Friday, July 27, 2007

LONTAR 4

Memoar Seorang Perempuan
Cerpen AriZur

Peron masih basah. Bau malam pun belum lenyap benar. Wangi rerumputan yang tersapa pagi masih sedikit menyisakan embun. Sepi.

Keputusan ini sudah final. Hatiku telah bulat untuk meninggalkan Jogja. Meninggalkan semua mimpi-mimpi, menanggalkan segenap resah yang selalu menghantui di setiap tidurku.
Masih terngiang jelas silang pendapatku dengan ibu.

Duapuluh lima tahun bukanlah masa yang singkat. Berbekal asa, kubulatkan tekad meneruskan perjuangan Kartini. Berteriak lantang membebaskan kaumku dari pemiskinan dan penindasan. Tapi apa yang terjadi? Semuanya telah diluluhlantakkan oleh ibuku yang ironisnya adalah bagian dari kaum yang aku perjuangkan.

"Pokoknya kamu mesti nurut apa kata romo dan ibumu, titik".

"Tapi, Ratri belum ingin menikah sebelum apa yang Ratri cita-citakan tercapai, Bu...", rajukku sembari menahan isak.

"Jadi kamu melawan perintah romo dan ibu, gitu!"

"Bukan maksud Ratri melawan kehendak romo dan ibu. Tidak sama sekali. Hanya saja beri Ratri waktu. Ratri masih ingin sekolah".

"Nduk, bukan berarti romo dan ibu sudah tidak mau membiayaimu sekolah. Mana ada orang tua yang tidak senang kalau anaknya bisa sekolah lebih tinggi. Jadi orang pinter. Hanya saja ibu sudah tidak tahan dengan gunjingan orang-orang. Mbok ya lihat usiamu itu, sudah tidak pantas untuk terus melajang".

Aku terdiam. Lagi-lagi ibu membawa sensasi kuno itu lagi sebagai alasan perjodohanku. Sensasi yang hanya diukur dengan standar kepantasan umum.

Antara pantas dan tidak pantas, antara wajar dan tidak wajar. Sesuatu yang selalu disorot dari hitam dan putih. Saja.

# # #

Tak terasa sudut kelopak mataku mulai membasah. Sepintas kulihat arlojiku menunjukkan pukul 06:35 WIB. Masih setengah jam lagi, pikirku. Ah, lambat benar, gumamku sembari menggerutu.

Sedikit menepi dari keramaian orang yang mulai mengantri menunggu keberangkatan kereta, kusapu air mataku dengan punggung jemariku. Kulewatkan penantian ini dengan mengenang masa lalu. Membiarkan ingatanku mengembara jauh ke sebelah tenggara kota Jogja.
Kotagede. Tempat di mana aku terlahir dengan nama Rr. Ratri Kusumaningtyas. Putri ketiga dari pasangan RM. Suryo Saputro dan RNgt. Rumanti. Dari gelarnya saja sudah terlihat kalau keluargaku adalah keluarga ningrat. Aku hidup serba berkecukupan. Apa saja yang aku inginkan selalu terpenuhi. Meskipun pada awalnya duniaku hanya terbatas dalam benteng keraton, tak lebih.

Ketika aku masih kecil, aku hanya tahu Dakonan, tari-tarian serta tembang dolanan Jawa yang lain, sementara kedua kakak laki-lakiku boleh dibiarkan bermain sesukanya bersama teman-teman sebaya di luar keraton. Dari situlah kemudian aku berontak. Aku merasa ada perlakuan yang tidak adil dari romo dan ibuku. "Kamu ini anak perempuan, nggak pantes kalau bergaul dengan anak laki-laki!" kata-kata itulah yang selalu membuatku merasa menjadi bagian kedua setelah kedua kakakku yang kebetulan saja laki-laki. Memang aku akui, dalam adat keluargaku, seorang perempuan yang keluar rumah masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu.

Arghh..persetan dengan semuanya. Lama-kelamaan aku merasa bosan dengan keadaanku. Kehidupan ningrat ternyata tak ubahnya hidup dalam penjara bagiku. Kehidupan yang serba aturan, tata krama dan segala tetek-bengek adat-istiadat yang membuatku semakin terasing dengan diriku sendiri. Kehidupan yang terbangun hanyalah sebatas hubungan antara abdi dalem dengan ndoro majikannya, yang jelas membenarkan adanya perbedaan status sosisal. Dan itu semakin membuatku merasa tidak betah.

Selang kemudian, aku sedikit beruntung diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di luar tempat tinggalku. Dari situlah aku mengenal kehidupan luar. Dunia yang jauh dari keberadaanku sekarang ini. Dunia yang mengajariku warna pelangi, bukan warna hitam atau putih saja melainkan juga warna-warni lain. Jelas kesempatan ini tak 'kan kubiarkan percuma.
Sesekali di sela-sela kuliah, aku mulai aktif dalam beragam kegiatan, berdiskusi dengan kawan-kawan seperjuangan, ikut aktif melibatkan diri di LSM yang bergerak dalam bidang advokasi perempuan. Meski semua harus kulakukan dengan mencuri-curi waktu; tanpa sepengetahuan romo dan ibu, tetapi semua berjalan rapi bahkan hingga gelar lulusan strata satu aku sandang.
Yach...sepenggal cerita itu hanyalah sepotong mimpi. Hingga datanglah seorang Bagas Susetyo. Sesosok nama yang disebut-sebut romo dan ibuku sebagai calon suamiku. Kehadirannya ternyata telah mengacaukan semua mimpiku. Mimpi-mimpi yang aku bangun dari kecil untuk membuat kaumku sedikit terangkat dari kubangan penindasan.

"Sudahlah, Nduk. Manut saja sama romo dan ibumu. Kurang apa sih nak Bagas itu? Orangnya baik, sudah bekerja, wis mapan. Pokoknya nggak bakalan nyusahin hidupmu", bujuk ibuku ketika menggambarkan sosok calon mantu bagi anaknya. Siapa yang tidak kenal dia? Bagas adalah salah satu konglomerat di Jogja. Dia bekerja di perusahaan perak ayahnya yang sekaligus sebagai pewaris satu-satunya karena dia anak tunggal.

Hmm, aku hanya bisa mengulum pedih. Kenapa sih di usia yang sudah berkepala dua masih suka di atur, pikirku. Bukankah tugas utama ketika seseorang menginjak masa dewasa adalah deklarasi kemerdekaan?

Yach, kemerdekaan, kebebasan! Bebas dari segala macam apapun. Siapapun. Terlebih bebas memilih untuk menikah atau tidak sekalipun. Apalagi dengan seseorang yang tak pernah aku kenal siapa dia. Bagaimana dia. Ah...tidak mungkin!! Pikirku. Buatku, menikah bukanlah satu-satunya jaminan untuk hidup bahagia. Kalau toh kita bisa bahagia tanpa harus menikah, lalu buat apa menikah?? Bagiku menikah tak lebih dari suatu produk kebudayaan masyarakat, yang hanya melegalkan tubuh perempuan untuk bebas dinikmati oleh seorang lelaki. Sesuatu yang agung dari sebuah lembaga perkawinan, sering dilupakan. Tak jarang justru dalam lembaga ini, kekerasan dan ketidakadilan menemukan tempat aman. Huhh..aku gemas!

# # #

"Kereta api jurusan Jogja-Jakarta di jalur dua akan segera diberangkatkan. Diharap para penumpang agar bersiap-siap".

Suara operator kereta sontak membuyarkan lamunanku. Gontai langkahku menyusuri gerbong-gerbong kereta, mencari tempat kosong. Sengaja kupilih tempat dekat jendela agar bisa lebih leluasa menikmati perjalanan.

Kulemparkan pandang ke luar. Masih kulihat hijaunya sesawahan yang entah berapa tahun lagi harus tergusur oleh pesatnya zaman. Keramah-tamahan yang terpancar dari penduduknya yang tidak akan pernah bisa aku lupakan. Jogjaku. Aku akan tetap merindukanmu.

Selang beberapa jam dari stasiun Tugu, mendadak tubuhku tersungkur. Jerit ratusan penumpang histeris ketakutan. Empujaya telah kehilangan kendali ketika sebuah Pick-Up melintas di perlintasan KA. Roda-roda kereta seketika keluar dari rel. Menghempaskan tubuhnya hingga terlempar beberapa meter. Suasana seketika menjadi hening. Sehening langkahku pagi tadi.

Aku merasa sayap-sayap telah membawaku terbang. Meretas bebas ke entah. Wangi aroma therapy yang biasa aku baui di lingkungan keraton serasa menyengat hidungku.

Dalam keremangan, samar kulihat wajah ibu. Kucium tangannya sambil berbisik lirih, "aku masih perempuanmu, Ibu. Yang hanya punya vagina dan payudara. Dan hanya itu yang membedakan aku dengan lelakimu!!".

(An-Najah PP. Wahid Hasyim, 29-30 Maret 2004)

BILIK REDAKSI
Salam Sastra!
Bukan suatu kebetulan jika di bulan Maret banyak yang belum tahu ada momentum penting. Ya, tanggal 8 Maret adalah "Hari Perempuan Internasional". LONTAR menggayung sambut momen itu, bukan karena 'latah sosial", lebih dari itu, LONTAR sebagai wadah sastra adalah juga subkultur dari wajah sosial yang sudah semestinya peduli. Mungkin terlalu romantis jika LONTAR bergerak jauh di garda depan perjuangan kaum perempuan. Namun setidaknya LONTAR mencoba beringsut "menyuarakan perempuan" dengan mendorong terwujud-nya masyarakat berkeadilan gender, melalui keindahan yang LONTAR menyebutnya: Sastra! Semoga sedikit suara tentang perempuan di edisi ini bisa memantik harapan tersebut.
Selamat membaca ….

SMS (Seputar Membaca Sastra)
Sastra merupakan dunia yang bebas diskriminasi gender. Sastra dalam arti yang sebenar-benarnya tak boleh diskriminatif.Untuk Indonesia, sejak dulu perempuan seolah-olah merupakan obyek yang tiada habisnya. Perempuan lebih banyak diposisikan sebagai tokoh sentral. Bedanya, kalau dulu menggunakan 'bahasa lelaki' karena penulisnya pria, sekarang yang muncul adalah 'bahasa wanita'.

Kalau kini muncul karya sastra yang ditulis oleh perempuan dengan bahasa yang sangat lugas dan apa adanya, itu bukanlah pemberontakan." Pemberontakan adalah perlawanan atas perlakuan yang tidak adil. Padahal, sastrawan pria pada umumnya justru menampilkan wanita sebagai sesuatu yang indah, bahkan lebih indah dari aslinya,".
Karena itu, perempuan penulis tampaknya tidak menghendaki kepalsuan tersebut dan lahirlah dalam karya mereka sosok perempuan sebagai manusia biasa yang mendambakan kekuasan, harta, dan seks. Berbagai pengakuan terbuka dalam karya sastra, termasuk dalam novel Petir karya Dewi Lestari (Dee), bertujuan membebaskan sastra dari kepura-puraan atau kepalsuan. Di situ digambarkan bahwa perempuan bukan lagi sang dewi yang tanpa cacat Terkadang kebablasan,memerosokkan diri kedalam seks rendahan.

Memek karya Djenar Mahesa Ayu misalnya terjerembab dalam soal selakangan, yang rendah, bukankah estetika kejujuran bukan berarti sama dengan adegan bahasa seks yang vulgar? Dan yang sangat risi manakala kita membaca swastika yang mengambil setting kota Yogyakarta, seolah menasbihkan Yogyakarta sebagai kota Kelamin Sastra yang sejati merupakan karya yang adil, seimbang, dan menyeluruh.

Karena itu, seorang lelaki atau seorang perempuan yang memilih mengabdikan hidup di bidang sastra harus membebaskan diri dari jenis gendernya.Dan tetap kritis tidak terejebak waton beda dengan lelaki.(A Samsul Ma'arif, pecinta budaya)

ADA APA DENGAN LA
LA Audiensi
Selama Januari dan Februari 2007 Komunitas Lumbung Aksara (LA) melakukan audiensi dengan instansi terkait, seperti Perpustakaan kabupaten Kulonprogo, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kulonprogo, serta Dinas Pendidikan Kulonprogo. Materi audiensi seputar perkenalan komunitas dan program kerja. Selain mendapat tanggapan positif, ketiga instansi tersebut siap membantu program kerja LA. Bahkan di tahun 2007 ini, Perpustakaan Daerah Kulonprogo sudah memrogramkan hibah buku sebagai rintisan perpustakaan komunitas LA. (Ndari)

Tadarus Puisi Edisi Kelima
Tadarus Puisi (TP) edisi kelima digelar pada Sabtu Kliwon, 17 Februari 2007 bertempat di rumah Siti MAsitoh (Plumbon, Temon). Program bulanan LA ini dihadiri beberapa simpatisan dan wajah-wajah baru. Tidak ada narasumber khusus, namun TP kali ini terkesan lebih ekspresif sebab langsung dikomentari oleh anggota yang hadir. Baik dari segi isi maupun pembacaan. "Ternyata modal membaca puisi sama dengan membuat puisi yaitu PeDe!", komentar salah seorang anggota komunitas LA. (Mazzie)

Silaturahmi Kultural Komunitas LA
Kesadaran pemahaman budaya di kalangan masyarakat dan pemerintah daerah terasa masih rendah. Salah satu indikatornya, budaya masih dipahami secara sempit. Akibatnya, konsentrasi program dan anggaran dari Pemda di bidang kebudayaan hanya berkutat kegiatan seputar seni. Padahal budaya itu meliputi banyak aspek.

Hal ini dikemukakan tokoh masyarakat Kulon progo Drs. Ahmad Subangi saat menerima "silaturahmi budaya" komunitas Lumbung Aksara (LA), 28/2/07. Lebih lanjut anggota DPRD dari Partai Golkar ini mengatakan harus ada kelompok masyarakat yang berjuang di atas kultural seperti LA. Tapi perjuangan seperti itu kurang memberi keuntungan politis-ekonomis, jadi dibutuhkan individu yang betul-betul punya komitmen kultural.

Di tempat terpisah, komunitas LA bersilaturahmi dengan Yusuf Cahyono. Anggota DPRD dari PAN itu menyarankan komunitas LA mendekat ke Dewan Kebudayaan Kulonprogo. "Perjuangan anggaran lewat APBD sulit. Solusinya Lontar harus mendekat ke Dewan Kebudayaan agar dijadikan sub kegiatan sastra di lembaga tersebut", kata anggota dewan yang pernah membidani lahirnya Sanggar Seni Sastra Kulonprogo. (Samsul)

BYAR
Per-empu(k)an
Ketika membayangkan perempuan, kadang saya teringat sosok ini: Seorang perempuan yang setelah "menjewer" anaknya yang penguasa diktator dan kemudian ia menjadi penguasa di kota Macondo, sejatinya ia telah mewartakan ketegaran seorang perempuan. Meski, dibalik kekuatannya, ia masihlah perempuan yang suka menangis.

Memang, Ursula Iguaran, tokoh perempuan dalam novel One Hundred Years of Solitude (novel ini pertama kali terbit dalam bahasa Spanyol: Cien Anos de Soledad tahun 1967) karya Gabriel Garcia Marques tersebut belum bisa memberi konklusi atas sosok perempuan.

Saat lain, saya juga ingat Sri Sumarah: tokoh perempuan dalam prosa karya Umar Kayam yang begitu "sumarah", manut-miturut, demi menjaga sebuah wisdom bertajuk nilai adiluhung. Sumarah pun tak sepenuhnya memberi gambaran final tentang perempuan.

Meski agak prematur, kita bisa bertanya: mengapa pengarang Kolumbia (Marques) memilih melukiskan perempuan sebagi sosok tegar, daripada pengarang pribumi (Kayam) yang menampilkan perempuan sebagai pribadi yang tersubordinir?

Benar, tak semua pengarang pribumi menampilkan perempuan sebagai makhluk "lemah". Tapi bahwa imej perempuan (Jawa) itu ringkih , sekedar konco wingking, terutama karena "dibentuk" oleh wacana pustaka kita, hingga detik ini masihlah menghantui. Padahal, dalam hidup sehari-hari, amatlah tak terhitung perempuan kita yang tampil tegar dan heroik.
Dengan demikian, kecurigaan bahwa ketegaran perempuan kita selama ini ditutupi oleh wacana yang dikembangkan ideologi patriarki tidaklah berlebihan. Barangkali berangkat dari sinilah timbul ungkapan "sejarah itu miliknya laki-laki" (His-Story dan bukannya Her-Story).

Di lain pihak, tak sedikit perempuan yang suka dipandang dari sisi wadag-nya saja. Selebriti atau bukan, kini banyak yang terlihat ikhlas dan bahkan bangga mempertontonkan ke-empuk-an tubuhnya. Seolah menjustifikasi sebuah larik kalimat yang amat terkenal dalam novel Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi AG: Nikmat Pangkal Paha.

Anehnya juga, sebagian kaum hawa beranggapan: untuk menaklukkan dominasi kaum adam mesti ditempuh lewat jalur tubuh. Padahal, ada banyak cara yang elegan agar seorang perempuan bisa tampil tegar, terlebih tak menjadi korban ideologi patriarkt. Tengoklah Siti Khatijah, RA Kartini, Bunda Theresa, atau yang lainnya.

Ironisnya, sangat jarang perempuan yang berkaca pada sosok tersebut. Mengapa? Mungkin benar yang ditulis Dorothy W Cantor dalam bukunya Women in Power: perempuan itu jarang mengimpikan masa depan yang gemilang.***M AR W A N T O

Lisa-Ku (Liputan Sastra Kulonprogo)
Tanggal 1 Maret 2007 di kota Wates, tepatnya di sepanjang trotoar depan eks-gedung bioskop yang sekarang difungsikan sebagai gedung pertunjukan bagi masyarakat Kulonprogo, Komunitas Teater Kulonprogo (Tekape) bersama divisi sastranya (ASK) menggelar performance art bertajuk "Serangan Puisi 1 Maret". Acara ini diselenggarakan dalam rangka mengenang jiwa patriot dan semangat "Serangan Umum 1 Maret". Visualisasi puisi dalam bentuk gerak, pola dan bunyi berlangsung 3 jam serta didukung oleh 20 awak ini membawakan puisi-puisi karya Chairil Anwar (Red)




PUISI
Bias Semu Malam
Oleh Nur Islamiyatun

Malam menjadi saksi beku
Ketika resah mengembang dalam senyumku
Semburat benakku menjadi dalih
Dalam panjangnya harapanku
Sekerat daging dalam tubuh
Memilah arti seutas bayang
Memberi kejora dalam arti yang berbeda
Dalam derap titian langkah terjalku
Kunanti jawaban Esa
Dengan rangkai doa tulus
Atas kesucian yang mengarah laju
Berderit hingga cerah hari-hariku
Kumenanti songsong senyum terkias
Ketika seonggok lobi di depanku
Mencakrawala dalam hidup takdirku
Aku mendesah kelu pada sepoi angin
Merintis peluh dalam tapak jalanku
Berharap jawaban Esa ada padaku

Perdamaian
Oleh Refia Adriana

Kudamaikan diriku denganmu, sobat
Setelah perselisihan panjang
Dan alotnya perdebatan
Tanpa kumengakuinya, menerima
Maaf dari sebuah penyesalan
Saat itu aku terluka
Perih dan menganga lebar
Dan kau membasuhnya dengan dusta
Saat itu aku tersulut amarah
Dan kau meniupkan oksigen
Menjebakku dalam bara yang panas
Sekarang...aku pasrah
Kukatakan, aku butuh perdamaian
Disaksikan semua penderitaan
Aku berjanji, tak akan ada lagi kebencian

Cintaku Saudaraku
Oleh Verliendia Yunita

Ketika malam datang
Kesunyian ini menghadang
Sunyi, senyap dan sendiri
Hanya suara hewan-hewan malam yang menemani
Malam kian larut
Hatiku kian tersudut
Kecintaanku pada seseorang
Menjadi duri di sebuah persaudaraan
Pikiran, hati dan perasaanku
Semakin lama, semakin kalut
Kenyataan ini membuat aku jadi penakut
Aku pun tak tahu apa yang kutakutkan...
Duhai malam...
Hanya engkau saksi bisuku
Tetesan air mata kebingungan
Antara cinta dan persaudaraan
Tapi aku hanya dapat selalu ingat
Bahwa cinta tak harus memiliki
Dan cinta tak ingin dimiliki
Jika cinta itu dipaksakan...
Maka hanya akan menyakitkan perasaan

Masih Juga
Oleh Mazzie

Bocah perempuan terkatung-katung di ayunan
Gaun putih menyiratkan keabadian
Bersama debu mengubur impian pada langit-langit benderang
"Ini di mana mama?", katanya
Sebutir keheningan seolah jawaban
Dan waktu yang melenggang membodohi kenyataan
"Sabarlah nak, ayahmu masih di perjalanan"
Mungkin jika telah tiada petang ia datang
(15 Januari 2007)

Karamnya Perahu Kertas
Oleh Reni Windars

Badai menampar anjungan perahu kertas
menghantam buritannya di gunung es yang menjulang
menghempaskan tubuhnya ke samudra yang berjelaga
sunyilah perahu kertas yang limbung berlayar
tiada kawan menggayut senyap
adakah hatinya menyimpan kata
laksana zikir panjang mayapada yang tak jua berakhir
menghantar perahu kertas pada takdirnya
kau dengarkah lantunan doa
mengiringinya jumpai penguasa jagad raya?
( MayaPada, 2006)

Untuk Perempuan Terluka
Oleh Dewi Fatimah

Kesedihan
Hanyalah sebuah kubangan yang dalam
Semakin kau memasuki
Tak ada ujung kau temui
Satu-satunya pilihan hanyalah
Keluar dari kubangan itu
Cepatlah melaju
Usah menengok lagi
Tidakkah kau lihat
Tangan-Nya yang setia
Terulur meraihmu
Engkau hanya pantas bersama-Nya
(Kulonprogo, 1 Suro 1428)

KATA MUTIARA
Setiap detik yang berlalu
Adalah kesempatan untuk Merubahnya

By
Komunitas Lumbung Aksara
Membaca - Menulis, Menjaga Hidup

SMS dari Pembaca
Asslkm. Kpd Buletin "LONTAR"..sya mau tny, kpn t'akhir pngumpulan puisi? Apkh pd s't tadarus puisi? bgmn jk esok sya mngajak tmn ktk s't tadarus puisi? (081392868xxx)

Aq dodo den, Sentolo. Biasa pakai nama al-fakir,td bc lontar eh k kpngn sms, kykn lontar pny energi CINTA yg kuat neh, wadau..kpn2 pngn ktmuan dgn pra sstrawny blh? (081807000xxx)

Biodata Penulis Edisi 03/Th.I/Februari 2007
Ari Zur, alumni UIN SuKa, pernah nyantri di An-Najah PP Wahid Hasyim. Cita-citanya menjadi penyair yang beriman.
Dewi Fatimah, lahir 1979. Terobsesi memiliki kolam Eldorado, sanggar lukis, butik, dan sekolah alternatif. Tinggal di Wates.
Nur Islamiyatun, alumni MAN Wonokromo Bantul, beberapa puisinya pernah dimuat majalah Bhakti.
Refia Andriana, pelajar SMK N 1 Pengasih ini lahir di Kulonprogo, 25 Mei 1989. Tinggal di Siluwok, Temon.
Reni Windars, lahir 25 Oktober 1987 masih kuliah di FBS UNY Yogyakarta. Tinggal di Jatirejo, Lendah.
Mazzie, atau Siti Masitoh, lahir 22 Nopember 1980 masih berjuang menyelesaikan studi di UIN Suka. Tinggal di Temon.
Verliendia Yunita, pelajar SMEA Muhamadiyah 1 Wates, tinggal di Temon.

Thursday, July 5, 2007

LONTAR 3

Dalih Cinta
Cerpen Asti Widakdo

Bedebah! Ternyata selama ini Risa menganggapnya tidak serius. Belum cukupkah pengorbanan Alpin untuknya? Seenaknya saja Risa menuduh rasa cintanya hanya main-main belaka. Kenapa tidak dari dulu Risa bilang begitu, sehingga tak perlu capek-capek Alphin memperjuangkan rasa cinta demi kebahagiaan mereka. Semua masih tersimpan sempurna dalam otak Alphin: tentang awal mereka menyatakan perasaan sampai akhirnya seperti ini. Ya, semua masih tersususn rapi dalam memori.

" Aku sayang kamu tulus dari hati ". Bukankah itu yang selalu Risa nyatakan saat dalam pelukan Alphin. Anehnya Alphin percaya semua itu akan membawanya ke sesuatu yang membahagiakan mereka. Tapi kini, bagai kilatan petir di siang bolong semua impian sirna oleh kata-kata Risa yang ternyata berlipstikkan dusta. Risa yang dulu Alphin anggap sebagai bidadari syurga, mendadak berpaling darinya.

Kini Alphin sadar telah dibutakan oleh rasa cintanya. Terjebak dalam perangkap yang menyeretnya ke jurang kenistaan. Alphin pun memutuskan untuk mendobrak pintu perangkap dan lepas dari belenggu rasa yang akan terus menyiksanya.

Walau begitu, Alphin tak bisa sepenuhnya menyalahkan Risa. Semua berawal ketika mereka saling curhat tentang masalah yang sedang Risa hadapi, yang tanpa terasa telah menarik rasa simpati untuk membantu Risa. Bukan karena Alphin mencintainya, tapi sebagai seorang sahabat Alphin ingin membantu tanpa pamrih.

" Aku sudah lama mencoba untuk mencintainya, tapi selama dua tahun aku tidak bisa. Dan sekarang, aku sedang jatuh cinta kepada seseorang, aku bingung! "

Risa ungkapkan apa yang ada dalam hati.

" Kalau kamu tidak mencintainya, kenapa mau menerima dia? Bukankah itu akan menyakitkanmu... dan sekarang kau rasakan itu. Kalau boleh tau siapa lelaki yang meruntuhkan rasa cintamu? "

Mereka saling terdiam sesaat. "Apa aku mengenalnya?" lanjut Alphin.

"Ya, kau mengenalnya. Bahkan sangat mengenalnya" jawab Risa.

Terlintas dalam benak Alphin "apakah itu aku?", tapi Alphin segera membuang jauh pikiran itu. Sampai pada malam yang akhirnya membuat Alphin takluk akan sinyal cinta yang terpancar dari hati Risa. Dan mereka pun menyatakan rasa yang masih mengambang di bawah romantisnya sinar purnama sebagai awal kisah cinta. Hingga suatu ketika....

"Sebagai seorang lelaki aku masih meragukan tentang status kita. Ris. Apa kau serius mencintaiku? Sejujurnya aku tidak mau diduakan. Aku sungguh menaruh harapan besar terhadapmu".

"Al, aku bingung! Dalam hatiku berkecamuk, gundah gulana berkliar mengakar tak berujung. Tapi hati ini tetap mengalunkan nada cinta untukmu.

Dan, asal kau tahu saja, aku tak mau kehilangan rasa cinta ini. Untuk dia, aku belum merasa yakin apa aku bisa, aku takut kalau nantinya menyakiti perasaan orang lain.

" Aku mencintaimu Al, tulus dari hati", sambil menitikkan air mata, Risa rebah di dada Alphin. Suasana haru nan romantis, diiringi deru angin sepoi dingin dalam kemesraan.

" Aku juga mencintaimu Ris. Aku tak mau kehilangan rasa ini. Kita jalani saja apa yang harus kita jalani, semua ini adalah atas kehendakNya. "

Waktu berlalu. Detik berganti menjadi menit, menjadi jam, menjadi hari, menjadi minggu, dan menjadi bulan. Tanpa terasa kisah mereka terlewati penuh keromantisan, keraguan, dan kedengkian. Gila, geli, gelisah menjadi deretan gerbong dalam kereta cinta. Sampai pada waktunya......

" Ris, ada apa gerangan sikapmu beberapa hari ini berubah? "

" Memangnya. "

" Aku merasa kau tak lagi seperti dulu. Indahnya cinta tak lagi kurasa dalam pancaran matamu. "

Gejolak keraguan mengoyak relung hati Alphin, dalam deru sendu ia beranikan diri untuk menanyakan hal itu kepada Risa.

" Setiap hati ada batasannya Al, kenapa kau tidak tanyakan sendiri pada dirimu."

Sedikit kasar memang, tapi itulah Risa yang misterius. Gejolak kembali merebak dalam hati Alphin terus menjalar ke otak, beribu pertanyaan berserakan dalam pikirnya. Hatinya berbisik.....

" Alphin, bukankah Rosululloh telah mengajarkan kita untuk bersabar? Jangan sampai kau buta oleh prasangka yang nantinya akan membawamu ke dalam penyesalan. Bukankah cinta tak harus memiliki, karena itu buktikanlah untuk cintamu dengan sedikit berkorban. "

" Hmmm...... berkorban demi cinta? Kelihatannya asyik juga, apa salahnya dicoba. " Alphin berdialog dengan hatinya.

Selama berhari-hari, detik-detik terlewati hanya Risa yang ada di benak Alphin. Terus dan terus menjawab pertanyaan yang tercipta dalam otaknya. Ternyata semua itu meyakinkan hatinya bahwa Risa bukanlah yang terbaik baginya.

" Jika memang diriku bukanlah menjadi pilihan hatimu, mungkin sudah takdirnya kau dan aku tak bersatu ", suara hati berbisik bak lantunan lagu. Lagu yang menyeret Alphin memencet nomor Risa yang ada di HP-nya.

" Risa, bisa kita ketemu? "

" Ada apa Al ? "

" Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Penting. ?"

" Kalau begitu temui aku di masjid siang ini. "

Alphin meletakkan HP-nya. Ia keluar dari pintu kamar, dengan semangat jihad, menuju Rumah Tuhan. Sambil bergumam, " Aku tak berniat menyakiti hatinya, aku hanya inginkan dia bahagia. "

Masjid itu masih lengang. Alphin melihat gadis itu duduk di serambi masjid, dengan raut wajah penuh tanya.

" Ris, sudah cukup kebimbangan yang kau cipta "

Suasana hening, meski kata-kata Alphin datang bagai petir menyambar di siang bolong.

" Maksudmu..? "

" Setiap hati ada batasannya. Dan hari ini adalah batas hati itu. Ris, hati ini lelah oleh sikapmu yang tak pedulikanku. Padahal kau tahu betapa aku mennyayangimu. Aku letih dengan semua ini. Kuharap kamu mengerti dan sadari "

Terdiam, keduanya terdiam. Sunyi sepi menjadi dalih atas bisunya lisan. Mungkinkah ini akhir cerita cinta diantara mereka? Suara adzan mengalun merdu menusuk relung kalbu, menyejukan jiwa, dan tanpa terasa waktu dzuhur telah tiba.

(Kulon Progo, 1 Muharram 1428 H)



Bilik Redaksi

Pembaca budiman,
Bagi sementara orang, ter-utama anak muda, bulan Februari identik dengan bulan "kasih sayang". Ya, ini karena pengaruh Valentin's Day. Jika ditelusuri, perayaan Hari Valentin merupakan tradisi Gereja dalam memperingati wafatnya Santo Valentinus. Konon, sebelum gugur sebagai martir (mati syahid?) ia sempat menulis catatan kecil tentang cinta. Lalu, di berbagai belahan dunia, hari Valentin diperingati dengan pembarian hadiah seperti coklat, bunga mawar, kartu bergambar cupid dan ungkapan cinta bagi sepasang kekasih. Kita tidak menolak, tidak juga mengkampanyekan hari Valentin. Kalau Lontar edisi ini terkesan "bernuansa cinta", itu lebih karena sikap toleran semata. Bagi kami, tak ada sedetik pun waktu terlewat tanpa cinta. Dan karena cinta pula, Lontar selalu hadir menyapa Anda.

Selamat membaca !.

Baca Buku
Judul : Pudarnya Pesona Cleopatra;
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Penerbit Republika, Jakarta
Cetakan : IV, 2006 ( vii + 111 halaman)


Novel tipis ini terdiri dari dua cerita berbeda dan tidak memiliki kesatuan cerita. Kesamaannya terletak pada tema yang diurai. Cinta dan pernikahan. Cerita pertama menyajikan kisah cinta yang tragis. Lelaki yang menikah dengan gadis pilihan ibunya tanpa didasari cinta bahkan hingga istrinya mengandung anak mereka. Sang istri akhirnya meninggal bersama bayinya di saat lelaki itu mulai bisa mencintainya. Sayang, ia tak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahan, juga cintanya. Pergulatan batin penuh dialami oleh lelaki itu yang tergila-gila dengan prototype perempuan-perempuan Mesir (tempat di mana lelaki itu pernah menimba ilmu) yang kecantikannya konon merupakan titisan Cleopatra.

Cerita kedua menampilkan tokoh perempuan yang bergulat dalam dilema. Mirip kasus klasik ala Siti Nurbaya. Menikah untuk melunasi hutang ayahnya. Cerita ini ditutup dengan happy-ending yang mudah ditebak. Ada pahlawan yang tiba-tiba datang menyelamatkan si tokoh (bak pangeran berkuda putih). Dilanjutkan dengan kalimat "akhirnya mereka hidup bahagia sebagai sepasang suami istri".

Membaca novel ini, kita seolah diajak untuk romantik sekaligus sentimentil. Pergulatan batin yang menjadi ruh novel ini (seperti disebut sebagai novel psikologi Islami) terasa biasa saja, dilihat dari latar belakang pelakon cerita yang notabene orang-orang yang cukup berpendidikan, sehingga sudah selayaknya pandai mengelola konflik batin itu. Istimewanya bagi saya cerita ini membawa pesan moral tentang bagaimana memilih dan mencintai pasangan hidup dengan tulus-apa adanya.

(Akhiriyati Sundari, Penikmat novel cinta. Tinggal di Blok 2 Ngestiharjo-Wates)


Ada Apa dengan LA

LA di Forum Penyair 4 Kota
Dua penyair komunitas Lumbung Aksara (LA), Marwanto dan Akhiriyati Sundari, diundang pada acara Forum Penyair 4 Kota (Padang, Bandung, Yogya, Bali) yang berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta, 2-3 Februari 2007. Pesertanya adalah penyair yang karyanya dimuat di buku "Herbarium" (Antologi Puisi 4 Kota). "Dari 4 penyair Kulonprogo yang mengirimkan karyanya, terpilih 2", kata Mahwi Air Tawar, koordinator acara. Selain lounching "Herbarium", juga digelar diskusi sastra dengan pembicara Dr. Faruk HT, Afrizal Malna, Saut Situmorang, Raudal Tanjung B. (Yogya), Widzar Al-Ghifary (Bandung), Sudarmoko (Padang), Muda Wijaya (Denpasar). (Itul Khoiriyah

Tadarus Puisi Edisi Keempat
Acara bulanan Komunitas LA, Tadarus Puisi (TP) berlangsung 23-1-07 di Sorobayan, Tirtorahayu, Galur diikuti anggota dan simpatisan Komunitas LA. Beda dari biasanya, di TP kali ini hanya dua penyair yang membacakan puisi: Samsul Maarif (LA) dan M. Shodiq (ASK). Sebab, acara dilanjutkan untuk membahas program kerja LA. (Itul Khoiriyah)


BYAR
Ghaib


Ada baiknya kita ingat Parmin. Ia memang bukan tokoh penting. Tapi di malam itu (sekitar sepuluh tahun lalu), di sebuah wartel yang sesak orang antri ingin menelpon, ia berjuang keras “melawan” kemauan “ruh”-nya.

“Cepat dong, katakan!”

“Emm.... apa harus malam ini..?”

“Ya, harus ….!!!!!!!!!”

Parmin gagal mengucapkan. Juga esok harinya, saat bertemu Siti di kampus. Meski belum mengucapkan, sejatinya ia telah menyatakan sikapnya pada Siti. Dan inilah keyakinan Parmin: cinta itu bukan sederet kata dan rayuan manis, tapi sebuah sikap. Sikap yang dilandasi hubungan intens antar “ruh”. Apakah ruh itu?

Menurut kitab suci, pengetahuan manusia tentang ruh serba terbatas --sedikit. Mungkin bisa ditafsirkan: definisi ruh tak perlu diperdebatkan. Sebab ruh itu urusan Tuhan (Ar-ruhu min amri Rabbi). Cukup manusia menjaga dengan sikap, dengan tindakan, yang merupakan manifestasi dari vibrasi ruh. Dan inilah cinta!

Cinta itu tak ada habisnya jika (hanya) dibicarakan, tapi sungguh sangat simpel bin nikmat jika dilaksanakan. Demikian seloroh seorang teman. Ia tidak salah. Sebab, mendebatkan hubungan antar ruh adalah muskil.

Itu wilayah ghaib: domain yang sejatinya “tak tersentuh kata”. Ingat saat Kanjeng Nabi mi'raj? Di “langit kesatu sampai enam” beliau masih bisa berdialog dengan malaikat. Tapi, begitu menghadap Allah di langit ke tujuh (sidratul muntaha), “pertemuannya” tersebut tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Mengobral cinta dengan kata bukanlah tindakan bijak. Kecuali bagi seorang penyair. Itupun tidak untuk tujuan “mendebatkan” cinta, namun untuk menghaluskan rasa. “Alusing rasa bakal ngadohke tumindak dur-angkara”, kata teman kos saya di Solo, tahun 1997. Tapi saya menyanggah: “Bukankah penguasa kita juga berperangai halus, suka ngumbar senyum di hadapan petani pada acara klompencapir, mengapa banyak teman kita demonstran diculik?”

“Halusnya rasa tak (hanya) identik dengan senyum, Dab! Tapi, bertindak sesuai kata hati”, jawab teman tadi. Saya pun tertegun, dan kembali teringat Parmin, yang beberapa waktu lalu ditanya istrinya.

“Mas, katanya sampeyan itu penyair, kok tak bisa romantis…?” Cukup lama Parmin merenungkan pertanyaan isterinya. Sampai pada suatu kesimpulan: “Dik, mungkin aku ini bukan tipe penyair yang suka tebar pesona………….”

M A R W A N T O


Lisa-Ku (Liputan Sastra Kulonprogo)
Sebuah acara menarik bertajuk “Bikin Puisi Bareng” (BPB) berlangsung di Taman Binangun Kulonprogo (TBK) pada hari Minggu pagi (4-2-07). Acara yang direncanakan berlangsung pada minggu pertama tiap bulan ini digagas oleh Ajar Sastra Kulonprogo (ASK). Untuk BPB edisi perdana kali ini menghadirkan nara sumber: Marwanto (koordinator Komunitas Lumbung Aksara) dan Wahid AS (ketua komunitas Padang mBulan) dengan dipandu Puthut Buchori (Pemimpin Redaksi buletin ASK).

Acara yang diikuti sejumlah anak muda ini diawali uraian singkat dari nara sumber ihwal pandangan mereka terhadap dunia kepenulisan dan sastra (khususnya puisi). Bagi Wahid, puisi adalah tulisan yang menekankan penggunaan simbol yang indah. Sementara menurut Marwanto, beda dengan tulisan ilmiah, puisi adalah sebentuk karya yang berangkat dari mata batin penulisnya.

Setelah paparan nara sumber, acara dilanjut dengan membuat puisi. Setiap peserta yang hadir diberi waktu 15 menit untuk membuat puisi. Lalu, mereka membacakan karyanya dan semua yang hadir diberi hak untuk mengomentari.

Menurut Puthut, komentar dari nara sumber hanya bertujuan memperkaya wacana. “Di sini tak ada pengadilan puisi, sebab kita sama-sama masih dalam taraf belajar menulis puisi”, kata lulusan ISI Yogyakarta ini. (Aris Izur)f





PUISI
Makin ridu


Oleh Mukhosis Noor

Hari ini kau sematkan di tanganku duri-duri mawar
Setelah kemarin kau selipkan di jariku paku-paku kehidupan
Seperti air
Kau adalah titik hujan
Seperti batu
Kau adalah ornamen kehidupan
Seperti kembang
Kau adalah teduh bakung
Seperti api
Kau adalah bara
Seperti angin
Kau berlalu
Hari ini
Makin aku rindu
(Yogjakarta, 18 desember 2006)


Nota Cinta
Oleh Sri Juliati

Serpihan hati masih melekat
Tak kan terhapus oleh pekat
Bayang ragamu slalu ada
Menari di dasar jiwa
Ingin kuberontak
Kepada sesuatu yang maya
Sesuatu yang disebut cinta
Apalah makna ini semua!!
Senyummu tak dapat kulupa
Lalu kapan kan sirna?
Semua hampa, tiada berasa


Valentinkan Ibuku
Oleh Niko Ferdian

Aku inginkan semua bervalentin
Siapapun. Dimanapun. Kapanpun.
Agar nurani merdeka tanpa batas
Dan kalbu berteriak tanpa asa

Tapi belum untuk Ibuku
Sori Bu…..

Sebenarnya valentin hanya hakmu
Bukan milik mereka yang melalaikanmu
Bukan milik mereka yang menyiksa nuranimu
Aku janji….
Kuberikan saat ini dan esok hari

Tuhan..?!
Valentinkan Ibuku

Ini yang kumampu
Berniat belum berbuat
Berucap belum bersikap

Met valentin Ibuku…


Senja Ke Seribu Enam Ratus
Delapan Puluh

;untuk lelaki senja
Oleh Fajar R Ayuningtyas

Senja ke seribu enam ratus delapan puluh
di cakrawala siluetmu telah tak terbaca.
Entah
Hanya fosil matahari angin debu
dan segenggam abu perapian
sisa perburuan semalam

Maka kulepaskan cinta, sayang, ke lembah bebatu itu
hatiku masih terjal. Sampai entah kapan

Kini biarkan saja malam turun dihatiku dan engkau



Dawai-Dawai Cinta
Oleh Wahid Agus Supriyanto

Di sini kita berdiri
Di sudut rona mentari berseri-seri
Bersedih ….
Ataukah lebih perih
Ketika kusebut sebuah nama
Bergetar membias seluruh jiwa
Mungkin kecewa atau duka
Mungkin juga gundah gulana
Kupetik gitar tua di tengah huma
Nyanyikan syair lagu mawar bunga
Untukmu wahai kusuma
Impian hati di tanah surga
(Taman Binangun Kulonprogo, 4-2-07)


S a a t n y a
Oleh Borhan

Keindahan seperti apa yang kau cari
Kenapa harus menunggu waktu
Bukankah bisa didapat kapan saja
Asalkan kau sanggup bermimpi

Kasih sayang dari mana ingin kau dapat
Kenapa harus mencari dengan sesaat
Bukankan bisa dari siapapun
Asalkan kau siap menggapainya

Kebahagiaan seperti apa coba kau raih
Kenapa harus bersama-sama
Bukankah bisa dengan kesendirian
Asalkan kau bisa menikmatinya

Ah…..
Keindahan semu mungkin
Uh…
Kasih sayang beku pasti
Ehm…..
Kebahagiaan sesaat klimaksnya
Ah.. Uh….Ehm….
Ada di diri dan pribadi


GEGURITAN
L E L O N O

Dening Numri S. Zain
Ing lelakone urip
Akeh pangurip-urip ing warta
Ananging manungso
Ora padha sadar lan mangerti
Hilang sudah
Lelabuhan kang digadang-gadang
Tanpa warta
Tanpa suara
Urip iku kudhu kelingan karo sing ngecet lombok
Ojo lali laporan
Mung nundukake nafsu
Kanggo wektu kang sedilit
Ora suwe
Gusthi ngerti karepmu
Karepe sedoyo wong kang urip ing dunyo
Gusthi kang Maha kuasa
Lelono ing jagad liyo
Ora ngerti panggawean
Ngerti wus manggon
Anjejekake palungguhan
Ing panggonan kang sepi
Lelono ora mung neng jagad dunyo
Ugo ono jagad pamikiran
Kang dipun enteni
Sedoyo karya lan ide
Ingkang sampun kasimpen wonten wigatosanipun
Sedoyo pelakon urip
Ngupoyo hasil
Kang durung kasampean
Nganti ngimpi-ngimpi
Lelono ing ati luwih susah
Nyumertaake rasa, jiwa lan raga
Kabeh tumurut
Nora nana kang gampang
Ati kang kudu ng-ati-ati



KATA MUTIARA
Dengan atau tanpa
Valentin
Cinta adalah Ruh Kehidupan
By
Komunitas Lumbung Aksara
Membaca - Menulis, Menjaga Hidup

Biodata Penulis
LONTAR Edisi 03/Th.I/Februari 2007

Asti Widakdo, lahir 26 November 1987. Penulis yang asli Galur ini mulai awal Februari mencari pengalaman hidup di Bekasi. Sambil mendinginkan hati, akunya.
Borhan, yang punya nama lengkap Burhanul Fahruda adalah penyair “karaten” yang kini terobsesi menjadi pengusaha sukses. Tinggal di “Kontrakan AB”, Giripeni Wates.
Fajar R Ayuningtyas, lahir 29 April 1982, punya kesibukan part-time di sebuah warnet di Wates. Tinggal di Ngulakan, Hargorejo, Kokap.
Mukhosis Noor, lahir 16 Februari 1986, masih kuliah di jurusan Bahasa Dan Sastra Arab, Fak. ADAB UIN Sunan Kalijaga. Tinggal di Sindutan, Temon.
Niko Ferdian, penyair muda pesisir kidul ini siswa kelas III SMA 1 Wates, dan belum punya pacar.
Numri S. Zain, alumni UIN Sunan Kalijaga. Kini pengurus Dewan Asatidzah PP Wahid Hasyim.
Sri Juliati, sekolah di SMA Negeri 1 Sentolo, tinggal di Nanggulan.
Wahid Agus Supriyanto, lahir 11 Maret 1978, adalah ketua komunitas Padang Mbulan. Seniman yang akrab dipanggil Redjo ini juga sering menulis geguritan, tinggal di Panjatan dan Wates.

SMS Pembaca


Asslkm. Surprise! Da komunts sastra di KP. Gimana caranya gabung? (Ida-Lendah: 081932763xxx)

Mas/Mbak, nek mau gabung sama Lumbng Aksara piye carane yo? Nuwun. (Sartana-Girimulya: 0817269xxx)

Gmn klo di Lontar ada rubrik ulasan thdp karya yg dimuat. Ya, spy karya yg ada bisa dipahami pembc, OK?? (Tole-Galur: 08104283xxx)

LONTAR 2

CERPEN
PEREMPUAN YANG MENATAP SENJA
Oleh: Akhiriyati Sundari

Perempuan itu selalu menatap senja. Membiaskan remang jingga di ujung wajah yang digurat peristiwa dari kedalaman masa. Aku selalu melihatnya dari balik jendela kamarku yang kebetulan berseberangan dengan rumahnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan dirinya. Biasanya, ketika perempuan
itu tengah larut dalam tatapan senjanya, dari dalam rumah akan muncul perempuan paruh baya yang belakangan kuketahui adalah ibunya. Si ibu dengan lembut menyuruh anaknya itu untuk masuk ke rumah. Dalam sekejap perempuan yang selalu menatap senja itu akan masuk rumah mengikuti perintahi ibunya. Tak bisa kulihat jelas bagaimana reaksi air mukanya. Hanya si ibu akan menghela nafas sebentar lantas bergegas masuk.

Persisnya aku tak menghitung dengan pasti kapan aku mulai memperhatikan perempuan itu. Di mataku, perempuan itu tak lebih kuanggap sebagai perempuan aneh. Hampir setiap hari menjelang senja ia akan keluar di samping rumahnya yang terletak agak menjorok ke depan dari sisi jendela kamarku, berdiri menatap lurus ke arah surya yang bergerak membungkam sinarnya ke balik peraduan. Bias warnanya terekam dan menempel di bulat wajahnya. Air mukanya terlihat berkilau karenanya. Pada detik-detik seperti itu, debaran dan deburan keras menghantam palung dadaku. Aku terpukau melihat kecantikannya. Beberapa saat sesudahnya aku hampir tak dapat mengatur nafasku. Aku seolah terkena sihir perempuan itu. Diam-diam aku tersenyum malu.

Sebenarnya ini hal yang tak terlalu istimewa. Seorang laki-laki sepertiku melihat perempuan segar di pedusunan terpencil ini lantas tumbuh getar magnit sungguh tak perlu diherankan. Bukankan sudah jamak diketahui bahwa pandangan mata lelaki teramat lemah jika melihat perempuan cantik? Namun ini terjadi pada diriku yang tak pernah mengenal perempuan itu. Rasa penasaran telah menambahi getar rasaku. Keanehan yang kulihat padanya adalah candu yang membuatku tak pernah melewatkan sehari pun tanpa menyaksikan kebiasaannya, tentunya dengan diam-diam dari balik jendela seperti sekarang ini.

Aku seorang peneliti muda yang kebetulan singgah di pedusunan kecil ini. Pekerjaan menuntut selama 6 bulan aku mesti tinggal di samping rumahnya. Meneliti tentang pola masyarakat dalam menyelesaikan konflik di dusun ini. Cukup banyak orang yang kuwawancara, kebanyakan tokoh desa. Sikap mereka yang cukup ramah dan santai membuat aku terbiasa berbincang cukup akrab. Tak jarang topik melebar ke persoalan lain. Biasanya aku melakukan kegiatan wawancara pada malam hari, oleh karena kesibukan sebagian besar dari mereka yang bekerja sehari penuh di sawah, tegalan dan hutan. Sehingga aku cukup memiliki waktu untuk memberi perhatian pada perempuan itu, meski hanya berlangsung ketika hari jelang senja.

Kutaksir usianya sekitar 23 tahun. Cukup muda. Selisih 7 tahun di bawah usiaku. Tapi apa yang sebenarnya ia lakukan dengan menatap sunset cukup lama dan setiap hari itu? Sungguh aneh. Aku tak berani menanyakan langsung kepadanya. Toh apa urusannya dengan pekerjaanku. Aku adalah peneliti profesional. Pantang melakukan sesuatu yang tak masuk dalam bingkai kerjakuk. Tapi sesuatu yang membuat penasaran ini? Ah!

Satu-satunya informasi yang aku dapat adalah dari pemilik rumah yang kutinggali ini. Saat sarapan pagi di meja makan, aku mencoba menanyakan tentang perempuan itu. Jawaban yang kudapat amat mengagetkan. Perempuan itu rupanya seorang janda yang ditinggal mati suaminya setahun lalu. Suaminya seorang ketua kelompok tani di desa ini. Kata pemilik rumah yang kutinggali ini, suaminya adalah seorang yang selalu menentang terhadap keputusan pejabat desa. Tak begitu jelas mengapa ia menentang, atas persoalan apa dan mengapa ia akhirnya mati dibunuh oleh orang-orang suruhan pejabat desa. Pemilik rumah ini seperti takut dan sengaja bungkam ketika kutanya agak jauh. Bahkan ketika kubawa masuk dalam percakapan bahwa ini juga bagian dari penelitianku karena terkait persoalan konflik antara warga dan pejabat desa, lawab bicaraku menggeleng dan mengangkat pundaknya,

"aku tidak ikut-ikutan saat itu". Aku mencoba mengalihkan topik dengan menanyakan kenapa perempuan itu selalu menatap matahari senja yang hampir tenggelam, dijawabnya mungkin perempuan itu stres. Ketika kutanya lebih jauh apa hubungannya dengan kebiasaan menatap senja, ia menjawab tak tahu.

Ketika rasa penasaranku semakin tak terkendali atas perempuan itu, aku nekat mendatangi rumahnya. Ibu perempuan itu yang menemuiku. Kami berbincang sebentar setelah aku memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatanganku. Aku harus gigit jari karena ibu itu menolak maksudku.

"Saya tak ingin ada yang coba mengusik ingatan anak dan keluarga saya. Untuk kepentingan apapun. Kami tak mau sakit untuk yang kedua kalinya". Akhirnya aku pamit undur diri. Kutelan ludahku berkali-kali. Aku telah terpikat dengan perempuan itu. Dan tak ada jalan bisa aku masuki deminya. Sungguh aku ini lelaki bodoh. Hingga akhirnya aku pergi dari desa itu seusai tugas penelitian, aku tak berkesempatan mengenalnya.

Suatu hari aku kembali ke desa itu dengan maksud untuk silaturahmi dengan warga yang pernah kukenal di sana. Juga kerinduan terhadap perempuan itu akan kutumpas. Alangkah kagetnya begitu tiba di rumah pondokanku dulu, kulihat rumah di sampingnya telah hangus terbakar dan tinggal puing-puing. Saat kucari tahu keberadaan perempuan dan ibunya, ternyata keduanya tewas dalam kebakaran itu. Perempuan itu sengaja membakar rumahnya hingga ia dan ibunya ikut terbakar.

Tak ada yang tahu pasti apa sebabnya. Hanya salah seorang saksi mata mengatakan sebelum perempuan itu membakar segalanya, ia sempat keluar dan menatap matahari senja cukup lama.

Mataku nanar. Kualihkan pandanganku pada matahari yang hampir tenggelam di balik cakrawala. Mataku sakit. Ya Tuhan, ia membakar semuanya di saat ... senja!

(Ngestiharjo, medio Januari 2007)


BILIK REDAKSI
Salam Sastra!
Lontar berubah. Inilah kesan yang muncul jika kita simak Lontar edisi 02. Perubahan itu meliputi: Pertama, logo Lontar. Kedua, rubrik "Bilik Redaksi" yang pada edisi 01 ada di halaman 2 berisi "tajuk", kini muncul di halaman 1 betul-betul berisi "kabar dari redaksi". Sementara "tajuk" (semacam "catatan kebudayaan") ada di halaman 2 dengan nama rubrik "Byar". Di rubrik puisi, ada "penajaman" dengan hadirnya rubrik "Geguritan". Lalu untuk rubrik "Resensi", rencananya akan berseling dengan rubrik "Album" dan "Seputar Menulis Sastra" (SMS). Dan, untuk menampung
aspirasi pembaca, kita muat rubrik "SMS dari Pembaca". Perubahan ketiga, susunan redaksi. Agar lebih jelas tupoksi-nya, maka ada penambahan posisi Pemimpin Umum & Sekretaris Redaksi.
Selamat membaca ....

SMS (Seputar Menulis Sastra)
Mengapa Anda Menulis?

"Kekuatan cinta memang dahsyat. Bagaimana tidak, seorang yang sebelumnya buta sastra jadi menggebu-gebu belajar menulis sastra gara-gara sesuatu yang bernama cinta," begitu komentar seorang teman suatu ketika saat saya membeli dua buah buku. Satu novel best seller "Syahadat Cinta" karya Taufiqurrahman Al-Azizy dan satu kumpulan puisi "Air Kata-Kata"-nya Sindhunata.

Mungkin benar komentar teman saya tadi. Ada banyak alasan mengapa seseorang mempunyai keinginan untuk belajar menulis. Bahkan ketika suatu saat anda memutuskan untuk menjadi seorang penulis. Anda perlu mengeksplor sedalam-dalamnya niatan tersebut. Kesadaran tinggi akan niatan itu akan memberikan cukup energi untuk memulai proses menulis dan menghadapi rintangan dalam proses tersebut.

Kemampuan teknis tentang bagaimana menulis diibaratkan oleh Ibn Ibrahim sebagai jurus yang memang saharusnya dikuasai jika ingin menjadi penulis handal. Namun, jurus-jurus tanpa tenaga tak ada gunanya. Nah, tenaga inilah yang bagi seorang penulis bersumber dari motivasi yang kuat. Dari niatan yang akan terus menerus memberikan energi kepada anda. Meski demikian sebaliknya, tenaga saja tanpa penguasaan jurus akan melahirkan 'gerakan' yang serampangan, tidak efektif dan tidak indah.

Lantas apakah alasan yang memotivasi anda untuk menulis? Apakah untuk berbagi ilmu pengetahuan, untuk mencari uang, meraih ketenaran atau bahkan seperti kata teman saya tadi, karena cinta. Apapun alasan yang anda kemukakan, jelas itu akan berpengaruh terhadap keinginan anda untuk terus menulis ataukah tidak. Atau malah anda belum tahu alasan kenapa anda ingin menulis?

(Maftukhatul Khoiriyah)

ADA APA DENGAN LA
Tadarus Puisi Edisi Ketiga dan Peluncuran Buletin "Lontar"
Program bulanan komunitas "Lumbung Aksara" (LA), yakni Tadarus Puisi (TP), akhir Desember lalu memasuki edisi ketiga. Dilaksanakan di Ngestiharjo, Wates, tanggal 29/12/06. TP edisi ketiga ini terasa istimewa, sebab dibarengi dengan lounching buletin sastra "Lontar" yang diterbitkan LA. Dalam acara tersebut, sebagai narasumber, hadir dua sastrawan senior Kulonprogo: Soegiyono MS dan Drs. Pribadi. Menurut Soegiyono MS, buletin seperti ini (Lontar) bisa mempopulerkan Kulonprogo pada pentas sastra nasional. Sementara Drs. Pribadi (penyair yang punya nama pena Enes Pribadi) melihat ada basik moral yang kuat pada penyair-penyair muda Kulonprogo, terutama yang tergabung dalam Komunitas Lumbung Aksara.(Red_)


BYAR
Taman Anggur.
Setiap Januari adalah memulai. Tapi, benarkah kita memulai hanya ketika Januari tiba, ketika pagi datang, saat matahari terbit di ufuk Timur?Pergantian tahun 2006 ke 2007 ditandai peristiwa memilukan. Bencana alam dan kecelakaan. Banjir melanda Aceh dan Sumatera Utara. Sepertinya
derita akibat tsunami 2 tahun lalu itu belumlah cukup bagi saudara kita di tanah rencong. Kecelakaan laut dan udara, tak sekedar sebuah kabar duka. Dan bencana lain, kecelakaan lain: memaksa kita berkerut kening menelusuri makna.

Dari sini seakan terbersit sebuah pesan: memulai itu tidak dari hal-hal menggembirakan. Setidaknya, ia menyimpan misteri. Memulai adalah sebuah misteri. Meskipun telah berbekal optimisme, lubuk hati kita acapkali masih bertanya: what next? Antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein), terus bergulat menghantui benak kita.

Ada jarak yang misterius antara memulai (awal) dan mengakhiri (akhir).

Ketika di pagi subuh sebelum shalat Idul Adha Saddam Husein menjemput maut di tali gantungan, misteri menyelimuti dirinya -- dan rakyat Irak: ini awal ataukah akhir? Mungkin seperti ketika Saddam mulai karir politiknya dengan kudeta atas Jenderal Qassim (1960), lalu mengobarkan revolusi atas Presiden Abdul Rahman (1968), dan melucuti kekuasaan sepupunya, Presiden Ahmad Hassan al-Bakr (1979). Di balik tekad kuatnya, dan gemuruh pendukungnya, gelar "Singa Babilon" masihlah misteri.

Saddam tak sendirian. Mereka yang akhir November lalu berangkat haji, segulung misteri bersanding bercengkerama dengan keimanannya. Apakah ia membayangkan akan kelaparan hanya karena menejemen katering yang tak becus? Para petani yang menancapkan benihnya, belum tahu akan panen dengan harga gabah tinggi atau dihempas oleh ganasnya tikus dan wereng.

Waktu terus membentang menyilahkan dilalui, meski awal dan akhir adalah misteri. Saat kita menyobek kalender, mengganti dengan tanggal dan hari baru, tak bisa memastikan itu awal atau akhir.

Maka berbahagialah bagi mereka yang telah berada dalam "maqam matahari". Ia tak mengenal awal dan akhir. Baginya, awal atau akhir, siang atau malam, selalu "byar". Ia, memang, masih menggenggam misteri, tapi dalam berkarya ia selalu dalam perspektif "sekarang". Kesempatan adalah saat ini juga! Tak ada kata besok! Awal akhir adalah dialektika yang terus berkelindan. Ia terus berdendang sebagaimana Muhammad Iqbal: "Kau ciptakan tanah liat, dan aku membuatnya piala. Kau ciptakan gunung, hutan, dan rawa-rawa, lalu kubuat taman anggur."

Kini, bentangan alam gagal kita sulap menjadi taman anggur. Justru semakin hari bumi ini (seperti judul buku cerkaknya Akhir Lusono) semakin "ajur". Dan, bagi siapapun yang hendak membangunnya, ia harus memulai dengan hal-hal yang tak menggembirakan. Beranikah kita berkata: "Siapa Takut?!?!"
(Marwanto)



GEGURITAN
Marang Sapa
Dening Ki Soegiyono MS

Marang sapa sambat lan angrempeleku
iki dak suntak
yen panalangsa iki sangsaya nindhihi
kamangka angrasa wus diladaki
kasunyatan
sirah iki wus kebak
tangan iki wus theyol
njogetake gagang wulu
angrenda tetembungan
kamangka wus dak enggo jubah pujangga
kamangka wus dak waca rapal
mantra kamasutra
kamangka wus dak sajeni
marga catur dhenda
banjur barang tembung ider basa sastra
ing saben kori wisma hudyana
nanging tetep bali nyangking wewudhon

marang sapa ngupaya batangan
cangkriman dhiri
yen mangsine ati wus garing
lan tangan wus ora kuwagang
njogetake srimpining firasar??

PUISI
Fatamorgana

Oleh: Tri Wahyuni

Kutapaki jalan ini
Selangkah demi selangkah
Dan akhirnya
Jalan sudah kutempuh
Namun tak jua kutemukan dirimu
Sialan ...!!!
Kudaki bukit yang tinggi
Karna ku lihat kau ada di sana
Meski tertatih trus kudaki
Satu ... satu ...
Tambah cepat .....
Tambah lagi ... tambah lagi
Akhirnya kuraih puncak itu
Namun ternyata tak kudapati dirimu
Sialan ...!!!
Aku tertipu lagi!!!
Kusebrangi laut lepas
Karna ku yakin kau ada di sana
Ku tebar layar
Dengan pendar ku tatap harap
Kan kudapati dirimu
Benarkah kau ada di sana?
Ataukah hanya fatamorgana?
(Kulonprogo, 26 September 2006)

Elegi Jendela Kamar
Oleh: Siti Masitoh

Buka jendela kamarmu. Kala hujan mericis begini
Agar air tampon memercik di wajahmu
Kepyur dinginnya sejukkan kalbu
Itu yang pernah kau dendangkan kala kita masih melukis kisah masa kecilmu
Dulu ....
Entah kini masihkah kau ingat syair-syair yang terlanjur mengalir pada muara-muara.
Memenuhi segepok rindu dalam jamban-jamban keagungan
Kala itu ....
Di indahnya kegersangan puncak Langgeran, di cerianya Gembilaloka, di keramaian festival kampus,
pun di bisunya perjalan sepulan dari Parangtritis

Sudahkah kau buka jendela kamarmu. Kala hujan menderas begini.
Gemuruh luruh mengalunkan kilat pekat keheningan. Membangun kebisuan.
Menggidikkan pandangan
Langit kamarmu tak lagi menyerpih air. Menetes beribu percikan. Genangan-genangan.

Leburkah kau seperti tanah basah di halaman
Leburkah kau seperti tanah becek di jalan-jalan
Ataukah kini duniamu telah tenggelam dalam kesucian ...

Kala hujan bersujud begini
Masih juakah kau buka jendela kamarmu
Saat kini senja membelatungimu
(Kulonprogo, 14 Desember Rain 2006)

NoktahKu
Oleh: Siti Suwarsih

Aku bersama gelap .....
Mencari sebuah warna
Yang bersemayam dalam kehidupan
Yang akan menggoreskan tintanya,
Dalam lembaran dunia

Dan aku bersama sebuah warna
Mencari beberapa warna lainnya
Yang berusaha menyembunyikan
diri dariku
Kutemukan mereka,
Ketika aku menggiring waktu

Aku bersama beberapa warna
Berusaha mencari kesesuaian
Berusaha saling mengenal
Dan mencari kecocokan
Untuk mewarnai duniaku yang kontras

Kesaksian Pagi
Oleh: Aris Zurkhasanah

Telah tanggal pagiku
Oleh serupa isyaratmu
Hingga memenjarakanku
Dalam kekosongan yang
maha sempurna
Barangkali
Matahari sudah terlalu tua
Untuk menyandarkan segala
Apaapa yang tak mungkin kekal
(Kulonprogo 2006)


Semalam
Oleh: Fathin Chamama

Nyamuk-nyamuk menerbangkan
Ngengat malam menyanyikan
Detik melengking ..........

Pekat, lekat, Jika tak di mana
Lembam raga ditumbuk siang
Tirai tak jua menutup. Tergigit malam
Berisik gerigi waktu

Tinta, kau di mana?
Mana kata?
Mana rangkai?
Mana karya?

Rindu
(Kulonprogo, 2006)

Misteri Itu Katamu Adalah Aku
Oleh: Fajar R. Ayuningtyas

misteri itu
katamu
adalah aku

(aku menepis tawa)

setelah ribuan petang
malam yang separuh liar
masih
katamu aku
misteri itu


Kata Mutiara
Kalau membaca itu murah
Kenapa mesti malas
Kalau menulis itu gampang
Kenapa cuma nonton
By Komunitas Lumbung Aksara
Membaca-Menulis; Menjaga hidup


Biodata Penulis
Lontar Edisi 02 Januari 2007
Akhiriyati Sundari, lahir 1979. Alumni UIN Sunan Kalijaga ini penikmat kopi dan musik (juga hujan)uisinya dimuat buku antologi SGSI. Tinggal di Ngestiharjo Wates, dan belum punya pacar.

Aris Zurkhasanah, lahir 198, alumni UIN Sunan Kalijaga. Puisinya dimuat di buku antologi SGSI. Tinggal di Ngestiharjo Wates.

Fajar R. Ayuningtyas, lahir 29 April 1982. Tinggal di Ngulakan Hargorejo Kokap.

Fathin Chamama, lahir 26 Agustus 1980. Alumni UGM, puisinya dimuat di buku SGSI. Aktivitasnya menjadi tutor. Tinggal di Bendungan Wates.

Ki Soegiyono MS, (gelar "Ki" dari DisBudPar), menulis sejak 1987 di Mekar Sari, Joko Lodhang, Penyebar Semangat, Pelita, Bakti, Sempulur. Karyanya dimuat dalam antologi codel (FKY 2005), Paitan (Balai Bahasa Jogja), Di Batas Jogja (FKY 2003). Tinggal di Ngestiharjo Wates.

Maftukhatul Khoiriyah, lahir 25 November 1982. Alumni Fisipol UGM ini ngajar di Madrasah Aliyah Nurul Ummah Kotagede. Tinggal di Tirtorahayu Galur.

Siti Masitoh, lahir 22 November 1980, oleh "seseorang" pernah dipanggil Mazzie. Kuliah di UIN Sunan Kalijaga, puisinya dimuat antologi SGSI. Tinggal di Temon.

Siti Suwarsih, lahir 26 Mei 1990, sekolah di SMA 2 Wates. Santri PP Zahrotul Jannah Wates ini cerpennya dimuat di antologi Bengkel Bahasa & Sastra BBY.

Tri Wahyuni, lahir 1982, alumni FISIP UMY ini adalah sekretaris cabang Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kulonprogo. Puisinya dimuat SGSI.

SMS dari Pembaca
Salah tls benar2 mbwt pmbc jdi "trganggu", karypun jd "trksan" ramutu (cerpn edisi kmrn kok slh ketknya byk bngt), bsk yg tliti ya .. (081804171xxx)

Usul, gmn klo stiap pertmuan tadarus puisi, ada perpus brgilir. Bg yg punya bku2 sastra dipinjm ke bolo2, sirkulasinya dictt jls spy tak hilng, stiap prtemuan wjb dkemblkn (085643231xxx)

Sy salut ada buletn sastra di Kulonprgo, smg pengmbil kebajakn di pemkab trgerak nuraninya utk menjatah anggrn buat Lontar. Jgn cm dibagi-bg buat rapelan pjbt melulu, ah .. (081328015xxx)

Tuesday, July 3, 2007

Lontar 1

M I M P I
Cerpen Zukruf Latif


Kedua jarum jam sedang merangkak menuju puncak, sementara matahari menggelinding di bawah titik nadir. Seorang lelaki berjalan sendirian menyusuri jalan sambil sesekali me-nendang kerikil di ujung ibu jari. Asap mengepul pelan mem-bayangi wajahnya yang kosong tanpa makna. Orang-orang memanggilnya Jamal. Entah nama sebenarnya siapa. Baginya nama hanyalah iden-titas menurut kesepakatan bersama. Dia tak perduli diapnggil Peyok atau Sentho.

Sebentar-sebentar terdengar suara ketukan potongan bambu penjual bakso di ujung jalan dan dia tak peduli dengan itu. Tak lama berlalu lelaki itu sudah duduk di kursi panjang warung angkringan."Soja", suaranya yang agak serak memesan susu jahe. Sayup-sayup terdengar lagu Koes-Plus dari arah penjual geblek di seberang jalan.

Lelaki itu menyeruput minumnya, diselingi asap rokok, lalu sebuah mendoan mendarat masuk ke mulutnya. Ada seorang lagi duduk di sampingnya tapi keduanya tenggelam dalam diam. Hanya suara sendok yang beradu dengan pinggiran gelas me-nyelingi kesunyian. Penjual angkring teperkur dalam kantuk.

"Jangkrik", teriak seorang lelaki di depan penjual rokok ketika celananya terkena cipratan air. hujan saat sebuah mobil sedan melintas. "Mentang-mentang punya mobil", katanya sambil menerima beberapa urang receh dan kemudian berlalu. Dia menoleh ke arah angkring dan memandangnya agak lama. Entah apa yang dipikirnya tapi sebentar kemudian dia malah berjalan ke arah yang berlawanan dengan warung angkring.

Entah apa yang dipikirnya tapi sebentar kemudian dia malah berjalan ke arah yang berlawanan dengan warung angkring. Jaket kulit lusuhnya makin lama makin hilang tertutup pekatnya malam.

Lelaki di warung angkring memanda-ngi cara berjalannya yang agak terhuyung dan kakinya seperti digantungi beban. Sandalnya bersuara karena gesekan dengan aspal jalan yang kasar. Cara jalannya yang cuek sambil menyeret kaki, menarik perhatian penjual angkring, tapi hanya sebentar sebab ia lalu meletakkan kepala-nya di meja. Mungkin dia lebih tertarik dengan mimpi yang baru saja dialaminya.

"Sudah Lik", kata Jamal. Lelaki disam-pingnya tampak tak terpengaruh.

"Lik!", kali ini suara Jamal lebih keras. Penjual angkring kaget dan mengangkat kepalanya. Terjadi dialog sebentar, dan penjual angkring memberi recehan setelah Jamal menyodorkan uang lembaran.

Jamal pergi dari warung angkring munuju lapangan sepak bola dekat sekolahan. Ia tak tahu apa yang akan dila-kukan. Ia hanya menuruti apa yang terlin tas di hatinya dan kakinya tetap melangkah menuruti intuisinya yang juga tak jelas.

Sampai tengah lapangan ia menidur kan dirinya di atas rumput yang basah berbantalkan kedua telapak tangan. Pan-dangannya menerawang di antara bintang-bintang. Sebentar-sebentar mukanya tertiup angin malam.

"Khoirul", ucapnya lirih. Ia teringat kawannya saat masih di Yogya. Mereka pernah menjadi tetangga di sebuah rumah kost. "Kamu dulu pernah cerita padaku bahwa kamu merasa kehilangan teman", gumam Jamal pada diri sendiri, dan ia memang tak melihat orang lain disekitar-nya.

"Aku tak percaya lagi sama Tedy,, katamu ketika itu, padahal ia teman satu kamar", Jamal masih bicara pada diri sendiri.

"Sekarang apa yang kamu alami seperti terulang padaku. Entah mengapa. Menurutku aku merasa telah baik pada Yudha, tapi ia menipuku. Aku katakan isi hati ini sebagai bentuk keterbukaanku padanya. Bahkan privacyku pun aku utarakan padanya, sebab aku begitu percaya padanya. Aku berharap penderitaan yang kualami bisa dimengerti olehnya lalu ia menghiburku. Tapi … …" Jamal masih bicara sendiri. Tubuhnya ia gerakkan miring, dan lengan-nya kini jadi tumpuan kepala. Matanya terlihat berat dan menutup.

Sebentar kemudian nafasnya menghem bus teratur. Jamal bermimpi bertemu dengan presiden di perempatan pasar dekat rumahnya. Ia tersenyum pada Jamal, tapi saat Jamal mengulurkan tangannya hendak bersalaman, sang presiden berlalu tak menghiraukannya. Jamal menarik tangannya sambil tersenyum kecut.***

(Zukruf Latif, lahir 26 Mei 1975. Alumni UIN Sunan Kalijaga ini puisinya pernah dirmuat buku antologi SGSI. Mengelola pesantren an-Nadwah)

Ada Apa Dengan LA
-LA Juara I "JRC" Tingkat Propinsi
LA menutup bulan November 2006 dengan prestasi yang cukup membanggakan: yakni Juara Pertama Jambore Reading Club (JRC) Tingkat Propinsi yang diselenggarakan oleh Badan Per-pustakaan Daerah Propinsi DIY. Dalam lomba tersebut, juara ke-dua diraih Karang Taruna "Wira Muda" Gamping Sleman dan juara ketiga Kelompok Baca "Paprika" Jl Perkapalan Yogyakarta. Dalam final JRC yang dilang-sungkan tanggal 30/11/06 di Kantor Badan Perpustakaan Daerah DIY Jl Tentara Rakyat Mataram, LA mengirimkan lima orang utusan yakni: Tri Wahyuni, Asti Widakdo, Farida Laila Tsani, Ihsanuddin, dan Maftukhatul Khoiriyah. "Alhamdulillah, maju terus LA . Aplus buat wakil LA + Pak Lurah", demikian SMS dari Dewi Fatimah, setelah tahu LA juara pertama JRC.. (Red_)

-Peluncuran dan Bedah Buku "Seorang Gadis Sesobek Indonesia"
Tanggal 19/9/06 bertempat di Gedung Pramuka Wates Kulonprogo Komunitas Lumbung Aksara (LA) menga-dakan acara Peluncuran dan Bedah Buku "Seorang Gadis Sesobek Indonesia: Antologi Puisi Kulonprogo" (SGSI). Acara yang dibuka oleh wakil bupati Kulonprogo H Mulyono tersebut dihadiri oleh beberapa unsur masyarakat, mulai dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata KP, Perpustakaan Daerah KP, para sastrawan, seniman, pelajar dan masyarakat umum. Menghadirkan nara sumber Zainal Arifin Thoha (penyair dan Dosen UIN Yogyakarta) dan Drs Pribadi (Penyair tahun 1980-an) serta
diiringi musik kelompok Pete Rese (Wates), acara tersebut mendapat aplus hadirin. "Ini tercatat sebagai antologi puisi pertama yang pernah terbit di Kulonporogo, patut kita sambut baik", kata salah satu hadirin yang mengaku salut atas ide dan keberanian LA menerbitkan buku SGSI. (Red_)

-Tadarus Puisi Edisi Pertama
Tanggal 20/10/06 bertempat di Wisma Aksara Jl Batok Bolu Wahyuharjo Lendah KP, Komunitas LA mengadakan acara Tadarus Puisi (TP). Acara yang merupakan program bulanan ini, untuk edisi pertama menghadirkan nara sumber Joni Ariadinata (cerpenis dan redaktur majalah sastra Harison), Aguk Irawan MN (penyair dan alumni Universitas Al-Ahzar Kairo Mesir), dan Didik L Hariri (penyair asal Magetan yang juga pernah mengembara selama sepuluh tahun di Mesir). Selain diisi dialog dengan nara sumber, karena bertepatan dengan bulan Ramadan, di acara tersebut juga dilangsungkan pembacaan puisi-puisi religius karya anggota komunitas LA. "Saya sangat gembira, ternyata di daerah terpencil seperti Kulonprogo ada komunitas yang menggerakkan kegiatan sastra", kata Joni Ariadinata sembari menambahkan bahwa ke depan komunitas seperti LA ini bisa bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama Pemda, untuk lebih memaksimalkan program-programnya. (Red_)

-Tadarus Puisi Edisi Kedua
Tanggal 13/11/06 bertempat di rumah Bimo Prasetyo (Dlaban Sentolo KP), digelar Tadarus Puisi (TP) Edisi Kedua. Sebagai acara bulanan yang berisi pembacaan puisi karya anggota komunitas LA, TP edisi kedua kali ini juga digunakan sebagai ajang pelepasan dua anggota LA yang menunaikan ibadah haji, yakni Bimo Prasetyo SH dan Ibah Muthiah, SH, MAg. Karena sekaligus digunakan dalam rangka pamitan haji, maka kebanyakan puisi yang dibacakan dalan TP edisi kedua adalah puisi bertemakan haji. Tak ada nara sumber khusus memang, namun acara ini dihadiri tamu khusus, yakni para pengurus Karang taruna Kulonprogo seperti Heri Rohadi, Ismail Maliq, Marzuki, dan Murdi Yulianto. "Acara pembacaan puisi seperti ini mendorong orang untuk berbuat jujur", komentar Ismail Maliq yang di acara tersebut secara spontanitas membuat sebuah karya puisi dan dibacakan sendiri. "wah, ternyata pengurus Karang Taruna ada juga yang bakat jadi penyair", seloroh salah satu anggota komunitas LA yang langsung disambut geerr oleh hadirin. (Red_)

BYAR
Optimisme

"Matahari selalu baru, setiap pagi", demikian Herakleitos, 400 tahun sebelum Masehi menggelorakan optimisme. Tapi optimisme Herakleitos bukan tanpa dasar. Ia punya pendirian, punya falsafah: Pantha rhei Khei uden menci.

Dengan falsafah itu ia pantang mengalami kejadian yang sama pada waktu yang berbeda. Sebab, baginya, segalanya "mengalir". Hakekat sesuatu adalah "proses menjadi". Karena itu, kita harus mampu memberi makna baru pada setiap "proses menjadi". Tanpa itu, kita telah mengingkari fitrah.

Memang matahari yang kita lihat pagi ini, adalah matahari yang kemarin sore tenggelam di ujung cakrawala. Tak ada yang baru, dari sisi matahari -- Ia selalu "byar". Yang baru adalah peristiwa yang menyertai. Itupun dengan catatan manusia mampu memberi makna. Jika tidak, manusia tak lagi otonom atas alam dan peristiwa yang menyertai. Ia hanya menjadi "mesin" atas peristiwa-peristiwa.

Kita tentu tak ingin eksis sekedar sebagai "mesin". Karena sebagus-bagus-nya atau secanggih-canggihnya mesin, ia tak berhak menentukan kehendak. Tak berhak memberi makna baru terhadap setiap kejadian, terhadap pergan-tian hari, bulan, dan tahun. Tugas kemanusiaan untuk memberi makna baru terhadap setiap kejadian itulah yang menjadi dasar dan mendorong semangat optimisme.

Tentu ada kendala menghadang, banyak kesulitan membelit. Tapi, mungkin kita telah hafal dengan pesan bijak ini: "Si optimis selalu melihat peluang di dalam kesulitan". Sementara, "Si pesimis selalu melihat kesulitan dalam setiap peluang". Dari pesan bijak itu, satu hal pasti: bahwa "peluang" maupun "kesulitan" itu sama-sama ada. Tinggal bagaimana cara kita melihat dan menyikapi.

Melihat peluang dalam setiap kesulitan akan menjadi energi untuk sebuah perubahan, mendorong kita untuk meraih, aktif, dan berhasil. Sedang, melihat kesulitan dalam setiap peluang, adalah hantu yang menelikung, membuat kita takut, pasif dan gagal. Kita tinggal pilih yang mana?

Setiap pilihan pasti mengandung resiko. Hidup adalah sebuah resiko itu sendiri, kata seorang teman. Dan menurut ilmu psikologi, orang berprestasi (berbakat sukses) bisanya cenderung mengambil resiko yang sedang. Hal ini, pada hemat saya, tak berarti kita mesti bersikap optimisme secara tanggung atau sedang-sedang saja.

Tapi, optimisme yang kenyal. Buat apa terlalu menggelora dan menggebu-nggebu, kalau pada akhirnya (maaf, silahkan membayangkan kalau anda orgasme) lemah-lunglai? Karena itu, setelah mendengar adzan subuh, kita tak boleh langsung lari pagi. Ambil air wudlu lalu sujud. Setelah itu, songsonglah terbit fajar dengan memberi makna baru pada matahari pagi. Selamat Tahun Baru 2007.***

M A R W A N T O

BACA BUKU
Ketika Tanah Menggantikan Berkah

Judul Buku: Bola-Bola Santri
Penulis: Shachree M. Daroini
Penerbit: Matapena, Yogyakarta
Tebal: 380 halaman


Kacang ninggalo lanjaran. Pepatah Jawa ini dipercaya masyarakat akan kebenarannya. Tapi, kiranya kurang berlaku pada keturunan Kiai Sa'di, pengasuh pondok pesantren Al-Bakir. Sebab, ketika usia Kiai Sa'di hendak lengser, tak satupun dari keempat putraya yang siap. Mereka merasa berat mengemban amanat sebagai seorang kiai. Benar keempat putera Kiai Sa'di mendalami agama. Namun alih-alih menyiapkan diri menggantikan posisi ayahnya, keempat putera Kiai Sa'di justru sibuk dengan profesinya. Gus Fadholi, dengan alasan ke-zuhud-an (hafalan al-Qur'an-nya terjaga lahir-batin), tak mau tahu urusan organisasi macam pesantren. Gus Jauhari, waktunya habis untuk mengajar dan membantu istrinya berdagang. Dan Gus Junaidi, menuruti obsesinya menjadi seorang arsitek tinggal di Jakarta.

Tapi bagaimanapun estafet kepemimpinan di pesantren Al-Bakir harus tetap berlangsung. Dan kalau akhirnya Gus Junaidi yang menggantikan posisi Kiai Sa'di, lebih disebabkan ia kehilangan kerjaan di Jakarta. Naiknya Gus Junaidi memimpin pesantren Al-Bakir me-nimbukan ketidakpuasan saudaranya, terutama Gus Jauhari. Sebab, niat Gus Jauhari membuat usaha dagang di seputar kawasan pesantren ditentang adiknya. Disinilah konflik mulai terjadi. Perebutan tanah warisan tak terelakkan lagi.

Pemicu sebenarnya adalah istri Gus Jauhari yang dalam novel ini dicitrakan perempuan "penghamba harta". Watak istrinya itu tak bisa dikendalikan oleh Gus Jauhari, justru ia menjadi lupa diri dan berpandangan materialisme. Apalagi ketika, Gus Jauhari bersinggungan dengan partai politik, watak kadonyan-nya kian menjadi-jadi. Dan pertentangan dengan Gus Junaidi tambah keras ketika adiknya itu menolak pesantren ikut bermain politik praktis.

Hikmah apa yang didapat dari novel karya Shachree ini ? Satu hal yang pasti: harta (tanah warisan) bisa membuat perpecahan dalam keluarga. Apalagi ketika pe- nerima warisan itu lebih mementingkan harta (tanah) daripada warisan yang sebetulnya juah lebih mulia, yakni ilmu dan berkah dari Allah.

Dibanding dua novel Shachree lainnya, Bola-Bola Satri sejatinya punya potensi konflik yang kuat. Namun sayang, Shachree kurang maksimal dalam menampilkan konflik yang ada. Lebih separuh halaman awal novel ini cenderung narasi yang mendedahkan seluk-beluk nilai dan tradisi pesantren. Sepertinya Shachree punya "beban" untuk mengeksploraai nilai pesantren dalam novelnya.

Lepas dari itu, ada simbolisasi yang menarik dibalik judul Bola-Bola Santri. Yakni ketika cucu-cucu Kiai Sa'di (Gus Mada, Gus Hisyam, dan Gus Munir) mendapat tantangan main bola dengan penduduk kampung yang berakhir dengan perkelahian. Otak dibalik pertandingan itu adalah tokoh partai yang punya motif mengobok-obok pesantren Al-Bakir. Di akhir cerita, Gus Junaidi melepas anak dan kedua keponakannya untuk pergi belajar ke berbagai pesantren. Ya, agar waktunya tak habis meladeni tantangan main bola penduduk kampung.

Saatnya pesantren merespon perkembangan pesat globalisasi. Bukan waktu-nya lagi bagi pesantren hanya berkutat pada kitab kuning, apalagi tenaga dan waktunya terkuras untuk berpolitik praktis, sehingga menelikung eksistensinya sebagai pencerah masyarakat.**

Kadarsih, Guru SMA Ma'arif Wates, alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

PUISI
Tiada Terkikis
-Nur Islamiyatun

Dilindungi bungalau rumbia
Gerimis menderu timbul curahan mata
Anginpun andil hembuskan pecahan tetes
Menjingkat mendarat
Di perbatasan pori tubuh mengering
Rindang akasia berucap
"Istiqomah dzikrullah Qiyamah"
Mengelus membasahi
Debur menjajaki kubangan dangkal
Rindag gemeletuk geraham di pinggir jalan
Tangkap linang mata bulat hitam berkaca
Sebisik temani nalar di istana kolong
Bersandar pada tikar angin
Namun.. kemegahan-Nya tersirat
Hingga terluruh dan runtuh
Rangkul hamparan tumpah tetes mata air
Merenungi dan menerbangkan
Keagungan dari langit …yang
Tiada akan pernah terkikis

Kulonprogo, 2006

***

Stasiun
-Didik Komaidi

Stasiun ini masih saja tak berubah
Bangunan-bangunan kuno
Yang menyimpan sejarah
Kursi-kursi kosong mencatat sepi
Rel-rel yang memanggil …
Sementara rangkaian gerbong mengusung kecemasan waktu
Dan jeritan kereta api merobek malam
Para penjual yang setia menawarkan dagangan
Pada penumpang yang kesepian
Stasiun ini seperti tak mau berubah
Pada zaman yang gelisah

Kulonprogo, Oktober 2006

***

Dipenghujungnya/'06
-Aris Zurkhasanah

Perjalanan sudah terlampau jauh.
Berkelok.
Terpasung dalam rotasi waktu.
Berdebu.
Aku terkubur,
Diantara geraknya yang liar.
Aku yang entah,
Lelah.

Gerimis di Desember '06
Thank's to Iwan Fals

***

Semalam
-Fathin Chamama

Nyamuk-nyamuk menerbangkan
Ngengat malam menyanyikan
Detik melengking ...........
Pekat, lekat, Jika tak dimana
Lebam raga ditumbuk siang
Tirai tak jua menutup. Tergigit malam
Berisik gerigi waktu
Tinta, kau dimana?
Mana kata?
Mana rangkai?
Mana karya?
Rindu

Kulonprogo, 2006

***

Hasrat
-Siwi Nurdiani

Hasrat membara
Sering membara
Jiwa pencinta
Bersama, bersatu, dan bermesra
Memberi
Menerima
:indahnya cinta
Nafsu pemoles surga dunia
Sehingga tiadalah manusia itu berkuasa
Kecuali mampu menahan
Sekuat hasrat nafsu cinta
Puasakanlah hati
Kalau cinta jalan jodoh
Bersatu jiwa
Bercinta seluas surga. Bercinta. Berdua/.

***

Glagah
-Siti Masitoh

Selarut ini aku masih di pantaimu
Menantang tsunami yang menggemparkan hati
Lari !!!
Pantaimu dulu sesenyap ngeri
Tapi kini banyak peri di pojok-pojok sepi
Memasang magnit penarik hati
Kau lihatkah?
Hatimu berkejaran
Makhluk bertanduk menyeretku
Pada keangkaraan
Aku ingin pulang
Sebab angin di sini membuatku terancam
Hingga rasanya aku tenggelam
Aku tenggelam ....

Kulonprogo. 14 Nop 2006

***

Kembali Ke Asal
-Dewi Fatimah

Lumbung tak langgeng lambungpun limbung
Jalan setan lalu lalang
Timpang dunia baru tampang
Laun sauh sibak lauh
Gesah lampah laku lintang
Lempung kampong tampung tumpeng
Kulonprogo, Nopember 2006


Benarkah
-M Umar Maksum

Benarkan aku menyerah?
Melempar handuk menjadi pecundang
Atau sebaliknya: sedang memulai menyongsong rintangan
Tak ada beban tak terangkat
Tak mungkin kesulitan tak berujung
Dibalik bawah ada atas
Diujung selatan itu utara
Menyerah itu kafir
Padahal aku bukan kafir
Tuhan masih bersemayam di ini hati
Karenanya pantang aku melempar handuk
Datanglah kesulitan sebagaimana bah
Karena di atas kapal ini aku akan cepat
terantarkan
Datanglah kesulitan laksana lautan api
Karena dalam gelap ini aku akan menuju
terang
Datanglah wahai kesulitan
Tak kan lari aku meninggalkan
Sebab diniat ada usaha
di usaha ada ketulusan dan pertolongan
Kalau dengan itu engkau tak percaya
Itulah kekalahan yang sesungguhnya

Kulonprogo, 13 November 2006

***

Terluka
- Asti Widakdo

Aku berlutut, bersimpuh
Merengkuh puing-puing hatiku yang berserakan
Hancur oleh deru senapanmu
Senapanmu kasih
Sakit …..
Peluru cintamu yang mencincang rasaku
Memporak-porandakan hidupku
Belenggu jiwaku, lumpuhkanku

Kulonprogo, 2006

***

Tangis Iki
-Muji Jefrian

Tangis iki
Dudu tangise prawan ndeso
Kang njaluk ditukokke clono
Tangis iki
Dudu tangise bayi cilik
Kang njaluk mimik
Tangis iki
Tangise anak menungso
Kang atine ngenes
Mikul abote, perihe,
Mikul wewayangane urip ngalam ndonyo
Kang gelem ra gelem kudu dilakoni
Nganggo tetesing kringet lan ludiro

***

Raut Wajah
-Aris Tri Nugroho

Bulat mata rembulan menatap wajahku
Pada keheningan zikir sang malam
Memcoba membuka tabir jendela jiwa
Yang kini masih tertutup embun abadi
Entah dari mana datangnya
Dari mana munculnya
Bayangan wajah penuh kesenduan
Bersama urutan abjad akan sebuah masa
Bayang yang singgungan akan damai
Menjadi cawan resah dan cangkir galau
Api yang telah padam kembali berkobar
Seakan tersulut percik rindu dan benci

***

Biodata Penulis LONTAR Edisi 01
Aris Tri Nugroho,
lahir 23 Mei 1980. Alumni STIE ini tinggal di Galur
Aris Zurkhasanah, alumni UIN Sunan Kalijaga, puisinya pernah dimuat di buku antologi SGSI.
Asti Widakto, lahir 26 November 1987. Alumni SMA Muhamadiyah Brosot, tinggal di Galur
Dewi Fatimah, lahir 8 Februari 1979. Pernah kuliah di UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Wates.
Didik Komaidi, lahir di Magetan 1972. Alumni S2 UNY ini menulis buku: B-Love & D-Love dan Satri Lelana. Kini guru MAN 2 Wates.
Fathin Chamama, lahir 26 Agustus 1980. Alumni UGM, puisinya dimuat di buku SGSI. Aktivitasnya menjadi tutor. Tinggal di Bendungan Wates
Muji Jefrian, lahir 6 Februari 1986. Kuliah di STIT Muhamadiyah Wates. Tinggal di Pengasih
M. Umar Maksum, lahir 19 Juni 1967, ia adalah wartawan Kedaulatan Rakyat dan anggota KPU kabupaten Kulonprogo. Puisinya dimuat di SGSI
Nur Islamiyatun, lahir 23 Agustus 1988. Alumni MAN Krapyak. Puisinya pernah dimuat majalah Bhakti. Tinggal di Lendah.
Siti Masitoh, lahir 22 November 1980. Puisnya dimuat dalam buku SGSI. Ia masih kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Tinggal di Plumbon, Temon.
Siwi Nurdiani, lahir 11 Desember 1983, alumni UNY Yogyakarta. Karyanya dimuat di buku SGSI, Ben, dan dua novelnya siap terbit. Tinggal di Girimulyo.