Thursday, September 27, 2007

LONTAR 10

BILIK REDAKSI

Salam Sastra !

Pembaca LONTAR yang budiman, pernahkah Anda mendengar atau menemukan kalimat berikut ini; "hidup yang tidak direnungi, tidak layak untuk diterusi"?

Kami mengutip ucapan Socrates itu dari tulisan Christopher Phillips dalam bukunya Socrates Café; Citarasa Baru Filsafat (2002). Kami bukan bermaksud mengajak Anda untuk bersuntuk dalam pikiran rumit dan sok filosofis. Kami hanya bermaksud mengajak diri kami sendiri dan Anda sekalian untuk mencoba tidak "waton urip" di dunia ini. Sekurang-kurangnya, bagaimana hidup mesti tetap dijaga 'kualitasnya' (bisa jadi tidak cukup hanya dengan "membaca - menulis", tetapi merenung jua!). Iwan Fals bahkan mengingatkan dengan hendaknya kita juga "saling asah, saling asih, saling asuh. Berdoalah sambil berusaha; agar hidup jadi tak sia-sia".

Tidakkah Anda mencintai hidup Anda sendiri? Sesekali cobalah untuk rehat, berhenti sejenak dari rutinitas yang kerap menjebak, luangkan waktu barang sebentar. Bertanyalah pada diri sendiri: "hidupku .. hidupku .. apa kabarmu?".

Merenung adalah pekerjaan. Meskipun ia terlihat pasif namun bila dilakukan dengan baik (dan sempurna) niscaya ia menjadi sesuatu produktif yang luar biasa. Tidak percaya? Silahkan coba! Jika pun belum berhasil, kami tak pernah berharap Anda lantas bunuh diri. Hehe...

Selamat Membaca …





CERPEN

Kepulanganku

Cerpen Santoso


Lima kali lebaran. Belum pernah aku pulang. Di sini. Di jantung kota Impian. Aku hidup di rundung dalam ketidakpastian. Menggadaikan nasib, demi secercah harap yang menggantung. Menerawang. Kerasnya kehidupan, sebelumnya tak pernah aku rasakan. Tak terbayangkan bila keadaannya akan lebih parah, dibanding waktu aku tinggal di kampung, dulu. Setiap hari. Aku menjejak jalan sepanjang kota. Mengais barang-barang bekas untuk kutukar dengan sebungkus nasi. Menyambung hidup. Demi sebuah nama: harga diri. Antara musnah atau abadi

Awalnya, dari kampung aku berharap. Di jantung kota impian ini. Aku bisa mendapatkan seperti umumnya yang didambakan setiap orang hidup. Tak lebih. Sebab di kampung halaman sulit mendapatkan pekerjaan, kalaupun ada, hasilnya hanya pas buat makan. Memang hidup di dunia ini tak selamanya. Tapi dunia inilah tempat untuk meraih kehidupan selanjutnya.

Dan beginilah nasibku yang tak pernah beruntung. Hanya karena tak punya status formalitas. Sebagai warga kelas bawah, selalu saja aku tertindas. Sakit. Diam. Terkadang juga ingin berontak.

Sebentar lagi lebaran. Hiruk-pikuk pemudik mulai berhamburan. Juga aroma lebaran mulai tercium. Nuansanya. Aku harus pulang. Kerinduanku pada kampung halaman, membuncah.

Rukoiyah, perempuan yang sangat kucintai, juga ibu dari Rifki dan Jalal, anakku. Masihkah kau seperti dulu? Rukoiyah, seorang istri yang pengertian. Beruntung sekali aku memilikinya. Ia bukan dari kalangan ningrat atau akademisi. Tapi jiwa sosialnya sangat menyentuh hati. Mungkin itu yang membuatku tertarik hingga menjadikan dirinya sebagai pendampingku. Juga, Rifki dan Jalal, dua pendekar yang kutinggal waktu seumur jagung. Sekarang, pasti selalu menanyakan tentang diriku. Sabar, Nak. Ayah pasti pulang.

Di bawah atap jembatan. Berdinding tiang beton. Aku mematung. Menatap langit cerah yang berarak awan. Dengusan udara pagi yang membisik telingaku. Menterjagakanku. Seketika. Aku teringat pada mereka. Manjanya. Tawanya. Semua. Melintas.

Terik meninggi. Kerjaku semakin semangat. Peluh mengucur di ubun kepala, mengalir dan terkadang bermuara di pintu bibir ini. Serasa setetes anggur, yang akan kucucup di kehidupan baruku, nanti. Terik yang menyengat kulit ternyata tak mampu menyurutkan langkahku. Demi semua yang ada di rumah. Aku janji. Aku akan pulang. Segera.

Sama sekali aku tak pernah berkeluh kesah terhadap apa yang aku terima, saat ini. Aku jalani dengan mengalir. Kunikmati. Kuhayati. Sebab aku yakin Tuhan pasti akan memberikan jalan. Entah dari dan seperti apa datangnya

* * *

Dahulu, aku tinggal di sebuah desa suku pedalaman di salah satu pulau, Sumatra. Sebut saja Lampung, sebuah kota yang mempunyai tempat pembiakan Gajah. Berjarak satu jam perjalanan motor berkecepatan 80 Km/jam dari pusat kota. Di situlah aku tinggal. Suasana damai. Hening. Senyap. Selalu menyambut sinar mentari pagi. Kicauan burung. Lambaian daun. Hamparan tanah sawah. Menjadi pemandangan di desaku.

Tiap musim tanam tiba. Aku selalu ikut membantu orang tuaku untuk menyemai benih-benih padi di sawah, dekat hutan. Ditanam. Dan setiap panen, ayah selalu menceramahiku tentang bermacam problem kehidupan. Seperti laiknya orang tua menginginkan anaknya jauh lebih baik. Nasihatnya enak dan tidak menggurui. Yang paling menyentuh dan masih kuingat hingga kini adalah "barang siapa menanam, kelak akan menuai".

* * *

Seakan sabdo pandito ratu. Benar adanya. Aku baru mengerti setelah dewasa. Setelah menikah dan mempunyai dua anak. Kebutuhan semakin mendesak. Aku bingung mencari kerja. Sebab aku tak lagi punya sawah. Terlebih menggarap. Diam. Aku sering berpikir.

Demi kesejahteraan keluarga, aku pergi menggadaikan nasibku di jantung kota impian. Sebut saja Jakarta, peringkat ke sepuluh yang disandang atas penelitian baru-baru ini. Daftar kota dengan biaya hidup tertinggi di dunia. Fantastis. Tapi naas. Keberuntungan tidak pernah memihaknya. Berbagai bencana selalu menimpanya. Hingga menjadi sebuah kota yang kehilangan jati diri. Membebek. Nasib.

Gema takbir menyeruak di pelosok penjuru nusantara. Seperti tradisi yang sudah berjalan. Di malam takbir. Muda-mudi mengadakan pawai keliling kampung atau desa. Mengarak, katakanlah ogo-ogo. Menyambut hari kemenangan, setelah sebulan penuh berpuasa. Lebaran tiba.

Seakan tak boleh warga kelas bawah merasakan indahnya kehidupan, begitulah teori yang di bangun oleh Marx, dalam perjalanan pulang, bus yang aku tumpangi tergelincir masuk jurang. Hangus. Seketika semua penumpang tewas. Berita yang tersebar di berbagai media. Salah satu penumpang yang tewas adalah namaku di deretan 13, persis tanggal yang sama lebaran tahun ini. Sudah menjadi skenario Tuhan. Ada apa di balik semua ini?

Berita yang kudengar lewat kabar burung. Istriku cemas mencari tahu tentang keberadaanku. Maafkan aku, istriku! Jika lebaran tahun ini dan selanjutnya, aku tak bisa pulang. Menjengukmu dalam bentuk utuh. Membawa "janji" yang aku ucapkan di depan pintu saat semua, melepas kepergianku. Haru-biru.

Usai diotopsi dari pihak rumah sakit. Akhirnya jasadku sampai juga di rumah duka. Wajah-wajah sedih berhambur menyambutku. Istriku, orang pertama yang sangat kehilangan. Entah bagaimana perasaannya. Sekian lama kutinggal dan kini aku pulang. Juga, Rifki dan Jalal. Sungguh! Aku sangat berdosa pada mereka.

Berhambur wajah-wajah sedih menyurutkan kaki ke rumah. Suasana berkabung menyelimuti keluargaku. Mereka mengantarkan aku pulang dengan kereta beroda delapan. Ah, jangan bersedih. Nanti. Pasti kita akan bertemu kembali.

Di sini, di kehidupan baruku. Aku berdoa. Semoga "benih-benih yang telah kutanam, di dunia, kalian bisa menuainya". Aku yakin terhadap sesuatu yang kukerjakan dulu.

Asing. Kehidupan baru. Lembaran baru. Kini aku memulai.





BYAR

Gelombang Cinta


Sungguh menakjubkan memang, ketika kenikmatan mesti direngkuh dengan laku berpantang. Bayangkan, jika alam membentang ini menyajikan yang serba-boleh saja, barangkali kita akan mengulang "tragedi" yang pernah dialami Eyang Adam. Mungkin tesis di atas ada yang membantah: bukankah yang kita pertontonkan selama ini lebih tragis daripada sekedar "khilaf" seorang Adam? Padahal, kita tahu, Tuhan telah menetapkan aturan berpantang itu? Ah, salah sendiri manusia hanya melakoni "periode berpantang" seperti ketika murid-murid sekolah dasar atau bapak ibu pejabat menghormat Sang Merah Putih saat upacara Agustusan!

Ramadhan adalah salah satu "periode berpantang", yang akan naif jika hanya dimaknai layaknya murid sekolah dasar atau para pejabat menghormat Sang Merah Putih saat upacara bendera. Ramadhan adalah kawah candradimuka yang menuntun manusia ke titik sublim. Sublimasi cinta seorang hamba pada Tuhan. Dan sublimasi acapkali memang dicapai lewat laku "berpantang", "mengasingkan diri", atau yang lebih ekstrim, "menyiksa diri". Zarathustra, karya monumental Nietzsche, ditulis ketika ia mengasingkan di pegunungan Alph. Novel yang menggetarkan dari Pram ditulis tatkala ia dipenjara. Dan Muhammad, manusia mulia itu, memperoleh pencerahan saat mengasingkan diri di Gua Hira.

Sejumput kisah tersebut seakan menyadarkan kita bahwa tujuan berpantang tak sekedar mengharap agar ketika "pelampiasan" datang kita merasakan kelezatan. Nikmatnya berpantang (puasa), pertama-tama memang ketika buka tiba (ragawi). Tapi, sejatinya ada kenikmatan (ruhani) yang jauh lebih subtil dari mereka yang berpantang yakni bersua dengan Tuhan. Ya, karena ketika manusia dalam kondisi tak punya/bisa apa-apa, sejatinya yang ia harapkan hanyalah hadirnya Cahaya. Mirip amsal seorang mahasiswa ketika pertama kali masuk kost dengan membersihkan (mengosongkan) kamar lalu menyalakan lampu.

Kita patut bersyukur dengan adanya Ramadhan. Sebab ia merupakan skenario terindah yang dianugerahkan Tuhan untuk hambanya. Ramadhan laksana gelombang lautan. Siapa yang berani dan lulus menempuhnya, cintanya pada Tuhan (kehadiran Cahaya) kian kuat terpatri dalam diri. Dan Tuhan telah membuka momentum untuk menempuh gelombang itu minimal setahun sekali. Tentu ada hamba-hamba yang "tak puas" menempuh gelombang atau periode berpantang tersebut dalam jangka waktu setahun sekali. Sehingga tiap bulan, minggu, hari, dan bahkan setiap detik, ia sengaja menciptakan gelombang itu dalam dirinya:

Apabila Kau anugerahkan aku rembulan, bisakah kuelus dengan hati lapang / Apabila Kau anugerahkan aku matahari, bisakah kugenggam agar gelap tak menjadi / Apabila Kau anugerahkan aku sederet kata, bisakah kutepis mana yang maya / Apabila Kau anugerahkan aku air mata, bisakah kubuang segala duka lara / Apabila Kau tuntun aku dalam sujud sunyi, semoga hanya Engkau yang mengetuk ini hati, ya Rabbi .

M A R W A N T O (www.markbyar.blogspot.com)




ADA APA DENGAN LA

LA Sambut HUT RI ke-62

Bergayung sambut dengan keinginan beberapa warga LA agar ada sesuatu yang bersangkut dengan perayaan HUT RI, LA mengadakan nonton bareng pawai karnaval di Wates. Diikuti oleh 10 orang, kegiatan nongkrong bareng yang diprakarsai oleh Jeng Rohmi ini, diadakan di jalan Khudhori. "LA belum mampu untuk mengadakan kegiatan menyambut HUT RI dalam skala massif untuk tahun ini, mudah-mudahan tahun depan kawan-kawan sudah siap", ungkap Jeng Rohmi saat ditanya seorang wartawan lokal. (Chyto)


Launching buletin "Prasasti" di TP ke-11

Komunitas LA kembali menyelenggarakan tradisi bulanan "Tadarus Puisi", Selasa 4 September 2007. Kali ini bertempat di Pondok Pesantren Zahratul Jannah (ZeJe) Giripeni Wates. Tetap seperti biasa, dihadiri oleh punggawa-punggawa LA serta fans-fans yang masih setia mengikuti ritme kehidupan LA. Ritual kali ini beda, karena sekaligus launching "Prasasti" edisi perdana yang merupakan karya kawan-kawan hasil penggodokan di PMK. Lebih seru lagi karena selalu ada oleh-oleh khusus dari beberapa person LA yang saat-saat lalu mengikuti dan menghadiri kegiatan-kegiatan yang bernuansa sastra dan budaya di kota Jogja dan sekitarnya. (Rohmi Astuti)





BIODATA PENULIS


Dewi Fatimah, salah satu founding mothers komunitas sastra Lumbung Aksara. Aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga dengan putri semata wayang (Azza, 5 thn), dijalaninya dengan penuh khidmat dan cinta. Kegemarannya pada beragam bacaan membuatnya selalu muda. Tinggal di Jl. Khudlori Wates.

Ki Soegiyono M.S., (gelar "Ki" dari DisBudPar), menulis sejak 1987 di Mekar Sari, Djoko Lodang, Penyebar Semangat, Pelita, Bakti, Sempulur, Kedaulatan Rakyat, dll. Karyanya masuk di antologi Di Batas Jogja (FKY 2003), Codel (FKY 2005), Paitan (Balai Bahasa Jogja). Penyair yang satu ini termasuk "Begawan Sastra Jawa" Kulonprogo. Berdiam di Blok 3 Ngestiharjo Wates.

Landung, penyair yang satu ini jarang membaca puisi karya orang lain dan menulis puisi sebagai "pelampiasan rasa". Lelaki yang mengaku berusia 26 tahun ini tinggal di Kedunggong Wates.

Mintarsih, kelahiran Kulonprogo, 15 Januari 1991. Belajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Wates kelas XI S3. Perempuan yang berasal dari Gunung Kukusan Hargorejo Kokap ini nyantri di Pondok Pesantren Zahratul Jannah (ZeJe) Giripeni Wates.

Osephe H. W., lahir di Kulonprogo. Belajar di Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Volunteer di sebuah Mobil Klinik anak-anak jalanan di Yogyakarta. Sajaknya "Berkelakar, Adam dan Kekasihnya" pernah dibawakan di Panggung Penyair Muda se-Jogja I di TBY (2006). Tinggal di daerah Ring Road Utara Con-Cat Sleman.

Santosa, cerpenis kelahiran Pati (Jawa Tengah), 10 Mei 1982. Mengaku mengenyam pendidikan hanya setingkat SD, selebihnya bergelut di rimba kehidupan. Pernah menekuni dunia seni di pulau Bali. Saat ini tertambat di Lesehan Sastra dan Budaya "KUTUB" Yogyakarta.

Siti Masitoh (Chyto), Pemimpin Umum LONTAR ini baru saja bertarung mempertahankan skripsinya yang berjudul "Nilai-nilai Tauhid dalam Syair Lagu "Satu" karya Ahmad Dhani DEWA 19" pada sidang munaqosyah (pendadaran) di UIN Sunan Kalijaga Jogja dengan hasil sangat memukau. Kini sembari menanti Hari Wisuda, ia terus menyelami dunia batin hingga meneteslah puisi dari pucuk kalbunya. Tinggal di Gebang I Plumbon Temon.

Wening Wahyuningsih, adalah pelajar di SMK N 1 Pengasih. Anggota komunitas CORET, Komunitas Sastrawati Remaja nDalem Poetry, dan Bengkel Bahasa Yogyakarta (BBY). Puisinya pernah dimuat di majalah sastra Horison, Kedaulatan Rakyat, Coret, dll. Saat ini tengah mencoba membuka hati pada semesta.



SMS PEMBACA

"Mlm mba mf ggu_cm mw kse saran_mbok halmn E ki d tmbh n kmasn antara edisiN d beda"

(Vera - 081804357XXX)


"Nama Okta, sekolh di SMK 2 Pengasih, sya dpt lontar dr prpz sklh, sbnrny sya cm pgn ikt kegiatny sj, krn sya ign bljr menuls”

(Okta - 085292279XXX)



PUISI

Kau dan Kopi

Oleh : Siti Masitoh


(Selalu saja ada kopi dan dirimu seperti lekukan jurang)


Menghitung jari-jari malam

Mengendap

Menimbun pembaringan yang basah

Sebutir dingin menjilati ubun-ubun

Mendidihkan otak kanan kiri


Secangkir kopi masih teronggok di pelataran hati

Setelah semalam ampasnya mengendapi

dasar nurani diri

Hitam

Dan tetap seperti terjaga

  • april medio – en




Sepucuk Pesan untuk Rembulan

Oleh : Wening Wahyuningsih


Sebagai rembulan, wajahmu tercermin di bola mataku

Melarutkan pesona dalam desir alir darah

Maka kusampaikan pesan lewat angin

dan daun yang mendesah

; pada rembulan, izinkan aku menjadi bintang

beri cahayamu untuk sebagian diriku

kemudian biarkan aku bersanding denganmu

bertahta menyatukan cinta di angkasa

sebab aku rela hidup dalam kehidupanmu

meski harus mati terbunuh pagi.


23032007




Sebelum Gelap

Oleh: Osephe H.W.


malam merebutnya,

baru saja siang mengadu pilu.

sebelum gelap melahapnya,

warna pelangi meluntur

secepat kornea mataku menangkap


Street Spirit fur @

Yogyakarta, Juni 07



Keangkuhan

Oleh : Mintarsih


Dua insan bagai nisan

Diam tanpa ucapan

Menggenggam erat keangkuhan

Pamerkan ego dan kekuatan

Kacau hatinya ingin bertanya

Membuat goyah angkuh sendiri

Membawa terbang curiga hatinya

Hari silih berganti

Hingga timbul keberanian diri

Membuat suasana asri

Menghadirkan debar tak henti

Akhirnya, datang jua

Batas keangkuhan

Akan berganti kedamaian

Tapi sayang, ujung sebuah

kenangan

Terkalahkan oleh sebutir

Keangkuhan





Untuk Seseorang

Oleh : Landung


langit biru ...

sombong kau lintasi dengan sayap emasmu

tetap saja ku masih di sini

terkubur dalam kubangan


langit kelabu ...


kepakan sayapmu getarkan rindu

khayalku masih tentangmu

mengadu pada tanah yang juga merindumu langit hitam ...

terdengar jeritmu

iba di hatiku

tertutup oleh inginku

membelah malam dengan patahan sayapmu





Anak Akhir Zaman

Oleh : Dewi Fatimah


Pengasuhmu televisi

Cita-citamu selebriti

Bakda Maghrib tak lagi mengaji

Temanmu iklan

Teladanmu Sinchan

Hobimu smackdown


Ayah ibumu kewalahan

Menghadapi persaingan

Agar ijazahmu terbeli

Sebab tanpa ijazah,

Kemampuan tak dihargai

Tak mampu seperti para sufi

Berenang cinta ilahi

Bahagia bukan di materi

Walau cacimaki ataupun mati


Teringat kata ibu

"Kau boleh terlantarkan anakmu

Tapi jangan terlantarkan cucuku"


Kulonprogo, 14 Juni 2007



GEGURITAN

Tafakkur

Dening : Ki Soegiyono M.S.


Gumrenggeng ngumandang

nyigar sepining ratri

pangangen nyoblos langit pitu

dumlewering wasa kang anget bening

pindha milining gegetun

binarung ceceluking angkup

lan sumiliring maruta

mracihnani yektining pepasrah

ngempit tawakkal

ngindit tawwadu'


Dhuh Robbi Robbul 'izzati

sepira pangajine tasyakur iki

regane cumadhonging tangan iki

ing jobining Rahman Mu

sepira pangajine panyuwun iki

yen istiqomahe wardaya lunga teka

sepira regane luh kang tumetes iki

yen tumiba ing tlaga Mu kang suci

takarrub iki mung njedul nalika butuh

tinalasak dening dholiming dhiri

kang kuwawa medhot talining tuma'ninah

bisa rumangsa kalindhih rumangsa bisa


Dhuh Kang Maha Agung

merjan-merjan tasbeh iki suwala

ginarayang jempol driji kang bacin

sajadah mlengos nalika dak lungguhi

nalika ngungak hakikining qalbu

kang congkrah ing was-wasing manah


Lambe kang ndremimil iki

ati pecicilan jlalatan nunjang palang

sedhela lungguh, glingsatan 'uzlah

ana prabawa kang nyeneng pangangen

sinuguhan kekidung samar

saka beksaning iblis

ilang nering Ywang Suksma

bali sakawit, kaya nalika lungguh wiwit.




KATA-KATA MUTIARA

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah



SMS (SEPUTAR MENULIS SASTRA)

Manfaat Menulis


Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari aktifitas menulis. Setidaknya pertama, kalau kita ingin menulis pasti menimbulkan rasa ingin tahu (curiocity) dan melatih kepekaan dalam melihat realitas di sekitar. Kepekaan dalam melihat suatu realitas lingkungan itulah yang kadang tidak dimiliki oleh orang yang bukan penulis. Tanpa terkecuali pada penulisan sastra.

Kedua, dengan kegiatan menulis mendorong kita untuk mencari referensi seperti buku, majalah, koran, jurnal, dan sejenisnya. Dengan membaca referensi-referensi tersebut tentu kita akan semakin bertambah wawasan dan pengetahuan kita tentang apa yang akan kita tulis.

Ketiga, dengan aktifitas menulis, kita terlatih untuk menyusun pemikiran dan argumen kita secara runtut, sistematis, dan logis. Dengan keteraturan tersebut membantu kita untuk menyampaikan pendapat atau pemikiran kita pada orang lain. Pendek kata kita menjadi semakin cerdas.

Keempat, dengan menulis secara psikologis akan mengurangi tingkat ketegangan dan stres kita. Segala uneg-uneg, rasa senang atau sedih bisa ditumpahkan lewat tulisan di mana dalam tulisan orang bisa bebas menulis tanpa diganggu atau diketahui oleh orang lain. Dalam tulisan seorang penulis membuat dunia yang tersendiri yang bebas dari intervensi orang lain.

Kelima, dengan menulis di mana hasil tulisan kita dimuat oleh media massa atau diterbitkan oleh suatu penerbit kita akan mendapat honorarium (penghargaan) yang membantu kita secara ekonomi.

Keenam, dengan menulis di mana tulisan kita dibaca oleh banyak orang (mungkin puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan) membuat sang penulis semakin populer dan dikenal oleh publik pembaca. Popularitas kadang membuat seseorang merasa puas dan dihargai oleh orang lain.

Demikianlah setidaknya beberapa manfaat menulis dan mungkin masih ada lagi kalau mau menambahkan. Dengan menulis setidaknya kita mengeluarkan gagasan maupun uneg-uneg kita agar tetap sehat dan sejahtera. Semoga.

***

(Didik Komaidi, anggota redaksi LONTAR, guru MAN 2 Wates, dan penulis buku "Aku Bisa Menulis: Panduan Praktis Menulis Kreatif Lengkap")

Tuesday, September 11, 2007

LONTAR 9

BILIK REDAKSI


Salam Sastra !


Selamat HUT RI ke-62. Merdeka! “Merdeka” atau “Merdeka?”.


Dari sanubari terdalam, kami mengucapkan selamat merayakan Hari Merdeka. Gempita atau tak. Selebihnya; Stop penindasan, Bos! Usah lagi perayaan kemerdekaan hanya menjadi semangat ritus tahunan belaka. Panjat pinang melulu, Karnaval melulu tapi kerapkali kita alpa pada realitas mendasar sebagai anak bangsa di mana masih banyak saudara-saudara kita yang masih terkacungi kemerdekaan beroleh hak-haknya. So What Gitu Loh…?


Pembaca LONTAR yang budiman, mulai edisi ini dan rencananya lanjut ke depan, LONTAR menghadirkan sisipan, yakni buletin “Prasasti” hasil kreasi yang digawangi oleh kawan-kawan peserta PMK angkatan pertama yang diadakan oleh komunitas Lumbung Aksara bulan lalu. Semoga kehadirannya dapat lebih memberi warna cerah bagi jagad tulis-menulis di Kulonprogo.


Paling tidak, sejarah akan menuliskan catatannya sendiri bahwa elemen masyarakat muda di Kulonprogo masih semangat untuk terus Membaca - Menulis; Menjaga Hidup.


Selamat Membaca….



CERPEN

Dua Tahun Kau Menghilang

Cerpen Retno Prihandaru

Jam mulai menunjukan jam 4 sore, segera Andin bergegas mengambil kunci motornya, berangkat menuju kafe tempat dia akan bertemu rekan kerjanya. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di tempat itu. Kali ini dia tak boleh terlambat karena ini adalah kesempatan emas baginya untuk mendapat investor besar sehingga ia tak akan dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja karena berhasil memberi pemasukan yang besar bagi perusahaan.


Sampai di kafe itu ia mencari-cari di mana mitra kerjanya duduk. Namun tak dilihatnya orang yang ingin ia temui. Andin berpikir bahwa mungkin orang yang ia tunggu datang terlambat. Ia pun memesan Cofee Mix kepada pelayan kafe yang nampak tampan di matanya.


Sambil menunggu orang itu datang, Andin mengambil laptop yang ada di tasnya, kemudian ia mulai mengutak-atik laptop itu. Tiba-tiba suara HP-nya berbunyi. HP 3G yang baru ia beli tiga minggu yang lalu.


Hallo.....ini siapa ya?” Sapa Andin


Maaf, apa benar ini saudari Andin”.


Ya, benar...ada apa ya?”


Hari ini Pak Doni tidak bisa datang menemui Anda dan saya diberi tugas untuk mewakilinya menemui Anda. Apa Anda masih di sana?”


Ya, saya masih di kafe Kaserina”.


* * *


Sudah hampir satu jam dia duduk di kursi itu sambil mengutak-atik laptop. Pikirannya resah karena kliennya tak kunjung datang. Dia tak ingin pertemuan kali ini gagal. Tiba-tiba saja seorang lelaki berumur sekitar 22 tahun menggunakan kemeja berwarna biru menghampirinya. Kehadiran lelaki itu membuyarkan konsentrasinya mengutak-atik laptop yang sedari tadi dia mainkan.


Maaf, apa benar ini saudari Andin?” Sapa lelaki itu.


Andin mengangguk, kaget tak percaya melihat orang yang berdiri di depannya. Jantungnya langsung berdegup kencang, nafasnya seakan terhenti. Tak percaya, orang yang telah menghilang dua tahun lalu, saat ia tinggal di kota Surabaya, kini hadir di depan matanya. Orang itu adalah pria yang telah menghancurkan hatinya karena cinta yang pergi itu.


Maaf, boleh saya duduk disini” Ucap lelaki itu.


Oh ya .... silahkan” Jawab Andin gugup.


Mari kita mulai saja pembicaraan kali ini”


Ar.... kamu Arya Andung Setya kan..?” Tanya Andin


Maaf, siapa itu Arya..saya Rino, saya bukan Arya” Jawab lelaki itu beraut heran.


Apa Anda mengenali saya?” Tanya Andin lagi


Maaf saya rasa saya bertemu Anda baru kali ini” Ucap lelaki yang bernama Rino itu.


Dalam hati Andin bertanya-tanya. Bagaimana mungkin lelaki yang dulu pernah menjalin asmara dengannya dua tahun, kini tidak mengenalinya sama sekali. Ini kenyataan atau sebuah kesengajaan? Arya tidak mengenali Andin. Ia pandangi lelaki yang ada dihadapannya itu. Masih tampan pula ia setelah dua tahun lamanya tak pernah bertemu. Terlintas lagi kenangan-kenangan indah bersama Arya. Hingga akhirnya Rino membuyarkan lamunan Andin.


Maaf, bisa kita mulai sekarang” Ucap Rino


Ba...ik, baik” Jawab Andin.


* * *


Pertemuan dengan rekan bisnis tak disangka adalah sebuah pertemuan yang mengejutkan bagi Andin. Berbagai pertanyaan terlintas di benaknya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Arya? Direguknya kaleng soft drink yang ada di tangannya. Sambil mengingat kisah saat ia bersama Arya, lantas ia mengambil HP yang ada di meja kerjanya. Dicarinya nama Rio di phone book teleponnya. Andin mencoba menghubungi Rio yang notabene teman karib Arya sejak kecil. Andin hanya bisa berharap nomor itu masih bisa ia hubungi. Semenjak Arya menghilang ia tak pernah berhubungan dengan Rio. Terakhir dia ingat menghubungi Rio untuk menanyakan keberadaan Arya. Namun Rio tak tahu keberadaan Arya.


Ternyata harapan Andin terkabul. Ia berhasil menghubungi Rio. Rio pun mengangkat telepon itu.


Ini siapa ya?” Tanya Rio.


Ini Andin, teman lamamu. Aku sekarang tinggal di Jakarta”.


Andin.....kemana saja kamu selama ini. Kamu ganti nomor ya”.


Tanpa basa-basi Andin mulai menceritakan kejadian yang ia alami hari ini. Ia bertanya kepada Rio apa sebenarnya yang terjadi dengan Arya.


Itu dia yang sejak dulu ingin aku ceritakan sama kamu. Tapi aku kehilangan kontak denganmu” Papar Rio.


Apa yang terjadi?”


Aku bertemu Arya enam bulan sesudah ia menghilang. Ia pun tak mengenaliku”.


Lalu...”


Kata ibunya dia mengalami kecelakaan saat pergi ke Jakarta, kecelakaan yang fatal”.


Andin terdiam mendengar penjelasan Rio. Lebih-lebih mendengar ucapan Rio yang terakhir. Perkataan yang memberi jawaban atas semua yang terjadi. Menggoreskan kembali luka yang hampir sembuh.


Dia...terkena amnesia”.


***



BYAR

Bandot


Seperti apa gambaran orang merdeka itu? Ijinkan saya membayangkan Bandot, tokoh dalam salah satu prosa karya Putu Wijaya, yang dapat kita temui dalam kumpulan cerpennya: Protes. Bandot adalah seorang penjahat, yang tatkala dalam penjara punya hasrat menggebu untuk bisa hidup di dunia luar --yang menawarkan kemerdekaan, kebebasan. Benarkah ketika dikeluarkan dari penjara, Bandot menikmati kemerdekaan?


Tentu. Namun kemerdekaan yang ia rasakan bukan terutama karena ia telah meninggalkan pengapnya hotel prodeo. Bandot baru merasa betul-betul menikmati kemerdekaan saat ia tak menginginkan apa-apa. Dengan kata lain, kemerdekaan itu sejatinya “ada dalam dirinya” dan bukan karena “lempangnya dunia luar”. Tampaknya Bandot tak sendirian. Orang-orang yang mengabdikan hidupnya dalam pengembaraan sunyi (asketis) sadar benar kemerdekaan itu bermula ketika manusia telah khatam dari segala keinginan.


Tapi tunggu dulu. Jangan salah arti. Khatam dari segala keinginan bukan berarti manusia tak lagi punya kebutuhan. Sebab, kebutuhan adalah konsekuensi dari eksistensi manusia. Makan, pakaian, rumah, pendidikan adalah kebutuhan. Juga kesehatan, alat transportasi, dan yang lainnya. Nah, ketika kita sudah cukup makan dengan lauk satu tempe tapi berhasrat nambah satu lagi, itu sudah keinginan namanya. Sudah punya rumah bagus dan besar, masih mau yang mewah dan tersebar di beberapa tempat. Sudah menikah dengan istri cantik atau suami tampan, masih melirik kebun tetangga. Dan seterusnya.


Keinginan adalah sumber penderitaan, kata Iwan Fals dalam sebuah lirik lagunya. Tapi, benarkah hidup harus steril dari “penderitaan”? Ah, rasanya kok tidak. Adam dan Hawa, ketika diturunkan ke bumi, sudah sejak awal berbekal penderitaan. Dan sejarah peradaban manusia itu sendiri tak lain adalah narasi agung tentang penderitaan. Tapi, bukankah dari penderitaan ini kebudayaan manusia digali? Untuk nantinya bisa eksis mengikuti akselerasi zaman? Dari sinilah, bagi segelintir orang, “penderitaan” bisa dijadikan titik tolak juga pemantik sekaligus untuk maju. Asal kita punya kemauan untuk keluar dari jebakan penderitaan.


Jadi, biarkanlah diri anda menderita oleh keinginan. Tertindih mimpi-mimpi. Jangan takut dijajah oleh obsesi. Hadapilah dan perjuangkan mimpi dan obsesimu. Sebab, seperti pesan Napoleon Bonaparte, mereka yang takut dijajah tak akan memperoleh kemenangan. Sampai akhirnya anda akan menyadari: trembelane…. betapa dalam mengolah hidup ini amat tipis beda antara keinginan dan kebutuhan. Meski esensi keduanya sangat jauh berjarak.***


MARWANTO (www.markbyar.blogspot.com)



ADA APA DENGAN LA

Komunitas LA dan Karang Taruna Garap Pembelajaran Menulis

Selama 2 hari, 14-15 Juli, Komunitas LA bekerjasama dengan Karang Taruna (KT) Kabupaten Kulonprogo menyelenggarakan Pembelajaran Menulis Kreatif (PMK) bagi siswa dan pemuda. Kegiatan yang secara resmi dibuka oleh Kasubag TU Perpusda Kulonprogo Drs Supardi tersebut menghadirkan tiga narasumber: Umar Maksum (wartawan KR), Aguk Irawan MN (Novelis dan Penyair) dan Marwanto (Esais dan Cerpenis). Untuk PMK (Angkatan I) kali ini diikuti 13 peserta, meliputi: 5 (SMA N 1 Wates), 2 (SMA N 2 Wates), 1 (SMK N 1 Pengasih), 1 (SMP N 1 Temon), 1 (UNY) dan 3 (utusan pemuda). Ketua panitia PMK, Tri Wahyuni SIP mengatakan, dari kegiatan ini diharapkan terjalin komunikasi yang intensif antara komunitas LA dengan para siswa untuk menggairahkan dunia kepenulisan. Follow-up kegiatan ini, alumni PMK menerbitkan buletin sastra (yang diberi nama Prasasti) dengan segmen pembaca terutama siswa. Untuk penerbitan Prasasti tersebut, Direktur “AB Community” Burhanul Fahruda, menyatakan siap membantu. (Asti Widakdo)


Baca Puisi di TP ke-10

Tanggal 20 Juli 2007 lalu, komunitas LA mengemas acara pembacaan puisi lewat agenda bulanan yang bertajuk “Tadarus Puisi”. Di edisi yang ke-10, TP kali ini di adakan di Taman Binangun KP, kompleks alun-alun Wates. Acara yang sedianya dijadwalkan jam 13.00 molor hingga beberapa jam. Sehingga ada sebagian dari kerabat pecinta puisi yang meninggalkan lokasi sebelum acara dimulai. “Yang bisa digarisbawahi dalam pertemuan kali ini adalah : meski hanya dihadiri oleh beberapa orang saja, paling tidak tradisi ini masih bertahan hingga sekarang” ujar Marwanto selaku koordinator LA. Selain pembacaan puisi dalam TP kali ini juga dilakukan “pengadilan puisi” sekaligus launching LONTAR edisi 8. (AriZur)


Workshop Sastra di TBJT Solo

Sabtu-Minggu (28-29 Juli 2007) bertempat di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah yang terletak di 100 M barat UNS Solo, 4 orang perwakilan LA diundang untuk mengikuti Workshop Sastra yang diadakan oleh komunitas sastra PAWON Solo. Workshop dengan materi penulisan novel, cerpen, puisi, dan publikasi karya di media massa ini diisi oleh S. Prasetyo Utomo (cerpenis), Triyanto Triwikromo (cerpenis yang juga redaktur sastra Harian Suara Merdeka), penyair Iman Budhi Santosa, Abidah el-Khalieqy (penulis novel Geni Jora: pemenang runner-up sayembara novel DKJ 2004), Dwicipta (cerpenis, mahasiswa HI UGM) dan penulis lokal Solo. Selain mengikuti workshop, pada kesempatan itu pula dijadikan sebagai ajang komunikasi, sharing serta barter karya antar komunitas-komunitas sastra dari Solo, Jogja (LA Kulonprogo), Semarang, Karanganyar, Blora, Purwokerto, dan Bandung. LA berterima kasih atas apresiasi mereka terhadap buletin LONTAR. (Chyto)



BACA BUKU

Samarkand

(Terjemahan dari ”Samarcande”, edisi Bahasa Prancis)


Pengarang : Amin Maalouf

Penerjemah : Winarsih Arifin

Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta

Cetakan : Pertama, Januari 2007

Ukuran : 13 cm X 20 cm

Jumlah halaman isi : 502 halaman (dari halaman 9-511)


Menakjubkan, novel ini merangkum kisah sejarah, cinta, dan pergulatan politik kekuasaan dalam satu alur yang berkaitan. Peristiwa yang berjarak delapan abad dirangkai menjadi satu dengan benang penghubung naskah Samarkand yang berisi kumpulan puisi Omar Khayyam dalam Rubaiyyat (puisi berbaris empat) dan kisah perjalanan naskah itu sendiri yang dituliskan di pinggirnya.


Judul buku ini diambil dari nama tempat Omar Khayyam merantau, sebuah kota tertua di kawasan Asia Tengah atau lebih tepatnya di Uzbekistan yang dalam novel ini disebut Transoksiana. Buku ini berbentuk tetralogi (empat cerita yang saling berhubungan).

Buku pertama : Sepasang Penyair dan Sepasang Kekasih (halaman 13-149)

Buku kedua : Surga Kaum Pembunuh (halaman 153-268)

Buku ketiga : Akhir Sebuah Alaf (halaman 271-385)

Buku Keempat : Seorang Penyair di Lautan(halaman 389-511)


Sebelum buku pertama, pengarang memberikan pembuka (dua halaman) yang merangkaikan keempat tetralogi dengan kalimatnya:


DI DASAR Samudra Atlantik telah terkubur sebuah buku. Riwayat buku itulah yang akan kuceritakan.


Kata ganti 'ku' pada kalimat tersebut adalah seorang tokoh dalam novel bernama Benjamin O. Lesage, yang disebutkan pada halaman kedua (halaman 10). Buku Pertama dan Kedua menceritakan perjalanan Omar Khayyam sejak umur dua puluh empat tahun dengan latar belakang peristiwa yang terjadi pada masa itu hingga menulis Rubaiyyat. Buku kedua dan ketiga bercerita tentang Benjamin O. Lesage (O adalah singkatan dari Omar) dalam perjalanannya yang berliku-liku mencari naskah Rubaiyyat Omar Khayyam. Meskipun akhirnya ketemu, tetapi naskah itu kemudian tenggelam bersama tenggelamnya kapal Titanic.


(Z. Latif, Lay-Outer LONTAR, pecinta buku, tinggal di Bendungan Wates)



BIODATA PENULIS


Akhiriyati Sundari, alumni MAN 2 Wates dan UIN SuKa. Aktif di Forum Téh Toebroek dan LA. Pernah diundang menjadi peserta Forum Penyair Muda 4 Kota, Februari silam di Taman Budaya Yogyakarta. Karyanya dimuat di majalah Syir'ah, buletin Paradigma FTy UIN SuKa, BÉN!, www.tandabaca.com juga di Herbarium; Antologi Puisi 4 Kota (Padang, Denpasar, Bandung, Yogyakarta) (PUJA-2007) dan SGSI. Berdiam di Ngestiharjo Wates.


AriZur, aktif di FTT. Mendapat ilham menulis puisinya itu saat melintasi bukit gersang di daerah Randu Blatung BLORA sekitar dua tahun lalu. Waktu itu merasakan kesedihan yang sangat, ungkapnya. Tulisan-tulisannya belum pernah dimuat di KOMPAS, Horison, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Harian Seputar Indonesia dan The Jakarta Post. Tinggal di Blok 2 Ngestiharjo Wates.


Didik Komaidi, lahir di Magetan 21 September 1972. Alumni S2 UNY ini mengajar di MAN 2 Wates sejak 2004. Tahun 2006 menikah dan hingga kini kerasan tinggal di Ngestiharjo Wates. Direktur Penerbit Sabda Media ini telah banyak menulis dan menerbitkan sendiri beberapa buku. Bukunya yang terbaru Aku Bisa Menulis (Sabda Media, 2007). Putrinya semata wayang diberi nama Nayla Zakia Sholehah.


Hasta Indriyana, lahir di Gunungkidul, 31 Januari 1977. Alumni UNY. Manajer Komunitas di Yayasan Tandabaca. Pernah memimpin Unit Studi Sastra dan Teater (UNSTRAT) UNY dan sekretaris di Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Saat ini belajar bersama anak-anak wilayah gempa di Nglipar, Gunungkidul. Tulisan dipublikasikan di Horison, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jurnal Puisi, Nova, KR, dll. Buku yang telah ditulis: Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta (Jendela-2004), Perempuan Tanpa Lubang (Pinus-2005), dan menyusul Teater Pendidikan untuk Pembebasan (INSIST Press-2007).


Iul Muna, punya nama lengkap Ahmad Muflikhul Muna. Lahir 12 Juni 1993. Masih belajar di SMP N 1 Wates. Lelaki asal desa Karangsari Pengasih ini nyantri di Pondok Pesantren Al-Qur'an (Pesawat) Wates.


Marwi Hendrianto, penyair satu ini tidak banyak menyertakan biodatanya kecuali bahwa ia adalah pelajar di SMAPTA Kelas XII. Memiliki hobi berpetualang dan cuci mata.


Retno Prihandaru, baru saja menamatkan belajar di SMA N 2 Wates. Gemar membaca novel, khususnya karangan Kahlil Gibran. Gadis yang mengaku sebagai simpatisan LONTAR ini tinggal di Panjatan.


Tari, perempuan yang mengaku asal Maesan Wahyuharjo Lendah ini tengah bekerja di rantau, tepatnya di daerah Tangerang. Meski begitu ia dapat mengakses LONTAR di www.lontar-online.blogspot.com di sana.



SMS PEMBACA

mlm, bisa kasih info bot kegiatan sastra/teater? Kalo mo gabung gmn cranya? Thx.” (harno edi 085228362XXX)


tulisan apa aja yg diterima LONTAR? Ada honornya?” (Nasrullah Idris 081802028XXX)



PUISI

Suatu Senja di Randu Blatung

; dalam kerinduan yang payah dan tak sudah-sudah

Oleh : AriZur


Segalanya.

Tentang ku-mu.

Menjadi berdebu.


Usaikan cerita

Di antara perdu ilalang dan bisingnya waktu


- Mei 2007





Seplawan

Oleh : Didik Komaidi


Di atas bukit

Terlihat lembah-lembah hijau

Gunung-gunung biru

Segerombolan awan menyelimuti puncak bukit

Di sini masih kutemukan kesejukan embun

Yang mendinginkan pikiran yang lelah

Yang membuat katarsis dari kepenatan kota

Yang menyimpan ambisi yang licik

Untuk menyegarkan ruhani

Agar tetap berarti


Kulonprogo, Oktober 2006




Kau dan Aku adalah Puisi paling Luka

Oleh : Akhiriyati Sundari


Siasia saja menjahit mimpi

usai robek bagian tengahnya

Sungai di matamu tak mengalirkan

apaapa

kecuali lengkung tanya membuncit

di perut ikanikan dekat pemandian

yang kita kunjungi Januari silam

demi melunaskan perjanjian


Sepotong bait, bacalah lekas!

Racik menjadi jamu dan angsurkan padaku

Biar kuminum

Hingga tandas

luka paling luka

di sumur jantungku yang kadung kau cacah


Rampung sudah kubaca filsafat air

yang hujan di tubuhmu

Telah kusalin dan kurapalkan

menjadi tulisan batu paling nisan

di lahat dadaku yang mengumandangkan adzan ;

“Kau dan aku adalah puisi paling luka

yang dilahirkan saat bulan kesiangan”


Ngestiharjo, 07-07-2007




BATU

teringat Puthut EA

Oleh : Hasta Indriyana


Selamat malam. Namaku batu. Kita pernah

Ketemu di senja hari ketika janji dan

Teken kontrak siang itu ternyata terlalu

Pagi untuk sebuah urusan tentang debu

Sich!


Tak mengapa. Masih cukup sore mengenang

Sesuatu yang ternyata kita benci: sesuatu

Yang begitu jelas


Aku jelas mengingatmu. Matamu batu, telingamu

Batu, mulutmu batu, seperti ruang yang

Disekat-sekat, sedikit aroma cemas, jadwal

Yang rapi, dan poster pesepak bola yang sembab

Mencibir semua. Batu?


Itu bagus. Setidaknya debu yang kau

Keluarkan dari saku kemeja itu sebagai

Pengganti kemarau yang selalu ingin

Melupakan segala hal. Termasuk air mata


Termasuk kata selamat malam. Selamat batu


Tapi Raudal, Hernawan, Satmoko,

Marhalim, Binhad, dan orang-orang asing barangkali

Tengah merebus batu-batu

Dihidangkan menjadi puisi lebih dari sekedar

Kata selamat malam, selamat batu, selamat

Air mata!


Dewadaru, 2003




ASA Ku

Oleh : Tari


jauh kini

aku berjalan

terluka

hingga perih tak kurasakan lagi

kepiluan panjang tak henti

rinduku pada kampungku


perjalanan panjang tlah kutempuh

lelah

hilang dalam ingatan

sebelah hatiku hancur, tak berbekas

dalam asaku

temanku pergi …………

jauh tinggalkan aku dalam kesendirian

tak ada

acuh, gila, piluku

hatiku semrawut

gundah

kembalilah jiwaku

yang dulu tenang

tak pernah hancur untuk yang kedua


Tangerang, 21 Februari 2007





sYair seoRang penYair

Oleh : Iul Muna


esEnsi penuh diMensi

meRecap raSio

bukaN inSpirasi

mEncoBa menguBah perSepsi

menjadi inTuisi

mencoBa menguBah fakTa

menjadi kata-kata penuH makna





BOLA MATA

Oleh : Marwi Hendrianto


Lama juga kutatap dua bola matamu

dan Sang Bayu bermalu-malu menemaniku

aku mencoba menggenggam kota yang bernama duka

tapi semua sia-sia......


Masih perih dan hangat tatapan cintamu

kala kita menari dari masa ke masa


seandainya saja...


Jambu merah tua itu tak segera terlukis

gerimis kesedihan takkan mengalir deras


ini mimpi pagi hari

aku sayu dan awan dalam lamunan

Aku ingin menari tentang petang

yang terbentang hingga ujung mata

Lama juga kutatap dua bola matamu

itu yang kan buatku bersamamu selalu





KATA MUTIARA


PERJUANGAN ADALAH PELAKSANAAN KATA-KATA

(WS RENDRA)


Presented by

KOMUNITAS LUMBUNG AKSARA

Membaca - Menulis ; Menjaga Hidup