Friday, July 27, 2007

LONTAR 4

Memoar Seorang Perempuan
Cerpen AriZur

Peron masih basah. Bau malam pun belum lenyap benar. Wangi rerumputan yang tersapa pagi masih sedikit menyisakan embun. Sepi.

Keputusan ini sudah final. Hatiku telah bulat untuk meninggalkan Jogja. Meninggalkan semua mimpi-mimpi, menanggalkan segenap resah yang selalu menghantui di setiap tidurku.
Masih terngiang jelas silang pendapatku dengan ibu.

Duapuluh lima tahun bukanlah masa yang singkat. Berbekal asa, kubulatkan tekad meneruskan perjuangan Kartini. Berteriak lantang membebaskan kaumku dari pemiskinan dan penindasan. Tapi apa yang terjadi? Semuanya telah diluluhlantakkan oleh ibuku yang ironisnya adalah bagian dari kaum yang aku perjuangkan.

"Pokoknya kamu mesti nurut apa kata romo dan ibumu, titik".

"Tapi, Ratri belum ingin menikah sebelum apa yang Ratri cita-citakan tercapai, Bu...", rajukku sembari menahan isak.

"Jadi kamu melawan perintah romo dan ibu, gitu!"

"Bukan maksud Ratri melawan kehendak romo dan ibu. Tidak sama sekali. Hanya saja beri Ratri waktu. Ratri masih ingin sekolah".

"Nduk, bukan berarti romo dan ibu sudah tidak mau membiayaimu sekolah. Mana ada orang tua yang tidak senang kalau anaknya bisa sekolah lebih tinggi. Jadi orang pinter. Hanya saja ibu sudah tidak tahan dengan gunjingan orang-orang. Mbok ya lihat usiamu itu, sudah tidak pantas untuk terus melajang".

Aku terdiam. Lagi-lagi ibu membawa sensasi kuno itu lagi sebagai alasan perjodohanku. Sensasi yang hanya diukur dengan standar kepantasan umum.

Antara pantas dan tidak pantas, antara wajar dan tidak wajar. Sesuatu yang selalu disorot dari hitam dan putih. Saja.

# # #

Tak terasa sudut kelopak mataku mulai membasah. Sepintas kulihat arlojiku menunjukkan pukul 06:35 WIB. Masih setengah jam lagi, pikirku. Ah, lambat benar, gumamku sembari menggerutu.

Sedikit menepi dari keramaian orang yang mulai mengantri menunggu keberangkatan kereta, kusapu air mataku dengan punggung jemariku. Kulewatkan penantian ini dengan mengenang masa lalu. Membiarkan ingatanku mengembara jauh ke sebelah tenggara kota Jogja.
Kotagede. Tempat di mana aku terlahir dengan nama Rr. Ratri Kusumaningtyas. Putri ketiga dari pasangan RM. Suryo Saputro dan RNgt. Rumanti. Dari gelarnya saja sudah terlihat kalau keluargaku adalah keluarga ningrat. Aku hidup serba berkecukupan. Apa saja yang aku inginkan selalu terpenuhi. Meskipun pada awalnya duniaku hanya terbatas dalam benteng keraton, tak lebih.

Ketika aku masih kecil, aku hanya tahu Dakonan, tari-tarian serta tembang dolanan Jawa yang lain, sementara kedua kakak laki-lakiku boleh dibiarkan bermain sesukanya bersama teman-teman sebaya di luar keraton. Dari situlah kemudian aku berontak. Aku merasa ada perlakuan yang tidak adil dari romo dan ibuku. "Kamu ini anak perempuan, nggak pantes kalau bergaul dengan anak laki-laki!" kata-kata itulah yang selalu membuatku merasa menjadi bagian kedua setelah kedua kakakku yang kebetulan saja laki-laki. Memang aku akui, dalam adat keluargaku, seorang perempuan yang keluar rumah masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu.

Arghh..persetan dengan semuanya. Lama-kelamaan aku merasa bosan dengan keadaanku. Kehidupan ningrat ternyata tak ubahnya hidup dalam penjara bagiku. Kehidupan yang serba aturan, tata krama dan segala tetek-bengek adat-istiadat yang membuatku semakin terasing dengan diriku sendiri. Kehidupan yang terbangun hanyalah sebatas hubungan antara abdi dalem dengan ndoro majikannya, yang jelas membenarkan adanya perbedaan status sosisal. Dan itu semakin membuatku merasa tidak betah.

Selang kemudian, aku sedikit beruntung diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di luar tempat tinggalku. Dari situlah aku mengenal kehidupan luar. Dunia yang jauh dari keberadaanku sekarang ini. Dunia yang mengajariku warna pelangi, bukan warna hitam atau putih saja melainkan juga warna-warni lain. Jelas kesempatan ini tak 'kan kubiarkan percuma.
Sesekali di sela-sela kuliah, aku mulai aktif dalam beragam kegiatan, berdiskusi dengan kawan-kawan seperjuangan, ikut aktif melibatkan diri di LSM yang bergerak dalam bidang advokasi perempuan. Meski semua harus kulakukan dengan mencuri-curi waktu; tanpa sepengetahuan romo dan ibu, tetapi semua berjalan rapi bahkan hingga gelar lulusan strata satu aku sandang.
Yach...sepenggal cerita itu hanyalah sepotong mimpi. Hingga datanglah seorang Bagas Susetyo. Sesosok nama yang disebut-sebut romo dan ibuku sebagai calon suamiku. Kehadirannya ternyata telah mengacaukan semua mimpiku. Mimpi-mimpi yang aku bangun dari kecil untuk membuat kaumku sedikit terangkat dari kubangan penindasan.

"Sudahlah, Nduk. Manut saja sama romo dan ibumu. Kurang apa sih nak Bagas itu? Orangnya baik, sudah bekerja, wis mapan. Pokoknya nggak bakalan nyusahin hidupmu", bujuk ibuku ketika menggambarkan sosok calon mantu bagi anaknya. Siapa yang tidak kenal dia? Bagas adalah salah satu konglomerat di Jogja. Dia bekerja di perusahaan perak ayahnya yang sekaligus sebagai pewaris satu-satunya karena dia anak tunggal.

Hmm, aku hanya bisa mengulum pedih. Kenapa sih di usia yang sudah berkepala dua masih suka di atur, pikirku. Bukankah tugas utama ketika seseorang menginjak masa dewasa adalah deklarasi kemerdekaan?

Yach, kemerdekaan, kebebasan! Bebas dari segala macam apapun. Siapapun. Terlebih bebas memilih untuk menikah atau tidak sekalipun. Apalagi dengan seseorang yang tak pernah aku kenal siapa dia. Bagaimana dia. Ah...tidak mungkin!! Pikirku. Buatku, menikah bukanlah satu-satunya jaminan untuk hidup bahagia. Kalau toh kita bisa bahagia tanpa harus menikah, lalu buat apa menikah?? Bagiku menikah tak lebih dari suatu produk kebudayaan masyarakat, yang hanya melegalkan tubuh perempuan untuk bebas dinikmati oleh seorang lelaki. Sesuatu yang agung dari sebuah lembaga perkawinan, sering dilupakan. Tak jarang justru dalam lembaga ini, kekerasan dan ketidakadilan menemukan tempat aman. Huhh..aku gemas!

# # #

"Kereta api jurusan Jogja-Jakarta di jalur dua akan segera diberangkatkan. Diharap para penumpang agar bersiap-siap".

Suara operator kereta sontak membuyarkan lamunanku. Gontai langkahku menyusuri gerbong-gerbong kereta, mencari tempat kosong. Sengaja kupilih tempat dekat jendela agar bisa lebih leluasa menikmati perjalanan.

Kulemparkan pandang ke luar. Masih kulihat hijaunya sesawahan yang entah berapa tahun lagi harus tergusur oleh pesatnya zaman. Keramah-tamahan yang terpancar dari penduduknya yang tidak akan pernah bisa aku lupakan. Jogjaku. Aku akan tetap merindukanmu.

Selang beberapa jam dari stasiun Tugu, mendadak tubuhku tersungkur. Jerit ratusan penumpang histeris ketakutan. Empujaya telah kehilangan kendali ketika sebuah Pick-Up melintas di perlintasan KA. Roda-roda kereta seketika keluar dari rel. Menghempaskan tubuhnya hingga terlempar beberapa meter. Suasana seketika menjadi hening. Sehening langkahku pagi tadi.

Aku merasa sayap-sayap telah membawaku terbang. Meretas bebas ke entah. Wangi aroma therapy yang biasa aku baui di lingkungan keraton serasa menyengat hidungku.

Dalam keremangan, samar kulihat wajah ibu. Kucium tangannya sambil berbisik lirih, "aku masih perempuanmu, Ibu. Yang hanya punya vagina dan payudara. Dan hanya itu yang membedakan aku dengan lelakimu!!".

(An-Najah PP. Wahid Hasyim, 29-30 Maret 2004)

BILIK REDAKSI
Salam Sastra!
Bukan suatu kebetulan jika di bulan Maret banyak yang belum tahu ada momentum penting. Ya, tanggal 8 Maret adalah "Hari Perempuan Internasional". LONTAR menggayung sambut momen itu, bukan karena 'latah sosial", lebih dari itu, LONTAR sebagai wadah sastra adalah juga subkultur dari wajah sosial yang sudah semestinya peduli. Mungkin terlalu romantis jika LONTAR bergerak jauh di garda depan perjuangan kaum perempuan. Namun setidaknya LONTAR mencoba beringsut "menyuarakan perempuan" dengan mendorong terwujud-nya masyarakat berkeadilan gender, melalui keindahan yang LONTAR menyebutnya: Sastra! Semoga sedikit suara tentang perempuan di edisi ini bisa memantik harapan tersebut.
Selamat membaca ….

SMS (Seputar Membaca Sastra)
Sastra merupakan dunia yang bebas diskriminasi gender. Sastra dalam arti yang sebenar-benarnya tak boleh diskriminatif.Untuk Indonesia, sejak dulu perempuan seolah-olah merupakan obyek yang tiada habisnya. Perempuan lebih banyak diposisikan sebagai tokoh sentral. Bedanya, kalau dulu menggunakan 'bahasa lelaki' karena penulisnya pria, sekarang yang muncul adalah 'bahasa wanita'.

Kalau kini muncul karya sastra yang ditulis oleh perempuan dengan bahasa yang sangat lugas dan apa adanya, itu bukanlah pemberontakan." Pemberontakan adalah perlawanan atas perlakuan yang tidak adil. Padahal, sastrawan pria pada umumnya justru menampilkan wanita sebagai sesuatu yang indah, bahkan lebih indah dari aslinya,".
Karena itu, perempuan penulis tampaknya tidak menghendaki kepalsuan tersebut dan lahirlah dalam karya mereka sosok perempuan sebagai manusia biasa yang mendambakan kekuasan, harta, dan seks. Berbagai pengakuan terbuka dalam karya sastra, termasuk dalam novel Petir karya Dewi Lestari (Dee), bertujuan membebaskan sastra dari kepura-puraan atau kepalsuan. Di situ digambarkan bahwa perempuan bukan lagi sang dewi yang tanpa cacat Terkadang kebablasan,memerosokkan diri kedalam seks rendahan.

Memek karya Djenar Mahesa Ayu misalnya terjerembab dalam soal selakangan, yang rendah, bukankah estetika kejujuran bukan berarti sama dengan adegan bahasa seks yang vulgar? Dan yang sangat risi manakala kita membaca swastika yang mengambil setting kota Yogyakarta, seolah menasbihkan Yogyakarta sebagai kota Kelamin Sastra yang sejati merupakan karya yang adil, seimbang, dan menyeluruh.

Karena itu, seorang lelaki atau seorang perempuan yang memilih mengabdikan hidup di bidang sastra harus membebaskan diri dari jenis gendernya.Dan tetap kritis tidak terejebak waton beda dengan lelaki.(A Samsul Ma'arif, pecinta budaya)

ADA APA DENGAN LA
LA Audiensi
Selama Januari dan Februari 2007 Komunitas Lumbung Aksara (LA) melakukan audiensi dengan instansi terkait, seperti Perpustakaan kabupaten Kulonprogo, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kulonprogo, serta Dinas Pendidikan Kulonprogo. Materi audiensi seputar perkenalan komunitas dan program kerja. Selain mendapat tanggapan positif, ketiga instansi tersebut siap membantu program kerja LA. Bahkan di tahun 2007 ini, Perpustakaan Daerah Kulonprogo sudah memrogramkan hibah buku sebagai rintisan perpustakaan komunitas LA. (Ndari)

Tadarus Puisi Edisi Kelima
Tadarus Puisi (TP) edisi kelima digelar pada Sabtu Kliwon, 17 Februari 2007 bertempat di rumah Siti MAsitoh (Plumbon, Temon). Program bulanan LA ini dihadiri beberapa simpatisan dan wajah-wajah baru. Tidak ada narasumber khusus, namun TP kali ini terkesan lebih ekspresif sebab langsung dikomentari oleh anggota yang hadir. Baik dari segi isi maupun pembacaan. "Ternyata modal membaca puisi sama dengan membuat puisi yaitu PeDe!", komentar salah seorang anggota komunitas LA. (Mazzie)

Silaturahmi Kultural Komunitas LA
Kesadaran pemahaman budaya di kalangan masyarakat dan pemerintah daerah terasa masih rendah. Salah satu indikatornya, budaya masih dipahami secara sempit. Akibatnya, konsentrasi program dan anggaran dari Pemda di bidang kebudayaan hanya berkutat kegiatan seputar seni. Padahal budaya itu meliputi banyak aspek.

Hal ini dikemukakan tokoh masyarakat Kulon progo Drs. Ahmad Subangi saat menerima "silaturahmi budaya" komunitas Lumbung Aksara (LA), 28/2/07. Lebih lanjut anggota DPRD dari Partai Golkar ini mengatakan harus ada kelompok masyarakat yang berjuang di atas kultural seperti LA. Tapi perjuangan seperti itu kurang memberi keuntungan politis-ekonomis, jadi dibutuhkan individu yang betul-betul punya komitmen kultural.

Di tempat terpisah, komunitas LA bersilaturahmi dengan Yusuf Cahyono. Anggota DPRD dari PAN itu menyarankan komunitas LA mendekat ke Dewan Kebudayaan Kulonprogo. "Perjuangan anggaran lewat APBD sulit. Solusinya Lontar harus mendekat ke Dewan Kebudayaan agar dijadikan sub kegiatan sastra di lembaga tersebut", kata anggota dewan yang pernah membidani lahirnya Sanggar Seni Sastra Kulonprogo. (Samsul)

BYAR
Per-empu(k)an
Ketika membayangkan perempuan, kadang saya teringat sosok ini: Seorang perempuan yang setelah "menjewer" anaknya yang penguasa diktator dan kemudian ia menjadi penguasa di kota Macondo, sejatinya ia telah mewartakan ketegaran seorang perempuan. Meski, dibalik kekuatannya, ia masihlah perempuan yang suka menangis.

Memang, Ursula Iguaran, tokoh perempuan dalam novel One Hundred Years of Solitude (novel ini pertama kali terbit dalam bahasa Spanyol: Cien Anos de Soledad tahun 1967) karya Gabriel Garcia Marques tersebut belum bisa memberi konklusi atas sosok perempuan.

Saat lain, saya juga ingat Sri Sumarah: tokoh perempuan dalam prosa karya Umar Kayam yang begitu "sumarah", manut-miturut, demi menjaga sebuah wisdom bertajuk nilai adiluhung. Sumarah pun tak sepenuhnya memberi gambaran final tentang perempuan.

Meski agak prematur, kita bisa bertanya: mengapa pengarang Kolumbia (Marques) memilih melukiskan perempuan sebagi sosok tegar, daripada pengarang pribumi (Kayam) yang menampilkan perempuan sebagai pribadi yang tersubordinir?

Benar, tak semua pengarang pribumi menampilkan perempuan sebagai makhluk "lemah". Tapi bahwa imej perempuan (Jawa) itu ringkih , sekedar konco wingking, terutama karena "dibentuk" oleh wacana pustaka kita, hingga detik ini masihlah menghantui. Padahal, dalam hidup sehari-hari, amatlah tak terhitung perempuan kita yang tampil tegar dan heroik.
Dengan demikian, kecurigaan bahwa ketegaran perempuan kita selama ini ditutupi oleh wacana yang dikembangkan ideologi patriarki tidaklah berlebihan. Barangkali berangkat dari sinilah timbul ungkapan "sejarah itu miliknya laki-laki" (His-Story dan bukannya Her-Story).

Di lain pihak, tak sedikit perempuan yang suka dipandang dari sisi wadag-nya saja. Selebriti atau bukan, kini banyak yang terlihat ikhlas dan bahkan bangga mempertontonkan ke-empuk-an tubuhnya. Seolah menjustifikasi sebuah larik kalimat yang amat terkenal dalam novel Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi AG: Nikmat Pangkal Paha.

Anehnya juga, sebagian kaum hawa beranggapan: untuk menaklukkan dominasi kaum adam mesti ditempuh lewat jalur tubuh. Padahal, ada banyak cara yang elegan agar seorang perempuan bisa tampil tegar, terlebih tak menjadi korban ideologi patriarkt. Tengoklah Siti Khatijah, RA Kartini, Bunda Theresa, atau yang lainnya.

Ironisnya, sangat jarang perempuan yang berkaca pada sosok tersebut. Mengapa? Mungkin benar yang ditulis Dorothy W Cantor dalam bukunya Women in Power: perempuan itu jarang mengimpikan masa depan yang gemilang.***M AR W A N T O

Lisa-Ku (Liputan Sastra Kulonprogo)
Tanggal 1 Maret 2007 di kota Wates, tepatnya di sepanjang trotoar depan eks-gedung bioskop yang sekarang difungsikan sebagai gedung pertunjukan bagi masyarakat Kulonprogo, Komunitas Teater Kulonprogo (Tekape) bersama divisi sastranya (ASK) menggelar performance art bertajuk "Serangan Puisi 1 Maret". Acara ini diselenggarakan dalam rangka mengenang jiwa patriot dan semangat "Serangan Umum 1 Maret". Visualisasi puisi dalam bentuk gerak, pola dan bunyi berlangsung 3 jam serta didukung oleh 20 awak ini membawakan puisi-puisi karya Chairil Anwar (Red)




PUISI
Bias Semu Malam
Oleh Nur Islamiyatun

Malam menjadi saksi beku
Ketika resah mengembang dalam senyumku
Semburat benakku menjadi dalih
Dalam panjangnya harapanku
Sekerat daging dalam tubuh
Memilah arti seutas bayang
Memberi kejora dalam arti yang berbeda
Dalam derap titian langkah terjalku
Kunanti jawaban Esa
Dengan rangkai doa tulus
Atas kesucian yang mengarah laju
Berderit hingga cerah hari-hariku
Kumenanti songsong senyum terkias
Ketika seonggok lobi di depanku
Mencakrawala dalam hidup takdirku
Aku mendesah kelu pada sepoi angin
Merintis peluh dalam tapak jalanku
Berharap jawaban Esa ada padaku

Perdamaian
Oleh Refia Adriana

Kudamaikan diriku denganmu, sobat
Setelah perselisihan panjang
Dan alotnya perdebatan
Tanpa kumengakuinya, menerima
Maaf dari sebuah penyesalan
Saat itu aku terluka
Perih dan menganga lebar
Dan kau membasuhnya dengan dusta
Saat itu aku tersulut amarah
Dan kau meniupkan oksigen
Menjebakku dalam bara yang panas
Sekarang...aku pasrah
Kukatakan, aku butuh perdamaian
Disaksikan semua penderitaan
Aku berjanji, tak akan ada lagi kebencian

Cintaku Saudaraku
Oleh Verliendia Yunita

Ketika malam datang
Kesunyian ini menghadang
Sunyi, senyap dan sendiri
Hanya suara hewan-hewan malam yang menemani
Malam kian larut
Hatiku kian tersudut
Kecintaanku pada seseorang
Menjadi duri di sebuah persaudaraan
Pikiran, hati dan perasaanku
Semakin lama, semakin kalut
Kenyataan ini membuat aku jadi penakut
Aku pun tak tahu apa yang kutakutkan...
Duhai malam...
Hanya engkau saksi bisuku
Tetesan air mata kebingungan
Antara cinta dan persaudaraan
Tapi aku hanya dapat selalu ingat
Bahwa cinta tak harus memiliki
Dan cinta tak ingin dimiliki
Jika cinta itu dipaksakan...
Maka hanya akan menyakitkan perasaan

Masih Juga
Oleh Mazzie

Bocah perempuan terkatung-katung di ayunan
Gaun putih menyiratkan keabadian
Bersama debu mengubur impian pada langit-langit benderang
"Ini di mana mama?", katanya
Sebutir keheningan seolah jawaban
Dan waktu yang melenggang membodohi kenyataan
"Sabarlah nak, ayahmu masih di perjalanan"
Mungkin jika telah tiada petang ia datang
(15 Januari 2007)

Karamnya Perahu Kertas
Oleh Reni Windars

Badai menampar anjungan perahu kertas
menghantam buritannya di gunung es yang menjulang
menghempaskan tubuhnya ke samudra yang berjelaga
sunyilah perahu kertas yang limbung berlayar
tiada kawan menggayut senyap
adakah hatinya menyimpan kata
laksana zikir panjang mayapada yang tak jua berakhir
menghantar perahu kertas pada takdirnya
kau dengarkah lantunan doa
mengiringinya jumpai penguasa jagad raya?
( MayaPada, 2006)

Untuk Perempuan Terluka
Oleh Dewi Fatimah

Kesedihan
Hanyalah sebuah kubangan yang dalam
Semakin kau memasuki
Tak ada ujung kau temui
Satu-satunya pilihan hanyalah
Keluar dari kubangan itu
Cepatlah melaju
Usah menengok lagi
Tidakkah kau lihat
Tangan-Nya yang setia
Terulur meraihmu
Engkau hanya pantas bersama-Nya
(Kulonprogo, 1 Suro 1428)

KATA MUTIARA
Setiap detik yang berlalu
Adalah kesempatan untuk Merubahnya

By
Komunitas Lumbung Aksara
Membaca - Menulis, Menjaga Hidup

SMS dari Pembaca
Asslkm. Kpd Buletin "LONTAR"..sya mau tny, kpn t'akhir pngumpulan puisi? Apkh pd s't tadarus puisi? bgmn jk esok sya mngajak tmn ktk s't tadarus puisi? (081392868xxx)

Aq dodo den, Sentolo. Biasa pakai nama al-fakir,td bc lontar eh k kpngn sms, kykn lontar pny energi CINTA yg kuat neh, wadau..kpn2 pngn ktmuan dgn pra sstrawny blh? (081807000xxx)

Biodata Penulis Edisi 03/Th.I/Februari 2007
Ari Zur, alumni UIN SuKa, pernah nyantri di An-Najah PP Wahid Hasyim. Cita-citanya menjadi penyair yang beriman.
Dewi Fatimah, lahir 1979. Terobsesi memiliki kolam Eldorado, sanggar lukis, butik, dan sekolah alternatif. Tinggal di Wates.
Nur Islamiyatun, alumni MAN Wonokromo Bantul, beberapa puisinya pernah dimuat majalah Bhakti.
Refia Andriana, pelajar SMK N 1 Pengasih ini lahir di Kulonprogo, 25 Mei 1989. Tinggal di Siluwok, Temon.
Reni Windars, lahir 25 Oktober 1987 masih kuliah di FBS UNY Yogyakarta. Tinggal di Jatirejo, Lendah.
Mazzie, atau Siti Masitoh, lahir 22 Nopember 1980 masih berjuang menyelesaikan studi di UIN Suka. Tinggal di Temon.
Verliendia Yunita, pelajar SMEA Muhamadiyah 1 Wates, tinggal di Temon.

No comments: