mekanisme cinta yang tak butuh tali.
Kali ini menjadi perpisahan kedua, sekaligus menandai saat pertama Wella mengakhiri status sebagai mahasiswi, usai diwisuda sebulan kemarin. Long distance tetap berlanjut, Wella di Labuan Bajo NTT, Erang di Yogyakarta.
Lonceng perpisahan pun bertalu. Kapal Tilong Kabila yang akan membawa Erang dari Labuan Bajo menuju Yogyakarta merapat di dermaga.
”Enu, jaga hati e! Jaga diri juga. Jangan lelah menunggu. Jika kau rindu, datanglah ke sini di saban kapal merapat. Deraskan kembali kata-katamu tadi, bahwa kau akan bertahan sampai aku benar-benar pulang. Percayalah, aku mengunjungi hatimu saat itu”. Wella mengangguk kecil, tak kuasa menjawab. Erang mendaratkan kecupan hangat di keningnya, kemudian beranjak menaiki tangga kapal, diiringi lambaian tangan sang kekasih. Hingga kapal perlahan beringsut menjauh dan tak kelihatan lagi ujungnya, Wella menurunkan tangan. Beranjak dari ruangan itu.
Sebelum pergi, dia sempat berbisik lirih dalam hati, “Nana, saya sudah terbiasa dengan ini, dan kau harus tahu, sedetik pun di catatan waktuku, tak pernah berpikir tuk melepasmu dari kisah kita. Cuma Nana yang saya cemaskan. Satu hal, Nana, rapatkan mantel dan kencangkan sepatu boat biar tidak ada cahaya lain yang masuk!”.
Waktu terus bergulir menguji konsistensi para pelakon kisah menggenggam janji. Wella tenggelam dalam rutinitas baru sebagai tenaga honorer di sebuah klinik kesehatan Labuan Bajo. Amanat perpisahan yang dipesankan sang kekasih tetap setia dijalani: ia selalu mendatangi ruang itu di saban kapal merapat.
Rupanya, menjalani sesuatu yang tak biasa, dengan penuh keyakinan sekali pun tetap akan konyol. Tapi Wella tak pernah memilih untuk yakin atau tidak. Ia hanya menuruti panggilan rasa. Dan cinta butuh kerangka biar tidak berlari liar tanpa batas, tanpa tujuan. Wella telah menjadikan Erang sebagai satu-satunya tujuan hidup dalam bingkai cinta. Lakon yang kemarin pun terulang, lalu terulang lagi, meski konyol dan bodoh.
Sampai pada suatu hari, muncul sepenggal pesan singkat dari sang kekasih di Jogja.
”Enu, maafkan aku. Aku sudah salah jalan. Telah mengingkari kisah kita. Saat ini, aku tengah menjalani dua dunia. Jika bertanya pada rasa, di mana sebenarnya pelabuhan yang kutuju, rasa akan enggan menjawab. Sebab, sebelum melakoni dua dunia ini, aku tak pernah berdiskusi dengannya, atau sekadar mohon diri. Sengaja kukirim sms saat ini, karena aku tahu sebentar lagi kapal akan merapat. Katakan pada sosok asing yang akan kau jumpai dalam monologmu nanti, ini kali terakhir kau menunggunya”.
Ibarat petir di siang bolong, itulah tamparan paling keras dalam hidup Wella. Lelaki yang dipercaya sebagai penjaga hati, datang dengan kejujuran yang menjijikkan, melebihi sebuah kebohongan paling busuk. Lelaki terindah hingga dia merelakan dirinya mengenal banyak hal terkonyol, kini bermutasi menjadi monster. ”Tapi bukankah cinta tak butuh tali? Dan kisah tak akan pernah berakhir, sebelum rasa itu sendiri datang mencabutnya. Lalu di mana rasa saat Erang….berkhianat? Dan, ruang tunggu itu?” Monolog Wella.
Ruang tunggu adalah tempat persinggahan jejak yang pergi dan datang. Mampir sejenak di sana berarti siap berfluktuasi dengan imajinasi menjadi orang lain. Yang siap berangkat pasti ingin bertukar sosok dengan yang baru turun dari kapal. Tapi, akankah yang datang juga menginginkan itu? Yang tersisa hanyalah kumpulan penjemput dan pengantar dengan imajinasi liar berpendar dari satu titik ke titik lain.
Ruang tunggu dengan pembatas berupa pajangan kaca tembus pandang adalah penjara nyata untuk setiap keinginan berontak. Sebuah titik jungkir untuk berlayar dan terus berlayar, hingga tak pernah kembali. Atau titik labuh setiap keinginan untuk tak lagi pergi. Bisunya tiang penyangga dan beningnya kaca pembatas tak pernah mengajak para pesinggah untuk berdiskusi tentang arti datang dan pergi. Atau sekedar bernegosiasi betapa retaknya sebuah hati yang ditinggal.
Tut...tut...tut...Sayup-sayup dari kejauhan terdengar bel kapal berbunyi. Wella sadar dari terpekurnya. Pedih yang melukai hati serasa pulih seketika. Dia bangkit dan berangkat ke pelabuhan. Masuk ke ruang itu. Dan berdiri di tempat kemarin ia berdiri.
Dia diam sejenak, lalu; “Nana, ini kali terakhir aku tak perlu menunggumu lagi di ruang ini. Dan kau tak harus pulang sebelum bertemu dengan rasamu itu. Kutunggu kau dan rasamu kembali di ruang hatiku. Di sana kupastikan kalian masih sempat berdebat sebelum kau akhirnya pergi lagi. Ketahuilah aku tak cukup punya kekuatan tuk menahanmu. Cinta kita tidak butuh tali!!” Tit…tit….tit…, sms terkirim.
CATATAN :
Enu : panggilan buat perempuan dalam kosa kata bahasa Manggarai NTT.
Nana : panggilan untuk lelaki.
Erang : hebat, jago, luar biasa, istimewa.
Wella : diadopsi dari kata wela yang berarti bunga.
Labuan Bajo : nama kota di ujung barat Pulau Flores NTT. Kota yang termasuk salah satu ikon pariwisata lokal dan nasional, sebagai tempat transit para wisatawan yang hendak berkunjung ke Pulau Komodo.
Tilong Kabila : Satu-satunya kapal penumpang milik PELNI yang bersandar di pelabuhan Labuan Bajo dengan rute pelayaran Makassar-Labuan Bajo-Bima-Lombok-Bali.
GEGURITAN
GAPUK...
Dening: Redjo Wahid
Sumilir angin wengi iki
Rasa adem tansah nggugah ati
Binarung suaraning ratri
Ra krasa luh tumetes mlebes mili
Mbok..aku bingung
Prasasat lumebu ing alas gung liwang-liwung
Dalan-dalan kuwi tansah nyandhung-nyandhung
Gawe cupet ati petheng katutup mendhung
Aku isin marang gebyaring lintang
Aku gila nyawang sewu ayang-ayang
Kang tansah tumuju lenggah
Ing sakjroning impen ngejawantah
Mbok..aku ora kuat
Nampa panandhang kang kedungsang-dungsang
Pepes nyempyok prahara sinandhang
Aku ora kuat..
Nalarku gempung...
Ora bisa weruh
Marang sapa aku njaluk tulung
Aku gemblung..
Apa kalbuku wus gapuk
Banjur arep nglumpruk
Ing sakjroning angen-angen kang temumpuk
Mboh ra weruh
Pacraban Wukir Kencana
14 Maret 2008
PUISI-PUISI
Hari Ini Tak Ada Pagi
Untuk: Ayu
Oleh: Sukardi Cimeng
Hujan itu telah mulai reda
Setelah semalam memuntahkan isi hatinya
Seiring detik jam yang terus berjalan
Lagilagi matahari tak mau menyembul keluar
Bertengger di balik gunung menggantikan malam yang pekat
Hanya angin dan kabut yang berselingkuh di balik bukit
Menyisakan dingin yang menusuk pori
Apakah hari ini tak ada pagi?
Ah, biarlah
Pagi adalah makhluk yang tak bernyawa
Berkuasa atas kehendak tuannya
Aku masih punya kata dan pena
Yang kan kurajut menjadi cerita kehidupan
Menyusuri titian panjang
Hingga kutemui engkau yang telah lama menunggu
Bersembunyi di balik bayang mimpi malam itu
Kita berjalan bersama
Mengurai kata yang telah kita susun
Hingga di akhir asa
Pengasih, Januari 2009
Derup Jiwaku
Oleh: Ike Riyanti N.
Kuambil pena
Aku goreskan di atas kertas
Khayalku meninggi
Sekilas terlihat jalan
Panjang terbentang lurus
Itulah jalan setapak
Jalan yang acapkali aku lalui
Walau terasa berat hati jiwa
Raga ini, yang ada hanya
Dirimu, hanya bayangmu
Lihat sungai kering
Riak air tak nampak
Sekering hati di sini
Menanti..
Hanya bayang mu, hanyalah
Itu yang selalu kau berikan
Hari-hari yang sepi
Tanpa dirimu
Rasa hati menggebu-gebu
Berjumpa denganmu
Walau hanya sekejap
Sejauh mata memandang
Setelah Seorang Pemburu Singgah
Oleh: FAFA
Pemburu itu akhirnya singgah. Di kepompongku
Menggantungkan sayapsayap kekupu liar lain di celahcelah
Buruannya.
"Warnamu akan indah." Ia meletakkan senapan
Berdiri menaksir aku. Setelah menggantungkan sayap terakhir di celah
Yang tersisa
Dalam kepompong. Dalam remang. Dalam balutan Warna indah sayapsayap itu
Sayapku yang mulai tumbuh. Mendadak
Patah
Ia berdiri dan pergi
Denting Sunyi Menyergap
Oleh: Septi Martiyani
Tawamu membeku
Dan hatimu membisu
Kepakan sayap pipit di ujung cemara
Gerimis yang membentak di balik jendela
itu hanya sekeping luka yang kau bilang begitu indah
saat kau beritahuku arti cinta
saat kau berikan aku nafas cinta
kau berkata semua tentang cinta
Luka indah itu kini kau lukai
Dengan jeratan benang hitam di hati
Kau kekang dengan sejuta kebohongan
Merobek hatiku yang haus asa
gerimis itu adalah air mataku
dan pipit kecil itu adalah jeritan hatiku
apa cinta itu hanya divariasi luka?
dan harus berakhir dgn luka ?
Aku memang tak lagi mau mencinta
Sematkan luka indah itu sebagai cahaya
Biar aku yang berakhir dengan luka
MAGNET
Oleh: Siti Masitoh
Seperti magnet, kita menyimpan ego
Berguru pada arah yang tak bisa disatukan
Kutub utara
Kutub selatan
Kita pun memilih salah satunya
Untuk saling berlawanan
Atau berdekatan
Seperti magnet, kita mencipta diri
Mengekalkan muatan, atau melebur keberadaan
Positif
Negatif
Kita pun belajar darinya
Untuk menjadi lebih
Atau menjadi kurang
Seperti magnet, kita hanya saling memindahkan
Luka pada senyum
Kuat pada rapuh
Hingar pada sepi
Apa yang tampak
Dan apa yang kita sembunyikan
Seperti juga petak umpet
Yang membiarkan kita memilih
Dicari
Atau mencari
Kota dengan Warna Jingga
; Jogjakarta
Oleh: Andjar
Redup lampu jejalan merasuk kejiwa menjadi lilin, meleleh diam-diam dalam kenangan musim, gugur dalam setiap panggil
Degup rindu menanya cakrawala menggeletar
Tak sampaikah, segala panggil pada ruang segala kuingin
Mirip resah, dedaunan yang jatuh dimainkan arus angin Jiwa yang tak jua diam, menjejak gelegak
Ku bawa segala getir, cerita burung dengan ingatan yang karatan
Lusuh sayapnya, mendekap deru cuaca tak reda-reda
Tak jengah diarus ; menggerus
Kota dengan segala warna jingga, memeram jiwa; menanti ku bertumbuh dalam dahaga
dalam letih tanya, di rimbun cecabang ku mengais kemakluman
Lapar yang tak reda
Sisa rindu yang tak lerai dalam peziarahan ingin kutandaskan benar, deras sangsai pada muara pertemuan Kusapa juga musim, dimana cawan kerontang menanti gerimis kepulangan Sisa kembara, lelaki yang menyetubuhi mimpi; lebam jiwanya diliputi debu jejalan-trotoar
mengalir darah, di deru kota; datang juga segala bising dengan erangan dari masa silam
Lanskap kota yang tercabik; menimbun prasangka, etalase kaca,
berserah pada cakrawala dalam gerimbun antene; rumah-rumah kaca
Anak-anak zaman mencari; di tikungan gamang, di cecabang perdebatan
Jogjakarta, Maret 2006
Sebatang Lilin
Oleh: Ragil Prasedewo
Sebatang lilin tergeletak di atas nisan
Di sebelahnya, sebilah pedang, serangkai bunga,seonggok
Batu diam dalam malam
Sebilah pedang, serangkai bunga, seonggok batu, temani
Kesendiriannya
Ketika senyap hadir
Seorang anak yatim, ikut mengirim doa
Djogja, 26 Februari '09
SMS DARI PEMBACA
”Ass. Klo mu ngirim cerpen g5n? Pa langsung bs dmuat? Wass. ”
(Aftanty 085292843XXX)
”Slmt pg. Sy Andarisa. Dmana x bs mndptkn lontar. Sy blum puas klo hnx liat dblog. Cz sy sring khbsn. Krn ksbkn jd g up date n g bs ngrim tlisan”
(Andarisa, 085292451XXX)
BACA BUKU
Puisi & Santri; Seperti Kopi
Judul : Hijrah dari Tubuhmu (Antologi Puisi Komunitas Malaikat)
Cetakan : I Februari 2006
Penerbit : Komunitas Malaikat Tasikmalaya JABAR
Tebal : viii + 81 halaman
Bagi saya, membacai beragam puisi, seperti menikmati secangkir kopi. Dari mulai aroma wangi hingga larut mencercap getir setiap butirannya. Dan seperti keimanan saya yang lain, puisi bukanlah kata-kata yang muntah begitu saja. Tanpa mengendapkan rasa, puisi tak lebih dari omong kosong belaka.
Adalah sembilan penyair dari Komunitas Malaikat yang konon adalah santri yang penyair (atau penyair yang nyantri?) yang mencoba membenamkan kegelisahannya dalam wujud larik puisi yang apik. Bahasa kerinduan, keterasingan, keberjarakan antara aku (penulis) dengan yang lain terungkap cukup seragam dalam antologi ini. Barangkali karena ‘ruh’ dari masing-masing penyair yang nyaris sama, meskipun latar belakang kesibukannya berbeda.
Persinggahan demi persinggahan saat hijrah dari pesantren ke pesantren, agaknya membuat para penyair ini kenyang dengan kata-kata. Terlihat dari penggunaan metafor yang cukup rumit, sehingga mengisyaratkan bahwa puisi ini berat, bahkan bisa dibilang cukup serius. Meski begitu karena ruh ke-’santri’-annya yang juga cukup melekat, tidak sedikit dari puisi-puisi dalam antologi ini yang terkesan nyufi. Ekspresi kesahajaan, kejujuran, lugas, dan apa adanya, begitu menggoda. Sesederhana menjalani hidup sebagai sabda titah semesta. Ufhh...
Sebagai seorang pembaca biasa, bisa jadi saya tidak jujur kepada Anda.
Lantas, bagaimana menakar kejujuran sebuah puisi dalam antologi ini? Barangkali Anda sendiri yang harus menjawab dengan membacanya.
(AriZur, Penikmat kopi dan cerita iseng lainnya. Masih menunggu cinta)
BIODATA PENULIS LONTAR
EDISI 21/Th. III/2009
Andjar, panggilan dari A.Ginandjar Wiludjeng, lahir di Banyumas 11 Juni 1983. Mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) dan ASDRAFI (Akademi Seni Drama Film Indonesia). Dipercaya sebagai Ketua Teater Dokumen (Pendopo Mangkubumen) periode 2005-2007 UWMY. Sekarang, sajak-sajaknya bertebaran di media massa, lokal maupun nasional. Tinggal di nDalem Mangkubumen Yogyakarta.
Ragil Prasedewo, penyair dari SMK N 2 Pengasih jurusan Bangunan. Dia menggemari sastra dan rajin hadir di acara Tadarus Puisinya LA. Ia juga tak malu membacakan sajak-sajaknya. Tinggal di Mutihan Wates.
Siti Masitoh, saat ini berstatus pengantin baru. Bersama suaminya, Burhanul Fahruda, belajar menulis sajak kehidupan berdua saja. Meski menikmati keberduaannya, ia tetap aktif memegang tampuk PU LONTAR. Tinggal di Plumbon Temon.
Redjo Wahid, penggurit aktif yang 'nyentrik'. Tinggal di Wates dan Panjatan.
Ike Riyanti N, tidak menyertakan biodata lebih panjangnya kecuali bahwa ia adalah pelajar di MAN 2 Wates, Jl. Khudhori Wonosidi Kidul KP.
Septi Martiyani, mengaku senang baca LONTAR, tapi tak tahu gimana caranya dapetin LONTAR selain dari perpus sekolahnya, di SMK N 1 Pengasih. Pelajar kelas X Ak 1 ini ber-email di nurani.bening@yahoo.co.id.
Fafa, Nyonya baru. Masih betah tinggal di Hargorejo Kokap. Blog pribadinya ada di selepas-lautan.blogspot.com.
Elang Retak, menyatakan terima kasih pada LONTAR atas spirit multikultur yang “dibuka” melalui buletin sastra ini. Cerpenis asal Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur ini tengah menempuh studi di Jurusan Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta. Berdiam di Mrican-Arimbi 10 Yogyakarta.
KATA-KATA MUTIARA
"Jika seseorang kehilangan kesenangan kecil dalam hidupnya, bahkan seandainya kesenangan besar sekalipun, dan sebagai gantinya diberi kesempatan mencintai seseorang, maka tak ada yang lebih baik dari itu”
(Taslima Nasrin, dalam novelnya; LAJJA)
Monday, May 25, 2009
Lontar 20
BILIK REDAKSI
Salam Sastra!
Pecinta LONTAR yang baik hati, dengan segala sesal yang sejatinya tak ingin kami bagi, kami harus berucap mohon maaf yang terdalam. Atas vakumnya buletin sastra tercinta ini selama….lamaaaaaa sekali. Jeratan tali di kaki-kaki kami yang sungguh sukar untuk kami urai dan kami enyahkan, membuat kami kesulitan berjalan dan berlari jauh mengejar kalian: pembaca dan pecinta LONTAR yang budiman, yang selalu setia mengirim rindu kepada kami. Sesungguhnya, kami tak malu dan tak ragu untuk mengatakan bahwa kami pun rindu. Mudah-mudahan ini tidak terdengar seperti apologi. He he.
Edisi terbaru kali ini dan seterusnya kolom BYAR sudah tak ada lagi digantikan dengan kolom “sejenis tapi tak sama”, seiring kebijakan pergeseran kerja-kerja redaksi dan sedikit alasan regenerasi. Semoga pembaca maklum.
Maka, mulai saat ini ijinkan kami bertandang lagi, menyapa kalian semua. Mendenyutkan kembali nafas bersastra di tlatah Kulonprogo yang selama ini terasa ‘mati suri’.
Rentangkanlah tangan kalian. Biar kita selalu hangat dan mesra.
Hmm, salam hangat!
Selamat Membaca...
TETES
Siklus: Mata Rantai yang tak Bisa Putus?
TULISAN ini tak hendak menempatkan diri sebagai katalis dari rona demokrasi yang tengah “dipestakan” di negeri ini. Sekedar guneman yang terbata-bata menyimak peta saja.
Ungkapan Lord Acton mungkin masih cukup populer hingga kini; “kekuasaan cenderung korup”, dan demokrasi di negeri ini, meminjam istilahnya Rocky Gerung, rupanya diturunkan maknanya menjadi dangkal dan banal: sekedar transaksi kekuasaan (garis bawah dari saya). Riskan untuk disusupi tindak korup. Korup dalam makna luas yang tak melulu berarti menilap duit. Tak sepenuhnya sinis memang, tetapi beberapa bulan terakhir ini semua tampak nyata di depan penciuman kita. Akrobat yang dianggap sebagai ”pesta demokrasi” yang indah dan dinanti-nanti, tak lebih dari rutinitas yang dangkal. Terasa sekali bancakan duit rakyat berhamburan di seluruh lokasi berikut persoalan yang bejibun meningkahi kekurangan demi kekurangan penyelenggaraan hajatan itu sendiri. Sikap pesimis dan apatis di elemen besar warga negeri ini, membuktikan helat yang diselenggarakan terasa kurang nresep. Hanya menambahi jenuh yang masih belum pergi. Entahlah.
Sahdan, negeri ini dinyalakan sumbu kemerdekaannya untuk menuai hak warganya meraih kesejahteraan hidup. Klise sih. Kemudian demokrasi disepakati sebagai ”yang dibayangkan” sebagai jalan pengelolaan sebuah negeri. Infrastrukturnya melalui di antaranya pemilihan umum. Namanya saja pemilihan; setiap individu berhak memilih ikut dan berhak memilih tidak. Dua hal yang sama-sama tak ringan sebenarnya. Dan pada taraf inilah sesungguhnya kita masuk di sebuah siklus.
Siklus adalah hal yang bersifat berulang, bahkan kadang hanya pengulangan saja, tanpa sesuatu perubahan berarti. Kita pasti tak ingin stagnasi keadaan berlangsung terus di sini. Apakah lantas siklus atau mata rantai itu bisa diputus demi hal besar yang lebih berarti? Jawabannya akan sangat bergantung pada kualitas pemimpin dan agenda kerja yang dihasilkan kelak. Ya. Sosok pemimpin, bukan sosok pejabat.
Wallahua’lam bi ash-showab
(NDARI saja, www.sketsajagad.blogspot.com)
ADA APA DENGAN LA
Tadarus Puisi dan Bedah Buku “Tasawuf Cinta”
Sebagai perwujudan khidmah terhadap dunia sastra di Kulon Progo, pada tanggal 16 Agustus 2008. Komunitas Sastra Lumbung Aksara mengadakan hajatan bulanannya yaitu Tadarus Puisi yang bertempat di Pondok AB, selatan Taman Makam Pahlawan Giripeni Wates. Hadir pada kesempatan itu para punggawa serta simpatisan LA., diantaranya Lurah Marwanto, Siti Masitoh, AriZur, Ndari, Didik Komaidi, Rio “Rock the World”, Burhan, Sukardi Cimeng, dll.
Acara yang dipandu oleh Borhanul Fahruda tersebut berlangsung meriah. Diawali dengan pembacaan tahlil oleh Didik Komaidi, dilanjutkan dengan bedah buku “Tasawuf Cinta” karya Gus Edo dari Jombang Jawa Timur. Sebagai pembedah kala itu adalah Sukardi Cimeng.
Sehabis bedah buku diadakan diskusi sastra diantara masing-masing peserta TP. Dalam diskusi tersebut banyak disinggung tentang merebaknya novel-novel bernuansa Islam dengan label “Cinta”. Fenomena tersebut disinyalir hanya sebuah “latah” belaka, dimana hal tersebut merupakan pragmatisme dari penulis dalam mengejar pasar yang hanya menguntungkan bagi pemodal (kapitalis), dimana dalam hal ini adalah penerbit. Menanggapi hal tersebut, proses kreatif yang terus-menerus sangat diperlukan sehingga akan terbentuk sebuah karakter dari karya sastra.
Acara tersebut diakhiri dengan pembacaan puisi oleh masing-masing peserta. (Cimeng).
Tadarus Puisi dan Diskusi Buku LA
Kamis, 26 Februari 2009 bertempat di Taman Binangun Kulon Progo. Di tengah cuaca mendung dan pekat disertai rintik hujan yang menyelimuti tidak menyurutkan sekitar 25 orang untuk membaca puisi dan berdiskusi tentang buku Kata-Kata Penggugah Motivasi untuk Mulai Menulis karya Anton WP. Sebagai pembedah buku kali ini adalah Rio Nisafa. Dalam kesempatan itu dikatakan bahwa bagaimana buku tersebut mampu memotivasi bagi setiap pembacanya untuk memulai menulis.
Setelah tanya jawab dengan peserta selesai, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi. Setiap peserta yang hadir turut membacakan puisinya, baik itu karya sendiri atau karya orang lain. Puisi dari Joko Pinurbo menjadi puisi yang kala itu banyak dibaca oleh peserta. Menurut Zahra, salah seorang peserta dari MAN 2 Wates ini mengatakan bahwa acara ini sangat bagus, setidaknya menginspirasi untuk menggerakkan sanggar sastra disekolahnya.(Sukardi Cimeng)
Berbuka dengan Puisi
Berita AAdLA kali ini dibuka dengan flashback di tahun 2008 lalu. Di berbagai tempat, buka puasa bersama menjadi kegiatan “dadakan” yang diagendakan masyarakat saat memasuki bulan Ramadhan. Pun demikian halnya bagi Komunitas LA pada Ramadhan 1429 H silam. Sebagai wadah masyarakat pecinta sastra di Kulon Progo, Ahad tanggal 28 September 2008, Komunitas LA secara ”dadakan” pula menyelenggarakan Tadarus Puisi yang dikemas dalam bentuk buka puasa bersama di kediaman koordinator Lumbung Aksara Marwanto, Maesan Lendah. Selain dihadiri oleh keluarga besar Komunitas LA, acara ini juga dihadiri oleh sahabat-sahabat dari komunitas Padhang mBulan dan Sangsisaku. Pada bulan yang sama 2 tahun sebelumnya dan di tempat ini pulalah, Tadarus Puisi pertama kali digelar dan hingga sampai saat ini masih terus rutin diselenggarakan. (Hening)
SMS (SEPUTAR MENULIS SASTRA)
Sportivitas dalam Berkarya
Beberapa tahun silam pernah terjadi polemik seru perihal menulis sastra kaitannya dengan pencapaian tujuan/imbalan materi. Ada yang mengutuk habis-habisan sikap pragmatis-pamrih penulis yang mengejar materi (atau kepentingan lain) dari tulisannya; nama dan uang. Ada yang toleran dan apologis dengan sekian alasan. Toh, semuanya kembali kepada si penulis sastra itu sendiri. Apakah menulis merupakan panggilan jiwanya yang ”tidak main-main”, luhur, agung, ataukah menulis itu baginya yang penting dimuat dan dapat honor/kontraprestasi, syukur-syukur namanya menjadi dikenal--terutama oleh redaktur agar jika mengirim karya di lain saat dapat dimuat lagi?
Bisa jadi, industri berikut infrastruktur sastra yang memberi tempat khusus pada karya sastra adalah mula bukane. Godaan pragmatis akan pundi-pundi susah ditolak. Pun halnya dengan prestisius nama yang menjadi dikenal orang. Media massa menyediakan kesempatan kepada siapa saja untuk mempublikasikan karyanya dengan teknis yang mudah dan murah dibanding jika menerbitkan sendiri--melalui buku misalnya. Di sini, kompetisi atas kualitas karya sesungguhnya diutamakan, meski juga bukan rahasia lagi kalau faktor kedekatan (relasi) dengan redaktur juga menjadi kunci bandrek bagi dimuatnya karya sastra.
Kedengarannya, faktor pragmatisme dalam menulis karya sastra adalah hal yang manusiawi--biasa. Akan tetapi, bisakah itu dibenarkan? Atau katakanlah jika itu bisa dibenarkan, bisakah dibenarkan pula jika demi mencapainya, maka seorang penulis harus ”melacurkan” integritas pribadinya dengan menanggalkan pakaian kejujuran dan sportivitas dalam berkarya? Banyak contoh bisa disebut, seperti plagiat (meniru atau mencuri karya orang lain baik separo atau keseluruhan), mengirim satu karya yang sama ke lebih dari satu media massa, mengirim karya dengan diatasnamakan orang lain (istri, anak, pacar, kawan atau bahkan atas nama lembaga atau komunitas tetapi untuk kepentingan pribadi), menulis dengan ”nggaruk sponsor” tokoh-tokoh kenamaan (yang bukan dimaksudkan untuk memperkuat wacana, tetapi untuk tujuan popularitas--politik citra--pribadi penulis), dan lain-lain. Hal terakhir sesungguhnya menurut saya justru memperlihatkan betapa tidak PD-nya si penulis itu akan ”siapa dirinya” sehingga musti mencatut nama orang lain agar ”siapa dirinya” menjadi ada atau memiliki ”nilai tambah”.
Kalau boleh sedikit berbagi kabar, menulis sastra tak ubahnya pekerjaan yang luhur dan agung. Karena ia menyampaikan bagian terdalam tak terlihat dari sosok manusia: pikiran, jiwa, dan perasaan. Seorang penulis barangkali bisa dikatakan seperti nabi-nabi, atau orang suci, yang memiliki tanggung jawab moral ”menyampaikan risalah” dan karenanya dituntut untuk selalu ”terjaga” dari hal pragmatisme semu yang akan merusak ”risalah terdalam” pribadinya itu sendiri.
Makanya saya sering berkerut kening jika ada iklan yang bombastis dalam setiap akan diadakannya pelatihan menulis; ”Anda ingin kaya? Ikutilah pelatihan menulis, dapatkan resep jitu menembus media massa atau penerbit. Jadilah terkenal dan kaya dengan menjadi penulis”. Wah!
Semoga kalimat saya barusan tidak terlalu hiperbolis. Apa pun, rasa-rasanya, sungguh indah jika kita bisa senantiasa berbudaya untuk menjunjung tinggi sportivitas dan kejujuran dalam berkarya. Setiap karya adalah berharga, orisinil, unik, luhur, yang karenanya sayang jika harus dikotori oleh ”pragmatisme kesemuan”. Seperti kata seorang kawan yang tidak mau disebut namanya, bahwa ”karya sastra itu separo wahyu”. Aih...
Wallahua'lam bi ash-showab.
Selamat Menulis, Dab!
(Akhiriyati Sundari, anggota redaksi LONTAR)
CERPEN
Senja Terakhir
Cerpen Deffnau
Tiap sore Raenjoh sibuk berkeliling dengan gerobaknya, mengangkut sampah. Sampah tetangga sekelilingnya yang sebagian besar orang kaya di sebuah kota kecil. Perutnya mual benar setiap kali menuang sampah ke gerobaknya, apalagi sudah dua hari ia libur tak mengambil sampah karena meriang, aromanya jadi berlipat ganda. Badannya masih terasa berat dan lesu, tapi dipaksakannya untuk bekerja.
Dan sore ini Raenjoh bekerja seperti biasanya. Sampah keluarga Suprana, sampahnya paling banyak, tapi tak pernah memberi uang lebih dari 6 ribu sebulan. Jumlah itu memang Raenjoh sendiri yang mematok tanpa pernah berani menaikkan upahnya. Kadang Raenjoh berharap Pak Suprana menolak uang kembalian ketika uang 10 ribu disodorkan kepadanya. “Yach, namanya juga pedagang, serba dihitung”, Raenjoh mengungkit pribadi pemilik sampah.
Berikutnya sampah dari rumah Bu Sinta, pemilik toko “Apa Saja” di pinggir Jalan Negara. Campur aduk kertas-kertas dan sayur basi. “Eman-eman nih kertas dan dus-dus kosong, lengket sama sayur basi, kenapa tak dipisah-pisahkan supaya bisa diambil pemulung. Malas amat!” sungutnya dalam hati. Sampah rumah berikutnya sudah menunggu Raenjoh. Bak demi bak dituang di gerobaknya.
Gerobak pun penuh, ditariknya ke tempat penampungan sementara di teteg kereta api. Esok pagi truk-truk akan mengangkutnya ke tempat pembuangan akhir. Adzan maghrib menggema di kejauhan, Raenjoh bergegas pulang, seperti sapi menarik gerobaknya yang sudah kosong. Langit jingga. Para tetangga juga pulang dari berbelanja di toserba, ada yang habis jalan-jalan sore, bermain sepeda santai sambil memamerkan motor modifikasi kebanggaannya bersama anak istri mereka. Satu dua senyum pada Raenjoh.
Hari sudah gelap. Diparkirnya gerobak sampah di samping rumah. Raenjoh lelah. Lapar. Raduedhit--istrinya--tak masak apa-apa, tinggal tersisa nasi yang ditanak tadi pagi. Jadilah sore ini Raenjoh makan nasi kecap, lumayan daripada biasanya yang hanya lauk jelantah (minyak goreng bekas) dan garam, meskipun gurih tapi tak cukup bergizi. Terbayang kaleng-kaleng ikan, setumpuk tusuk sate, dan kue-kue yang tadi diangkutnya di antara tumpukan sampah..
***
Pagi menjelang. Raduedhit sibuk membantu keperluan anak-anaknya sebelum berangkat sekolah. Sulung kelas 1 SMP, adiknya kelas 5 SD, adiknya lagi kelas 2 SD, sedang Rakopen--si bungsu--baru 3 tahun. Setelah itu Raduedhit mencuci di rumah keluarga Subondo. Si Rakopen selalu ikut ibunya karena di rumah sendirian. Sesekali Raduedhit berteriak-teriak menghalau Rakopen yang bermain-main air cucian. Jam 11 siang Raduedhit selesai mengerjakan perintah keluarga Subondo. Kontraknya sih cuma mencuci, tapi praktiknya Raduedhit masih disuruh ini itu, kalau dituruti tak ada habisnya. Dalam hal ini Raduedhit dianggap keluarga sendiri, artinya tanpa bayaran kecuali upah mencuci. Raduedhit tak kuasa menolak tetangga dan sekaligus bossnya itu.
Ketika Raduedhit pulang mencuci, seperti biasa rumahnya masih berantakan dan setumpuk pekerjaan rumah tangga menunggunya. Selama Raduedhit pergi kerja menjadi tukang cuci, Raenjoh bingung di rumah harus mengerjakan apa, mengurus rumah merasa bukan tugasnya meskipun tangannya nganggur, mau ngantor sudah pasti tak ada yang sudi menerima, ia tak punya ketrampilan apa-apa, juga tak mengenyam pendidikan. Kantornya yang sudah pasti dan harus dijalaninya setiap sore adalah dari bak sampah ke bak sampah.
***
Suatu sore. Raenjoh menarik gerobak sampahnya. “Ups, keterlaluan”, umpat Raenjoh. Pembalut wanita yang masih basah kemerahan dibuang begitu saja di tempat sampah Bu Jorse, tanpa dicuci, tanpa dibungkus. Raenjoh memungutnya, melempar ke gerobak.
Berikutnya sampah keluarga Subondo, tempat istri Raenjoh menjadi tukang cuci. Kaleng kornet, dos susu, bungkus sosis, Raenjoh belum tahu seperti apa rasanya, mungkin enak sekali, dan, aha… ada struk belanja toserba yang sudah lusuh. Raenjoh coba membaca… “Wah wah wah, banyak amat belanjanya, kenapa mesti membeli barang neko-neko seperti itu, mendingan uangnya dikasihkan aku aja untuk bayar sekolah dan lauk anak-anakku, toh dia nggak bakal mati meski nggak belanja aneh-aneh kayak gitu, dasar boros!”, Raenjoh terlihat geram.
Dituangnya semua isi tong sampah ke gerobak, lalu “plok!”, pampers bayi yang belum dibuang tinjanya melayang. Raenjoh sejenak tertegun, merasa tak berharga. “Pampers kotornya untukku, yang nemplok di popoknya untuk istriku, lalu anakku si Rakopen bermain-main dengan air cuciannya. Kasihan anak istriku. Subondo benar-benar manusia kemaki. Dumeh Sugih”.
Sampah berikutnya menunggu giliran. Raenjoh sudahi pikiran-pikirannya. Sampai juga di teteg kereta api, saatnya Raenjoh kosongkan lagi gerobaknya, lalu bergegas pulang. Jari tangannya luka, tergores pecahan gelas kaca di bak sampah Pak Sugaya.
***
Hari demi hari Raenjoh menjalani. Setiap petang mengangkut sampah. Kadang-kadang Raenjoh tak bersemangat. Ya, tapi setidaknya Raenjoh tak ingin anak-anaknya menjadi sampah. Lelaki itu merasa harus tetap bekerja. Raenjoh seolah tengah menunggu kapan nasibnya berubah. Mungkin sebuah keajaiban bila di negeri Raenjoh ada yang menaruh perhatian kepadanya. Mungkin memberinya modal, atau ketrampilan, atau…. “Atau…mungkin keadaan sepertiku sengaja dibiarkan untuk keuntungan mereka saja, mempekerjakan orang kepepet sepertiku dengan upah serendah-rendahnya…”, pikiran kacau melintas-lintas di kepalanya. Raenjoh ingin berubah, tapi bagaimana caranya? Apa harus menunggu seseorang menjemputnya, menanyakan keadaannya, lalu mengubah jalan hidupnya? Ah, rasanya itu harapan yang kelewat indah.
***
Pagi. Sampah menumpuk. Kemarin sore Raenjoh tak nampak. Seperi ada keperluan penting yang lain.
Sore. Raenjoh tidak “ngantor”. Mungkin mengunjungi orang tuanya di desa.
Sore berikutnya. Sampah makin menumpuk. Ah, mungkin Raenjoh belum selesai urusannya.
Sorenya lagi. Sampah tak diangkut. Baunya menusuk. Hingga sore-sore seterusnya, Raenjoh tak muncul-muncul. Sumpah serapah ditujukan kepadanya, Raenjoh dituduh menjadi biang keladi kekumuhan yang mengganggu kenyamanan orang-orang kaya.
***
Raenjoh di rumah saja. Tubuhnya yang rapuh terbaring. Typus membuat badannya panas, TBC membuat batuknya mengkis-mengkis. Lukanya mengalami infeksi, tergores pecahan gelas di bak sampah Pak Sugaya. Mungkin ini hadiah dari keuletan Raenjoh, yang bekerja dengan tangan telanjang, tanpa masker apalagi antiseptik, tanpa pengaman apa pun ketika ia bergelut dengan sampah: kotoran dan penyakit. Kini Raenjoh tahu, seiring senja yang merayap, seseorang telah datang menjemputnya untuk mengubah nasibnya. Entah siapa yang akan menjadi penggantinya nanti. Keheningan menyelimuti.
***
Wates, 13 April 2006
PUISI-PUISI
Untuk Temanku di Yaman
(Surat yang tak pernah kukirim)
Oleh : Alfanuha Yushida
Gemuruh cerita tentangmu
Seiring pulang rombongan haji
Kami di sini sedang menerima ujian hati
Tiang-tiang tempat kami berpegangan
Tiba-tiba menjadi gelombang dan badai
Mencengkeram dan menghempaskan
Menarik dan menghentakkan
Kami limbung kami bingung
Doakan kami
Fainna ma'al 'usri yusra
Fainna ma'al 'usri yusra
Agar tak hilang hati kami
Karena tinggal harapan lah milik kami
Hingga gelombang dan badai
Menjadi tiang kembali
Agar kami bisa berpegangan kembali
Ami…n
Kg, Januari 2007
Lagu Kidung
Oleh : Nur Islamiyatun
Kusenandung dalam rinduku
Di antara doa terucap tak sempurna
Kubariskan irama malam-malamku
Dalam khayal terselip mimpi tak pasti
Jika memang perjalanan ini boleh berujung
Terbuai pasti dalam satu titik
Kan ku rengkuh malam-malam indah-Mu
Dalam baris ayat meski tak sampai pada-Mu
Kan ku dekap sunyi dalam diamku
Yang mendatangkan selinap nikmat
Ketika acara sembabkan wajah
Di antara serpih setiap gerakku
Bukan kemarin terlewati
Bukan hari ini terlampaui
Bukan esok yang akan terganti
Namun...
Di antara setiap hari-hari
Nama-Mu tersuci di hati
Robby...
Senja Adalah Kau dan Aku
Oleh : Nichi
Sejak kau tinggalkan aku saat senja memerah di langit itu
Sejak itu pula aku masih menunggumu
Bersama janji yang kau selipkan malam itu
Kau akan kembali suatu saat nanti
Dan aku percaya itu, aku percaya padamu
Tapi kadang rinduku memuncak dalam sepi
Bergetar perlahan lalu tersingkap oleh bayangmu
Terasa sesak bergelayut dalam diri
Lalu gerimis di mataku mulai mencair
Mungkinkah rinduku terbaca olehmu?
Pagi
Oleh : Asti Widakdo
Dingin pagi membelenggu bersama putih
Kabut menyatu
Kicau burung bersahutan
Berlomba menyenandungkan syair cinta
Sambut sang surya
Perlahan, dingin terurai
Pekat kabut mengerut tersapu senyum
Mengulum
Kilau bintik-bintik embun pagi di pucuk
Daun pun memudar
Mengiringi mentari bersinar
Bising suara motor satu demi satu silih
Berganti
Berkolaborasi dengan kicau burung yang
Sayup-sayup senyap
Lalu-lalang orang, bersepeda, berjalan
Bergerak awali kehidupan
Curahkan pemandangan yang...
Mengumandangkan kuasa Tuhan
Kulonprogo, Januari 2007
JERIT
Oleh : dmeileni. w PB
senja ini aku mati
tertegun diantara resah hati
airmata berlomba turuni celah-celah
terjal asaku yang remuk tergilas
tertindas
terinjak
deru mega yang berarak
memecah lara yang
tersisa diantara duka
senyumku luruh tersapu pekat mata
jari jemari yang gerayangi guratan luka lamaku
terus merasuk
merobek
selaput sendu kidung malamku
tuhan........
biarkan hujan menghapus
jejak-jejak tikaman noda di nadiku
“Malam...”
Oleh : Itul
“Malam...”
Satu butir sapamu lewat telepon genggam kemarin malam
“Malam juga...”
Mestinya kutambah dengan “apa kabar?”
Dan percakapan kita pun mengalir
Sampai kokok ayam mengisyaratkan fajar
Sayang, warna itu sudah kau ramu menjadi ungu
Tinggal kardus coklat dan sampul yang menyimpan bisu
di gerbang lautan api
Oleh : fathin chamama
andai bukan nanMU
sudah menggelap ku ke-7
andai bukan nanMU
sudah menghilang ku kan ku
meski tak 1 cahaya termenangkan
bersyukur patut ku
masih ku meletak di tangga ini.
pada latar tingkat 0
antara surgaMU dan nerakaMU
patut bersyukur ku,
meski titikku dekat ke MalikMU
andai bukan nanMU
tiada bertahan ku mampu
pun tak tahu malu
andai terijinkan,
ingin ku menjauh api ini. aku sayang aku.
wahai……. itu bisaku cuma. cinta aku aku
wahai……. ijinkan ku menjauh api ini
Kulon Progo, June 4 2007
SMS DARI PEMBACA
”Mlm LA, da acr pertmuan gak? Klo ad mu ikut gabung. Penggemar LA ”
(Tanty M2W 085292843XXX)
”Selamat dan sukses buat LA. Di HUT yang ke-3”
(Nur Widodo - 081328005XXX)
BIODATA PENULIS LONTAR
EDISI 20/Th. III/2009
Alfanuha Yushida, entah kapan Bapak satu ini menyelesaikan studi pasca-Sarjananya di Bandung. Yang jelas, kawan-kawan LA selalu terhibur dengan ulah jenakanya. Asli Bendungan Wates.
Asti Widakdo, santri di sebuah pondok pesantren di Bantul yang nyambi mahasiswa. Dia sesekali terlihat masih beredar di seputaran Kulonprogo. Mencari-cari ilham untuk puisi-puisinya.
Deffnau, cerpenis yang ini adalah seorang ibu satu anak--perempuan. Rajin menemani putrinya yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak untuk menggambar. Hasilnya? Gambar karya putrinya itu sempat dimuat di Kedaulatan Rakyat. Meski begitu ia menjadi jarang berkonsentrasi untuk menulis cerpen. Tinggal di Wates.
dmeileni. w PB, penyair yang ini baru sekali mengirimkan karyanya ke redaksi. Tanpa biodata lagi. Tapi nama PB yang disandang di belakangnya ditengarai bahwa ia aktif di sanggar seni Padhang mBulan.
Fathin Chamama, penyair yang ini semenjak ditugaskan sebagai aparatur negara di ibukota-nya Indonesia, jarang kumpul bareng di kegiatan rutin LA. Semoga Jakarta tidak mengurungnya dari kegiatan berpuisi.
Itul, nama panggilan dari Maftukhatul Khoiriyah. Anggota redaksi LONTAR ini masih malang-melintang antara Kulonprogo-Jogja, demi tugas hidup yang diembannya. Meski begitu dia selalu mengeluh karena tak bisa bikin puisi. Tinggal di Tirtorahayu Galur.
Nichi, alumni MAN Wates 2 KP. Bisa dibilang gadis satu ini rajin mengirim karya ke redaksi LONTAR. Tapi kok belum pernah nongol di acaranya LA ya?
KATA-KATA MUTIARA
"Membaca buku memang tidak membuat kita jadi selalu benar, tetapi setidaknya buku dapat membantu kita untuk mengakui bahwa kita tidak selalu benar. Membaca buku tidak menjamin kita menjadi sukses, tetapi setidaknya kita tahu bagaimana jalan untuk sukses"
(Garin Nugroho, dalam katalog sebuah pameran buku)