Tuesday, August 14, 2007

LONTAR 7


DUA SIMPUL MATI
Cerpen Fajar R. Ayuningtyas


Berbincang dengan Nan, aku menemukan duniaku. Sebuah dunia yang diwakili kata, sajak-sajak, cerita-cerita pendek dan bincang ringan tentang karya-karya indah yang pernah kami baca. Seperti suatu sore, dibacakannya untukku Perempuan Padang Lalang(1) saat aku sedang melukis senja di samping rumah (sepintas mengingatkan pada Chairil yang membaca sajak barunya di depan Mirat yang sedang melukis).


“...Aku menunggumu. Bahkan sampai mata berlumut dan tubuh mengeras batu. Aku menunggu. Sentuhan dan rabaan tangan yang ajaib itu...”(2)


Aku berhenti menyapukan cat di kanvas. Diam kupandang Nan. Seperti biasa matanya bicara bahasa yang hanya bisa dimengerti hati. Hubunganku dengan dia memang hanya hubungan hati dalam makna sebenarnya. Persentuhan fisik sepertinya bukan sesuatu yang penting buat Nan. Tanpa persentuhan ia memang telah mampu menyentuh hatiku. Nan pernah bilang cinta tingkat tinggi kadang tidak membutuhkan sebuah pertemuan fisik. Seperti kata Jalaluddin Rumi dalam syair-syairnya.


“Tapi Rumi bersyair lebih menuju Tuhan, Nan”


Waktu itu Nan hanya tersenyum penuh arti dan menggenggam tanganku, sebelah tangannya memegang buku puisi.

“Seandainya aku bisa bilang betapa aku mencintaimu. Tapi kalau aku bilang aku cinta kau pasti kau tertawakan aku. Pasti kau bilang 'apa tidak ada kalimat lain yang lebih indah?'”

Nan mengecup tanganku. Aku tersenyum. Tertawa kecil dan kembali menyapukan cat menyelesaikan pulasan terakhir pada langit dalam lukisanku.

*

Hidup ini memang pelik. Di sebelahku Era bermain dengan pikirannya sendiri sembari menggenggam tanganku. Bagaimana mungkin aku hendak tak peduli padanya? Mungkin aku bukan orang baik. Menit-menit yang kulalui bersama Era rasanya seperti membaca Supernova(3). Meledakkan emosi dan mempermainkan imaji liar.


Era berbeda dengan Nan. Suatu kali pernah kuajak ia menonton pementasan puisi yang membacakan karya-karya Afrizal Malna. Sudah kusiapkan tiket namun sengaja bukan mengajak Nan sebab aku mau suasana baru.

“Aku gak ngerti, Afrizal Malna tu siapa? Bagaimana aku bisa nonton?”

Suatu kali pula, saat senggang aku memberikan padanya bacaan ringan dari salah satu seri Chicken Soup. Tahu apa reaksinya?

“Kau ini, kenapa kau suruh aku baca buku masakan?”

Begitulah. Tapi kau menemukan dunia yang berbeda, yang dengan Nan tak pernah bisa kudapatkan. Apa aku terdengar rendah jika kukatakan ini adalah dunia persentuhan fisik? (Aku sempat malu mengakuinya!). Tapi aku seolah mendapatkan sedikit pembelaan saat aku selesai dengan lembaran terakhir Larung(4). Digambarkan bahkan seorang pastor pun akhirnya, sebab kemanusiaannya, melakukan apa yang baginya terlarang.

Era membawaku pada sebuah dunia yang mungkin hedonis. Dunia penuh kesenangan yang menolak berpikir. Dan aku dengan mudahnya ikut terjebak di sana. Nan akan butuh waktu dan kata-kata yang tepat untuk bilang bahwa ia mencintai aku, tapi Era tidak membutuhkan apapun untuk menyekap bibirku dalam suatu ciuman tergesa. Selalu tergesa, tapi kusukai. Apalagi jika gerimis turun, betapa indah sebuah ciuman di bawah rintik air.

Dan, aku jatuh cinta. Dengan begitu mudahnya.

*

Mungkin aku memang bukan orang baik. Dengan Nan dahagaku akan dunia yang kucintai terpuaskan. Batinku kaya dengan pengalaman-pengalaman dan jiwaku mendapatkan supply energi untuk menikmati hidup. Nan adalah belahan yang sepertinya disediakan Tuhan untukku.

Dengannya aku bisa berbincang tentang apapun, mulai membahas komik Doraemon sampai mengapresiasi Rendra, dari mulai mengomentari artikel di majalah sampai berdiskusi soal trafiking. Nan juga pasangan yang kompak untuk duduk menonton pementasan-pementasan puisi dan teater, penikmat sastra sepertiku.

Nan sempurna. Untuk batinku. Nan sangat sempurna memuaskan keliaran pikiranku, menampung semua yang bahkan tak terkatakan.

Tapi mungkin sebab aku bukan orang baik. Nan yang dingin dan alpa membaca naluriku membuatku memasukkan Era ke sisi hidupku yang lain, membuatku menginginkan Era. Yang lugas dan terus terang, sentuhan-sentuhannya membuatku mendamba. Pengakuan yang mungkin akan membuat muak orang lain. Tapi bukankah itu salah satu dari ghara'iz manusia? Kehilangan satu naluri ini membuat manusia bukan lagi manusia. Ah, mendadak aku sok agamis.

Tapi Era bukan teman untuk bicara. Bincang dengannya membuat aliran ideku serasa tersumbat. Saling tak mengerti dunia masing-masing. Bincang dengannya pasti akan berhenti pada satu titik, kebekuan.Kemudian, suatu sore, saat cuaca yang aneh mengubah warna pohon akasia langsing di depan rumah menjadi keunguan, suasana menjadi ganjil dan tak dikehendaki ketika Nan dan Era muncul di teras rumah. Tiba-tiba kecemasan bertebaran di udara.

“Kau tentukanlah pilihanmu!” Era mulai meneriakiku sementara Nan mencengkeram bahuku dan memaksaku menatapnya.

“Hatimu pasti membawamu padaku. Kau perempuan padang lalangku.” Mata Nan yang biasanya lembut tiba-tiba terasa sangat memisauku.

Era mendorong Nan.

“Ia tak akan datang padaku jika kau urus baik-baik perempuan padang lalangmu ini!”

“Sudah!” aku berteriak. Berlari masuk dan kubanting pintu.

Di balik pintu waktu berlalu lambat, seperti neraka yang tak pernah berakhir. Lalu bagaimana mungkin aku memilih? Aku membutuhkan keduanya dalam hidupku. Aku membutuhkan Nan bagi jiwaku, sekaligus juga membutuhkan Era untuk ragaku. Seperti Chairil membutuhkan Mirat untuk gejolak jiwanya, untuk inspirasi puisi-puisinya, tapi juga setia mengunjungi Siti yang buta huruf dan tak mengerti sajak, di gubuk pinggir rel kereta(5) Seperti banyak hal di dunia ini yang saling tak bisa dilepaskan satu sama lain. Jadi jangan pernah salahkan jika keputusan untuk memilih itu,bahkan tak kupertimbangkan.

Watulunyu, Mei 2007
1) Sebuah puisi Warih Wisatsana
2) Cuplikan puisi Perempuan Padang Lalang, Warih Wisatsana
3) Novel Dewi Lestari
4) Novel Ayu Utami, setelah Saman
5) Aku, Syumandjaya


Bilik Redaksi


Salam Sastra!

Gelisah. Kami tengah disundut gelisah. Mungkin karena kami memang penggelisah. Untuk itulah kami bersuara. Karena kami belum mampu berbuat lebih. Atas apa yang tersaji di media akhir-akhir ini. Batin kita sebagai anak bangsa dibuat meruyak. Ketika “atas nama kekuasaan” kekerasan dijadikan senjata ampuh untuk menindas rakyat, membunuh rakyat, menginjak harga diri atas hajat hidup rakyat. Tidakkah ini artinya kita tengah bergerak m enggelinding turun menuju serpihan sebuah bangsa yang “konon” cinta damai? Semoga hal yang sama tidak menularkan virus di sekitar kita-kita.

Selamat Membaca...


BACA BUKU
Eksistensialisme Cinta, Filsafat dan Estetika
Judul buku : Lousiana - Lousiana
Pengarang : Jamaluddin Wiartakusumah
Penerbit : PT. Grasindo
Tahun : 2003
Editor : Neta

Begitu eksotis, walaupun temanya tentang cinta yang sudah banyak tersemat di beberapa judul novel akan tetapi ini bukanlah hanya sekedar novel percintaan. Novel bernuansa barat tepatnya Negara Denmark sebuah negeri yang miskin cahaya mentari. Dengan setting tata ruang kota yang berderet gedung-gedung tua bernuansa modern. Sebuah karya arsitektur zaman pertengahan, yang membuat kita bertamasya ke sejarah masa lalu.

Disinilah dunia arsitektur dibincangkan sebagai bumbu gurih dalam keseharian seorang mahasiswa Arkitekskole dalam petualangan cintanya. Membuat kita berimajinasi tentang keromantisan, juga tentang karya-karya seni rupa yang disampaikan dengan mudah dan gamblang.

Lousiana-lousiana sebuah nama museum di kota Kopenhagen Denmark. Konon diberinama Lousiana karena pemilik rumah yang dijadikan museum ini. Knud W. Jensen, seorang maecenas karya seni modern, menikah dengan wanita bernama Lousiana, istri yang pertama ini meninggal, kemudian menikah lagi dengan wanita yang bernama Lousiana, istri kedua ini pun meninggal, kemudian menikah lagi dengan wanita yang bernama Lousiana juga. "hummm…… Tuhan ada-ada saja!!!"

Novel yang menggandeng kita untuk memahami "eksistensialisme" Soren Aabye Kierkegaard. Lewat cerita anak sunda yang berkepribadian timur untuk menyesuaikan dengan kepribadian barat yang sekuler dan bebas. Kita diajak uintuk merenungkan cerita yang serba kontras, penuh lika-liku, benturan dua budaya, pergolakan lahir dan batin anak adam. Novel yang mengajak kita belajar filsafat, moral, dan teori seni juga cinta.(Astiliano W., The Dragon Fyer X. Pecinta Buku. Tinggal di Galur)


ADA APA DENGAN LA
TP ke-8
Tadarus puisi yang merupakan tradisi rutin bulanan Komunitas LA, kali ini terasa cukup istimewa. Mengambil tempat di komplek Taman Binangun KP di Minggu pagi 27 Mei 2007 lalu, Komunitas LA menggelar helat sederhana guna memperingati Satu Tahun LA sekaligus 365 Hari Gempa Jogja. Acara yang bertajuk “Ada Apa dengan LA” ini, selain dihadiri oleh kerabat LA sendiri juga tampak kawan-kawan sastrawan Jogja. Yaitu Aguk Irawan MN (penulis novel Kitab Dusta dari Surga) dan Salman Rusydie Anwar (Sanggar KUTUB Krapyak Jogja).

Seperti biasa, diawali dengan tradisi Tahlil selama + 5 menit, acara ini kemudian dilanjutkan dengan refleksi perjalanan LA setahun ini. “Saya sangat terharu melihat semangat temen-temen untuk menumbuhkembangkan kebudayaan dengan seadanya.Terlebih ketika memilih sastra di jalur pinggir.” Tegas Aguk Irawan MN sembari mengimbuhkan agar ke depan LA bisa bekerja sama dengan LESBUMI dan tidak hanya menggarap sastra, tapi juga teater. Selamat buat LA! Semoga tetap semangat untuk terus “Membaca - Menulis; Menjaga Hidup”. (AriZur)

LA Bedah “Louisiana-Lousiana” di Pinggir Kali Progo
Siang menjelang sore-Kamis 31 Mei 2007, di pinggir kali Progo tepatnya di seberang barat jembatan Srandakan, Komunitas LA membedah novel karya Jamaluddin “Lousiana-Lousiana” sambil lesehan di “Saung Progo” cafe & Resto. Pembedah kali ini adalah sahabat Asti Widakdo dengan dihadiri 12 pecinta sastra. Acara bedah buku ini dijadwalkan menjadi kegiatan rutin Komunitas LA sebagai salah satu bentuk pelestarian tradisi “Membaca- Menulis; Menjaga Hidup”. (Mazzie)


BYAR
Rahasia
Rahasia itu bagai magma, menyimpan kedahsyatan yang tak terduga. Simak misal puisi Sapardi berikut: tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan juni/ dirahasiakan rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu. Puisi tersebut menjadi indah, salah satunya, karena sisi kontradiktoris ditampilkan dengan wajah lembut. Sapardi tak serta-merta “menentang” perspektif meteorologi dan geofisika yang melihat bulan Juni sebagai kemarau.

Rindu yang lama tak terlampiaskan, adalah “hujan yang dirahasiakan”. Apa yang terjadi ketika “hujan yang dirahasiakan” tadi satu demi satu terkuak? Sebuah kedahsyatan siap menyapa. Dan apa yang terjadi ketika “hujan yang dirahasiakan” itu tak kunjung turun? Ia menjadi guru terbaik dari ketabahan dan kearifan.

Seorang pemuda yang “merahasiakan” cintanya pada pujaan hatinya bagai seorang ahlus-saum yang tak cepat patah arang. Ia juga akan merawat hubungan cintanya dengan bijak, untuk tidak egois. Seorang yang beramal dengan siri, selain menerima pahala yang dahsyat, juga mengasah ketabahan (menghadapi kesempitan maupun kelapangan) dan sikap bijak (untuk tidak “berteriak” yang bisa berakibat mengurangi pahala maupun menyakiti yang diberi). Demikianlah buah dari rahasia: dahsyat, tabah, dan bijak. Bukankah semua itu positif bagi kehidupan?

Tidak ! Pelanggaran hukum yang dirahasiakan, tidak diusut, adalah gouletin yang siap memenggal leher bangsa ini, kata seorang teman yang di tahun 1998 hampir diculik rezim Orde Baru. Teman tersebut sepenuhnya benar. Tapi benar dari segi hukum, di negeri ini, sering dikacaukan dengan: perbandingan kemanfaatan dan kemudaratan bagi kehidupan bernegara. Maka jangan heran, jika seorang Amien Rais yang semula lantang ingin mengungkap (rahasia) penggunaan dana non-budgeter DKP, tiba-tiba bersikap: dar' al-mafasid muqqadam 'ala jalb al-masalih (menghindarkan bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan kewajiban yang baik).

Benar, untuk menghindari polemik antar pemimpin yang bisa kontraproduktif bagi perjalanan bangsa, masalah tersebut mesti dibawa ke (dan diselesaikan lewat) jalur hukum. Namun persoalannya, “bahasa hukum” di negeri ini hanya milik segelintir orang. Apa-apa yang sejatinya terjadi pada proses hukum, selain mengenal istilah “tebang pilih” --juga sepenuhnya misteri, seutuhnya rahasia. Dalam atmosfir seperti ini, tidakkah Tuan Amien rindu mengulang perjuangan di tahun 1998 ?

Barangkali momentum reformasi memang tinggal kenangan Sebab, hal tersebut berkaitan dengan momentum politik yang usianya juga amat pendek. Namun, seperti pesan Mao, “meski hidup kita terbatas, revolusi tak pernah mengenal tepi*** M A R W A N T O ( http://markbyar.blogspot.com )


PUISI


AKU BOSAN
Oleh : Sri Juliati

Mata terpejam, terlena malam
Sunyi senyap bawa mimpi kelam
Hati berontak kala angin membekam
Raga lemah menggumam
Khayal melesat terbang
Menjauh dari keraguan
Tak kuasa tuk teriakkan
A K U B O S A N !!!


AKANKAH
Oleh: Reni Windars

Di setiap ufuk ketemukan
Hamasah yang lelah
Azzam yang mulai ringkih
Izzah yang terkoyak
Di setiap langkah kupijak
Bumi bergetar
Gunung berpendar
Bergerak, sujud menuju-Mu
Di setiap tarikan nafas kutanyakan
Akankah Engkau gantikan kami, Robbi??
Bukit Cubung, Mei 2006


KABAR RAHASIA
Oleh : Akhiriyati Sundari

Aku lihat rembulan luruh di pelataran bangku taman
Memajang potongan resahmu dalam gumpalangumpalan cendawan musim hujan
yang dibawa angin ketika hendak berlari kacau ke arah selatan
Bergemuruh kemudian, ditikam kabarkabar yang mematikan akan lakumu yang
tak pernah bisa kutebak, bahkan dalam malammalam memanjang saat
pertemananku dengan rembulan itu masih sehangat suhu badan
Aku lihat kau berlari menembus batas pendengaranmu sendiri
Seperti berlomba membisikkan kalimat rahasia pada telingatelinga
pemancar yang tak letih bersiar ;
“Akan ada yang mati hari ini, Bung!”
Lalu kulihat piala itu retak, melumpuhkan gelisah telingatelinga yang
bising oleh gaduhmu!
(Jl. Brigjen Katamso-Wates, September 2005)


KEMARAU PUN MULAI
Oleh : Enes Pribadi

langit tak lagi menangis
ketika petani desa siap membangun pagar
tanahnya yang berdebu
dibuatkan lubang.
untuk menanam biji bijian
menyongsong paceklik.
kemarau kemaraulah, girangnya
kemarau pun mulai
pepohonan sudah meranggas
rumpunnya hilang
tiada belaian daun
kalau kemarau panjang
mungkin siang mungkin terang
sisa tonggak jadi tegak
aku
aku lupa


MENJAMAH MALAM
Oleh : Dodo el-Faqir

dalam ketenangan
dalam kegelapan
si pekat menampak
andai si bodoh bisa sempurna
andai si pandai tawadu
andai kegelapan tak menyertai malam
andai matahari tak hadir dalam siang
mungkin ada yang ingin berkata
katanya ada TUHAN?
hanya malam yang mampu menjawabnya
mampu menyembunyikan sifat lahir
al f@kir 2007


AKU MENCARIMU
Oleh : Purwanto

Di gunung
Di lembah
Di pantai
Hampir gila
Ternyata kau ada di sini


AKU DAN KATAMU
Oleh: Zukhruf Latif

Aku
melangkah di tepi malam memegang kitab suci
teriak di mimbar seakan dunia hanya sejengkal
membaca ayat tentang surga dan neraka
tentang iman dan kafir
tentang bumi dan langit
tentang matahari dan bintang
galaksi dan cahaya
kemudian buntu dalam labirin otakku
aku bertanya sendiri
sendiri
tanpa tahu ke mana kucari jawabku
karena katamu
itu tidak perlu,
tidak semua mesti terjawab, katamu
bahkan Tuhan pun tak menjelaskan
ketika malaikat bertanya
kenapa Dia ciptakan manusia
yang jelas-jelas akan merusakkan bumi dan menumpahkan darah
kita hanya hamba, katamu
yang tak layak bertanya kepada tuannya apa saja
kita hanya patut mengabdi, katamu
dan hanya mengabdi
sebagai hamba sebaik-baik hamba
dan aku termenung dalam sepi kamarku
(Juni, 2007)


TEMBANG BULAN JUNI
Oleh : Faiz al-Hady

Sepertinya sunyi dan rindu akan lebih banyak menemaniku
Aku kehilangan mereka
Aku telah kembali lagi di sini, menghidupkan gerimis kenangan dalam
nyanyian waktu
Ingin kukirim surat jiwaku kepada mereka. Tapi mereka tak akan tahu
karena aku sembunyi bersama waktu. Biarkan lukaku menua lalu terkapar di
sepanjang musim ini.
Aku ingin membuang separuh mimpiku. Lewat air mata tapi mengapa ia
hanya mengalirkannya dalam sesat. Dan tak mampu melawan badai di jiwaku.
Aku semakin terkurung dan terperosok jauh. Dalam teka-teki mati. Tapi
aku harus kembali. Untuk mengenali diriku sendiri.


KATA MUTIARA
Malas, Bukan Saja Kontra Produktif
Tapi Juga Kontra Revolusi
Presented By
KOMUNITAS LUMBUNG AKSARA
membaca-menulis;menjaga hidup


SMS dari Pembaca
“Mhn maaf ats ketdk hadrn km pd acr ultah LA. dr Jgja km ucpkn slmt ultah ke 1. Smg LA lbh maju dn sukses. Maju terus Komunitas LA”(Humam- 081931765XXX)

“Saya acungkan 4 jmpol tx Lontar. Sy pgen nanya, bgaimana cranya tx mjadi komunitas Lontar? Tadarus puisi acrnya ngapain sih?”(Andhika- 085643246XXX)


Biodata Penulis
Akhiriyati Sundari, Orang Indonesia yang suka dengar koleksi musik Slowrock. Sesekali nimbrung di “Forum Téh Toebroek” Wates. Tinggal di Ngestiharjo. E-mail : monggo_mocomoco@yahoo.co.id

Dodo el-Faqir, alias Widodo. Bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang handphone. Tinggal di Banguncipto Sentolo. Aktif dalam pengkajian Islam di pesantren Gaul Kiai Bantar Angin.

Enes Pribadi, sering juga memakai nama Papi Sadewa. Pendidik di SMAN 1 Wates. Penyair yang pernah meramaikan jagad perpuisian Kulonprogo di era tahun 1980an ini tinggal di nJurangkah Temon.

Faiz al-Hady, nama pena dari Ummul Faizah. Alumni MAN Wonokromo Pleret Bantul. Saat ini tengah nyantri di PPAI Maron Purworejo.

Fajar R. Ayuningtyas, punya nama panggilan Fafa. Bekerja part-time di sebuah warnet di kota Wates. Tinggal di Ngulakan Hargotirto Kokap. Penggemar novel Seno Gumiro Ajidarma.

Purwanto, lelaki satu ini adalah pengusaha Herbal yang sukses. Cukup aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Lumbung Aksara. Tinggal di Dusun IV Tirtorahayu Galur.

Reni Windars, gadis kelahiran Kulonprogo, 25 Oktober. Pecinta sastra yang menekuni Sastra Indonesia di Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia UNY angkatan 2000. Tinggal di Sumberejo Jatirejo Lendah.

Sri Juliati, sesuai namanya ia lahir di bulan Juli tanggal 21 tahun 1989. Baru saja usai mengikuti UAN di SMUN 1 Sentolo. Tinggal di Nanggulan.

Zukhruf Latif, Lelaki kelahiran 26 Mei 1975 ini adalah Lay-Outer handal LONTAR. Alumni Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pendidik gigih yang satu ini adalah Kyai Tetap di Lumbung Aksara dengan spesialisasi Ro'is Tahlil.

No comments: