Thursday, July 31, 2008

LONTAR 18

BILIK REDAKSI

Salam Sastra!
Pecinta LONTAR yang budiman, akhirya BBM betul-betul dinaikkan. Kami merasakan negeri ini kian menggelinding kolaps saja menghadapi hidup yang kian tergerus. Dan, hari-hari ini kami seperti bergulat dengan angka-angka, harga-harga, dan aneka amuk massa yang memilukan hati siapa saja yang hatinya masih menyala. Kekerasan atas nama ”berebut benar” sungguh mencolok mata dan menerjang manusia-manusia negeri ini ke dasar jurang dehumanisasi besar-besaran. Sejauh itu, pihak yang seharusnya bertanggung jawab mengayomi dan memberi rasa aman bagi semua pihak, bahkan dijamin konstitusi, malah sampai hati membiarkan semuanya terjadi. Akankah negeri ini berbalik arah menerapkan hukum rimba di mana ”asu gede menang kerahe?” Apa kata dunia?
Selamat Membaca...


BYAR

Pamflet

Tiga bulan lalu saya mendapat kiriman 2 eksemplar Inilah Pamflet Itu. Buku antologi puisi tersebut di-pos-kan oleh Hersri Setiawan dari salah satu sudut kota Jakarta. Memang sejak digelar Temu Sastra Tiga Kota (Yogyakarta, Kulonprogo, Purworejo) di Wates pada Januari lalu dimana ia tak bisa menghadiri, saya dan Pak Hersri berulangkali berniat jumpa darat. Namun selalu gagal. Mungkin, untuk sementara, hadirnya buku tersebut menjadi pengganti pertemuan kami.

Tapi mengapa Hersri memilih judul Pamflet? Dua ratus tiga puluh dua tahun lampau Thomas Paine menerbitkan Common Sense --dengan tebal 47 halaman, hemat saya, ia adalah “pamflet dalam arti yang sebenarnya”. Sebab pamflet adalah membakar. Dan tak ada buku dalam sejarah kesusastraan yang mempunyai pengaruh begitu cepat seperti Common Sense. Buku ini bagai sangkakala memanggil kolonis Amerika untuk bangkit memperjuangkan kemerdekaan mereka tanpa kompromi dan tiada sangsi”, demikian tulis Robert B Down dalam Books That Change The World.

Dan, memang, Inilah Pamflet Itu bukanlah Common Sense. Tapi, dalam salah satu sajaknya, kita bisa menemui semangat yang membakar. Coba simak bait akhir dalam “Suara Jalanan”: hidup//merebut kemerdekaan, hidup//merebut kemanusiaan. Sebuah ungkapan lugas nan sederhana. Tapi, agaknya, ada magma yang (tak henti-hentinya) hendak dimuntahkan --oleh seorang tua berambut perak yang senantiasa berjiwa muda, yang pernah merasakan betapa kejamnya kekuasaan yang tercerabut dari cinta.

Ya, meski gema muntahan itu tak sedahsyat goresan Paine. Apalagi di tengah masyarakat ramai bangsa ini yang notabene telah bebal terhadap bisikan hakiki kemanusiaan. Pada bangsa yang terdiri dari tatal-tatal, anasir di dalamnya justru amat peka terhadap hal yang berbau remeh temeh. Aliran, Klik, komunitas, golongan, dan segala bentuk pengkotakan lainnya bagaikan bom bersumbu pendek.. Alhasil, organisasi semacam FPI tak butuh lagi selembar pamflet. Sebab “ia adalah pamflet itu sendiri”.

Di sini, masihkah hidup//merebut kemerdekaan, hidup//merebut kemanusiaan mampu bergema? Saya ragu. Tapi, saya yakin masih ada yang sudi bersuara …..
MARWANTO (http://www.markbyar.blogspot.com/)


ADA APA DENGAN LA

Kangen-kangenan dengan Sangsisaku
Minggu, 25 April 2008 beberapa awak Lumbung Aksara mengadakan pertemuan dengan Sangsisaku yang diwakili oleh Nur Widodo. Kali ini mengambil tempat di Pantai Glagah Indah. Tidak banyak yang dilakukan selain kangen-kangenan sesama komunitas sastra, tetapi suasana di sekitar tempat acara membuat pertemuan menjadi semakin berkesan. Semilir angin pantai merasuk sampai ke tulang, tetapi "bagus untuk terapi", begitu kata Ndari. Perbincangan sempat dihentikan sebentar untuk mencari tempat yang lebih kondusif karena dingin angin laut makin kuat menembus celah baju dan menerbangkan kertas-kertas dokumen.

Laksana pasukan Densus 88 mereka menyisir jalan dan kebun di sekitar pantai. Dan disepakatilah sebuah area di tepian muara sungai Serang. Diskusi dilanjutkan dengan cerita Nur Widodo tentang Sangsisaku, sastra, dan mancing. (Lho… nyambung nggak? :Red) “Mancing tidak hanya dapat ikan, tetapi juga memunculkan inspirasi”, begitu katanya. (Oo…o :Red). Kisah-kisahnya menggambarkan dirinya yang memang hobi mancing. Atau dia akan menampilkan genre baru yaitu Sastra Pemancingan? Tunggu saja beberapa tahun ke depan. (Ltf)

LA ikuti gelar Sastra Balik Desa di Semarang
Komunitas Sastra Hysteria yang digawangi Adin, Gema, Bagus, dan beberapa mahasiswa UNDIP Semarang menggelar acara bertajuk Sastra Balik Desa yang dirangkaikan dengan Temu Penyair Tujuh Kota di Dusun Gebyok Patemon Gunung Pati Semarang, 16-18 Mei 08. Perwakilan dari LA dua orang; Siti Masitoh dan Akhiriyati Sundari. Rangkaian acara yang berseling pementasan budaya warga, diskusi sastra, dan lounching antologi penyair tujuh kota Mencari Rumah betul-betul terasa sebagai geliat ajang saling kian eratnya jaringan komunikasi antarkomunitas sastra yang belakangan marak. Kemasan acara menarik dan terkesan menjadi berbeda karena nuansa pedesaan yang digunakan sebagai latarnya. (Chyto)

Kunjungan dari Solo
Sabtu, 24 Mei 2008, kawan-kawan dari komunitas sastra Meja Bolong Solo (Joxum, Ari Wibowo, Gusmel, Nungky, Gatot, dan Wisanggeni) menyempatkan bertandang untuk menjalin kemesraan dengan denyut sastra di Komunitas Lumbung Aksara (LA) Kulonprogo. LA menyambut hangat kehadiran mereka berenam yang tiba di Gedung PCNU KP sekitar jam tiga sore, untuk kemudian menjamu mereka dengan menu-menu sastra (dari urusan perut sampai obrolan-obrolan sastra) di RM. Padang “DELIMA”. Tak lupa mereka memberi kenang-kenangan untuk LA dengan beberapa eksemplar buletin ALIS edisi pertama terbitan mereka. Obrolan gayeng berlanjut lagi di PCNU, diselingi dengan pembacaan puisi dari kedua komunitas. Harapan LA dan kawan-kawan Solo, acara kunjungan sastra semacam ini diharapkan mampu menjadi ruh bagi kedekatan dan jalinan antar komunitas sastra, dan menjadi tradisi yang terus berlanjut tidak saja bagi LA dan komunitas di Solo, tetapi juga komunitas-komunitas sastra yang lain. Saat Maghrib tiba, kawan-kawan Solo undur diri mengakhiri curhat dan berpamitan untuk melanjutkan kencan mereka di sebuah penerbit di Jogja. Makasih ya atas kunjungannya… (Chyto)

LA on air di RSJ
Selasa, 27 Mei 08, LA diundang RSJ (Radio Swara Jogja) untuk bincang bersama seputar apresiasai sastra dus khususnya membaca sastra di Kulonprogo. Kedatangan LA di RSJ disambut meriah oleh Mbak Asti salah satu penyiar. Tepat pukul 16.00-17.00 LA mendapat kehormatan untuk live (on air) dalam acara program interaktif seni dan budaya. LA di wakili oleh AriZur, Ndari, Menol, dan Hendri. Juga hadir dua kawan dari komunitas Padhang mBulan yang di wakili oleh Wakhid dan Landung. Acara yang berlangsung satu jam itu diisi pula dengan interaktif (tanya jawab) seputar komunitas masing masing dan perkembangan sastra di Kulon Progo, baca puisi, dan geguritan. Acara yang disuguhkan sangat menarik sehingga mengundang para pendengar di rumah untuk bertanya kepada kedua komunitas tersebut. Semoga acara ini bisa menjadi acara rutin untuk RSJ dan tetap jaya di udara, maju terus sastra Indonesia. (Hendri Sulistya)

LA hadir di Lounching Antologi Nur Wahida dan Saut Situmorang
Selasa, 27 Mei 2008, dengan mengambil tempat di Warung Nusantara (Waroeng Koes Ploes) Jalan Bantul Dongkelan, beberapa awak LA menghadiri acara lounching buku puisi (antologi) Mata Air Akar Pohon karya Nur Wahida Idris dan Otobiografi Saut Situmorang karya Saut Situmorang. Buku keduanya merupakan terbitan penerbit SIC Jogja. Tidak ada diskusi atau pembedahan buku dalam acara ini, tetapi dari awal sampai akhir hanya diisi dengan pembacaan puisi. Meski terasa kering karena kemasan acara yang sepi dari backsound, acara ini dihadiri banyak sastrawan nasional dan lokal yang turut membaca puisi antara lain Agus Noor, TS Pinang, Iman Romanshah, Indrian Koto, Sukma, Mahwi Air Tawar, Faisal Kamandobat, dll serta yang menjadikan acara menjadi seru adalah penampilan Sutan Tsabit Kalam Banua (6 tahun). Lelaki kecil yang putera dari penyair Raudal Tanjung Banua dan Nur Wahida Idris sang punya helat acara ini membacakan sendiri puisi-puisinya yang cukup menggelitik, surerealis, dan luar biasa untuk anak-anak seumurannya. Selamat ya… (Ndari AS)

TKP (Teater Kulon Progo) present to “The Kancil”
Sabtu malam, 7 Juni '08, beberapa awak LA dan komunitas Padhang mBulan nonton bareng dan mengapresiasi pentas teater di panggung terbuka alun-alun Wates, yang merupakan rangkaian dari pentas rutin gelaran DisBudPar. Setelah komunitas Sangsisaku, kemudian LA, bulan Juni ini giliran komunitas teater TKP unjuk kebolehan. Mementaskan The Kancil, yang menggelitik dan menyentil, TKP menunjukkan totalitas berteater dan tampil memukau serta menyedot cukup banyak penonton dari kalangan muda. Sudah sewajarnya sebab TKP memang sebuah komunitas teater dan cukup sering mengadakan pementasan. Setidaknya hal ini juga menunjukkan geliat masyarakat Kulon Progo dalam mengapresiasi seni dan sastra. Acara nonton bareng kali ini ditutup dengan minum kopi bareng di angkringan mbak Ika, proliman Karangnongko Wates. (Fafa)


CERPEN

Ketika Kunci Itu Kau Simpan
Cerpen Retno Prihandaru

Pelangi di atas cemara dekat gereja mengingatkan aku padamu yang terakhir kutemui tujuh bulan lalu. Dengan warna yang menumbuhkan bunga lili setelah lama bernaung dalam tandus. Lama tersembunyi di balik semak-semak kering tak seorangpun menjamahnya.

Mencintaimu adalah satu kesalahan besar sepanjang usiaku namun entah mengapa aku begitu menikmatinya. Selama ini aku yang selalu mempedulikan nyanyian-nyanyian kidung, sekarang seolah terbius untuk mendengarkannya lewat alunan yang menggelora menusuk sendi-sendiku. Keberadaanmu di depan jendela kamarku membuatku mencari cara untuk menembus kaca yang terlalu tebal dan kemudian meraihmu untuk merasakan hangat tubuhmu.

Kau berhasil membuatku tertarik untuk bangkit dari rasa engganku menerima segudang cinta dari sosok yang disebut pria. Menolak paradigma bahwa kaum pria adalah buaya darat. Kau begitu sempurna bagiku. Dan kau bukan seperti yang mereka katakan bahwa kaum sepertimu adalah pecinta yang jalang. Memberi segudang iming-iming yang manis membuat para bunga hanyut dalam lautan madu yang disuguhkan.

Entah setelah tujuh bulan berlalu aku masih saja tak bisa mengenyahkan bayangmu yang kini sudah menjadi milik bunga lain. Bukannya aku tak bisa dan tak ingin melupakanmu, namun kau selalu saja tampil mempesona di depan jendela kamarku memenuhi dinding-dinding kamarku serta tak bosan-bosan memperdengarkan nyanyian kidung yang dulu sering kau mainkan untuk mencairkan hati menambah suasana romantis di dekat cemara depan gereja itu. Harusnya aku menampik semua itu, karena kau telah bernyawa dua. Dan aku terperangkap dalam selimut cintamu membuatku malas untuk bangun dari tidur malamku. Kau…..tak henti-hentinya meyakinkanku bahwa kau masih mencintaiku. Mengucapkan puisi karya Sapardi Djoko Damono, itu yang selalu kau katakan sampai aku bosan mendengarkannya namun ngilu juga mendengarnya. Kemana aku harus lari saat aku sakaw mencari candumu. Harus ku tahan rasa ingin merasakan lagi kecup manismu, memberitahuku betapa indahnya memiliki cinta. Merindukan pelangi yang kau kemas dalam sentuhan-sentuhan lembut serta kata-kata romantis.

Dan kemudian setelah tujuh bulan berlalu. Ada seorang pria yang ingin masuk di depan pintu kamarku. Aku belum memberinya kunci, karena kunci yang kumiliki kau bawa dan kau simpan di saku celanamu setiap waktu. Seorang pria itu mencoba berbagai cara agar bisa memasuki kamarku yang saat ini sedang berantakan, berserakan gambar-gambarmu. Layaknya dirimu yang menampakkan diri di depan jendela kamarku melambaikan tangan seolah memberi isyarat agar aku membuka kamar untukmu. Namun aku hanya tersenyum sambil membayangkan wajahmu yang aduhai.

Sampai kemudian aku mulai merasa jenuh dan tersiksa. Tubuhku semakin kerontang saja layaknya bunga di depan kamarku yang tak pernah terkena air hujan. Aku berontak, dan melihat seorang pria yang beberapa bulan ini menampakkan diri di depan kamarku. Aku mulai merasakan kembali hatiku yang tergetar untuk kedua kalinya. Perlahan-lahan bunga di depan kamarku mulai mekar kembali, tak tahu kenapa. Padahal hujan belum kunjung turun.
Dan kemudian aku memberanikan diri untuk meminta kunci kamarku yang selalu kau bawa kemana-mana di saku celanamu ketika kau mengunjungiku. Saat aku meminta, kau tidak memberikanya. Kemudian aku menangis layaknya anak kecil saja yang ingin dibelikan mainan. Kau tetap tidak memberikan kunci itu kepadaku. Aku tak bisa diam seperti ini. Hingga akhirnya aku mencoba merebut kunci yang ada di saku celanamu. Namun aku malah jatuh di pelukanmu dan kembali kenangan-kenangan lamaku teringat kembali. Namun aku tak ingin hanyut dalam nuansa seperti ini lagi. Aku bersyukur masih memiliki akal sehat. Kembali teringat keinginanku dari awal, bahwa aku ingin merebut kunci kamarku kembali untuk memberikannya pada seorang pria yang akhir-akhir ini menghiasi jendela kamarku dan telah merawat bunga-bunga di depan jendela kamarku.

Kau…….akhirnya menyerahkan kunci itu dengan ikhlas dan diakhiri dengan sebuah kecupan yang kini aku merasa hambar dari kecupan itu. Aku hanya bisa mengucap terimakasih. Juga kembali lagi dalam kamarku. Aku tak sabar untuk segera membukakan pintu untuk pangeranku yang baru. Namun begitu terkejutnya aku ketika melihat kau dengan wajah tersenyum mengeluarkan sebuah kunci lagi. Dan ternyata, itu kunci duplikat pintu kamarku.
Akankah kau akan kembali lagi dengan kunci duplikat itu………

***** Tamat *****

GEGURITAN

Kasaput Pedhut
Dening : S. Arni

Ing wayah rina
Surya kang lagya sumunar
Dumadakan ana prahara
Agawe kekesing nala
Datan kuwawa nampa coba

Coba peparinging Hyang Manon
Pepesthen kang kudu kasandhang
Marang sak sapa wae
Kang datan bisa suwala

Apa maneh ngangga wektu
Arep tobat wis tinutup
Apa maneh arep ngeripih

Kabeh mau wis kinudrating pesthen
Yaiku pepesthening urip
1 Nov'07


PUISI

MENIKMATI KEHILANGAN
Oleh : Imam Pamungkazz

begitu bodoh
mungkin untukku
tak ada kata
apalagi suara
tingkah yg membangunkan
dari mimpi indah

hadir kala nikmat
menjadi laknat
sesuatu yang tak ada menjadi ada
tak mungkin jadi mungkin
yang tertakutkan datang
putih
terlihat putih
menjadi hitam

termangu menikmati kehilangan
meniti penyesalan
merajut kembali harapan
untuk lebih baik?..entah..

terdiam dalam kekalutan
memandang kepingan berserakan
terbujur dalam denting
mendesah kehilangan udara
tercecer tersebut sesal
aku ingin tegar!!

kutanamkan hikmah
agar menuai tabah
untuk sebuah kelana
bukankah hidup ini tak harus mempertaruhkan??!!



Kau; yang maha puisi
Oleh : AriZur

---
jejakMu tertinggal
disana diantara
tumpukan katakata
-Ngestiharjo 23 Mei 2008


Plong
Oleh : Syamsul

Plong Kucabut bulu hidung
Lhes, bulubulu jenggot
Ler , bulubulu ketiak
Brut, bulubulu khaki
Plong,Lhes,Ler, Brut bulubulu
Sampai kapan rasa nikmat ini bertahan
Bisa jadi sampai rasa tidak mati
Karna stroke
Gula
Bebal hati
Buthek otak
Sampai nyawa krasan di badan
Dan rasa rindu masih bebuncah di tubuh
Iman masih bertengger di jiwa
Lalu bersatu denganNya

Trayu, 20 Januari 2006



BUKAN YANG DULU
Oleh : Kasiyanita

Dalam kata tak terucap
Tak tersampaikanpun dengan nurani
Jiwa hijau terlihat gersang
Oleh kata-kata mati
Arus menyusut damai
Kutulis "cinta" diatas air
Tersapa arus
Hilang tanpa rasa
Pengorbanan yang sia-sia
Meski jiwa telah membelah bumi
Karena keputusan ini ...
Membuatku beku dalam dunia
Akankah ada gurau setelah ini
Setelah jiwamu melayang dilangit kelabu
Meski kau dekat tapi bagiku jauh
Kau bukanlah dulu yang cintaiku apa adanya
Wates, 28 Maret 2008



Panen Tiba
Oleh : Rio

Musim demi musim berganti
Ku gembira usai bekerja
Menguning sawah di lahan luas
Membentang
Dendang anak gembala akan pesta desa

Waktu bergulir tiada henti
Kumasih setia menjadi kasihmu
Berharap kisah kita abadi selamanya
Rindu anak manusia pada nikmat cinta

Panen telah tiba
Kita bersyukur padanya
Atas semua rahmat dan karunia

Panen telah tiba
Kita berdua berikrar
Bangun keluarga nan bahagia

Panen telah tiba
Kita berjanji bersama
Jalani hidup di rumah sederhana
Jogja, 23:45, 18-05-2006



Sajak baru
Oleh : Hendri

Ku tulis sajak baru,
di kertas putih seputih salju,
inilah sajak baru,
tempatku mengadu ,
menyuarakan suka dukaku


Sesal bukan Cerita
Oleh : CB Omega

Kubur menganga arwah mengerang
Tulang kretak sendi ingin bernyanyi
Kelam membuai derita menyerang
Denyut memangsa hidup yg mati

Berhenti meratap jiwa yg tertawa
Melody siksa hapuskan ragu
Hati berharga asa tersia
Keindahan hadir teriring layu

Ketika rasa berganti rupa
Tetap cinta berkuasa
Sebening mata menatap yang ada
Sehangat pelukan adam yang perkasa


5 = lima
Oleh : Sukardi Cimeng

Kini Engkau datang
Setelah sekian lama aku gerah dalam penantian
Mengembara bersama catatan-catatan sejarah yang tercecer
Tertinggal di atas batu karang yang pongah

Senja telah mengantarku tidur
Dijemput oleh mimpi-mimpi ½ hati
Berkelana bersama tinta-tinta sang pujangga
Menggoreskan dalam sastra-sastra kehidupan

Bawalah aku mengembara dalam suasana
Dililit kain putih dosa
Hening tanpa suara mereka yang mengumpat

Di sini...
Biarkan ajal datang menghadang
Kan kusambut dengan lantunan sajak cinta
Kuhanyutkan dalam air mata pertaubatan

Tengah malam, 21 Januari 2007


SMS (SEPUTAR MENULIS SASTRA)

Berkarya dalam Ruang Religius

T.S. Eliot, seorang santrawan Inggris berpendapat bahwa kebudayaan tidak akan bisa mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai religiusitas keagamaan. Oleh karena itu, sastra religius/profetik menjadi gagasannya dalam menggerakkan sastra modern di berbagai negeri, semata-mata untuk memberikan pencerahan dan ikut menyeimbangkan dunia yang berat sebelah antara kehidupan materialistik dengan nilai religiusitas. Menurutnya, gaya sastra yang kelewat humanistik, psikologik, dan sekular, membawa penikmatnya hanya tertuju pada cakrawala/batas pandangan yang sempit, dunia yang “ini” semata, yaitu dunia yang mengajar manusia untuk takluk pada materi dan kekuasaan dunia.

Sastra religius mempunyai ciri dimensi sosial-transendental dan mempunyai pesan moral filosofis; hal yang lahir semata-mata dari kedalaman rasa dan batin melalui renungan dan penghayatan filosofis sehingga karya sastra religius cenderung mempunyai makna yang “dalam”. Kedalaman inilah yang membuat sastra menjadi “lebih”. (Saya jadi ingat ucapan Iman Budi Santosa: “Jangan sekedar menulis puisi, tetapi gunakan puisi untuk menjadi lebih”).

Terlepas dari opini masing-masing mengenai hal ini, yang jelas sastra tidak bisa menutup mata terhadap realitas batin, pada pengalaman-pengalaman spiritual dan religus tempat ia menemukan dirinya. Sastra yang demikian, ujar Iqbal, lahir dengan dilandasi oleh ilmu dan cinta, pikiran dan hati/visi yang terang, pribadi yang teguh, beriman tanpa pamrih, serta dilandasi rasa kebebasan dan keberanian. Karena itu ia lahir dari kedalaman intuisi yang berjuang terus mengatasi penderitaan, menundukkan kejahatan, dan membangun kepribadian.

S. Prasetyo Utomo mengatakan: “Kedekatan dengan Sang Pencipta membuat seseorang mampu “melihat” segala sesuatu sehingga dengan kondisi ke-wening-annya dengan sendirinya mengalir bermacam ide dan gagasan yang melahirkan karya secara terus menerus”. So, apalah ruginya berdekat-dekat dengan Sang Kreator Sejati, toh Dia menjadikan kita untuk terus berkarya bagi kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
(Siti Masitoh, Pemimpin Umum LONTAR)

BIODATA PENULIS LONTAR EDISI 18/TH.II/2008

AriZur, biasa dipanggil Mbak Zur atau Mbak Aris. Tidak pernah mau menuliskan biodatanya secara penyair (gitu loh?). Tapi mudah saja bagi yang ingin tahu lebih banyak tentangnya, sering-seringlah datang di LA punya acara. Dia selalu ada. Tinggal di Blok 2 Ngestiharjo Wates.
A. Samsul Ma’arif, mantan kru redaksi LONTAR. Penyair satu ini dengan sangat terpaksa tidak bergabung di kru LONTAR lagi karena ”jam terbang yang tinggi” di aktivitas keilmuan yang tengah digelutinya saat ini di Bantul. Masih tinggal di Trayu Galur.
CB. Omega alias Christian Baptista Rizky Omega Putra, lahir di Wonosobo, 15 agustus 1992. Pernah memenangkan lomba/ ajang penulisan puisi yg diadakan oleh Bapak Peni S. selaku walikota Malang sebagai juara 3. Saat ini tinggal di Malang Jawa Timur.
Imam Pamungkazz, penyair yang aktif menuliskan puisi-puisinya di blog pribadinya, http://www.aksara-rasa.blogspot.com/. Seniman musik komunitas Padhang mBulan ini tinggal di Kedunggong Wates.
Kasiyanita, pelajar SMP 4 Wates yang memiliki motivasi ingin menekuni bidang sastra, terutama puisi. Ungkapnya; ”Karena bagiku, di mana ku melangkah di situ puisi tertoreh. Puisi bisa melantunkan tembang hati yang menggumpal.” Ck..ck..ck. Gadis belia ini tinggal di Mutihan Wates.
Muh Rio Nisafa, web admin blog LONTAR ini beberapa waktu lalu resmi melepas masa lajangnya bersama perempuan pujaan puisi-puisinya. He he. Semoga tambah semangat berkarya.
Retno Prihandaru, penulis satu ini tidak diketahui keberadaannya sekarang. Mungkin sedang menyepi mencari ilham. Tetapi katanya, perempuan kelahiran Semarang ini kini sedang mencoba berjuang meraih cita-cita. Sangat menyukai puisi dan mengaku seorang simpatisan LONTAR.
S. Arni, ibu rumah tangga kelahiran 4 September 1961. Semasa gadis pernah bermain teater, drama, tari, dan menyanyi. Produktif menulis geguritan tetapi jarang mempublikasikannya. Tinggal di Gebang I Plumbon Temon.
Sukardi Cimeng, lelaki kelahiran Kulonprogo, 23 Oktober 1983. Sampai sekarang mengaku masih setia hidup dalam kesendirian dan tetap bahagia menyandang gelar mahasiswa (skripsi yang tak kunjung usai). Bersyair merupakan buah dari hobinya membaca dan ngobrol ngalor-ngidul serta dengerin musik-musik cadas (metal). Tinggal di sukardimengerti@yahoo.co.id dan Clawer Pengasih.


SMS PEMBACA
“Hay rekan rdaksi lntar, bisa kah kalo mw ikutan krim puisi di redaksi, sypa tau puisiku bsa dimuat ”
(Rohman, dkt ponpes Zeje, dah alumni 085643533XXX)

“Lontar edisi 15 trbit bln apa ya? Dmn sy bs mdptkanny? Kok di perpust, aq g nemu. Tahu2 sdh edisi 16. Thanks”
(08176867XXX)

KATA-KATA MUTIARA

“ 'Kebenaran' laksana cermin yang diberikan Tuhan dan kini telah pecah. Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat pantulan di dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran.
Maka sungguh repot, bila ada yang lantas menggunakan pecahan kaca itu untuk atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain”
(Mohsen Makhmalbaf)

RALAT

Redaksi mohon maaf atas kekhilafan dalam pemuatan puisi saudara Fajar R. Ayuningtyas selaku penulis/pemilik asli puisi "Cinta Sudah Mati" pada LONTAR edisi 17. Puisi tersebut setelah dikonfirmasi redaksi ternyata milik saudara Fajar, bukan milik saudara Wahyu Gendon selaku pengirim puisi tersebut.
0856-4323-1104