Friday, August 17, 2007

LONTAR 8

DARI MULUTMU AKU TAHU
Cerpen Siti Suwarsih

“Bangsat!” kata-kata yang tak enak terdengar oleh telinga normal.

“Prangggg! Grubyak!” apa itu?

Ooo…Laki-laki itu! Sudah biasa kelakuannya yang selalu menimbulkan suara-suara yang aneh, tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa selain…tutup telinga! Yeah. Pagi yang cerah. Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar. Kamar yang tidak begitu banyak kenangan hidupku. Lantas kusapu halaman dengan tatapan mataku.

Laki-laki itu, laki-laki itu ditemani dua wanita yang merawatnya.

“Dunyo sing wis bubrah…, dunyo sing wis muntir walik, dunyo sing wis owah…” sebuah kalimat yang dia nyanyikan dengan nada kejawen. Laki-laki itu menatap kosong ke arah depan menerawang ruang di antara hembusan nafasnya. Senyum simpul kulihat terukir di atas bibirnya, lantas ia beranjak dari kursi di pojok taman itu, melangkah pergi diikuti dua wanita
yang setia menemaninya.

Keasyikanku melukis di tembok depan kamarku terusik ketika sebuah tangan merampas cat di tanganku dan memoleskannya di wajahku. Marah aku! Tapi dia..laki-laki itu, “Ha…ha…ha” terdengar keluar dari mulutnya. “Dunyo wis abang ijo” tambahnya.

“Edan…! Bajingan…! Sundal…! Wong wedok opo! Wong wedok kudu manut ro wong lanang. Goblok!!” terdengar lagi suara tetanggaku itu.

Kubiarkan laki-laki itu terus berjalan diikuti dua wanita yang setia menemaninya. Dan aku hanya bisa menatap hampa dengan muka yang belepotan cat. Aku belum begitu tahu apa yang terjadi, sehingga sikap dan tingkah lakunya seperti itu, tapi aku menduga itu semua karena seorang erempuan!!?

“Guten tag! Wie heißen (heisen) Sie? Ich heißen Jack”

Belum selesai marahku pada laki-laki kasar itu, kini datang orang aneh ang entah ngomong apa? Aku hanya bengong mendengar apa yang dia ucapkan.

“Jack! Sind sie fertig? Weiter bleibst mit wir” seorang wanita penghuni rumah ini juga berbicara dengan orang asing itu.

“Aufwindersehen” orang aneh itu pergi meninggalkanku sambil melambaikan tangannya, tertawa seperti menertawaiku yang diam mematung. Kemudian aku masuk kamarku, merenungi apa yang selama ini terjadi.

Tiga bulan yang lalu api mendatangi kamarku. Ketika itu aku bersama adik terkecilku berada di dalam rumah. Aku bisa lolos dari maut sedang adikku masih berada di dalam rumah. Terakhir aku melihat, di depan mataku sendiri, adikku yang berusaha lari keluar tertimpa kayu yang telah terbakar. Mereka yang tak melihat fenomena itu mengatakan adikku sudah mati. Penyesalan yang mendalam menyelimuti hatiku, tapi aku tak percaya. Seminggu kemudian ketika orang rumah pergi semua, aku duduk di belakang rumah baruku. Tiba-tiba ada tangan mungil menarik ujung bajuku.

“Mbak! Ayo dolanan! Ayo mbak!!” sesaat aku tertegun.

“Aning” ucapku pelan. “Aning!!” seruku kemudian. “Ayo. Kita dolanan. Tunggu Mbak” Setelah itu kami sering bermain bersama. Kadang Aning mengajak main petak umpet dan dia ngumpet dalam waktu yang cukup lama dan tidak nongol-nongol. Jarang sekarang aku melihat Aning minta gendong Ibu. Jarang pula aku melihat Aning menangis. Aning selalu ceria, sepertiku. Suatu hari ibuku bertanya, “Ndar, kamu kok sering senyum-senyum sendiri, lari-lari sendiri. Apa yang bikin kamu senang? Dapat pacar baru, po?”

“Ibu ini gimana, to? Wajar to kalau Ndari ceria karena ngemong adik Ndari sendiri. Ibu tu yang sekarang ga' pernah perhatian sama Aning. Dia 'kan butuh kasih sayang”

“Pyarrr” tiba-tiba piring yang dipegang ibu jatuh, pecah, berserakan di lantai. Aku hanya bengong. Kok bisa-bisanya piring itu mrucut.

“Ndar, adikmu itu tinggal Tiwi dan Ari. Aning sudah mati”

“Ah, Ibu tu ngawur saja”

“Ndar sadar Ndar, kamu yang nrimo ya, Nduk?”

“Sadar gimana to, Bu? Ndari sadar. Itu Aning duduk di sudut tembok bingung melihat kita” Mendengar ucapanku, Ibu melihat tembok sambil berkerut jidat.

Beberapa waktu kemudian aku dibawa ke sini. Tempat di mana keluargaku bermaksud mengajak liburan dan di villa ini pula mereka meninggalkanku, juga memisahkanku dari Aning. Aku masih bingung, villa ini tidak seperti villa kebanyakan yang kutahu melainkan mirip…

Laki-laki kasar yang memoleskan cat ke wajahku semakin hari semakin liar. Kata-kata kotor terus mengalir dari mulutnya. Dia terus mengumpat, apalagi jika ada wanita di dekatnya, wanita itu pasti akan jadi obyek pelampiasan kelakuannya. Pernah suatu hari aku melihat wanita yang tak kukenal, dihampiri oleh laki-laki itu. Disapa dengan manis dan detik selanjutnya wanita itu tiba-tiba sudah berada dalam dekapan laki-laki itu
yang belakangan kuketahui bernama Herdi. Wanita itu hanya diam. Tapi kemudian ketakutan setelah Herdi menciumnya secara paksa. Tak disangka apa yang kemudian dilakukan Herdi, ia membopong wanita itu kemudian dengan kasar dibanting!!

“Aooow!! Aaaaaaaaakk!!” teriak wanita itu, hingga membuat orang-orang berlari mencari sumber suara itu. Yang kutahu kemudian, wanita itu adalah penghuni baru di sini. Dia diselamatkan oleh petugas. Sedang Herdi dijaga ketat tetapi tidak oleh dua wanita seperti biasanya tetapi oleh
dua orang laki-laki.

Aku semakin bingung, mengapa banyak orang-orang aneh di sini. Dengan bekal rasa penasaranku, aku bertanya pada pengurus tempat ini. Tempat apa sebenarnya ini. Pengurus itu hanya tersenyum. Dengan kecewa aku berbalik menuju kamarku, tapi baru beberapa langkah aku berjalan, seorang wanita muda dengan pakaian lusuh, rambut awut-awutan dengan datar dan dingin memberitahuku, bahwa tempat ini…

Pengurus yang sempat kutanya tadi mukanya tegang.

“Tidaaaaaaaak!! Ini Rumah Sakit Jiwaaaaaaa!!!!”

Footnote :
1 Selamat siang! Siapa namamu? Nama saya Jack
2 Jack sudah selesai? Selanjutnya kamu tinggal dengan kami
3 Sampai jumpa




BILIK REDAKSI

Salam Sastra!

Pembaca LONTAR yang budiman, setelah ke sekian buletin sastra ini terbit disertai sambutan yang cukup positif dari masyarakat (kami berterima kasih untuk itu, juga untuk mereka yang mengirimkan karya meskipun mungkin belum dimuat), kini LONTAR lagi-lagi mengajak pembaca sekalian untuk menerus berkarya dan mengirimkannya ke meja redaksi kami. Kami berhasrat pembaca sekalian bergairah dan meletupkan gairah tersebut dalam bingkai sastra yang meng-indah. Tidak ada batasan dari kami tentang sesiapa yang bakalan dimuat. Kalangan manapun tidak kami kecualikan. Hanya dengan begitu kami kira jagad sastra di Kulonprogo dapat menumbuh ramai-ramai. Sastra menjadi milik semua tanpa ada sesuatu yang dibingkai ”kelas”.

Persoalan tulis-menulis sastra kami rasa bukanlah dimaksud untuk mencari popularitas apalagi menganggap diri sebagai yang paling 'wah', paling pertama, paling dikenal, dan seonggok paling-paling yang lain yang sarat kebanggaan semu. Menulis adalah berkomunikasi. Menulis adalah menghargai diri sendiri sekaligus orang lain sebagai manusia secara ”suci”. Menulis adalah seperti melahirkan puisi di dalam tubuh kita sendiri yang pada akhirnya memancarkan aura bahwa sebagai manusia, kita ada. Maka, muntahkanlah kata-katamu...

Selamat Membaca....




BYAR
Nawm fil 'asal


Istilah nawm fil ‘asal saya peroleh bulan lalu, ketika seorang teman yang sedang kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo mengirim email. Thoyib Ariffin, teman saya tadi, merasa “tidur di lautan madu” selama 10 tahun tinggal di Mesir. “Dalam gemilang fasilitas, saya tak ubahnya seonggok batu yang bisu”, tulisnya.

Saya tercenung menyimak kata demi kata dalam suratnya. Sebab, sepengetahuan saya, ia bukanlah sosok yang berpangku tangan. Tidak juga larut dalam kenikmatan. Di tengah musim dingin Kairo yang mencincang tubuh kurusnya (ia mengaku sering sakit jika musim dingin tiba), ia masih akan melakukan sederet aktivitas ini: mengaji pada syeikh, menghafal 400an bait syair-syair tugas kuliah, melahap buku-buku tebal di perpustakaan,
memandu para senior dari Yogya yang sedang mengerjakan desertasi. Belum tugasnya sebagai penerjemah di penerbit Maghfirah Pustaka yang sering mencambuknya dengan deadline!

Namun, ia tetap merasa dalam kondisi nawm fil' asal. Apa ia sedang menyindir?

Mungkin tidak. Ini hanyalah bahasa seorang pekerja keras: merasa belum mengerjakan apa-apa padahal sudah banting-tulang. Sebab, kata Voltaire, kerja bisa menghilangkan rasa bosan, sepi dan dosa. Tapi, Thoyib tak sekedar pekerja keras. Ia telah menjadi antitesis dari sikap pragmatisme. Barangkali kita sudah sering mendengar cerita ini: banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Mesir lebih suka mencari uang (terutama kalau musim haji) daripada menuntut ilmu. Dan Thoyib memilih ilmu dengan segala konsekuensinya.

Kalau orang yang telah memeras keringat menganggap dirinya “tidur”, bagaimana dengan kita? Konon, dalam seminggu kita butuh 2 hari libur. Dan di hari libur seakan “sunat” untuk bangun siang. Lembur jangan sampai larut, sebab angin malam tak baik bagi kesehatan. Jika puasa, jangan lupa makanan suplemen…. Dan perayaan kemanjaan tubuh lainnya, yang memenuhi ribuan halaman jika diuraikan. Di sisi lain, konon kita gemar pula mendengar cerita sukses seseorang.

Diam-diam, ada yang tanggal dari perjalanan karakteristik anak bangsa: kesuksesan dan proses dilihat secara terpisah. Mengingatkan saya pada seorang penulis “kemarin sore” yang baru mengirim satu dua karya lalu menggerutu karena puisinya tak kunjung dimuat. Ia sih mengaku pengagum Emha Ainun Nadjib. Tapi jelas ia lupa (atau belum tahu), kalau Cak Nun --gara-gara kelaparan-- pernah jatuh pingsan di Malioboro dalam perjalanan kakinya menuju kantor KR dan MP,demi mengirim sepucuk amplop berisi puisi.*** M A R W A N T O ( www.markbyar.blogspot.com )



ADA APA DENGAN LA

LA Bedah “Samarkand” di TP-9

Selalu ada yang beda di setiap Tadarus Puisi (TP) yang digelar LA. Pada TP putaran ke-9 kali ini, yang dilangsungkan di Gedung Kesenian Wates tanggal 27 Juni jam 15.00 sampai 17.00 WIB, selain melaunching Lontar, juga dibedah buku karya Amin Maalouf berjudul Samarkand. Pendedah “baca buku bulanan” komunitas LA kali ini adalah sahabat Zukhruf Latif (atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Kiai Lumbung”). Dihadiri sekitar 25 anggota LA dan pecinta sastra, suasana diskusi terasa hidup, meski “pembacaan” terhadap Samarkand sendiri terasa berat. Ini karena alur novel karya pengarang Lebanon itu berbingkai-bingkai. Namun, selingan pembacaan puisi yang dibawakan para hadirin mampu mengimbangi beratnya pembacaan terhadap Samarkand. (Asti Widakdo)


Monitoring TBM Lumbung Aksara

Program komunitas LA untuk mendirikan taman bacaan masyarakat (TBM) mendapat dukungan banyak pihak. Tanggal 3 Juli lalu, Badan Perpustakaan Daerah Propinsi DIY, yang akan menganggarkan bantuan buku kepada TBM Lumbung Aksara senilai Rp. 6,5 juta, melakukan kunjungan dan monitoring di lokasi TBM LA yang terletak di Jl. Makam Kiai Batok Bolu Maesan Wahyuharjo Lendah. Kunjungan yang juga didampingi karyawan kantor Perpustakaan Kabupaten Kulonprogo tersebut dalam rangka penjajakan kerjasama pendirian pilot-project pengembangan TBM. “Jumlah koleksi sudah lumayan. Tinggal merapikan pengklasifikasian dan pematangan tenaga administrasi serta pustakawan. Kiranya TBM LA layak dijadikan pilot-project untuk kemudian bisa go public”, ungkap Bandung Wibowo dari Badan Perpustakaan Daerah DIY. (Asti Widakdo)


Lumbung Aksara di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XIX

Sabtu, 16 Juni 2007 bertempat di komplek pasar seni FKY di Benteng Vredeburg Jogja, Fathin Chamama mewakili LA mengikuti lomba menulis dan membaca puisi yang diadakan oleh divisi sastra FKY. Meski 'belum berhasil' menjuarai, namun Fathin 'berhasil' memukau pengunjung di panggung FKY dengan bacaan puisinya. Sementara pada saat bersamaan di kafé FKY, LA juga mengikuti bedah novel Ranting Sakura karya Maria Bo Niok, seorang Pekerja Rumah Tangga yang menjadi buruh migran di Hongkong. Pada FKY kali ini (7 Juni - 7 Juli 2007), LA diundang oleh panitia divisi sastra untuk berpartisipasi dengan mendisplay karya seperti LONTAR dan buku SGSI di stand Dapur Sastra serta bersama komunitas sastra dari berbagai daerah membangun jaringan komunikasi sastra antar kota antara lain dengan Pawon Solo, Hysteria Semarang, Mnemonic Bandung, Poros Madura, Hujan Tak Kunjung Padam Purwokerto, dan beberapa dari kota Jogja sendiri. (Ndari)





PUISI
Padang Rembulan

Oleh : M. Zaynal Arifin

Bintang-bintang menatap enggan
Rembulan tak bergeming
Awan menghilang
Langit membentang tak terbatas

Padangmu selembut salju
Kau simbol keayuan
Dalam fatamorgana
Karna kau bisa dinikmati
Hanya dari kejauhan

Sinar rembulan masuk di dada
Menerpa hati
Membias paru jantung
Mewarnai darah

Kehadiranmu dimiliki anak negeri
Dan kepergianmu tak selalu disesali
Karna kau adalah alternatif
Sebagai penghias bumi

Oh Tuhan....
Terima kasih
Kau sempurnakan ciptaanmu
Kau hiasi alam ini
Kau terangi sukma mengembara.

Kotagede, April 2000



Kalian
Oleh : Diah Fera Kismawati

Kini…
Kurasakan betapa sakitnya
Rasa tak berbalas

Teman...
Hanya kalian yang aku punya sekarang
Hanya senyum bahagia kalian
Yang ingin aku lihat
Hanya cerita-cerita indah
Yang ingin aku dengar

Ingin kulewati hari
Bersama kalian
Ingin kulupakan dia
Walau sejenak
Ingin kutepis rasa sakit ini
Dengan adanya kalian bersamaku

Tak ada yang lebih indah
Selain KALIAN



Saudara Besarku


Oleh : Fathin Chamama

Di mata Ibuku kulihat sepi
Memandang Saudara Besarku YANG TULI
Waktu Lumpur memancar di Porong-nya
Saat Banjir merebak di Jantung-nya
Kala Gempa membelah di Hati Nyaman-nya

Mata Ibuku semakin sepi
Melihat si TULI makan
Melahap saudaraku yang lain

Nak, ...hati hati
Ibuku terbangun
TULI menjawab : Ibu,
ini sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku

Mata Ibu semakin sepi
Nak, ...perutku mau meledak
TULI menjawab : Ibu,
Masih ada yang bisa kumakan darimu?

Vredeburg, 16 Juni 2007



Dalam Pertaubatanmu


Oleh : Utik

Ketika kau lantunkan ayatayat pertaubatanmu
Kau senandungkan sepenuh jiwa
Lisan berkamit tubuh menggigil
Menyesali yang telah terjadi
Kau sujudkan diri ke Yang Maha Suci
Aku mencoba menerawang
Menekuri jalan taubatmu
Melewati padang luas yang lepas
Tanpa oase atau zamzam
Hanya panas dan terik menemani
Namun asa yang membakar jiwa
Kan' berujung di pengampunanmu
Ngawi-Sragen, 22 mei 2007



Kau terlalu Jauh
Oleh : Neneng Surani

Saat kita bersama walau saling tak bicara
Kutahu bahwa…
Kau tak pernah menganggapku ada
Saat kita di dunia yang sama tapi tak saling menyapa
Kumengerti bahwa...
Hanya punggungmu yang bisa kupandang
Berharap kau berbalik
Tapi itu tak pernah terjadi
Saat senyummu terlihat begitu tulus
Tapi bukan untukku...
Kusadar kau bukan milikku
Malam takkan pernah membawaku kepadamu
Walaupun langit bertaburkan bintang
Dan kerinduan menggoyahkan iman
Meski letih kutertatih
Mencoba menggapai cinta yang putih
Tapi selalu terhenti
Pada ketidaksempurnaan diri
Salahkah...?
Serambi Masjid, 13 September 2006



Menunggu Kasih
Oleh : A. Samsul Ma'arif

Kapan kau lumuri seluruh tubuhku dengan segala kasih-cinta.




malam mayat
Oleh : Salman Rusydie Anwar

kau, yang gagal aku pahami dari sebuah ceruk
tiba-tiba menggali sumur paling kubur di dadaku
malam yang menjadi mayat
memancar dari keping-keping batu
mendatangi setiap pintu demi pintu
yang menggigil dalam rekah jemari
ucapmu, tuhan tak sedang melempar dadu
namun siapakah yang melemparku
hingga seluruh cinta terjerembab
dikulit cahaya
kau menuding langit
kepadaku
mengajarkan huruf-huruf bintang
yang setiap kali aku lihat
selalu saja ada masa lalu dan masa depan
menyatu di tubuh puisi
lalu ada juga sebait mantra
begitu kelam, begitu tuhan
namun selalu gagal aku bacakan
Kepadamu

Kediri 2007




KATA MUTIARA
”Menulis adalah salah satu bentuk doa paling kuno. Menulis berarti percaya bahwa komunikasi itu mungkin, bahwa orang-orang lain itu baik, bahwa anda akan dapat berhubungan dengan kebaikan mereka, membangkitkan rasa kedermawanan mereka serta hasrat mereka untuk menjadi lebih baik” (Fatima Mernissi)

Presented by
Komunitas Lumbung Aksara
Membaca, Menulis; Menjaga Hidup


SMS (SEPUTAR MENULIS SASTRA)
Kita adalah Penulis yang Hebat

Setiap kita mempunyai potensi menjadi penulis yang hebat. Sejak masih kecil kita mempunyai hobi mencoret-coret pada dinding, kertas, meja atau bahkan baju dan tubuh kita. Setidaknya itu adalah sebagian bukti kemampuan kita.

Setiap kita wajib menulis. Minimal beberapa abjad dan angka, sampai kemudian menulis pelajaran di sekolah, daftar belanjaan, lebih meningkat lagi buku harian, esai, makalah, dan seterusnya.

Setiap kita sudah dibekali dengan otak. Otak kanan tempatnya semangat, emosi, spiritualitas, imaji, dan seterusnya. Otak kiri tempatnya perencanaan, outline, tata bahasa, penyuntingan, dan seterusnya.

Nah, bagaimana setiap kita memaksimalkan beberapa modal yang telah dimiliki tersebut? Barangkali kita bisa mempertimbangkan beberapa tips berikut:

Satu, tulislah apa saja. Dari hal-hal yang sepele, apalagi hal-hal yang penting. Jangan pernah berhenti! Ingat, jangan pernah menganggap hal-hal kecil tidak berguna untuk dituliskan.

Dua, kembangkan tulisan-tulisan yang telah kita buat dengan berbagai literatur, baik buku, imajinasi, apapun, dan siapapun.

Tiga, komunikasikan pada orang lain yang telah kita tulis untuk mendapatkan umpan balik. Periksa kembali hasilnya, bagaimana ejaannya, tata bahasanya, alur idenya, dan seterusnya. Jika belum puas tanyakan ahlinya.

Empat, masukkan isu atau hal-hal yang luar biasa, di luar dugaan, atau hal-hal yang 'berbau' tajam untuk membuat kesan pada tulisan kita.

Lima, evaluasi karya-karya itu sekali lagi. Jangan dulu berpikir hasil, yang penting sajikan ia apa adanya selagi kita terus berproses.

Enam, dokumentasikan (simpan) setiap tulisan yang kita buat. Satu tahun, sepuluh tahun, atau seratus tahun kemudian buka kembali. Dan kita akan menemukan sesuatu yang luar biasa. Kita tinggal mempelajari bagaimana proses kita sebelumnya untuk menyempurnakan karya-karya hebat kita yang akan datang. Tak terkecuali karya sastra.

Yang pasti, tips-tips di atas bukanlah hal yang baku. Namun hal yang terpenting adalah mencoba. Jadi, why not ?(Siti Masitoh, Pemimpin Umum LONTAR)



Biodata Penulis




A. Samsul Ma'arif, anggota dewan redaksi LONTAR. Masih aktif di kegiatan yang bernuansa kebudayaan. Alumni jurusan Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN SuKa. Pernah aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Yk. Tinggal di Galur.

Diah Fera Kismawati, lahir di Kulonprogo, 27 Februari 1990. Berstatus sebagai pelajar kelas XII di SMA N 1 Wates. Memiliki hobi membaca apa saja. Tinggal di Dusun 2 Bojong Panjatan.

Fathin Chamama, mengaku lebih sulit membuat data diri daripada menulis puisi. Jadi, jika ingin tahu identitasnya, baca saja sekalian puisinya di buku SGSI; Antologi Puisi Kulonprogo (LKP2 Fatayat KP & Lumbung Aksara, 2006). Tinggal di Bendungan.

M. Zaynal Arifin, alumni Pidana_Perdata Fakultas Syari'ah UIN SuKa Jogja. Asli Plumbon Temon tapi kerap tinggal di Pondok ZéJé Giripeni Wates. Puisi-puisinya dimuat di majalah Tilawah PP Nurul Ummah Kotagede.

Neneng Surani (Nichi), gadis kelahiran 13 Agustus 1990 ini adalah pelajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN 2 Wates). Hal yang paling disukainya adalah memandang langit dan lumba-lumba. Penggemar tokoh kartun Shinichi Kudo ini tinggal di Cekelan Karangsari Pengasih.

Salman Rusydie Anwar, lahir di Madura pada 5 November 1981. Menulis cerpen, puisi, essai, opini, dan resensi. Berbagai tulisannya pernah dimuat di media massa lokal maupun nasional. Pernah aktif di sanggar Bias, Andalas, dan Somor Penang. Mahasiswa UIN SuKa yang kini bergiat di KUTUB Yogyakarta ini oleh alm. Zaenal Arifin Thoha dianugerahi kepercayaan menjadi penasehat Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'arie Yogyakarta.

Siti Suwarsih, lahir di Yogyakarta, 26 Mei 1990. Belajar di dua tempat sekaligus yakni di SMA N 2 Wates dan Pondok Pesantren Zahratul Jannah (Pondok ZéJé), Giripeni Wates. Cerpennya Derita dari Kekasih Nenek pernah dimuat dalam Antologi Bengkel Bahasa & Sastra Yogyakarta / BBY. Selain menulis sastra juga pernah menulis essai tentang Meminimalisasi Pornografi di Kalangan Pelajar. Pernah terlibat sebagai pemain teater Balai Bahasa Yogyakarta dengan cerita “Semesta Runa”.

Utik, adalah nama panggilan dari Tri Wahyuni. Alumni SMA N 1 Wates dan Fisipol UMY. Memiliki kegiatan seabreg selain di komunitas Lumbung Aksara. Kini ia menjabat sebagai Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) untuk Keadilan dan Demokrasi wilayah Kulonprogo serta Ketua Fatayat NU kecamatan Temon. Tinggal di Kebonrejo Temon. E-mail: utik_kecilku@yahoo.com

Tuesday, August 14, 2007

LONTAR 7


DUA SIMPUL MATI
Cerpen Fajar R. Ayuningtyas


Berbincang dengan Nan, aku menemukan duniaku. Sebuah dunia yang diwakili kata, sajak-sajak, cerita-cerita pendek dan bincang ringan tentang karya-karya indah yang pernah kami baca. Seperti suatu sore, dibacakannya untukku Perempuan Padang Lalang(1) saat aku sedang melukis senja di samping rumah (sepintas mengingatkan pada Chairil yang membaca sajak barunya di depan Mirat yang sedang melukis).


“...Aku menunggumu. Bahkan sampai mata berlumut dan tubuh mengeras batu. Aku menunggu. Sentuhan dan rabaan tangan yang ajaib itu...”(2)


Aku berhenti menyapukan cat di kanvas. Diam kupandang Nan. Seperti biasa matanya bicara bahasa yang hanya bisa dimengerti hati. Hubunganku dengan dia memang hanya hubungan hati dalam makna sebenarnya. Persentuhan fisik sepertinya bukan sesuatu yang penting buat Nan. Tanpa persentuhan ia memang telah mampu menyentuh hatiku. Nan pernah bilang cinta tingkat tinggi kadang tidak membutuhkan sebuah pertemuan fisik. Seperti kata Jalaluddin Rumi dalam syair-syairnya.


“Tapi Rumi bersyair lebih menuju Tuhan, Nan”


Waktu itu Nan hanya tersenyum penuh arti dan menggenggam tanganku, sebelah tangannya memegang buku puisi.

“Seandainya aku bisa bilang betapa aku mencintaimu. Tapi kalau aku bilang aku cinta kau pasti kau tertawakan aku. Pasti kau bilang 'apa tidak ada kalimat lain yang lebih indah?'”

Nan mengecup tanganku. Aku tersenyum. Tertawa kecil dan kembali menyapukan cat menyelesaikan pulasan terakhir pada langit dalam lukisanku.

*

Hidup ini memang pelik. Di sebelahku Era bermain dengan pikirannya sendiri sembari menggenggam tanganku. Bagaimana mungkin aku hendak tak peduli padanya? Mungkin aku bukan orang baik. Menit-menit yang kulalui bersama Era rasanya seperti membaca Supernova(3). Meledakkan emosi dan mempermainkan imaji liar.


Era berbeda dengan Nan. Suatu kali pernah kuajak ia menonton pementasan puisi yang membacakan karya-karya Afrizal Malna. Sudah kusiapkan tiket namun sengaja bukan mengajak Nan sebab aku mau suasana baru.

“Aku gak ngerti, Afrizal Malna tu siapa? Bagaimana aku bisa nonton?”

Suatu kali pula, saat senggang aku memberikan padanya bacaan ringan dari salah satu seri Chicken Soup. Tahu apa reaksinya?

“Kau ini, kenapa kau suruh aku baca buku masakan?”

Begitulah. Tapi kau menemukan dunia yang berbeda, yang dengan Nan tak pernah bisa kudapatkan. Apa aku terdengar rendah jika kukatakan ini adalah dunia persentuhan fisik? (Aku sempat malu mengakuinya!). Tapi aku seolah mendapatkan sedikit pembelaan saat aku selesai dengan lembaran terakhir Larung(4). Digambarkan bahkan seorang pastor pun akhirnya, sebab kemanusiaannya, melakukan apa yang baginya terlarang.

Era membawaku pada sebuah dunia yang mungkin hedonis. Dunia penuh kesenangan yang menolak berpikir. Dan aku dengan mudahnya ikut terjebak di sana. Nan akan butuh waktu dan kata-kata yang tepat untuk bilang bahwa ia mencintai aku, tapi Era tidak membutuhkan apapun untuk menyekap bibirku dalam suatu ciuman tergesa. Selalu tergesa, tapi kusukai. Apalagi jika gerimis turun, betapa indah sebuah ciuman di bawah rintik air.

Dan, aku jatuh cinta. Dengan begitu mudahnya.

*

Mungkin aku memang bukan orang baik. Dengan Nan dahagaku akan dunia yang kucintai terpuaskan. Batinku kaya dengan pengalaman-pengalaman dan jiwaku mendapatkan supply energi untuk menikmati hidup. Nan adalah belahan yang sepertinya disediakan Tuhan untukku.

Dengannya aku bisa berbincang tentang apapun, mulai membahas komik Doraemon sampai mengapresiasi Rendra, dari mulai mengomentari artikel di majalah sampai berdiskusi soal trafiking. Nan juga pasangan yang kompak untuk duduk menonton pementasan-pementasan puisi dan teater, penikmat sastra sepertiku.

Nan sempurna. Untuk batinku. Nan sangat sempurna memuaskan keliaran pikiranku, menampung semua yang bahkan tak terkatakan.

Tapi mungkin sebab aku bukan orang baik. Nan yang dingin dan alpa membaca naluriku membuatku memasukkan Era ke sisi hidupku yang lain, membuatku menginginkan Era. Yang lugas dan terus terang, sentuhan-sentuhannya membuatku mendamba. Pengakuan yang mungkin akan membuat muak orang lain. Tapi bukankah itu salah satu dari ghara'iz manusia? Kehilangan satu naluri ini membuat manusia bukan lagi manusia. Ah, mendadak aku sok agamis.

Tapi Era bukan teman untuk bicara. Bincang dengannya membuat aliran ideku serasa tersumbat. Saling tak mengerti dunia masing-masing. Bincang dengannya pasti akan berhenti pada satu titik, kebekuan.Kemudian, suatu sore, saat cuaca yang aneh mengubah warna pohon akasia langsing di depan rumah menjadi keunguan, suasana menjadi ganjil dan tak dikehendaki ketika Nan dan Era muncul di teras rumah. Tiba-tiba kecemasan bertebaran di udara.

“Kau tentukanlah pilihanmu!” Era mulai meneriakiku sementara Nan mencengkeram bahuku dan memaksaku menatapnya.

“Hatimu pasti membawamu padaku. Kau perempuan padang lalangku.” Mata Nan yang biasanya lembut tiba-tiba terasa sangat memisauku.

Era mendorong Nan.

“Ia tak akan datang padaku jika kau urus baik-baik perempuan padang lalangmu ini!”

“Sudah!” aku berteriak. Berlari masuk dan kubanting pintu.

Di balik pintu waktu berlalu lambat, seperti neraka yang tak pernah berakhir. Lalu bagaimana mungkin aku memilih? Aku membutuhkan keduanya dalam hidupku. Aku membutuhkan Nan bagi jiwaku, sekaligus juga membutuhkan Era untuk ragaku. Seperti Chairil membutuhkan Mirat untuk gejolak jiwanya, untuk inspirasi puisi-puisinya, tapi juga setia mengunjungi Siti yang buta huruf dan tak mengerti sajak, di gubuk pinggir rel kereta(5) Seperti banyak hal di dunia ini yang saling tak bisa dilepaskan satu sama lain. Jadi jangan pernah salahkan jika keputusan untuk memilih itu,bahkan tak kupertimbangkan.

Watulunyu, Mei 2007
1) Sebuah puisi Warih Wisatsana
2) Cuplikan puisi Perempuan Padang Lalang, Warih Wisatsana
3) Novel Dewi Lestari
4) Novel Ayu Utami, setelah Saman
5) Aku, Syumandjaya


Bilik Redaksi


Salam Sastra!

Gelisah. Kami tengah disundut gelisah. Mungkin karena kami memang penggelisah. Untuk itulah kami bersuara. Karena kami belum mampu berbuat lebih. Atas apa yang tersaji di media akhir-akhir ini. Batin kita sebagai anak bangsa dibuat meruyak. Ketika “atas nama kekuasaan” kekerasan dijadikan senjata ampuh untuk menindas rakyat, membunuh rakyat, menginjak harga diri atas hajat hidup rakyat. Tidakkah ini artinya kita tengah bergerak m enggelinding turun menuju serpihan sebuah bangsa yang “konon” cinta damai? Semoga hal yang sama tidak menularkan virus di sekitar kita-kita.

Selamat Membaca...


BACA BUKU
Eksistensialisme Cinta, Filsafat dan Estetika
Judul buku : Lousiana - Lousiana
Pengarang : Jamaluddin Wiartakusumah
Penerbit : PT. Grasindo
Tahun : 2003
Editor : Neta

Begitu eksotis, walaupun temanya tentang cinta yang sudah banyak tersemat di beberapa judul novel akan tetapi ini bukanlah hanya sekedar novel percintaan. Novel bernuansa barat tepatnya Negara Denmark sebuah negeri yang miskin cahaya mentari. Dengan setting tata ruang kota yang berderet gedung-gedung tua bernuansa modern. Sebuah karya arsitektur zaman pertengahan, yang membuat kita bertamasya ke sejarah masa lalu.

Disinilah dunia arsitektur dibincangkan sebagai bumbu gurih dalam keseharian seorang mahasiswa Arkitekskole dalam petualangan cintanya. Membuat kita berimajinasi tentang keromantisan, juga tentang karya-karya seni rupa yang disampaikan dengan mudah dan gamblang.

Lousiana-lousiana sebuah nama museum di kota Kopenhagen Denmark. Konon diberinama Lousiana karena pemilik rumah yang dijadikan museum ini. Knud W. Jensen, seorang maecenas karya seni modern, menikah dengan wanita bernama Lousiana, istri yang pertama ini meninggal, kemudian menikah lagi dengan wanita yang bernama Lousiana, istri kedua ini pun meninggal, kemudian menikah lagi dengan wanita yang bernama Lousiana juga. "hummm…… Tuhan ada-ada saja!!!"

Novel yang menggandeng kita untuk memahami "eksistensialisme" Soren Aabye Kierkegaard. Lewat cerita anak sunda yang berkepribadian timur untuk menyesuaikan dengan kepribadian barat yang sekuler dan bebas. Kita diajak uintuk merenungkan cerita yang serba kontras, penuh lika-liku, benturan dua budaya, pergolakan lahir dan batin anak adam. Novel yang mengajak kita belajar filsafat, moral, dan teori seni juga cinta.(Astiliano W., The Dragon Fyer X. Pecinta Buku. Tinggal di Galur)


ADA APA DENGAN LA
TP ke-8
Tadarus puisi yang merupakan tradisi rutin bulanan Komunitas LA, kali ini terasa cukup istimewa. Mengambil tempat di komplek Taman Binangun KP di Minggu pagi 27 Mei 2007 lalu, Komunitas LA menggelar helat sederhana guna memperingati Satu Tahun LA sekaligus 365 Hari Gempa Jogja. Acara yang bertajuk “Ada Apa dengan LA” ini, selain dihadiri oleh kerabat LA sendiri juga tampak kawan-kawan sastrawan Jogja. Yaitu Aguk Irawan MN (penulis novel Kitab Dusta dari Surga) dan Salman Rusydie Anwar (Sanggar KUTUB Krapyak Jogja).

Seperti biasa, diawali dengan tradisi Tahlil selama + 5 menit, acara ini kemudian dilanjutkan dengan refleksi perjalanan LA setahun ini. “Saya sangat terharu melihat semangat temen-temen untuk menumbuhkembangkan kebudayaan dengan seadanya.Terlebih ketika memilih sastra di jalur pinggir.” Tegas Aguk Irawan MN sembari mengimbuhkan agar ke depan LA bisa bekerja sama dengan LESBUMI dan tidak hanya menggarap sastra, tapi juga teater. Selamat buat LA! Semoga tetap semangat untuk terus “Membaca - Menulis; Menjaga Hidup”. (AriZur)

LA Bedah “Louisiana-Lousiana” di Pinggir Kali Progo
Siang menjelang sore-Kamis 31 Mei 2007, di pinggir kali Progo tepatnya di seberang barat jembatan Srandakan, Komunitas LA membedah novel karya Jamaluddin “Lousiana-Lousiana” sambil lesehan di “Saung Progo” cafe & Resto. Pembedah kali ini adalah sahabat Asti Widakdo dengan dihadiri 12 pecinta sastra. Acara bedah buku ini dijadwalkan menjadi kegiatan rutin Komunitas LA sebagai salah satu bentuk pelestarian tradisi “Membaca- Menulis; Menjaga Hidup”. (Mazzie)


BYAR
Rahasia
Rahasia itu bagai magma, menyimpan kedahsyatan yang tak terduga. Simak misal puisi Sapardi berikut: tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan juni/ dirahasiakan rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu. Puisi tersebut menjadi indah, salah satunya, karena sisi kontradiktoris ditampilkan dengan wajah lembut. Sapardi tak serta-merta “menentang” perspektif meteorologi dan geofisika yang melihat bulan Juni sebagai kemarau.

Rindu yang lama tak terlampiaskan, adalah “hujan yang dirahasiakan”. Apa yang terjadi ketika “hujan yang dirahasiakan” tadi satu demi satu terkuak? Sebuah kedahsyatan siap menyapa. Dan apa yang terjadi ketika “hujan yang dirahasiakan” itu tak kunjung turun? Ia menjadi guru terbaik dari ketabahan dan kearifan.

Seorang pemuda yang “merahasiakan” cintanya pada pujaan hatinya bagai seorang ahlus-saum yang tak cepat patah arang. Ia juga akan merawat hubungan cintanya dengan bijak, untuk tidak egois. Seorang yang beramal dengan siri, selain menerima pahala yang dahsyat, juga mengasah ketabahan (menghadapi kesempitan maupun kelapangan) dan sikap bijak (untuk tidak “berteriak” yang bisa berakibat mengurangi pahala maupun menyakiti yang diberi). Demikianlah buah dari rahasia: dahsyat, tabah, dan bijak. Bukankah semua itu positif bagi kehidupan?

Tidak ! Pelanggaran hukum yang dirahasiakan, tidak diusut, adalah gouletin yang siap memenggal leher bangsa ini, kata seorang teman yang di tahun 1998 hampir diculik rezim Orde Baru. Teman tersebut sepenuhnya benar. Tapi benar dari segi hukum, di negeri ini, sering dikacaukan dengan: perbandingan kemanfaatan dan kemudaratan bagi kehidupan bernegara. Maka jangan heran, jika seorang Amien Rais yang semula lantang ingin mengungkap (rahasia) penggunaan dana non-budgeter DKP, tiba-tiba bersikap: dar' al-mafasid muqqadam 'ala jalb al-masalih (menghindarkan bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan kewajiban yang baik).

Benar, untuk menghindari polemik antar pemimpin yang bisa kontraproduktif bagi perjalanan bangsa, masalah tersebut mesti dibawa ke (dan diselesaikan lewat) jalur hukum. Namun persoalannya, “bahasa hukum” di negeri ini hanya milik segelintir orang. Apa-apa yang sejatinya terjadi pada proses hukum, selain mengenal istilah “tebang pilih” --juga sepenuhnya misteri, seutuhnya rahasia. Dalam atmosfir seperti ini, tidakkah Tuan Amien rindu mengulang perjuangan di tahun 1998 ?

Barangkali momentum reformasi memang tinggal kenangan Sebab, hal tersebut berkaitan dengan momentum politik yang usianya juga amat pendek. Namun, seperti pesan Mao, “meski hidup kita terbatas, revolusi tak pernah mengenal tepi*** M A R W A N T O ( http://markbyar.blogspot.com )


PUISI


AKU BOSAN
Oleh : Sri Juliati

Mata terpejam, terlena malam
Sunyi senyap bawa mimpi kelam
Hati berontak kala angin membekam
Raga lemah menggumam
Khayal melesat terbang
Menjauh dari keraguan
Tak kuasa tuk teriakkan
A K U B O S A N !!!


AKANKAH
Oleh: Reni Windars

Di setiap ufuk ketemukan
Hamasah yang lelah
Azzam yang mulai ringkih
Izzah yang terkoyak
Di setiap langkah kupijak
Bumi bergetar
Gunung berpendar
Bergerak, sujud menuju-Mu
Di setiap tarikan nafas kutanyakan
Akankah Engkau gantikan kami, Robbi??
Bukit Cubung, Mei 2006


KABAR RAHASIA
Oleh : Akhiriyati Sundari

Aku lihat rembulan luruh di pelataran bangku taman
Memajang potongan resahmu dalam gumpalangumpalan cendawan musim hujan
yang dibawa angin ketika hendak berlari kacau ke arah selatan
Bergemuruh kemudian, ditikam kabarkabar yang mematikan akan lakumu yang
tak pernah bisa kutebak, bahkan dalam malammalam memanjang saat
pertemananku dengan rembulan itu masih sehangat suhu badan
Aku lihat kau berlari menembus batas pendengaranmu sendiri
Seperti berlomba membisikkan kalimat rahasia pada telingatelinga
pemancar yang tak letih bersiar ;
“Akan ada yang mati hari ini, Bung!”
Lalu kulihat piala itu retak, melumpuhkan gelisah telingatelinga yang
bising oleh gaduhmu!
(Jl. Brigjen Katamso-Wates, September 2005)


KEMARAU PUN MULAI
Oleh : Enes Pribadi

langit tak lagi menangis
ketika petani desa siap membangun pagar
tanahnya yang berdebu
dibuatkan lubang.
untuk menanam biji bijian
menyongsong paceklik.
kemarau kemaraulah, girangnya
kemarau pun mulai
pepohonan sudah meranggas
rumpunnya hilang
tiada belaian daun
kalau kemarau panjang
mungkin siang mungkin terang
sisa tonggak jadi tegak
aku
aku lupa


MENJAMAH MALAM
Oleh : Dodo el-Faqir

dalam ketenangan
dalam kegelapan
si pekat menampak
andai si bodoh bisa sempurna
andai si pandai tawadu
andai kegelapan tak menyertai malam
andai matahari tak hadir dalam siang
mungkin ada yang ingin berkata
katanya ada TUHAN?
hanya malam yang mampu menjawabnya
mampu menyembunyikan sifat lahir
al f@kir 2007


AKU MENCARIMU
Oleh : Purwanto

Di gunung
Di lembah
Di pantai
Hampir gila
Ternyata kau ada di sini


AKU DAN KATAMU
Oleh: Zukhruf Latif

Aku
melangkah di tepi malam memegang kitab suci
teriak di mimbar seakan dunia hanya sejengkal
membaca ayat tentang surga dan neraka
tentang iman dan kafir
tentang bumi dan langit
tentang matahari dan bintang
galaksi dan cahaya
kemudian buntu dalam labirin otakku
aku bertanya sendiri
sendiri
tanpa tahu ke mana kucari jawabku
karena katamu
itu tidak perlu,
tidak semua mesti terjawab, katamu
bahkan Tuhan pun tak menjelaskan
ketika malaikat bertanya
kenapa Dia ciptakan manusia
yang jelas-jelas akan merusakkan bumi dan menumpahkan darah
kita hanya hamba, katamu
yang tak layak bertanya kepada tuannya apa saja
kita hanya patut mengabdi, katamu
dan hanya mengabdi
sebagai hamba sebaik-baik hamba
dan aku termenung dalam sepi kamarku
(Juni, 2007)


TEMBANG BULAN JUNI
Oleh : Faiz al-Hady

Sepertinya sunyi dan rindu akan lebih banyak menemaniku
Aku kehilangan mereka
Aku telah kembali lagi di sini, menghidupkan gerimis kenangan dalam
nyanyian waktu
Ingin kukirim surat jiwaku kepada mereka. Tapi mereka tak akan tahu
karena aku sembunyi bersama waktu. Biarkan lukaku menua lalu terkapar di
sepanjang musim ini.
Aku ingin membuang separuh mimpiku. Lewat air mata tapi mengapa ia
hanya mengalirkannya dalam sesat. Dan tak mampu melawan badai di jiwaku.
Aku semakin terkurung dan terperosok jauh. Dalam teka-teki mati. Tapi
aku harus kembali. Untuk mengenali diriku sendiri.


KATA MUTIARA
Malas, Bukan Saja Kontra Produktif
Tapi Juga Kontra Revolusi
Presented By
KOMUNITAS LUMBUNG AKSARA
membaca-menulis;menjaga hidup


SMS dari Pembaca
“Mhn maaf ats ketdk hadrn km pd acr ultah LA. dr Jgja km ucpkn slmt ultah ke 1. Smg LA lbh maju dn sukses. Maju terus Komunitas LA”(Humam- 081931765XXX)

“Saya acungkan 4 jmpol tx Lontar. Sy pgen nanya, bgaimana cranya tx mjadi komunitas Lontar? Tadarus puisi acrnya ngapain sih?”(Andhika- 085643246XXX)


Biodata Penulis
Akhiriyati Sundari, Orang Indonesia yang suka dengar koleksi musik Slowrock. Sesekali nimbrung di “Forum Téh Toebroek” Wates. Tinggal di Ngestiharjo. E-mail : monggo_mocomoco@yahoo.co.id

Dodo el-Faqir, alias Widodo. Bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang handphone. Tinggal di Banguncipto Sentolo. Aktif dalam pengkajian Islam di pesantren Gaul Kiai Bantar Angin.

Enes Pribadi, sering juga memakai nama Papi Sadewa. Pendidik di SMAN 1 Wates. Penyair yang pernah meramaikan jagad perpuisian Kulonprogo di era tahun 1980an ini tinggal di nJurangkah Temon.

Faiz al-Hady, nama pena dari Ummul Faizah. Alumni MAN Wonokromo Pleret Bantul. Saat ini tengah nyantri di PPAI Maron Purworejo.

Fajar R. Ayuningtyas, punya nama panggilan Fafa. Bekerja part-time di sebuah warnet di kota Wates. Tinggal di Ngulakan Hargotirto Kokap. Penggemar novel Seno Gumiro Ajidarma.

Purwanto, lelaki satu ini adalah pengusaha Herbal yang sukses. Cukup aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Lumbung Aksara. Tinggal di Dusun IV Tirtorahayu Galur.

Reni Windars, gadis kelahiran Kulonprogo, 25 Oktober. Pecinta sastra yang menekuni Sastra Indonesia di Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia UNY angkatan 2000. Tinggal di Sumberejo Jatirejo Lendah.

Sri Juliati, sesuai namanya ia lahir di bulan Juli tanggal 21 tahun 1989. Baru saja usai mengikuti UAN di SMUN 1 Sentolo. Tinggal di Nanggulan.

Zukhruf Latif, Lelaki kelahiran 26 Mei 1975 ini adalah Lay-Outer handal LONTAR. Alumni Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pendidik gigih yang satu ini adalah Kyai Tetap di Lumbung Aksara dengan spesialisasi Ro'is Tahlil.

LONTAR 6

lontar edisi 6 telah di posting dalam blog pada bulan Mei 2007 . Untuk menikmati, Anda dapat membuka BLOG ARCHIVE.

Rock d World!
rio_nisafa(web admin)

Tuesday, August 7, 2007

LONTAR 5

Cerpen
Aku Masih Supri !

oleh : Diana Trisnawati

Setahun sudah aku meninggalkan kampung, hijrah ke kota besar yang penuh dengan gemerlap rona kehidupan. Jakarta! Kota yang tak pernah sunyi itu akan menjadi tujuanku mengadu nasib. Di setiap sudut kota, kulihat gedung-gedung menjulang tinggi bak pencakar langit, bangunan-bangunan mewah dan keramaian kota yang selalu mengusik ketenangan jiwa. Aku pun berharap, semoga kutemukan kehidupan yang lebih baik di kota ini.

Berbekal sedikit uang dari bapakku, usai lulus SMA aku pergi merajut kehidupan di Jakarta. Dengan sedikit uang itu, kucoba mengubah jalan hidup. Sementara, waktu terus berputar bagai roda bajaj yang melaju entah ke mana, dompetku kian tipis. Sementara pekerjaan belum di tangan.

Suatu hari, seorang teman menawari sebuah pekerjaan. Memang, sebenarnya pekerjaan itu kurang layak bagiku. Namun disebabkan kebutuhan hiduplah akhirnya aku menerima tawaran itu. Sebuah pilihan yang sebetulnya pahit.

”Pri, pakailah baju ini. Biar kamu kelihatan lebih menarik.” Tono memberiku satu stel pakaian.

”Apa? Ini kan baju wanita! Aku nggak mau!”

”Apa katamu? Nggak mau? Katanya pingin dapat duit. Ya beginilah caranya kita menghasilkan uang!”

”Jadi, kamu nyuruh aku jadi waria lalu mangkal di perempatan gitu? Aku ini masih lelaki normal, Ton!”

”Iya, aku tahu! Tapi memang beginilah pekerjaan yang aku tawarkan buat kamu. Ayolah, Pri. Kamu mau ya?” Tono berusaha meyakinkan.

”Bbb...Baiklah, akan kucoba.”

Semula aku tak mau memerankan lakon seorang wanita dengan jiwa laki-lakiku, hanya demi uang. Aku masih menjunjung tinggi nilai moral, agama, dan norma yang aku patuhi selama ini. Tapi, seolah nasib mujur tak pernah berpihak. Selalu saja kesialan yang menimpa, hingga akhirnya aku menyanggupi tawaran Tono.

”Gimana pekerjaanmu sekarang, Pri? Kamu senang 'kan jadi waria, bisa dapat uang tiap malam?”

”Ya, senang nggak senanglah. Mungkin ini yang terbaik buat aku saat ini. Aku 'kan harus kirimi orang tuaku uang.”

”Dulunya aku juga nggak mau kok kerja kayak gini. Tapi lama-lama aku jadi senang, soalnya gampang dapat duit. Mungkin memang sudah nasib kita ya Pri, jadi waria!

Malam semakin larut, aku dan Tono masih terhanyut dalam suasana sedih bila selalu mengingat derita hidup saat ini. Hidup di Jakarta memang tak semudah dan tak seindah yang terbayang dulu. Rumah mewah, pendapatan melimpah dan kebahagiaan hidup, mungkin hanya milik orang-orang yang berperuntungan mujur saja. Tidak untuk aku dan temanku, Tono!

”Pri, kamu cantik deh pakai baju itu. Pantes banyak yang tertarik sama kamu.”

”Ah, biasa aja deh. E-ke jadi malu kamu bilang begitu...” Aku berkata sambil berlagak khas waria pada umumnya.

Banyak temanku bilang kalau perawakanku tinggi-langsing, kulitku kuning langsat dan wajahku terlihat cantik dengan make-up yang biasa aku pakai. Seolah aku terlihat bak bidadari cantik. Bidadari malam yang selalu mangkal di perempatan. Dan nama Vina mungkin memang pantas untukku. Tapi, aku masihlah Supri! Hati dan jiwaku masih sebagai laki-laki yang selalu mendambakan cinta wanita.

”Polisi datang...polisi datang!”

”Ayo, Pri. Kita lari! Aku nggak mau ketangkap!” teriak Tono.

”A...ayo, Ton! Tapi lari ke mana? Mungkin kita udah dikepung!”

Rasa gugup, tegang dan khawatir silih berganti mengusik hati kecilku. Iringi langkahku berlari tinggalkan perempatan yang terang-benderang berhiaskan kerlip lampu metropolitan. Aku takut kalau polisi menemukanku dan membawaku ke kantor polisi.

Ternyata apa yang aku takutkan terjadi! Belum jauh aku berlari, polisi telah memergokiku. Akhirnya aku dan Tono dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Setelah itu kami diberi bimbingan penyuluhan dan siraman rohani. Kegiatan bimbingan ini benar-benar membuat hatiku terketuk! Membuatku tersadar akan semua salah dan dosa yang pernah tertoreh. Aku ingin meninggalkan semuanya. Kembali menjadi Supri yang dulu. Kembali ke kampung halaman.

Tok...tok..tok...

”Pak, Bu, Supri pulang!” Kuketuk pintu rumah dengan hati riang. Berharap bapak dan ibuku menyambut kedatanganku dengan suka cita.

”Ayo masuk, bapakmu ada di dalam.” Aku bagaikan tamu tak diundang. Kedatanganku sepertinya membawa kesialan bagi mereka. Bapak dan ibu ternyata membiarkan aku begitu saja, tanpa kata sambutan yang terucap.

Aku terkejut. Tiba-tiba kulihat kedua mata ibuku mengeluarkan air mata. Dan isak tangis pun semakin mengharu-biru suasana.

”Nak, ibu kecewa padamu. Kenapa kamu jadi seperti ini? Kenapa harus bekerja di tempat kotor, Nak? Kamu mencoreng muka keluargamu sendiri!”

”Maafkan Supri, Bu. Semula Supri juga nggak mau. Tapi karena nggak ada kerjaan lain, terpaksa .... Bu, hidup di Jakarta ternyata sulit!”. Kata maaf mungkin takkan pernah bisa menghapus rasa sakit di hati ibuku. Ternyata bukan bahagia yang aku bawa dari Jakarta, tapi kekecewaan dan kepedihan yang amat dalam. Plus rasa malu yang selalu mengikuti kemana aku pergi. Seakan setiap bertemu orang-orang kampung mereka selalu berkata: ”Hallooo...Mbak Supri. Eee keliru....Mas Vina......”

***


BILIK REDAKSI
Salam Sastra,
Pembaca LONTAR yang budiman, di bulan April (ingat RA Kartini?) sejarah mencatat adanya "zaman pencerahan" yang mengantarkan kaum perempuan berkesempatan merengkuh kehidupan yang semestinya, sebagaimana hak kemanusiaan mengakuinya. Di LONTAR sendiri, sebagian besar personil perempuannya berkeinginan kuat untuk belajar bersama. Ini seperti sebuah puisi yang indah. Seperti kata-kata yang sarat makna.

Membersitkan keinginan untuk bisa hidup "seribu tahun lagi" seperti dituangkan Chairil Anwar dalam puisinya "AKU". Di kalangan sastrawan, bulan April acapkali dikenangkan pada sosok penyair besar tersebut yang wafat di usia muda. LONTAR mengajak pembaca sekalian untuk mengambil "spirit muda" dari penyair kenamaan itu. Selamat membaca ....


BACA BUKU
Judul buku : The Zahir
Pengarang : Paulo Coelho
Alih bahasa : Andang H. Sutopo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (2005)


Membaca tak ubahnya seperti menikmati alam. Keindahannya terasa ketika kita melihat, mendengar, mencium, dan menyatu sendiri dengan alam. Selihai apapun seseorang menceritakan pengalamannya tentang terjalnya gunung, sunyinya gua dan damainya pantai, tentu tak seindah jika dibandingkan dengan apa yang telah ia rasakan. The Zahir akan terasa keindahannya apabila kita membaca sendiri halaman demi halaman novel Paulo Coelho ini.

Aku --- tokoh utama novel ini --- adalah seorang suami yang ditinggalkan istrinya secara tiba-tiba. Kepergiannya menimbulkan pertanyaan dan kenangan yang ditinggalkan tak mudah dihapuskan. Esther, istrinya, adalah wanita pendiam yang membiarkan suaminya pergi sendirian sebab cintanya pada suami lebih besar daripada cintanya pada diri sendiri. Bagi sang suami, wanita itu sudah menjelma menjadi Zahir.

Zahir, menurut Jorge Luis Borges sebagaimana dikutip oleh Coelho, berasal dari tradisi Islam dan diperkirakan muncul pada sekitar abad delapan belas. Zahir, dalam bahasa Arab berarti terlihat, ada, tak mungkin diabaikan. Zahir adalah seseorang (sesuatu) yang sekali kita kontak dengannya, lambat laun memenuhi seluruh pikiran kita. Keadaan ini bisa dianggap sebagai tingkat kesucian atau kegilaan.

Kehadiran sang Zahir sungguh menyiksa kehidupannya. Berbagai cara dilakukan untuk menghapus ingatan akan mantan istrinya itu. Termasuk saat ia berusaha mencintai Marie. Namun, cinta itu berbeda dengan cintanya pada sang Zahir.

Hingga suatu ketika hadirlah Mikhail. Kehadiran lelaki ini menjadi jalan pembuka untuk menemukan kembali istrinya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah ia berhasil menemukan istrinya? Bukan keberhasilan yang ingin ditegaskan penulis dalam novel ini. Namun keberanian untuk mewujudkan sebuah keinginan. Apapun hasilnya, itu berkah Tuhan. Dan, menurut Coelho Tuhan tahu bahwa manusia adalah seniman dalam hidup.

(Maftuhatul Khoiriyah, pembaca sastra, pengelola perpustakaan komunitas Lumbung Aksara.)


ADA APA DENGAN LA
LA Bedah “The Zahir”
Guna mengeratkan jalinan intern, komunitas LA mencoba mentradisikan membaca dan menelaah pustaka, utamanya karya sastra. Ide ini direncanakan menjadi kegiatan rutin setiap bulannya dalam bentuk diskusi kecil bertajuk “Bedah Buku”. Edisi perdana bedah buku kali ini mendaulat Maftukhatul Khoiriyah (Itul) untuk membedah novel “The Zahir” karya Paulo Coelho. Selain diikuti anggota komunitas LA, acara yang bertempat di TEXAZ Café Wates pada Rabu 28 Maret 2007 pukul 14:30 WIB ini juga dihadiri para simpatisan, termasuk anggota DPRD Kulonprogo. (Ndari)

Silaturahmi LA dengan Joko Mursito
Rabu malam, 28 Maret 2007 sebagian awak komunitas LA silaturahmi ke rumah seniman yang juga sekretaris Dewan Kebudayaan Kulonprogo Joko Mursito S.Sn. Dalam jumpa santai yang diiringi rintik gerimis dan ditemani mie goreng hangat itu salah satunya terungkap bahwa potensi seni-budaya di Kulonprogo belum tergarap maksimal. “Kita punya pemandian Clereng dan lainnya yang jika digarap serius dan sinergis oleh berbagai pihak bisa dijadikan wisata budaya yang handal”, kata alumni jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta. (Samsul)

Pembelajaran Menulis Kreatif
Senin siang 19 Maret 2007, Komunitas Lumbung Aksara mengadakan Tadarus Puisi (TP) edisi keenam di rumah sahabat Burhan - kontrakan AB Giripeni Wates. Beda dari biasanya, TP kali ini diisi ”Pembelajaran Menulis Kreatif” dengan menampilkan nara sumber Hasta Indriyana, penyair-penulis dari komunitas Tandabaca Yogyakarta. Di hadapan sekitar 30 peserta, Hasta berbagi ilmu dan pengalaman seputar proses kreatif menulis puisi. Bahwa untuk berproses menulis puisi dan menjadi seorang penyair, memerlukan waktu yang lama serta ketekunan yang luar biasa. Pada kesempatan ini pula seluruh peserta dimintanya mempraktikkan menulis puisi dengan pengantar cerita tentang Roro Jonggrang. Dalam waktu 10 menit, seluruh peserta menuliskan cerita itu berbentuk puisi yang selanjutnya dibaca dan diapresiasi oleh Hasta. (Ndari)


BYAR
Seribu Tahun Lagi

………….
Apakah waktu / seperti yang kita angankan pada jarum jam / seperti yang ditunggu orang tua dan kereta berjalan (Menaksir Waktu, 1996)

Sepeninggal sahabat Zainal Arifin Thoha, teman saya --penyair Abdul Azis Sukarno-- menulis puisi yang bertutur “maut adalah sebuah antrian” (Minggu Pagi, No.01/Th. 60/ April 2007). Mungkin Aziz benar. Atau sedang melihat dari sudut tertentu. Tapi mungkin juga ia alpa: maut (baca: mati) bukanlah sebuah akhir dari hidup. Sebab, hidup dijalani bukan sekedar untuk antri mati.

Semisal orang membaca buku, lembar demi lembar ia baca, bukan sekedar menuju halaman terakhir lalu tamat. Pertanyaannya: ketika buku ditutup, apa ia paham isinya? Ada yang tak paham . Ada yang paham setelah selesai membaca hingga titik akhir. Namun, bagi yang bernaung di lauh al-mahfud, bisa saja paham saat baru menyimak separoh isi buku.

Analogi tersebut mendasari “definisi mati” yang tigabelas tahun lalu saya terima dari seorang pakar filsafat Timur. Terang, ilmu ini mengusik saya --dimanapun berada. Hingga menyeret pada sebuah pertanyaan tentang waktu. Saat itu saya memang belum paham terminologi zeitgeist (roh waktu). Meski begitu, penggalan puisi di atas, jelas mengarah terminologi zeitgeist.

Puisi tersebut saya tulis di Tawangmangu disela-sela Ospek Fakultas Ilmu Sosial-Politik UNS Solo, dimana saya terlibat kepanitiaan. Saat menyimak jalannya Ospek itulah, terutama ketika sesama teman senior memberi “wejangan” pada mahasiswa baru, di lubuk hati saya terngiang sebuah tanya: “Apa hak mereka memlonco? Karena lebih senior?

Lamanya waktu tak menjamin seseorang lebih mutu memberi “kesaksian” atas hidup. Si A dan Si B yang penumpang kereta dari Kediri menuju Padalarang belum tentu memiliki kesamaan kualitas “kesaksian”perjalanan. Bisa jadi Si C yang berangkat dari Kediri namun turun di Wates justru lebih berbobot kesaksiannya. Tergantung intensitas mereka menggauli hidup, untuk ditarik ke garis ilahiah, dan memberi dampak pada sesama.

Memang di dalam kematian batas ditancapkan. Namun “batas” tersebut adalah ranah dimana manusia berpeluang memberi kesaksian atas hidup. Dan “kesaksian” (syahid) paling konkret membekas, kata para arifin, ada tiga hal: amal (jariyah), ilmu (manfaat) dan anak (saleh). Itulah kesaksian yang tak kan pernah “mati”.

Maka, sungguh cerdas ketika meninggal pada usia muda Chairil Anwar justru menulis larik sajak: Aku ingin hidup seribu tahun lagi. Chairil sadar, juga sahabat Zainal dan mereka yang mati muda lainnya: yang hidup bukanlah raganya, namun karya-karyanya --kesaksiannya.*** M A R W A N T O




PUISI
TENTANGMU
Oleh : Osephe H.W.

Tentang kegelisahanmu
Tentang rasa penatmu yang tak berbatas
Menghantui sepinya hari, saat dulu, sekarang,
Dan esok...

Tentang ketakutanmu
Tentang rasa kehilangan, membuntuti jejak tak pasti

Penantian yang tak bermuara
Singgahlah sekedar membicarakannya,
Barang semenit,

Tak akan lama, River West-August, 2006


Ketika Kamu Serupa Rindu
Oleh : Retno Prihandaru

Ketika matamu serupa rindu
Itulah rindu yang kukikis dari batu-batu alotku
Ketika rambutmu serupa penat
Itulah penat yang kutangkis dari malam-malam asamku
Ketika senyummu serupa peluh
Itulah peluh yang kualirkan dari saluran nadiku

Di sini, aku terdiam sendiri
Memandangi lekukmu yang menghanyutkan
Cukup banyak yang mesti kukristalkan
Di batas cakrawala kita

Matamu menjelma elang
Menukik ke sudutku menggelayuti perihku
Senyummu menjelma bulan sabit, terkadang
Bukankah begitu wahai pangeranku
Kamulah nafas di dadaku
Yang berdetak badai
Akankah begitu wahai pangeranku
Kamulah jiwa di tubuhku
Yang berdenyut angin

SEKUTU
Oleh : Nani

Mengapa engkau tertarik kepada orang gila
Padahal ia tak 'kan menyerahkan diri
Walau engkau mengejar & berusaha menangkapnya
Perjuanganmu akan sia-sia
Dia hanya akan menyerahkan buah beraroma pahit
Energimu akan habis
Dimakan bayang-bayang tariannya
Ditelan permainan akrobatnya

Dibalik keganasannya
Ia hanya mau berteduh
Nyaman mengabdi
Tunduk berlindung pada majikan
Yang mengabaikan kehadirannya

Ia tak memiliki dirinya
Tapi tak sanggup menjadi budak kesiaan
Hanya sedia berpadu
Untuk menempuh kembali jalan yang lapang
Januari 2007


PARANGGI
Oleh : Hasta Indriyana

Ke rumah Raudal, bukan
Dengan kuda kupacu laju

Batang lalang dan
Aroma kampung halaman
Kujinjing buat
Menuntaskan satu puisi
Yang lama membatu
Dan jadi rindu

Masa lalu, begitulah
Seperti kekasih yang bikin
Betah dan merasa kenal
Nama sendiri

Kata-kata, kata Mas Iman,
Banyak berkisah tentang
Hal dan sesuatu

Maka sempatkan pulang
Ke rumah hatimu
Yang lapang
Yang dijagai kuda-kuda
Yang ditunggui ibu
Yang bercerita segala tanpa
Kata-kata
Rumahlebah, 2004


Husnul Khotimah
Oleh: Anib Nuham

Hati terang tiba,
Bahagia dalam jiwa,
Langit tegak berdiri di cakrawala.

Hati terang tiba,
Bahagia dalam dada,
Langit cerah berseri semburat warna.

Itu tanda jiwa kembali fitrah,
Menutup mata dalam damai,
Husnul khotimah...
Nagung, 23 Maret 2007


PROGO#1
Oleh: Muh Rio Nisafa

ratusan orang mengiringku ke jakarta,
berusaha menjajakan asa di laju kereta

PROGO#2
kereta ini telah menjadi pasar panjang,
Mengadu nasib menantang masa depan

PROGO#3
“aqua jos yang dingin-dingin”
“yang ngopi-ngopi, kopi-kopi, dua ribu ngopi panas”
mereka berniaga sambil bernada,
sebuah mantra penggugah selera.


Hujan di Pagipagi Sekali
Oleh: Akhiriyati Sundari

Dongengmu ini seperti hujan di pagipagi sekali
Mengirim kesedihan luar biasa
Sewarna dengan perasaan ketika ditinggal pergi kekasih

Dan di pagipagi sekali ini
Hujan kembali mengunjungiku
Menderaskan air mataku

Teringat Pamujiku
(Teringat in memoriam-ku)

Teringat ibuku
(Teringat kesedihanku)

Ngestiharjo, 24 Januari 2007


SMS Pembaca



Ass, Sy Lia, slh 1 pmbc Lontar. Btw, Lntr sgt mbggakn. Sy mo ty, Lntar biasa'a kluar + - tgl brp ya stiap prgtian bln?? Mf kl ggu. Wass.
(Lia-081904018xxx)

Salut deh buat LA! Dg mndatangkn pnulis2 hndal sy jd tau bhwa sya blum mjd seorang pnulis, pokoe pgalaman yg g bs dilupakn, bnyk akhwatnya ya! bagoeuss.. (Andhika-085643246xxx)


Kata Mutiara
Orang Yang Sukses Adalah Orang Yang Mampu Hidup dalam Ketidaknyamanan By Komunitas Lumbung Aksara
Membaca-Menulis,Menjaga Hidup


Biodata Penulis

Akhiriyati Sundari, alumni MAN 2 Wates (1997) ini lahir di Kulonprogo, 16 Oktober 1979. Puisinya masuk di Herbarium, Antologi Puisi 4 Kota; Bandung, Denpasar, Padang, Yogyakarta (PUstaka puJAngga,2007). dan Seorang Gadis Sesobek Indoneisia: Antologi Puisi Kulonprogo (2006). Email: monggo_mocomoco@yahoo.co.id

Anib Nuham, nama pena dari HM Anwar Hamid, S.Sos adalah mantan Wakil Bupati Kulonprogo (2001-2006). Lahir di Bantul tahun 1958. Alumni Fakultas Adab IAIN SuKa dan Sosiologi Stisipol Kartika Bangsa Yogyakarta. Tinggal di Bendungan Wates.

Diana Trisnawati, masih belajar di SMA 2 Wates.

Hasta Indriyana, lahir di Gunungkidul, 31 Januari 1977. Manajer komunitas Tandabaca Yogyakarta ini pernah menjabat Sekretaris Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY, 2003-2005). Mengikuti workshop penulisan esai Majelis Sastera Asia Tenggara di Palembang (2005). Buku yang telah ditulis: Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta (Jendela-2004), Perempuan tanpa Lubang (Pinus-2005) dan menyusul Teater Pendidikan Untuk Pembebasan (INSISTPress-2007).

Muh Rio Nisafa, PNS di Pemda Kulonprogo ini lahir 23 September 1978. Sempat menjadi penumpang setia KA Progo selama 2 tahun. Tulisannya dapat dinikmati di www.rio-nisafa.blogspot.com

Nani, lengkapnya Isnani Nurhalimah, aktivis perempuan yang pernah menggeluti wacana formalnya di jurusan Akidah Filsafat UIN SuKa. Guru MAN 2 Wates ini tinggal di Plumbon Temon.

Osephe H. W., Lahir di Kulonprogo, tinggal di Catur Tunggal Sleman. Belajar Sastra Inggris di USD Yogyakarta. Volunteer di sebuah Mobil Klinik anak-anak jalanan di berbagai persimpangan jalan Yogyakarta. Sajaknya "Berkelakar, Adam dan Kekasihnya" dibawakan di "Panggung Penyair Muda se-Jogja I di Taman Budaya Yogyakarta (20 Agustus 2006).

Retno Prihandaru, siswi SMA N 2 Wates kelas 3 ini lahir di Semarang, 19 Juli 1989. Hobi membaca, menulis, mendengarkan musik dan nge-net. Tinggal di Panjatan.