Thursday, July 2, 2009

BILIK REDAKSI
Salam Sastra!
Usai absennya buletin sastra tercinta ini, ada cerita mengesankan (meski agak sedikit emosional) dari seorang pembaca-penggemar LONTAR. Melalui pesan pendeknya yang dikirim kepada kami, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di distrik timur Pasar Wates, berusia 54 tahun, mengaku terharu mendapati LONTAR yang ‘tercecer’ di pojok Alun-Alun Wates. Puteranya, yang seorang pelajar, rupanya merupakan pembaca setia LONTAR dan kerap berbagi bacaannya itu dengan sang ibu. Selama ini si anak setia menanti LONTAR terbit, hingga beberapa waktu silam menanyakan kepada sang ibu, “kenapa LONTAR ngga terbit-terbit, Ibu?”
Duuuh… Rasa haru sang ibu yang dibopongkan ke kami itulah, meski hanya melalui pesan pendek, yang menyentuhkan ‘rasa emosional’ di bilik redaksi. Untuk selanjutnya, memantik kami agar segera bergegas, meracik sedap naskah-naskah yang bejibun di layar maya kami, dan bergegas pula kami hidangkan kepada kalian; sidang pembaca LONTAR yang budiman. Kami juga tak jemu menunggu-nunggu, karya-karya orisinil dari kalian semua. Bergegaslah pula untuk mengirim ya? Terima kasih, Kawan….
Selamat Membaca...


TETES
Membela Pancasila

Memasuki bulan Juni, kita langsung teringat dengan Pancasila, ideologi yang merupakan pilihan cerdas para pendiri NKRI yang kita cintai ini. Sampai sekarang Pancasila adalah alat pemersatu bagi negara kepulauan nusantara dan perlu kita teguhkan kembali dalam dunia yang semakin global. Ideologi transnasional sudah mulai masuk dan memengaruhi warga negara. Jika kita melupakan sejarah dipilihnya Pancasila sebagai dasar negara maka dikhawatirkan persatuan negara menjadi goyah.
Indonesia adalah negara besar dengan laut yang luas dan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Perlu kesadaran kebangsaan yang kuat untuk tetap menjadi negara besar. Berbagai suku bangsa, bahasa, budaya, agama, dan berbagai perbedaan adalah karunia yang perlu kita jaga kelestarian dan keberlangsungannya. Semua itu adalah kekayaan negara ini.
Mungkin ada orang yang membahas relevansi Pancasila dengan kondisi saat ini, dikarenakan Pancasila pernah menjadi alat penguasa untuk memaksakan kehendaknya. Kalaupun Pancasila pernah disalahgunakan, maka kita tidaklah kemudian menolaknya seperti halnya facebook yang juga bisa disalahgunakan, tetapi tidak kemudian kita mengharamkannya hanya karena sedikit penyimpangan.
Sejatinya, NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negaranya adalah sudah final sebagaimana yang telah diputuskan Muktamar NU tahun 1984. Jadi membela NKRI dan Pancasila adalah termasuk jihad dan merupakan manifestasi dari hubbul wathan (cinta tanah air). (Z. Latif)


ADA APA DENGAN LA
Tadarus Puisi dan Bedah Buku ”Mutiara Kata”
Mutiara kata mengalir di acara Tadarus Puisi Komunitas LA, Kamis 26 Februari 2009 yang digelar di Taman Binangun Kulonprogo, komplek Alun-Alun Wates. Selain diisi pembacaan puisi oleh seluruh hadirin, buku Mutiara Kata karya Anton WP dibedah oleh M. Rio Nisafa. Dengan dimoderatori Sukardi Cimeng, ”Mutiara Kata bisa menjadi semacam buku petunjuk bagi para penulis, sekaligus sebagai motivator untuk menemukan kata-kata yang bisa menjadi ikon versi diri sendiri”, ungkap Rio yang biasa meng-ikon-i diri sendiri dengan ”Rock d' Word”. Acara kali ini dihadiri pula oleh kawan-kawan dari Sanggar Sastra MAN 2 Wates dan komunitas Padhang mBulan. (Chito)

Tadarus Puisi bersama Salman Rusydi Anwar
Sebagai wujud khidmat dan eksistensi di dunia sastra, Komunitas Lumbung Aksara menyelenggarkan hajat bulanannya, Tadarus Puisi (TP). Acara yang diselenggarakan tanggal 26 Januari 2009 ini mengambil tempat di Taman Binangun KP. Peserta yang hadir kali ini 25 orang dengan pembicara seorang sastrawan muda berdarah Madura, Salman Rusydi Anwar.
Acara diawali dengan ritual LA, yaitu pembacaan tahlil oleh Zukhruf Latief. Dilanjutkan dengan sambutan oleh Lurah LA, Marwanto. Untuk memecah kebekuan suasana, diselingi dengan pembacaan puisi oleh beberapa peserta. Setelah itu dilanjutkan dengan diskusi sastra bersama Salman Rusydi Anwar. Sastrawan ini bercerita bagaimana proses kreatif menulis. Menurutnya, sebuah inspirasi bisa berasal dari mana saja, terutama dari pengalaman pribadi. Dari pengalaman-pengalaman pribadi tersebut, bisa dilukiskan kembali lewat kata-kata sehingga orang lain pun bisa terhanyut ketika menikmatinya. Bagi mereka yang pernah membaca karya-karya Salman, akan mendapati nafas spiritual, di mana hal tersebut berasal dari pengalaman pribadinya. (Sukardicimeng)

MENIKAH itu ENAK dan PERLU
Di sehampar tahun 2008 - 2009 ini, kabar bahagia tengah mengalun di ruang hati kawan-kawan sejarah Lumbung Aksara. Sebuah siklus kehidupan pelan-pelan tetapi nyata, merengkuhi segenap jiwa-jiwa yang dikebat cinta. Dimulai dari pekan pertama bulan Syawal tahun 2008: Samsul Maarif, mantan redaksi LONTAR, menggandeng Ummu Hani' (sekarang tengah menanti buah hati yang sudah tumbuh) di Piyungan Bantul, 25 Desember '08: Zukhruf Lathif (layouter LONTAR) dan Siti Ulfah Nabawiyah mengikrarkan diri di depan hadapan Tuhan di Pleret Bantul (sekarang juga tengah menanti kelahiran keturunan pertama), 13 Februari 2009: Fajar R. Ayuningtyas (Fafa) dan Dhiawan meresmikan ikatan cinta mereka di Hargorejo Kokap, dan di hari yang sama adalah Nur Widodo (komunitas Sangsisaku) menikahi kekasihnya di Kendal Jawa Tengah, dan 21 Juni 2009: Siti Masitoh (PU LONTAR) disunting oleh Burhanul Fahruda di Plumbon Temon. Tali kasih yang berpadu sedemikian itu pasti kian indah, seiring doa restu dari kawan-kawan semua, juga pembaca LONTAR; semoga kebahagiaan jualah yang senantiasa memandu kisah cinta mereka; melahirkan puisi terindah; puisi paling puisi... Amin. Andakah yang akan menyusul? Hayoooo... (Ndari AS)

Peringatan 3 Tahun Komunitas Sastra Lumbung Aksara Kulon Progo
Sabtu sore, 2 Mei 2009, bertempat di halaman kampus UNY Wates, Komunitas Sastra Lumbung Aksara Kulon Progo menggelar perayaan HUT-nya yang ke-3. Meski sederhana, tidak mengurangi kehangatan sekaligus keakraban di antara para “penyair” Kulon Progo. Tampak hadir Komunitas Padhang mBulan, para penggiat sastra dan masyarakat umum.
Lumbung Aksara sebagai satu-satunya ”komunitas kultural”, yang mencintai seni, pustaka, budaya, dan sastra, dalam 3 tahun usianya, tidak pernah lelah untuk terus menggeliatkan minat baca-tulis di kalangan masyarakat Kulon Progo. Banyak yang telah dilakukan di usianya yang begitu ranum, seperti penerbitan buletin sastra LONTAR, menggagas berdirinya Taman Bacaan Masyarakat, merutinkan agenda Tadarus Puisi, dll, di mana semuanya bermuara pada tujuan bersama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Aguk Irawan MN (penyair-sastrawan dan Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Jogja) yang di-dapuk untuk memberikan orasi sastra, menegaskan bahwa “sastra itu bisa menyapu peradaban, sastra itu bisa mencuci, menyenggol yang luka, bisa menghapus yang perih”, sembari berpesan kepada kawan-kawan Lumbung Aksara agar selalu menjaga 'nurani'nya dalam bersastra dan tidak usah latah mengikuti arus sastra “gelap” dan menyesatkan”. Acara yang berdurasi sekitar 2 jam itu di meriahkan dengan pembacaan puisi oleh para penyair Kulon Progo.
Selamat buat Lumbung Aksara, semoga tetap kekeuh untuk terus “Membaca-Menulis; Menjaga Hidup“. (Izur)


CERPEN
RUANG TUNGGU
Cerpen Elang Retak
“Didedikasikan kepada para kekasih yang tak jenuh menunggu”

Jubelan manusia tumpah di ruang itu. Berdiri enggan, duduk pun tak mau. Sebentar-sebentar menatap penanda waktu di dinding. Ada yang tersenyum cerah, sebentar lagi orang yang ditunggu tiba. Ada yang terlihat murung, bakal berpisah.
Di sebuah pojok, berdiri sepasang kekasih. Mereka termasuk barisan yang murung berat. Si perempuan itu menatap sayu wajah kekasihnya. Bibirnya mengguratkan senyum jingga. Sementara lelaki di depannya tampak menggumamkan sesuatu; sederet kata penguat.
Dawai perpisahan sedang dimainkan sang musisi waktu. Pada jeda ini alur rasa menggapai klimaks. Pola verbal kehilangan sentuhan ajaib.
“Enu, andai kau yang kutuju, aku tak perlu berlari, karena tanpa kukejar pun. Kuyakin kau tetap di sini menungguku ”, bisik Erang dengan bibir bergetar.
“Iya, saya akan bertahan sampai kau pulang”, balas Wella.
Dialog cinta bergulir. Entah sebentuk permohonan untuk tegar menjalani kisah yang akan terpisah ruang dan waktu, entah metamorfosis dari pertanyaan serpihan keraguan hati tak bertepi. Temu dan pisah adalah dua titik kecil yang bisa ditarik garis-garis mini membingkai sebuah kisah.
Akan halnya kisah cinta Erang dan Wella. Bermula tiga tahun silam. Erang, mahasiswa Ilmu Politik UGM Yogjakarta, sementara Wella, mahasiswi keperawatan UNDANA Kupang Nusa Tenggara Timur diperkenalkan oleh teman mereka lewat telepon. Lembut tutur Wella yang mempesona, ibarat panggilan pulang bagi Erang untuk kembali menapaki sebuah masa yang pernah membuat dia retak dan enggan berhubungan dengan semua sosok perempuan.
“Aku jatuh cinta lagi. Kali ini pada suaramu ”. Serangkai kata, awal kebekuan mencair terucap dari mulut Erang. “Iya, aku juga“, Wella terkontaminasi sindrom perasaan mutual yang sama.
Keduanya sepakat menamakan ini sebuah kebetulan yang indah. Kebetulan, karena terjadi begitu saja. Indah, sebab bermata airkan ledakan rasa yang tak tertahan, bermuara pada kesepakatan tak terucap untuk menjaganya. Dan semua pun mengalir, sejalan ritme yang tak sengaja dikonsep, larut dalam manis dan getir. Mereka masih bertahan, tenggelam dalam mekanisme cinta yang tak butuh tali.
Kali ini menjadi perpisahan kedua, sekaligus menandai saat pertama Wella mengakhiri status sebagai mahasiswi, usai diwisuda sebulan kemarin. Long distance tetap berlanjut, Wella di Labuan Bajo NTT, Erang di Yogyakarta.
Lonceng perpisahan pun bertalu. Kapal Tilong Kabila yang akan membawa Erang dari Labuan Bajo menuju Yogyakarta merapat di dermaga.
”Enu, jaga hati e! Jaga diri juga. Jangan lelah menunggu. Jika kau rindu, datanglah ke sini di saban kapal merapat. Deraskan kembali kata-katamu tadi, bahwa kau akan bertahan sampai aku benar-benar pulang. Percayalah, aku mengunjungi hatimu saat itu”. Wella mengangguk kecil, tak kuasa menjawab. Erang mendaratkan kecupan hangat di keningnya, kemudian beranjak menaiki tangga kapal, diiringi lambaian tangan sang kekasih. Hingga kapal perlahan beringsut menjauh dan tak kelihatan lagi ujungnya, Wella menurunkan tangan. Beranjak dari ruangan itu.
Sebelum pergi, dia sempat berbisik lirih dalam hati, “Nana, saya sudah terbiasa dengan ini, dan kau harus tahu, sedetik pun di catatan waktuku, tak pernah berpikir tuk melepasmu dari kisah kita. Cuma Nana yang saya cemaskan. Satu hal, Nana, rapatkan mantel dan kencangkan sepatu boat biar tidak ada cahaya lain yang masuk!”.
Waktu terus bergulir menguji konsistensi para pelakon kisah menggenggam janji. Wella tenggelam dalam rutinitas baru sebagai tenaga honorer di sebuah klinik kesehatan Labuan Bajo. Amanat perpisahan yang dipesankan sang kekasih tetap setia dijalani: ia selalu mendatangi ruang itu di saban kapal merapat.
Rupanya, menjalani sesuatu yang tak biasa, dengan penuh keyakinan sekali pun tetap akan konyol. Tapi Wella tak pernah memilih untuk yakin atau tidak. Ia hanya menuruti panggilan rasa. Dan cinta butuh kerangka biar tidak berlari liar tanpa batas, tanpa tujuan. Wella telah menjadikan Erang sebagai satu-satunya tujuan hidup dalam bingkai cinta. Lakon yang kemarin pun terulang, lalu terulang lagi, meski konyol dan bodoh.
Sampai pada suatu hari, muncul sepenggal pesan singkat dari sang kekasih di Jogja.
”Enu, maafkan aku. Aku sudah salah jalan. Telah mengingkari kisah kita. Saat ini, aku tengah menjalani dua dunia. Jika bertanya pada rasa, di mana sebenarnya pelabuhan yang kutuju, rasa akan enggan menjawab. Sebab, sebelum melakoni dua dunia ini, aku tak pernah berdiskusi dengannya, atau sekadar mohon diri. Sengaja kukirim sms saat ini, karena aku tahu sebentar lagi kapal akan merapat. Katakan pada sosok asing yang akan kau jumpai dalam monologmu nanti, ini kali terakhir kau menunggunya”.
Ibarat petir di siang bolong, itulah tamparan paling keras dalam hidup Wella. Lelaki yang dipercaya sebagai penjaga hati, datang dengan kejujuran yang menjijikkan, melebihi sebuah kebohongan paling busuk. Lelaki terindah hingga dia merelakan dirinya mengenal banyak hal terkonyol, kini bermutasi menjadi monster. ”Tapi bukankah cinta tak butuh tali? Dan kisah tak akan pernah berakhir, sebelum rasa itu sendiri datang mencabutnya. Lalu di mana rasa saat Erang….berkhianat? Dan, ruang tunggu itu?” Monolog Wella.
Ruang tunggu adalah tempat persinggahan jejak yang pergi dan datang. Mampir sejenak di sana berarti siap berfluktuasi dengan imajinasi menjadi orang lain. Yang siap berangkat pasti ingin bertukar sosok dengan yang baru turun dari kapal. Tapi, akankah yang datang juga menginginkan itu? Yang tersisa hanyalah kumpulan penjemput dan pengantar dengan imajinasi liar berpendar dari satu titik ke titik lain.
Ruang tunggu dengan pembatas berupa pajangan kaca tembus pandang adalah penjara nyata untuk setiap keinginan berontak. Sebuah titik jungkir untuk berlayar dan terus berlayar, hingga tak pernah kembali. Atau titik labuh setiap keinginan untuk tak lagi pergi. Bisunya tiang penyangga dan beningnya kaca pembatas tak pernah mengajak para pesinggah untuk berdiskusi tentang arti datang dan pergi. Atau sekedar bernegosiasi betapa retaknya sebuah hati yang ditinggal.
Tut...tut...tut...Sayup-sayup dari kejauhan terdengar bel kapal berbunyi. Wella sadar dari terpekurnya. Pedih yang melukai hati serasa pulih seketika. Dia bangkit dan berangkat ke pelabuhan. Masuk ke ruang itu. Dan berdiri di tempat kemarin ia berdiri.
Dia diam sejenak, lalu; “Nana, ini kali terakhir aku tak perlu menunggumu lagi di ruang ini. Dan kau tak harus pulang sebelum bertemu dengan rasamu itu. Kutunggu kau dan rasamu kembali di ruang hatiku. Di sana kupastikan kalian masih sempat berdebat sebelum kau akhirnya pergi lagi. Ketahuilah aku tak cukup punya kekuatan tuk menahanmu. Cinta kita tidak butuh tali!!” Tit…tit….tit…, sms terkirim.

CATATAN :
Enu : panggilan buat perempuan dalam kosa kata bahasa Manggarai NTT.
Nana : panggilan untuk lelaki.
Erang : hebat, jago, luar biasa, istimewa.
Wella : diadopsi dari kata wela yang berarti bunga.
Labuan Bajo : nama kota di ujung barat Pulau Flores NTT. Kota yang termasuk salah satu ikon pariwisata lokal dan nasional, sebagai tempat transit para wisatawan yang hendak berkunjung ke Pulau Komodo.
Tilong Kabila : Satu-satunya kapal penumpang milik PELNI yang bersandar di pelabuhan Labuan Bajo dengan rute pelayaran Makassar-Labuan Bajo-Bima-Lombok-Bali.


GEGURITAN
GAPUK...
Dening: Redjo Wahid

Sumilir angin wengi iki
Rasa adem tansah nggugah ati
Binarung suaraning ratri
Ra krasa luh tumetes mlebes mili

Mbok..aku bingung
Prasasat lumebu ing alas gung liwang-liwung
Dalan-dalan kuwi tansah nyandhung-nyandhung
Gawe cupet ati petheng katutup mendhung

Aku isin marang gebyaring lintang
Aku gila nyawang sewu ayang-ayang
Kang tansah tumuju lenggah
Ing sakjroning impen ngejawantah

Mbok..aku ora kuat
Nampa panandhang kang kedungsang-dungsang
Pepes nyempyok prahara sinandhang
Aku ora kuat..

Nalarku gempung...
Ora bisa weruh
Marang sapa aku njaluk tulung
Aku gemblung..

Apa kalbuku wus gapuk
Banjur arep nglumpruk
Ing sakjroning angen-angen kang temumpuk
Mboh ra weruh

Pacraban Wukir Kencana
14 Maret 2008


PUISI-PUISI
Hari Ini Tak Ada Pagi
Untuk: Ayu
Oleh: Sukardi Cimeng

Hujan itu telah mulai reda
Setelah semalam memuntahkan isi hatinya
Seiring detik jam yang terus berjalan
Lagilagi matahari tak mau menyembul keluar
Bertengger di balik gunung menggantikan malam yang pekat
Hanya angin dan kabut yang berselingkuh di balik bukit
Menyisakan dingin yang menusuk pori
Apakah hari ini tak ada pagi?

Ah, biarlah
Pagi adalah makhluk yang tak bernyawa
Berkuasa atas kehendak tuannya
Aku masih punya kata dan pena
Yang kan kurajut menjadi cerita kehidupan
Menyusuri titian panjang
Hingga kutemui engkau yang telah lama menunggu
Bersembunyi di balik bayang mimpi malam itu

Kita berjalan bersama
Mengurai kata yang telah kita susun
Hingga di akhir asa

Pengasih, Januari 2009


Derup Jiwaku
Oleh: Ike Riyanti N.

Kuambil pena
Aku goreskan di atas kertas
Khayalku meninggi
Sekilas terlihat jalan
Panjang terbentang lurus
Itulah jalan setapak
Jalan yang acapkali aku lalui
Walau terasa berat hati jiwa
Raga ini, yang ada hanya
Dirimu, hanya bayangmu
Lihat sungai kering
Riak air tak nampak
Sekering hati di sini
Menanti..
Hanya bayang mu, hanyalah
Itu yang selalu kau berikan
Hari-hari yang sepi
Tanpa dirimu
Rasa hati menggebu-gebu
Berjumpa denganmu
Walau hanya sekejap
Sejauh mata memandang


Setelah Seorang Pemburu Singgah
Oleh: FAFA

Pemburu itu akhirnya singgah. Di kepompongku
Menggantungkan sayapsayap kekupu liar lain di celahcelah
Buruannya.

"Warnamu akan indah." Ia meletakkan senapan
Berdiri menaksir aku. Setelah menggantungkan sayap terakhir di celah
Yang tersisa

Dalam kepompong. Dalam remang. Dalam balutan Warna indah sayapsayap itu
Sayapku yang mulai tumbuh. Mendadak
Patah
Ia berdiri dan pergi


Denting Sunyi Menyergap
Oleh: Septi Martiyani

Tawamu membeku
Dan hatimu membisu
Kepakan sayap pipit di ujung cemara
Gerimis yang membentak di balik jendela
itu hanya sekeping luka yang kau bilang begitu indah
saat kau beritahuku arti cinta
saat kau berikan aku nafas cinta
kau berkata semua tentang cinta
Luka indah itu kini kau lukai
Dengan jeratan benang hitam di hati
Kau kekang dengan sejuta kebohongan
Merobek hatiku yang haus asa
gerimis itu adalah air mataku
dan pipit kecil itu adalah jeritan hatiku
apa cinta itu hanya divariasi luka?
dan harus berakhir dgn luka ?
Aku memang tak lagi mau mencinta
Sematkan luka indah itu sebagai cahaya
Biar aku yang berakhir dengan luka


MAGNET
Oleh: Siti Masitoh

Seperti magnet, kita menyimpan ego
Berguru pada arah yang tak bisa disatukan
Kutub utara
Kutub selatan
Kita pun memilih salah satunya
Untuk saling berlawanan
Atau berdekatan

Seperti magnet, kita mencipta diri
Mengekalkan muatan, atau melebur keberadaan
Positif
Negatif
Kita pun belajar darinya
Untuk menjadi lebih
Atau menjadi kurang

Seperti magnet, kita hanya saling memindahkan
Luka pada senyum
Kuat pada rapuh
Hingar pada sepi
Apa yang tampak
Dan apa yang kita sembunyikan
Seperti juga petak umpet
Yang membiarkan kita memilih
Dicari
Atau mencari


Kota dengan Warna Jingga
; Jogjakarta
Oleh: Andjar

Redup lampu jejalan merasuk kejiwa menjadi lilin, meleleh diam-diam dalam kenangan musim, gugur dalam setiap panggil
Degup rindu menanya cakrawala menggeletar
Tak sampaikah, segala panggil pada ruang segala kuingin
Mirip resah, dedaunan yang jatuh dimainkan arus angin Jiwa yang tak jua diam, menjejak gelegak
Ku bawa segala getir, cerita burung dengan ingatan yang karatan
Lusuh sayapnya, mendekap deru cuaca tak reda-reda
Tak jengah diarus ; menggerus
Kota dengan segala warna jingga, memeram jiwa; menanti ku bertumbuh dalam dahaga
dalam letih tanya, di rimbun cecabang ku mengais kemakluman
Lapar yang tak reda
Sisa rindu yang tak lerai dalam peziarahan ingin kutandaskan benar, deras sangsai pada muara pertemuan Kusapa juga musim, dimana cawan kerontang menanti gerimis kepulangan Sisa kembara, lelaki yang menyetubuhi mimpi; lebam jiwanya diliputi debu jejalan-trotoar
mengalir darah, di deru kota; datang juga segala bising dengan erangan dari masa silam
Lanskap kota yang tercabik; menimbun prasangka, etalase kaca,
berserah pada cakrawala dalam gerimbun antene; rumah-rumah kaca
Anak-anak zaman mencari; di tikungan gamang, di cecabang perdebatan

Jogjakarta, Maret 2006


Sebatang Lilin
Oleh: Ragil Prasedewo

Sebatang lilin tergeletak di atas nisan
Di sebelahnya, sebilah pedang, serangkai bunga,seonggok
Batu diam dalam malam
Sebilah pedang, serangkai bunga, seonggok batu, temani
Kesendiriannya
Ketika senyap hadir
Seorang anak yatim, ikut mengirim doa

Djogja, 26 Februari '09


SMS DARI PEMBACA
”Ass. Klo mu ngirim cerpen g5n? Pa langsung bs dmuat? Wass. ”
(Aftanty 085292843XXX)

”Slmt pg. Sy Andarisa. Dmana x bs mndptkn lontar. Sy blum puas klo hnx liat dblog. Cz sy sring khbsn. Krn ksbkn jd g up date n g bs ngrim tlisan”
(Andarisa, 085292451XXX)


BACA BUKU
Puisi & Santri; Seperti Kopi

Judul : Hijrah dari Tubuhmu (Antologi Puisi Komunitas Malaikat)
Cetakan : I Februari 2006
Penerbit : Komunitas Malaikat Tasikmalaya JABAR
Tebal : viii + 81 halaman

Bagi saya, membacai beragam puisi, seperti menikmati secangkir kopi. Dari mulai aroma wangi hingga larut mencercap getir setiap butirannya. Dan seperti keimanan saya yang lain, puisi bukanlah kata-kata yang muntah begitu saja. Tanpa mengendapkan rasa, puisi tak lebih dari omong kosong belaka.

Adalah sembilan penyair dari Komunitas Malaikat yang konon adalah santri yang penyair (atau penyair yang nyantri?) yang mencoba membenamkan kegelisahannya dalam wujud larik puisi yang apik. Bahasa kerinduan, keterasingan, keberjarakan antara aku (penulis) dengan yang lain terungkap cukup seragam dalam antologi ini. Barangkali karena ‘ruh’ dari masing-masing penyair yang nyaris sama, meskipun latar belakang kesibukannya berbeda.

Persinggahan demi persinggahan saat hijrah dari pesantren ke pesantren, agaknya membuat para penyair ini kenyang dengan kata-kata. Terlihat dari penggunaan metafor yang cukup rumit, sehingga mengisyaratkan bahwa puisi ini berat, bahkan bisa dibilang cukup serius. Meski begitu karena ruh ke-’santri’-annya yang juga cukup melekat, tidak sedikit dari puisi-puisi dalam antologi ini yang terkesan nyufi. Ekspresi kesahajaan, kejujuran, lugas, dan apa adanya, begitu menggoda. Sesederhana menjalani hidup sebagai sabda titah semesta. Ufhh...
Sebagai seorang pembaca biasa, bisa jadi saya tidak jujur kepada Anda.

Lantas, bagaimana menakar kejujuran sebuah puisi dalam antologi ini? Barangkali Anda sendiri yang harus menjawab dengan membacanya.
(AriZur, Penikmat kopi dan cerita iseng lainnya. Masih menunggu cinta)


BIODATA PENULIS LONTAR
EDISI 21/Th. III/2009
Andjar, panggilan dari A.Ginandjar Wiludjeng, lahir di Banyumas 11 Juni 1983. Mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) dan ASDRAFI (Akademi Seni Drama Film Indonesia). Dipercaya sebagai Ketua Teater Dokumen (Pendopo Mangkubumen) periode 2005-2007 UWMY. Sekarang, sajak-sajaknya bertebaran di media massa, lokal maupun nasional. Tinggal di nDalem Mangkubumen Yogyakarta.
Ragil Prasedewo, penyair dari SMK N 2 Pengasih jurusan Bangunan. Dia menggemari sastra dan rajin hadir di acara Tadarus Puisinya LA. Ia juga tak malu membacakan sajak-sajaknya. Tinggal di Mutihan Wates.
Siti Masitoh, saat ini berstatus pengantin baru. Bersama suaminya, Burhanul Fahruda, belajar menulis sajak kehidupan berdua saja. Meski menikmati keberduaannya, ia tetap aktif memegang tampuk PU LONTAR. Tinggal di Plumbon Temon.
Redjo Wahid, penggurit aktif yang 'nyentrik'. Tinggal di Wates dan Panjatan.
Ike Riyanti N, tidak menyertakan biodata lebih panjangnya kecuali bahwa ia adalah pelajar di MAN 2 Wates, Jl. Khudhori Wonosidi Kidul KP.
Septi Martiyani, mengaku senang baca LONTAR, tapi tak tahu gimana caranya dapetin LONTAR selain dari perpus sekolahnya, di SMK N 1 Pengasih. Pelajar kelas X Ak 1 ini ber-email di nurani.bening@yahoo.co.id.
Fafa, Nyonya baru. Masih betah tinggal di Hargorejo Kokap. Blog pribadinya ada di selepas-lautan.blogspot.com.
Elang Retak, menyatakan terima kasih pada LONTAR atas spirit multikultur yang “dibuka” melalui buletin sastra ini. Cerpenis asal Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur ini tengah menempuh studi di Jurusan Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta. Berdiam di Mrican-Arimbi 10 Yogyakarta.


KATA-KATA MUTIARA
"Jika seseorang kehilangan kesenangan kecil dalam hidupnya, bahkan seandainya kesenangan besar sekalipun, dan sebagai gantinya diberi kesempatan mencintai seseorang, maka tak ada yang lebih baik dari itu”
(Taslima Nasrin, dalam novelnya; LAJJA)