Sunday, November 25, 2007

LONTAR 12

BILIK REDAKSI

Salam Sastra !
Sejarah, separonya dipercaya menjadi juru pengingat ketika semuanya bermasyuk dalam kealpaan, bahkan ketika sejarah 'melupa' tersebut menjelma monster bernama "amnesia sosial" yang berlatah-latah. Akan tetapi, benarkah sejarah memiliki kekuatan sebagai juru pengingat seperti itu? Sebegitu hebatnyakah?

Pembaca LONTAR yang budiman, sungguh sayang, hingga hari ini kita masih belum bisa menyaksikan sejarah 'kebenaran' yang bisa kita jadikan juru pengingat demi menjadi sebuah bangsa yang besar. Kita terlalu malas untuk mengingat dan belajar (dari) sejarah. Bisa jadi dulu ketika kita duduk di bangku sekolah (banyak duduk daripada aktif 'bergerak', bukan?)---di mana menjadi satu-satunya tempat belajar sejarah yang dipandu oleh kurikulum---tak pernah semestinya. Tak heran jika kita terbiasa dibelokkan oleh sejarah dan akhirnya kita terbiasa pula untuk membelokkan sejarah. Tak ayal kesemuanya berurat akar dan merembet di banyak ranah. Ah, sebuah silang sengkarut cerita sebuah bangsa yang tak pernah "besar". Kalau begitu kita musti bagaimana?

"Tanyakan saja pada teh botol!", jawab seorang pengamen jalanan dalam laju bus jurusan Wates - Jogja.

Selamat Membaca....


CERPEN
N A Z A R

Cerpen Nani Enha

Aku bermaksud melaksanakan nazarku. Jika mendapat beasiswa tahun ini, akan berziarah ke pegunungan kidul, tempat dimakamkannya Mas Na. Aku akan mengajak ibuku ke sana.
Dan Tuhan mengabulkan! Dengan mengumpulkan fotokopi nilai akademik dua semester dan persyaratan lain, alhamdulillah namaku tertera pada pengumuman penerima beasiswa di antara sekian nama yang ada. Aku bersyukur, ini anugerah. Selain meringankan beban orang tua, aku juga berharap semua ini bisa menutup rasa bersalahku pada Mas Na.

Pagi itu, berdua dengan ibuku---ibu termasuk orang yang punya ikatan emosional dengan Mas Na---kami naik bus antar kota antar propinsi, + 3 jam perjalanan. Semua lancar, hanya ketika memasuki wilayah desanya, aku agak lupa. Setelah bertanya kanan-kiri, akhirnya ada mobil yang bersedia mengantar kami---tentu saja dengan tawar-menawar ongkos bensin. Maklum, rumahnya agak masuk dari jalur angkutan umum.

Sampai di rumah mas Na, kami bertemu orang tua dan adiknya. Mereka menyambut kami dengan senang hati. Sekian lama tidak bertemu, sangat terasa, keberadaan hubungan persaudaraan kami ternyata masih kental.

Setahun lalu, ayah Mas Na terpuruk, sulit berkomunikasi dengan orang-orang: shock kehilangan anaknya, mas Na! Mas Na adalah anak yang diharapkan bisa mengangkat nama baik dan derajat orang tua dan keluarga, tetapi rupanya Tuhan belum mengijinkan. Saat itu mas Na pulang dengan tubuh sudah menjadi jenasah, berada di dalam peti tertutup. Mas Na benar-benar berpulang!

Kami tidak berlama-lama di rumah itu, karena kami ingin segera berkunjung ke makam mas Na dan kami diantar oleh adiknya.

Tidak jauh, kami bertiga dengan adik Mas Na, menyusuri jalan-jalan setapak hingga sampai di pemakaman. Dengan khusyuk, kami memanjatkan doa untuk arwah Mas Na. Orang yang membawa segudang kenangan hidup di masa lalu, yang nasihat-nasihatnya masih kuingat dan sesekali masih kubuka surat-suratnya.

Ketika itu aku tak menyadari. Teman sekolahku di SLTA memperkenalkanku pada kakaknya secara sepihak, dengan memberikan cerita-cerita dan foto-fotoku. Mas Na sendiri tengah menjadi guru di perantauan Ujung Kulon. Dia sudah cukup dewasa dan bermaksud mencari pasangan hidup. Ketika aku telah dijadikan pilihan, Mas Na yang lugu mengirim surat yang sangat polos dan sederhana bahasanya. Cerminan seorang lelaki yang betul-betul tulus, dan mungkin belum pernah 'mengenal' perempuan. To the point, aku diajak menikah.

Aku bimbang. Di usiaku yang masih belia, aku masih punya banyak obsesi; kuliah, mondok di pesantren dan sebagainya. Lagi pula, aku belum siap memikirkan pernikahan. Untuk mengobati kekecewaannya, aku berinisiatif mempertemukan Mas Na dengan kakak perempuanku yang sampai saat itu belum juga menikah. Kebetulan kakakku juga tengah bertugas mengajar di lokasi yang tidak jauh dari tempat Mas Na bekerja.

Untunglah, Mas Na dengan berbesar hati mau memahami keadaanku, dan siap menerima---kemungkinan menjadi kakakku---dengan senang hati. Apalagi setelah kuceritakan bahwa 'kualitas' saudara tuaku lebih baik dalam berbagai hal dibanding aku. Meski begitu, ia tetap tak bosan memberikan nasihat-nasihat padaku; tentang agama, pesan-pesan moral, motivasi untuk belajar dan peningkatan ibadah. Di antara pesan-pesannya; carilah ilmu, engkau akan diangkat derajatnya, diampuni dosa-dosanya. Ilmu tinggi tanpa iman akan sia-sia belaka, iman tanpa ilmu akan lumpuh (ditolak). Malaikat akan menghamparkan sayapnya karena keridloan terhadap pencari ilmu.

Pada kali lain ia menyarankan; hati-hatilah terhadap rayuan pria, buktikan imannya, cintanya, akhlaknya. Walau jutawan/rupawan/cendekiawan, kalau kurang taat kepada Allah, apa gunanya hidup? Kurang taat kepada Allah berarti kurang tanggung jawab terhadap diri, apalagi kepada istri! Dan masih banyak pernyataan-pernyataan lain yang agak ekstrim.

Tetapi, tidak semua niatan baik berjalan mulus. Suatu ketika, surat-surat yang dikirim dariku atau temanku---yang biasanya disatukan dalam amplop yang mau diposkan---tidak sampai ke tujuan. Beberapa saat, komunikasi terhenti. Usut punya usut, ternyata surat-surat yang kami kirim, disita oleh pimpinan sekolah, di mana Mas Na bekerja. Konon, Mas Na dimusuhi pimpinannya karena tidak bersedia dijadikan menantu.

Mas Na telah berteguh hati untuk bergabung dengan keluargaku. Ucapannya; "...tapi Dik, kalau aku gagal dengan kakakmu, aku tidak akan berkeluarga. Kecuali adiknya tetap bersedia menggantikan". Aku merasa aman ketika kakakku menyambut kehadirannya.

Bertepatan dengan liburan akhir tahun, Mas Na berencana mau pulang kampung. Agenda yang paling penting adalah Mas Na mau meminang seorang perempuan cantik, lembut dan saleha, atas saran dan pilihanku, kakakku---karena aku mendapat kepercayaan untuk itu. Demi kasih tulusnya, Mas Na melaksanakan setiap kata-kataku, tanpa syarat? Kami semua ikut berbahagia untuk mempersiapkan semuanya. Tetapi di tengah kebahagiaan itu, aku menyimpan sedikit rasa bersalah. Karena pada awalnya aku tidak berterus terang bahwa kak Juwita, sebetulnya bukan kakak kandungku. Meski bukan, tapi kami masih ada jalinan keluarga.

Hari Senin pagi yang ditunggu-tunggu dengan segala keceriaan, tiba-tiba berubah menjadi mendung, berkabut awan tebal. Seorang utusan dari jauh, membawa kabar duka. Sebelum keberangkatannya ke kampung, fajar menjelang subuh, Mas Na tiba-tiba muntah darah, dan dalam waktu singkat, jiwanya tak tertolong lagi. Innalillahi...tak ada orang yang tahu sebab-sebab kematian yang sesungguhnya.

Banyak yang berduka; aku dan keluargaku, keluarga Mas Na sendiri, dan teman-temannya, terlebih-lebih calon istrinya? Sang pangeran yang ditunggu-tunggu ternyata pergi lebih cepat. Berhari-hari aku menangis dan seperti lumpuh. Mas Na, orang yang selama hidupku, meski aku belum pernah bertatap muka langsung dengannya---dan tak akan pernah bertemu selama-lamanya---tetapi jalinan persahabatannya, kepercayaannya, kesetiaannya seperti saudara yang selalu bersanding. Aku tidak mungkin melupakannya dalam hidup ini. Apalagi jika mengingat pernyataan ekstrimnya yang membuat aku merinding; "Demi penghormatanku pada dirimu yang menghormati saudara tuamu, aku percaya dan menerima saranmu dengan ikhlas, karena kau perempuan satu-satunya yang kupilih. Tapi sekali lagi, kalau aku tidak menjadi saudaramu dan gagal dua-duanya, berarti adik telah rela dengan sadis membunuhku!". Duh, Gusti. Sejauh inikah?

Sekembali dari ziarah, aku dan ibuku langsung berpamitan pulang, tidak lagi mampir ke rumahnya. Beban di dadaku terasa lebih ringan dan lega. Kutinggalkan areal pemakaman dengan tembang jiwa sejuta kenangan. Selamat tinggal Mas Na, aku menjadi saksi atas kebaikan-kebaikanmu, maafkan segala kesalahan dan kekhilafanku. Kudoakan semoga engkau bahagia di sana, penuh kedamaian bersama Tuhan...amin. Air mataku mengalir deras dan deras sekali..., aku tak peduli sekeliling!
(Agustus 2007)



BYAR
Tergoda


Tak banyak orang seperti Joaquim Chissano. Setelah berkuasa selama 18 tahun (1986-2004) di Mozambik, ia memilih lengser. Padahal, Konstitusi negara itu masih memberinya hak untuk mencalonkan diri. Tapi, menurutnya, "demi perkembangan demokrasi saya tidak mencalonkan diri lagi….."

Tentu masa depan demokrasi tak hanya membutuhkan hadirnya "orang yang mau mengalah" an sich. Tapi sebuah sikap: mampu menjaga jarak dengan kekuasaan dan menjamin berlangsungnya regenerasi kepemimpinan secara fair. Dan Chissano telah memberi tauladan yang baik tentang dua hal itu. Ya, karena saat ia berkuasa, Mozambik tengah dilanda perang saudara. Dan ketika ia lengser, negeri itu dipandang telah makmur, demokratis dan damai. Ibarat orang mendorong mobil mogok, Chissano tak ikut naik apalagi sampai terlena menikmati laju mobil. Ia menyilahkan generasi berikutnya untuk mengemudikan mobil yang telah lempang berjalan. Menakjubkan dan mengharukan !

Chissano juga menggugurkan asumsi sementara teori, bahwa di negera berkembang sulit muncul "negarawan". Langkanya sikap kenegarawanan dari para politisi di negara berkembang inilah yang acapkali menyebabkan suksesi mesti disertai percik darah. Dan itu tak terjadi di Mozambik dibawah kepemimpinan Chissano. Padahal dibanding Indonesia, Mozambik ibarat "anak kemarin sore". Negeri hitam itu baru merdeka pada 25 Juni 1975.

Alhasil, sikap kenegarawanan tak mesti berbanding lurus dengan usia dan kultur negara. Amerika, bangsa modern yang mengaku pelopor demokrasi, sejatinya telah berulangkali (bahkan secara telanjang) mencederai demokrasi di bawah kepemimpinan seorang presiden yang tidak saja gagal sebagai negarawan, tapi juga bodoh. Sementara di "negeri katrok", muncul seorang Chissano: lelaki kelahiran Desa Malehice (Provinsi Gaza), 22 Oktober 1939 itu adalah pribadi yang unik (bisa berbicara, menghargai dan duduk bersama oposisi di meja perundingan ) dan amsal seorang "negarawan yang khusnul khatimah": mengakhiri kekuasaan dengan elegan.
Siapapun tentu ingin mengakhiri kekuasaan dengan elegan. Persoalannya, seperti juga harta dan wanita, tahta memang selalu menggoda. Dan umumnya kita lebih memilih untuk tergoda.***
M A R W A N T O (http://www.markbyar.blogspot.com/)



ADA APA DENGAN LA
Bantuan untuk TBM LA Terus Mengalir
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) "Lumbung Aksara" yang dirintis sejak Juli lalu terus mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Bantuan berupa buku, majalah, dan buletin tersebut datang dari: Sdr. Witarman (pengusaha Loundry di Sagan Yogya), Sdr. Nur Hidayat (PNS di Pemda Temanggung), Sdr. Didik Komaidi (penerbit Sabda Media), Sdr. Arif Fauzi Marzuki (Logung Pustaka), Sdr. Wantoro (Tabib di Lendah), Mr. Daud (pengajar sebuah gereja di Solo) dan komunitas sastra PAWON Solo. Di akhir tahun ini, bantuan buku senilai 6,5 juta dari Badan Perpustakaan Propinsi DIY rencananya akan cair. Diucapkan terima kasih untuk semuanya. Partisipasi aktif dari masyarakat luas selalu ditunggu. Bagi yang tertarik mengunjungi TBM "LA" dipersilahkan datang ke Jl. Makam Kiai Bathok Bolu Wahyuharjo Lendah. ( Samsul )

Syawalan Sastrawan Kulonprogo
Kamis siang, tanggal 18 Oktober 2007, Papi Sadewa (Drs. Pribadi) mengundang sejumlah penulis Kulonprogo untuk acara syawalan (halal bi halal) di kediamannya, nJurangkah (Temon). Hadir dalam acara tersebut sastrawan dari Sangsisaku (Ki Soegiyono MS, Papi Sadewa, Danu Priyo Prabowo, Nur Wododo, dan Legiyo) maupun beberapa kawan dari Lumbung Aksara. Selain diisi ngaji budaya oleh Ki Soegiyono MS, pada acara tersebut juga digagas "Temu Sastrawan Tiga Kota" (Kulonprogo, Purworejo, Yogyakarta) yang rencananya akan digelar 13 Januari 2008. ( Itul )

Media Indonesia dan Kawula Muda
Jum'at, 2 November 2007, bertempat di Ruang Sidang Utama kampus UNY Karang Malang, Surat Kabar Harian Nasional Media Indonesia mengadakan roadshow "Sosialisasi Rubrik Tent@ng". Sebuah rubrik yang terbit setiap hari Rabu ini merupakan wadah yang dikhususkan bagi mereka-mereka yang muda dan kritis yang tergabung dalam sebuah komunitas. Pada umumnya rubrik ini berisi seputar siapa dan bagaimana sosok sebuah komunitas itu dibentuk. Lumbung Aksara---yang merupakan komunitas yang concern di bidang sastra non-profit---adalah salah satu komunitas terpilih untuk menghadiri undangan tersebut. Rencananya, dari 10 komunitas yang hadir saat itu akan mendapat kesempatan bergantian untuk mengisi rubrik ini. (AriZur)

Setahun Tadarus Puisi
Tak terasa, Tadarus Puisi sudah genap berusia setahun. Tepatnya, Selasa 30 Oktober 2007 lalu. Sebagaimana kali pertama diselenggarakan, pada ultahnya yang pertama ini TP juga mengambil tempat di kediaman lurah Lumbung Aksara. Hujan deras yang sejak siang hari mengguyur bumi Kulonprogo menyebabkan hanya sebagian anggota LA yang bisa mengikuti ritual bulanan ini. Acaranya pun lebih banyak diisi dengan rapat LA dengan Sangsisaku, salah satu komunitas sastra di Kulonprogo. Ada hubungan apa di antara keduanya? "Tunggu saja tanggal mainnya!", kata salah satu anggota LA. (Hening)


SMS (Seputar Menulis Sastra)
Memfungsikan Karya Sastra

Karya sastra dapat dianggap sebagai proses komunikasi. Karenanya, pesan dalam suatu karya sastra dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya antara pengirim dan penerima pesan. Meskipun ada kecenderungan bahwa karya sastra semata-mata dibuat untuk memenuhi kepuasan pribadi, dalam hal ini pengarang itu sendiri. Akan tetapi, karya sastra hanya akan tetap hidup dalam masyarakat manakala ia juga dimanfaatkan oleh orang lain. Karena bagaimanapun, keseluruhan karya sastra mengacu pada struktur sosial di luarnya. Sehingga untuk dapat hidup dalam masyarakat, karya sastra harus berfungsi. Salah satu cara memfungsikannya adalah dengan menggali makna yang terkandung dalam teks/bahasanya.
Bahasa dalam karya sastra, bukanlah bahasa yang dianggap biasa-biasa saja, melainkan suatu sistem komunikasi yang sarat dengan pesan kebudayaan atau keseluruhan aktivitas manusia. Tanda-tanda dalam bahasa sastra bukanlah milik karya itu sendiri, tetapi berasal dari konteks di mana ia diciptakan, atau di mana ia lahir dan tertanam. Tanda menunjukkan sesuatu dibalik sesuatu dari sesuatu yang dikatakannya itu sendiri. Dengan kata lain, tanda mewakili sesuatu yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh pengarangnya.

Di satu sisi, seorang seniman yang telah terlanjur ’melepaskan’ karyanya untuk dinikmati orang lain, ia harus siap manakala karya-karya tersebut dimaknai dan ditafsiri dengan sesuatu yang ’berbeda’ dengan maksud sang penyair sendiri. Semata-mata, pembaca adalah seseorang yang mencoba memahami dan memfungsikan karya sastra tersebut, seseorang yang mencoba ’mengintip’ sesuatu tersembunyi di sebalik karya sastra.

Di sisi lain, pembaca menginginkan penafsiran yang lebih ’mendekati kebenaran’ suatu karya, mestinya tidak hanya terpaku pada teks/bahasa semata, tetapi jauh lebih ke dalam yang berkaitan dengan hubungan antara makna dalam sebuah teks serta realitas. Meskipun penafsiran sendiri selalu bersifat menyejarah, tidak berhenti pada satu masa saja, dan selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sehingga, sastra yang sesungguhnya selalu mempunyai fungsi dan makna dalam konteks ruang dan waktu di mana manusia mengalami atau menghayati. (Chyto, Pemimpin Umum LONTAR)

SMS Pembaca
"Hi...LONTAR. Klo kirim puisi lwt sms olh ga? Ad honornya ga?"
(08174115xxx)

"Selamt pgi. Maaf. Sy bukn ingin pasang iklan tpi, Cuma ingn tany. Buletn sastra "LONTAR" sdh terbit d agen2 blm ya? Sebab, sya suka sekali bc buletin ini. Trm Ksih"
(08564395xxx)

BIODATA PENULIS
LONTAR Edisi 12/Th. I/November/2007
Nani Enha, alumni Akidah Filsafat UIN Suka. Pernah bergabung di anggota Dewan Redaksi majalah pesantren Tilawah Ponpes Nurul Ummah Kotagede. Meski begitu ia mengaku tulisan-tulisannya belum banyak terlahir. Tinggal di Plumbon.

Anib Nuham, alias Anwar Ibnu Hamid lahir di Bantul tahun 1960. Alumni Fakultas Adab UIN Suka dan Sosiologi Stisipol Kartika Bangsa Yogyakarta. Mantan Wakil Bupati Kulonprogo (2001 - 2006). Tinggal di Kauman Bendungan.

A. Samsul Ma'arif, pekerja kebudayaan yang juga seorang pendidik. Aktif pula di pendampingan kaum difabel. Di sela-sela kesibukannya 'masuk kampus' lagi, ia kini menjadi penjaja buku-buku "Islam kritis" di Bantul.

Zukhruf Lathif, penyair produktif yang memiliki antusiasme tinggi pada kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Lumbung Aksara. Sebagai orang yang militan terhadap kegiatan bersastra di KP, ia terkenal kocak dan rendah hati. Tinggal di Kauman Bendungan.

Imam Pamungkazz, lelaki kelahiran 21 tahun silam. Aktif di komunitas seni Padhang mBulan. Mengaku sebagai "sang pembelah malam", entah apa maksudnya. Yang jelas ia tinggal di Kedunggong Wates.

Fajar R. Ayuningtyas, gadis yang menyukai kesendirian. Masih aktif menulis puisi dan mengikuti kegiatan sastra. Kini dipercaya kawan-kawannya untuk mengelola buletin Prasasti. Tentangnya ada di www.selepaslautan.blogspot.com. Tinggal di Kokap.

Muryani, pelajar SMA N 1 Lendah. Tinggal di Nepi Brosot Galur. Gadis ini hanya menuliskan biodatanya begitu.

Wiwin PB, perempuan asli Jakarta. Simak biodata yang ditulisnya; "Sebut saja aku Win. Aku berdiam di kerinduan akan kancah masa lalu, bahwa sesungguhnya ini wadag, dan sukmaku kemrayat di rengat-rengat kampung halaman".



GEGURITAN
Bar Jamu

Dening : Anib Nuham

Raga ngambruk jrebabah,
Rikmo modal madil tan tinoto,
Bebayu hamung sansoyo kolat-kolet,
Ngosak-asik ngosek-osek ing paturon,
Kawisotro punthukan onggok kentul-kentul,
Diwutwut katon mlengeh sajak ngawe alu goro,
Tumuli soyo nyaket,
Tangan grayah-grayah goleki barang mengo lan barang obah,
Tan ningali wayah, dasar bar jamu, ora wegah
Banjur ngruket lir kadyo komodo ngamuk,
Ngayang-ngayang diyo dinoyo,
Kang mlengeh nduwur kalumat lathi rawis,
Kang mlengeh ngisor kalumat alu rawis,
Napas menggeh-menggeh kasaru jerit-jerit,
Datan ora kendel-kendel kongsi kemringet,
Paribasan gemak loreng-loreng,
Wusanane tirtonirmolo muncrat sakjerone guwo,
Menggeh-menggeh kang pungkasan,
Kari-kari nendro saksomo ngleter.
Bendungan, 29 Maret 2007



PUISI

BELUM ADA
Oleh : Zukhruf Lathif

belum ada orang lain yang memenuhi hari-hariku seperti kamu
belum ada sesuatu yang memehuhi buku harianku melebihi perasaanku padamu
belum ada karakter indah selain karaktermu
belum ada bayangan yang mengikutiku sedekat bayanganmu
belum ada hal yang menyita perhatianku sekuat apa yang ada pada dirimu
belum ada suara manusia yang membuatku menoleh dalam pencarian semenarik suaramu
belum ada mimpi yang mengisi hayalanku sepenuh mimpikan dirimu
belum ada nama orang yang berpengaruh dalam batinku sehebat namamu
tapi . . .
akankah semua ini berlalu begitu saja
akankah semua ini hilang dimakan waktu
akankah semua ini mengendap dalam hatiku dan tak pernah lagi cair
21 April 2004, tengah hari



LADANG RINDU
Oleh : Muryani

entah mengapa?
ada mendung di wajahmu
saat kita beradu mata
padahal dengan jelas aku
mendengar gemercik rindu
mengalir di matamu
kalau kau mau
inilah pertemuan
yang mampu membendung rindu
di ladang jiwamu
begitu pula jiwaku


Pergi..??
Oleh : Wiwin

Cepat sekali !
punggungmu lenyap
di tikung jalan. padahal..
semalam baru saja
kuBoreh lukisan memerah
Horizontal
aku tergugu merebahi
dipan.
meremas Rasa kehilangan.
meriuh Kesendirian.
(Agustus ' 05, pergi saja mbaaah..)


Jangan Hujankan Terus Jantungku
Oleh : Fajar R. Ayuningtyas

Sejak hari engkau menangkap cuaca
Aku berteman dengan hujan. Tetestetes di teras
Bercakap tentang senja yang terlewat
Meneropong waktu bayangkan lorong matamu
Dalam rumah ini. Bukubuku berserak
Puisipuisi tercecer di kolong
Teleponteleponmu tengah malam hingga subuh
Menumpuk di sudut. Menunggu kemarau
"Jangan hujankan terus jantungku" Hingga urung
aku genggam matahari. Hilang rasa atas pijar pagi
Mengapa hanya sisakan hujan,
sejak hari engkau menangkap cuaca?


Cinta II
Oleh : A. Samsul Ma'arif

Masihkah murni kasihmu
Seperti yang diagung-agungkan di puisipuisi
Tidakkah terseret banjir,terkubur gempa
Atau berkeping-keping bersama adam air
Seperti Yusuf dan Zulaikha
Di kitab-kitab agama
Ande-ande lumut dan kleting kuning
Di Jawa dwipa
Progresif melampaui zamannya
Bahkan di zaman SBY ini
Namun sungguh aku tak mencintaimu
Bukan karena apa dan kenapa
Maaf , cintaku hanya tuk dia.
Trayu , 20 Februari 2007


Malam Tanpamu
Oleh : Imam Pamungkazz

Tanpamu...
Malam ini terasa sepi sekali.
Hanya sesekali suara jangkrik memecah kebisuan.
Kadang nyaring. Menyentak lamunanku.
Kadang ngilu. Menggugah sudut hatiku.
Mengusik segala diamku. Kembalikan kenangan waktu.
Saat-saat kau ada bersamaku.



KATA-KATA MUTIARA
"Jika Kau Tak Tahu Bagaimana Mencintai,
Apa Gunanya Matahari Terbit dan Terbenam?"
(Amin Maalouf)
Presented By
KOMUNITAS LUMBUNG AKSARA
Membaca - Menulis ; Menjaga Hidup

Thursday, November 8, 2007

LONTAR 11

ADA APA DENGAN LA


Silaturahmi Komunitas LA

Awal bulan Ramadhan kemarin, LA punya program silaturahmi ke beberapa komunitas dan sastrawan di Yogya. Namun karena minimnya persiapan dan koordinasi, hanya menjangkau dua tempat: LKiS dan Logung Pustaka. Di LKiS (tanggal 14/9), rombongan LA diterima Hairus Salim (Direktur) yang berpesan agar para sastrawan di LA tak hanya membatasi pergaulannya pada sesama sastrawan. "Sastrawan menjadi pintar karena bergaul dengan mereka yang punya profesi lain", kata Salim. Sementara di Logung, LA dijamu Arif Fauzi Marzuki. Penulis yang lumayan produktif ini menyatakan apresiasinya pada LA yang tak kunjung bosan menggelorakan kegiatan sastra di daerah. Semoga di bulan-bulan mendatang, silaturahmi komunitas LA akan menjangkau komunitas dan sastrawan lain di Yogya.

(Asti Widakdo)


LA Buka Puasa Bersama dengan Menu "Diskusi Sastra" di TP ke-12

Minggu Sore, 23 September 2007, Komunitas Lumbung Aksara kembali menggelar ritual Tadarus Puisi, memasuki edisi ke-12. Selalu beda dari TP sebelumnya, acara yang digelar di Gedung PC NU Kulon Progo kali ini selain diisi pembacaan puisi, juga dirangkaikan dengan Diskusi Sastra "Membaca Polemik Sastra Syahwat". Hadir sebagai pembicara; Hairus Salim HS (Redaksi Majalah seni "GONG" - Tim LKiS Yogyakarta) dan Joko Mursito, S.Sn. (Dewan Kebudayaan Kulon Progo). Dengan dimoderatori A. Syamsul Ma'arif (LA), acara ini berlangsung meriah. Tak luput acara ini diliput dan disiarkan dalam berita "Yogyakarta Hari Ini"-nya TA TV, Solo. Nampak hadir begawan sastra Kulon Progo; Ki Soegiyono MS, Enes Pribadi, dan Nur Widodo. Turut hadir pula, berbagai Komunitas Seni yang ada di KP; Komunitas Padhang mBulan, KERN2S dan Forum Téh Toebroek Wates serta penikmat sastra lain yang selama ini apresiatif terhadap buletin sastra LONTAR.

"Kita harus tetap terus berkarya meski mungkin minim 'media'. Persoalan polemik sastra syahwat tak perlu kita ikut larut di dalamnya," ungkap Hairus Salim HS sembari berpesan agar LA-sebagai Komunitas Sastra paling aktif di Kulon Progo saat ini-untuk tetap konsisten dalam menggerakkan sastra di Kulon Progo. Senada dengan apa yang diungkap Hairus Salim HS, Joko Mursito menambahkan, "Dewan Kebudayaan Kulon Progo siap mendukung kegiatan sastra yang dilakukan oleh Lumbung Aksara, baik secara moril maupun materiil." Acara ini ditutup dengan buka puasa bersama. (Deffin)


BACA BUKU

Kecantikan dan Kesedihan


Penulis : Kawabata

Penerjemah : Max Arifin

Penerbit : MAHATARI, Yogyakarta

Cetakan : I, Januari 2005

Tebal : 311 halaman


Novel ini mengisahkan percintaan antara Oki Toshio, novelis terkenal yang tinggal di kota Tokyo, dengan Ueno Otoko, seorang perempuan muda yang kesohor sebagai pelukis kawakan yang tinggal di kota Kyoto. Jarak usia keduanya terpaut 24 tahun dan Ueno Otoko berumur 16 tahun ketika mereka bercinta untuk pertama kali hingga Otoko hamil, malangnya, bayinya mati. Kisah-kasih mereka terputus karena terhalang dan terlarang-Oki Toshio telah berkeluarga dan memiliki anak.

Akan tetapi, usia cinta rupanya lebih panjang dari usia percintaan, kata W.S. Rendra. Hal itulah yang terekam dalam novel ini, seperti terbaca dari sikap Oki Toshio yang menulis novel dengan tema "keseluruhan percintaan dirinya dengan Otoko". Juga terbaca dari sikap melajangnya Otoko hingga di usia hampir 40 tahun (meski unsur traumatis karena kehilangan bayi-di sisi lain-tak bisa dielakkan). Kendati demikian, bukan berarti hawa tenang berhembus begitu saja di rumah tangga sang novelis. Fumiko-istri Oki yang berprofesi sebagai juru ketik dan (ironisnya) mengetikkan novel itu-tak pelak dibakar cemburu jua, meski suaminya bersumpah masa lalunya dengan Otoko benar-benar telah selesai.

Konflik berawal dari kunjungan Oki sendirian ke Kyoto untuk mendengarkan lonceng Tahun Baru dari kuil Chionin. Tentu saja itu hanya akal-akalan, karena sejatinya Oki ingin bertemu Otoko setelah 20-an tahun berpisah, syukur-syukur bisa merengkuh kembali romantika masa silam mereka. Cerita ini berakhir tragis dengan melibatkan generasi kedua dari Oki yang 'merampungkan' cerita melalui peristiwa kematian dirinya "di tangan" seorang murid kesayangan Otoko.

Membaca Kawabata dalam novel ini, sarat dengan pengemasan konflik tajam yang "tidak frontal". Seiring dengan kelembutan alam yang mengitarinya. Jamak dikenal bahwa Kawabata memang acap mengeksplorasi eksotisme alam dengan pekatnya. Negeri Jepang yang menjadi setting cerita ini adalah negeri yang terkenal dengan panorama alam serta tradisi lokal yang kental. Kawabata pandai mengemasnya hingga tingkat kedetilan yang luar biasa. Mengingatkan saya pada Ahmad Tohari, novelis negeri ini yang juga mahir dalam mengeksplorasi detil keindahan alam pedesaan sebagai latar karya-karyanya.

(Akhiriyati Sundari, Redaksi LONTAR)



BILIK REDAKSI

Salam Sastra !

Selamat Idul Fitri, Bumi; maafkanlah kami selama ini tindak semena-mena kami memerkosamu. Langit; maafkanlah kami selama ini tidak henti-hentinya kami mengelabukanmu. Mentari; maafkanlah kami tidak bosan-bosan kami mengaburkanmu. Laut; maafkanlah kami selama ini tidak segan-segan kami mengeruhkanmu. Burung-burung; maafkanlah kami selama ini tidak putus-putus memberangusmu. Tetumbuhan; maafkanlah kami selama ini tidak puas-puas kami menebasmu. Para pemimpin; maafkanlah kami selama ini tidak habis-habis kami membiarkanmu. Rakyat; maafkanlah kami selama ini tidak sudah-sudah kami mempergunakanmu.

Pembaca LONTAR yang budiman, sengaja kami tuliskan puisi Gus Mus di atas sebagai pengantar, dengan harapan semoga kami tidak "latah sosial" apalagi "latah ritual", ketika kami tak ketinggalan berucap Selamat Beridul Fitri 1428 H. Untuk semuanya. Untuk seluruhnya. Tak ada lain selain kami turut bersuka cita merayakan kemenangan menjadi "bayi" kembali. Idul Fitri atau lebaran, sejatinya merupakan rahmatan lil 'alamin; rahmat bagi seluruh alam. Seluruh semesta. Salam Semesta!

Selamat Membaca...



BIODATA PENULIS

LONTAR Edisi 11/Th. I/Oktober/2007


Alfanuha Yushida, lahir di Kulonprogo, 24 Januari 1977. Ayah satu anak asal Bendungan Wates ini alumni Komunikasi UGM dan Tadris MIPA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tulisannya terkumpul di antologi catatan harian Aku Cinta Kau (2002) dan SGSI (2006). Berkat beasiswa DEPAG, ia kini melanjutkan studi Pascasarjana (S2) di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung. Andarisa, nama pena dari Retno Prihandaru. Saat ini berstatus alumni SMA N 2 Wates. Perempuan misterius ini rupanya pemalu. Terbukti dari tak pernah hadirnya ia di acara TP yang diadakan LA meski kerap diundang (hehe).Tinggal di Panjatan.

AriZur, mengaku hanyalah seorang perempuan yang selalu cemas dengan purnama dan hujan. Selebihnya, ia mengatakan "aku tak ingin kau tau apa-apa mengenai diriku". Tetapi puisi "misuh"-nya bisa disimak di SGSI.

Dhimas Putri H. Perempuan ini mengaku lahir di ujung barat Kulonprogo, 17 Mei 1982. Mencoba mencari sastra di Fak. Ty UIN Sunan Kalijaga. Kini lebih sering mengendapkan hati di sebuah desa di Jawa Timur. Sayangnya, cerpenis satu ini misterius. Buktinya, ia tak menyertakan alamat dan kontak pribadinya ke meja redaksi.

Muh. Rio Nisafa, lelaki berkaca mata minus dan mengaku masih bujangan. PNS di BKD Kulonprogo. Penyanyi Rock yang suka menulis kata "Rock d World" ini, mengaku lebih suka memainkan pulpen daripada memainkan hati perempuan. Profil lebih jauh klik saja di www.friendster.com/rionisafa.

Nur Islamiyatun, alumni MAN Wonokromo Pleret Bantul. Beberapa tulisannya kerap menghiasi majalah BAKTI DEPAG DIY. Tinggal di Galur.

Nur Widodo, LL, Sp, adalah penyair 'kawakan' Kulonprogo. Bersama para sastrawan 'kawakan' Kulonprogo lainnya bergabung membentuk komunitas sastra Sangsisaku. Lelaki yang pernah tinggal di Ambon ini adalah warga Temon Kulon - Temon.

Nurul Lathiffah, lahir di Kulonprogo, 21 September 1989. Hobi membaca dan menulis, terutama esai dan artikel remaja. Karyanya pernah dipublikasikan di Kedaulatan Rakyat, BIAS, dan buletin Coret. Saat ini masih belajar di kelas XII IA 2 SMA N 1 Lendah.

Sri Hardhian, dalam acara "TP & Buka Puasa Bareng LA" September lalu, ia tampil memukau dengan pembacaan puisinya di hadapan khalayak pecinta sastra Kulonprogo. Lelaki yang tengah belajar di SMA N 1 Pengasih (SMAPTA) dan hobi nge-net plus baca buku ini, tinggal di Rt.116/ 35 Hargorejo Kokap.

Wahid Agus Supriyanto, lahir 11 Maret 1978. Memiliki nama panggilan "Redjo". Alumni MAN Wates 2 (1997). Pegiat sekaligus ketua komunitas seni Padhang mBulan Kulonprogo ini, suka menulis geguritan. Tinggal di Panjatan dan Wates.



BYAR

Orang Suci


Pasca bulan Ramadhan, diam-diam, banyak orang mengaku sebagai "orang suci". Kembali ke fitrah atau fitri. Bagai bayi merah yang baru lahir. Tak punya dosa, tak ada noda. Dari pengakuan inilah, orang lalu sering berperilaku ekstra hati-hati tatkala menjalin relasi sosial: aja cerak-cerak kebo gupak ! Memang demikian juga anjuran agama. Seperti tersurat dalam salah satu bait tembang yang diadaptasi Kiai Bisri Musthofa dari Sayidina Ali bin Abi Thalib yang kemudian dipopulerkan Emha Ainun Nadjib: wong kang shaleh kumpulana.

Barangkali ada yang alpa kita telisik: bahwa demarkasi antara mereka yang mendeklarasikan diri sebagai "orang suci" dan yang terlanjur dicap sebagai kebo gupak tadi telah sedemikian kokoh sehingga memisahkan mereka seolah-olah tak lagi sebagai hamba yang kedudukannya sekedar debu di sisi-Nya. Ada semacam kasta, yang kontra produktif bagi jalinan kemanusiaan, mulai ditegakkan di sini: kami orang suci dan alim, mereka berlumur dosa dan najis --mereka "harus" terpisah atau satu pihak mesti memisahkan diri.

Menurut Daniel H. Ludlow, dalam Encyclopedia of Mormonism, dalam bahasa Yunani kata suci berarti: "menetapkan, memisahkan, dan kudus". Apakah maksud "memisahkan" di sini sebanding dengan demarkasi yang kokoh dan kontraproduktif terhadap jalinan kemanusiaan tadi? Hemat saya tidak. Namun lebih ke makna memisahkan dari perbuatan tercela. Dus bukan memisahkan dari orangnya. Tapi bahwa kenyataan yang terjadi masih pada memisahkan dari orangnya, adalah sesuatu yang sulit kita tampik. Minimal hati kita acapkali masih berdendang: aku suci dan alim, kamu berlumur dosa dan najis. Lalu yang terjadi mudah ditebak: jarang ada orang yang mau ngedusi kebo gupak.

Tentu masih banyak "orang suci" yang, dalam arti luas, mau nyerak kebo gupak. Ketika terjadi Reformasi di negeri ini pada tahun 1998, "orang suci" itu diantaranya intelektual kampus yang bahu-mambahu bersama rakyat ngedusi kebo gupak (melengserkan penguasa korup). Di Myanmar, sejak 19 September lalu, orang suci (baca: biksu) menggugat kebo gupak berlabel junta militer: sebuah rejim yang konon mengalokasikan uangnya 120 kyat ke tentara, dan hanya 1 kyat ke rakyat.

Memang bukan perkara mudah, bagi orang yang sudah terbiasa memisahkan dari perbuatan tercela kemudian disuruh dekat-dekat dan membersihkan kebo gupak. Mungkin ada bimbang, dan bahkan takut, yang selalu mengintai dan menyerang. Tapi tidakkah kita ingat, bahwa takut dan bimbang adalah musuh pertama dan terbesar bagi manusia ?***

M A R W A N T O (www.markbyar.blogspot.com)



CERPEN

PEREMPUAN PENGUNJUNG MAKAM

Cerpen Dhimas Putri H.


Dia mendekatiku. Seorang laki-laki penjaga makam. Wajahnya yang ramah membuatku jantungku terluka.

"Kuburan siapa?", tanyanya. Aku menatapnya sekilas. Buru-buru memalingkan wajah yang tiba-tiba memaksa berubah menjadi merah. Dia tahu, atau pura-pura tidak tahu, sebenarnya aku sangat tidak peduli pada pertanyaannya. Dia penjaga makam ini. Bertahun-tahun, bahkan mungkin sejak dia dilahirkan. Kuangkat bahu dan mendesah acuh. Berharap dia mengerti bahwa hanya itu yang mewakili jawaban atas pertanyaannya.

Laki-laki itu tersenyum, mengedipkan mata lalu memalingkan pandangan pada hamparan tanah di depannya. Beberapa meter yang menampung kuburan di depanku. Dan aku. Senyumnya seperti mengejek.

"Barangkali seorang kekasih yang terlelap selalu begitu damai di samping gadis yang selalu setia memangkunya. Aku seperti melihat mimpi." Kata-kata yang kupikir tidak membutuhkan jawaban. Dan memang tidak seperti sebuah pertanyaan. Diam-diam aku mengutuknya. Mengutuk kehadirannya. Mengutuk keindahannya, dan mengutuk kelancangannya membacaku, membaca makam yang terbujur di depanku. Bahkan mungkin mencoba mengurai maknanya seperti seorang detektif yang teliti membaca tanda.

"Sok tahu!", teriakku yang hanya dipantulkan dinding bisu. Masih enggan bersapa dengannya. Jika dia pergi karena diamku, kurasa aku tidak sedang menumpuk-numpuk dosa. Semata-mata bahwa itu lebih baik bagi malam yang terasa menjadi membosankan.

* * *

Selepas istirah, kukunjungi makam pada malam berikutnya. Entah untuk apa. Seolah gairah hanya tumbuh dalam satu ruang. Makam dan nisan. Seperti prasasti yang mencatatkan sejarahku.

"Salamullah 'alaik", ucapan pembuka (seperti biasanya) yang mengisyaratkan kedatanganku di dinding rumahnya. Sebentuk gundukan tanah yang terbujur. Basah. Mawar menelusupkan aromanya yang layu. Nisan kayu menancap di kedua ujungnya seperti tugu. Tanpa nama. Kecuali angka-angka yang menunjukkan tanggal, bulan, dan tahun. Enam September dua ribu lima.

"Wa'alaika salam". Kupastikan hatiku mendengar jawabnya. Meski sesungguhnya aku tak yakin. Dan hanya percaya jika adanya menjadi nyata.

"Mengapa masih membelenggu diri dengan mimpi tak pasti?" Pendengaranku menajam. Sebentuk suara terdengar seperti tangan musuh memenjara doa-doa. Ketika kubuka mata, kusadari diriku masih berpijak di dunia. Laki-laki penjaga makam yang menurutku terlalu lancang telah berdiri di sisi belakangku. Berkata seolah mewakili suara kubur paling dalam.

"Kesetiaan selalu memberi waktu untuk menentukan arah", sahutku cepat. Sedetik kemudian sudah terlambat untuk menarik kata-kata. Menyesal memberinya peluang untuk bercakap. Dia tertawa. Masih seperti mengejek yang mempesona.

"Memang. Waktu bisa memberi harapan. Tapi manusia tidak selalu berdiri di persimpangan. Arah hanya memberi tiga pilihan: maju, mundur, atau diam di tempat. Sejarah tak pernah bisa diulang. Kurasa kau paham di mana kau berdiri"

"Aku sedang memilih hatiku. Dan bukan kamu yang sengaja mencatatkan nama di dalamnya. Jika kau pikir bisa menyirami benih yang tumbuh, tidak sedikitpun hakmu mencabut sesuatu darinya." Aku tersinggung. Laki-laki ini seperti ingin menguji kesabaranku. Menggelitik jinakku. Usik ekstaseku. Seperti mencoba membangunkan tidur dan merampas mimpi-mimpiku.

Aku menatapnya. Menantang kedua matanya yang tak berkedip (kurasakan mataku mulai menggenang). Buru-buru kualihkan pandangan sebelum tenggelam di wajahnya yang tiba-tiba meneduh. Aku tak ingin terlihat lemah. Meski aku tak lebih dari si penakut yang terperangkap bayang-bayangnya. Hening. Entah apa yang dipikirkannya. Aku tak berminat menarik garis batas pemaknaannya terhadap diriku. Aku tak peduli. Kulihat risau menandai di sepanjang peta perjalanan yang kugenggam.

* * *

Makam yang kukunjungi semakin hari semakin sepi. Barangkali manusia semakin enggan untuk mati. Ahli waris pun tak peduli pada bangkai-bangkai yang tak berguna untuk digali. Mungkin tak ada pahalanya pula membangunkan nisan yang bergelimpangan. Maka biarkan. Daun dan ranting kering seperti tikar yang dihamparkan. Gundukan kubur mengabur. Datar. Sedatar angin yang setiap saat menampar dan mengiris gumpalan tanah.

Seperti bisu pusara di depanku. Sekelopak mawar kering sendirian tersisa. Coklat masau. Lalu bergulingan digiring angin. Menyelinap di antara rerimbunan rumput teki. Sepojok kertas usang di atas pusara terlihat menyembul. Embun telah mengubahnya sewarna dengan tanah.

Tak pernah kulihat juga laki-laki penjaga makam. Setelah waktu itu dia berlalu seperti menanggung beban. Mungkin sekarang dia sibuk mengunjungi makam lain yang ditunggui perempuan sepertiku. Atau barangkali perempuan itu yang mengundangnya. Bau tanah mengabarkan cemburu. Hinggap di jantung dan perasaan yang tiba-tiba digentarkan oleh kemeranaan tentang cinta. Dan laki-laki penjaga makam itu kini menjelma menjadi kuburan di depanku. Pilu menyulap kemarau begini luka. Seperti nisanmu yang hampir luruh dan berdebu. Kulihat ia seperti belati yang menancap di ubun-ubun.

Tanpa sadar kusapu debu-debu yang menutupi angka. Seperti menyingkapkan jidatmu dari rambut saat kau terlelap di pangkuanku. Ingatanku berputar-putar pada lima lembar risalahmu. Dua tahun lalu.

"...I can see the paint living in your eyes. I know your heartbreak. But, kuminta padamu, luaskan hatimu untuk menerima ini. Aku tak ingin kita terpisahkan oleh takdir yang menyisakan segores luka. Meski tinggal di ruang yang berbeda, kalian berdua tetap ada dalam diriku. Menjadi bagian dari duniaku. Dunia yang tak akan pernah ada tanpa kehadiranmu. Seseorang yang pernah memberi lentera dalam jalan gelapku. Aku yakin kau lebih tangguh dari semua lukisan orang tentang dirimu. All I want from you is forgive me. I gotta go, my friend. Dia menungguku…"

(masih dengan rapuhmu yang angkuh)

Debu yang menempeli jari-jari perlahan menterorku. Mengiris seluruh peredaran darahku dan mengalirkannya demi kedewasaan nurani. Aku menjerit! Hingga nafasku hampir habis. Dan segalanya tetap tak berubah. Pada nisan tertera tulisan di atas angka-angka: "Makam Kenanganku.."



KATA MUTIARA

Melakukan Kesalahan adalah Hak

Sebagaimana Hak untuk Memperbaikinya

(JJ Kusni)

Presented By

Komunitas Lumbung Aksara

Membaca – Menulis ; Menjaga Hidup


GEGURITAN

Wanci Sore ing Pesisir Kidul

Dening : Nur Widodo, LL, Sp


Ing antarane sepi segara Kidul

Lan getering alun

Nyempyok wangine kembang-kembang Pandan


Lakuku kesandung wedi-wedi malela

Ana manuk prenjak ngoceh nggantor sak jodo

Gegojegan ing pange wit Trembesi


Apa iku sejatining janji-janji suci

Dudu reroncen tembung-tembung manis, lelamisan


Antarane tresna lan setya

Kadangkala tan praseda

Ndeder wisa lan sesuker

Sak wise nyecep sarine kembang krandan


Matkala srengenge wis gumlewang

Angslup gunung lanang


Lan rembulan wis telat ndadari

Padudon rebut bener

Sapa sing rila lan sapa sing meksa


Banjur iki salahe sapa?

Glagah, 22 September 2007


PUISI

Badut-Badut Jalang

Oleh : Wahid Agus Supriyanto


Dari tempat ke tempat kau berlalu

Dan waktu ke waktu pun iringi lentik tanganmu

Senada irama indah kuras peluhmu

Sepenggal kisah kau lakonkan selalu


Deru canda tangis kadang menerkam

Menghias mereka dalam terbungkam

Tiada tahu lakonmu itu

Penuh misteri gurat garis-garis wajahmu


Namun laksana berselimut sembilu luka

Bongkah kebimbangan asa kian menyeringai

Terhenti, dan berlari mengejar topengnya terjatuh

Lalu diam... di depan topeng monyet nan gemulai


Kini lakonmu terhenti berserakan

Mereka pun kembali pulang ke rumahnya

Tiada kepuasan berada dan dirasakan

Cercaan, kecewa dobrak semuanya


Terpaku dikau di puing-puing kehancuran

Tergelepar di hadapan cermin kegalauan

Kisah yang amboy indah berirama

Tinggal bangkai kering kuliti persada


Antarkan harapannya kawan

Dan kembali lakonkan kisah tertunda

Dia kan kembali menyapa peran kenangan

Walau lawanmu kini besar, tegar berwibawa

27-04-04


Di Rindu yang Hampir Putus

Oleh : Andarisa


Sajak yang kutulis dengan darah

Kau...

Menyumbang air mata

hingga sajakku

setengah memudar


Musim Bercinta

Oleh : Muh. Rio Nisafa


Dinda, ijinkan aku luruh di pangkauanmu

Lirihkan aku dengan dongeng ksatria

Di Negeri Asmara

Atau sajak cinta para pujangga

Lalu kita bercinta di bawah purnama



Serenada Pagi

Oleh : Nurul Lathifah


embun jatuh. Meluruh debu.

membasuh daun, bertawasul

: pada cahaya embun.

lalu sebuah cahaya...

memeluknya dengan lembut...

Syawal membersemikan wajah bersihnya.

Lalu seribu malaikat,

membuka pintu nirwana

dan menutupnya dengan sederhana

dengan gerak cahaya

apa kau bisa melihatnya?


PAGI PETAKA

Oleh : Sri Hardhian


Asalnya,

Terpancar seberkas cahaya

darimanakah asalnya?

ya, dari ufuk barat asalnya


Tiba-tiba,

sang penguasa melebarkan sayap-Nya

dari semua yang tampak

hancur sudah dibuatnya


Kemudian,

terdengar suara teramat gaduh

“tolong, toloong, tolooong!"

betapa membuat luka


Lalu,

satu, dua, seribu, sepuluh ribu

bumi perlahan mereka tinggalkan

sang penguasa mengembalikan umat-Nya


Akhirnya,

suara yang terhenti

Berganti,

dengan seruan do'a

"Ya Tuhan berikanlah petunjuk

atas sesuatu yang menimpa kami"

Amin.


Ombak

Oleh : AriZur


teruslah mendebur

sebelum lautmu surut oleh airmata


Pinggir Pantai Glagah, September 2007



Di Mana...?

Oleh : Nur Islamiyatun


Mengais segala yang tersisa

Merapatkan hati dengan galau

Meraih yang semu menjadi nyata

Mengorek yang belum terkuak


Merintih pada yang Esa

Mengaum dalam sepi malamku

Mengartikan perih yang terlena

Menghentikan tangis di kelopak mata


Menoreh Asa yang terkapar

Menabur benih-benih kejora

Mencoba menggapai masa dalam

Mencari Cinta yang Hakiki


Malam, 13 Februari 2007


MU_KAU

Oleh : Alfanuha Yushida


Sebesar cintaku pada-MU

Hingga ruhku dicucuk hidung pada-MU

Bagiku KAU adalah semua yang ada di dunia ini

Yang terlihat

Yang terdengar

Yang tercium

Yang terasa

Yang segalanya

Bagaimana aku akan meninggalkan-MU

Bahkan matiku pun

Hanya

Untuk

Oleh

Karena

Menuju-MU

Yogya 01-02-2007

SMS PEMBACA

"Mbak, saya mau usul, kalo bisa suatu saat nanti Buletin Lontar dijadikan majalah saja, yg mencakup sastra dan diperluas budaya dan pariwisata Kulon Progo, pasti OK!" (Wahyu - 085643089XXX)


"Oo.. gitu y?! Waah sayg sekali. Pdhl, Buletinny bagus bgt. Wlwpun tipis,tp menarik. Apalagi crpeny. Oya, lam knal Nama sy: M. Fahrul S. Scool: MAN I Pengasih"

(Fahrul - 085643495XXX)