Sunday, November 25, 2007

LONTAR 12

BILIK REDAKSI

Salam Sastra !
Sejarah, separonya dipercaya menjadi juru pengingat ketika semuanya bermasyuk dalam kealpaan, bahkan ketika sejarah 'melupa' tersebut menjelma monster bernama "amnesia sosial" yang berlatah-latah. Akan tetapi, benarkah sejarah memiliki kekuatan sebagai juru pengingat seperti itu? Sebegitu hebatnyakah?

Pembaca LONTAR yang budiman, sungguh sayang, hingga hari ini kita masih belum bisa menyaksikan sejarah 'kebenaran' yang bisa kita jadikan juru pengingat demi menjadi sebuah bangsa yang besar. Kita terlalu malas untuk mengingat dan belajar (dari) sejarah. Bisa jadi dulu ketika kita duduk di bangku sekolah (banyak duduk daripada aktif 'bergerak', bukan?)---di mana menjadi satu-satunya tempat belajar sejarah yang dipandu oleh kurikulum---tak pernah semestinya. Tak heran jika kita terbiasa dibelokkan oleh sejarah dan akhirnya kita terbiasa pula untuk membelokkan sejarah. Tak ayal kesemuanya berurat akar dan merembet di banyak ranah. Ah, sebuah silang sengkarut cerita sebuah bangsa yang tak pernah "besar". Kalau begitu kita musti bagaimana?

"Tanyakan saja pada teh botol!", jawab seorang pengamen jalanan dalam laju bus jurusan Wates - Jogja.

Selamat Membaca....


CERPEN
N A Z A R

Cerpen Nani Enha

Aku bermaksud melaksanakan nazarku. Jika mendapat beasiswa tahun ini, akan berziarah ke pegunungan kidul, tempat dimakamkannya Mas Na. Aku akan mengajak ibuku ke sana.
Dan Tuhan mengabulkan! Dengan mengumpulkan fotokopi nilai akademik dua semester dan persyaratan lain, alhamdulillah namaku tertera pada pengumuman penerima beasiswa di antara sekian nama yang ada. Aku bersyukur, ini anugerah. Selain meringankan beban orang tua, aku juga berharap semua ini bisa menutup rasa bersalahku pada Mas Na.

Pagi itu, berdua dengan ibuku---ibu termasuk orang yang punya ikatan emosional dengan Mas Na---kami naik bus antar kota antar propinsi, + 3 jam perjalanan. Semua lancar, hanya ketika memasuki wilayah desanya, aku agak lupa. Setelah bertanya kanan-kiri, akhirnya ada mobil yang bersedia mengantar kami---tentu saja dengan tawar-menawar ongkos bensin. Maklum, rumahnya agak masuk dari jalur angkutan umum.

Sampai di rumah mas Na, kami bertemu orang tua dan adiknya. Mereka menyambut kami dengan senang hati. Sekian lama tidak bertemu, sangat terasa, keberadaan hubungan persaudaraan kami ternyata masih kental.

Setahun lalu, ayah Mas Na terpuruk, sulit berkomunikasi dengan orang-orang: shock kehilangan anaknya, mas Na! Mas Na adalah anak yang diharapkan bisa mengangkat nama baik dan derajat orang tua dan keluarga, tetapi rupanya Tuhan belum mengijinkan. Saat itu mas Na pulang dengan tubuh sudah menjadi jenasah, berada di dalam peti tertutup. Mas Na benar-benar berpulang!

Kami tidak berlama-lama di rumah itu, karena kami ingin segera berkunjung ke makam mas Na dan kami diantar oleh adiknya.

Tidak jauh, kami bertiga dengan adik Mas Na, menyusuri jalan-jalan setapak hingga sampai di pemakaman. Dengan khusyuk, kami memanjatkan doa untuk arwah Mas Na. Orang yang membawa segudang kenangan hidup di masa lalu, yang nasihat-nasihatnya masih kuingat dan sesekali masih kubuka surat-suratnya.

Ketika itu aku tak menyadari. Teman sekolahku di SLTA memperkenalkanku pada kakaknya secara sepihak, dengan memberikan cerita-cerita dan foto-fotoku. Mas Na sendiri tengah menjadi guru di perantauan Ujung Kulon. Dia sudah cukup dewasa dan bermaksud mencari pasangan hidup. Ketika aku telah dijadikan pilihan, Mas Na yang lugu mengirim surat yang sangat polos dan sederhana bahasanya. Cerminan seorang lelaki yang betul-betul tulus, dan mungkin belum pernah 'mengenal' perempuan. To the point, aku diajak menikah.

Aku bimbang. Di usiaku yang masih belia, aku masih punya banyak obsesi; kuliah, mondok di pesantren dan sebagainya. Lagi pula, aku belum siap memikirkan pernikahan. Untuk mengobati kekecewaannya, aku berinisiatif mempertemukan Mas Na dengan kakak perempuanku yang sampai saat itu belum juga menikah. Kebetulan kakakku juga tengah bertugas mengajar di lokasi yang tidak jauh dari tempat Mas Na bekerja.

Untunglah, Mas Na dengan berbesar hati mau memahami keadaanku, dan siap menerima---kemungkinan menjadi kakakku---dengan senang hati. Apalagi setelah kuceritakan bahwa 'kualitas' saudara tuaku lebih baik dalam berbagai hal dibanding aku. Meski begitu, ia tetap tak bosan memberikan nasihat-nasihat padaku; tentang agama, pesan-pesan moral, motivasi untuk belajar dan peningkatan ibadah. Di antara pesan-pesannya; carilah ilmu, engkau akan diangkat derajatnya, diampuni dosa-dosanya. Ilmu tinggi tanpa iman akan sia-sia belaka, iman tanpa ilmu akan lumpuh (ditolak). Malaikat akan menghamparkan sayapnya karena keridloan terhadap pencari ilmu.

Pada kali lain ia menyarankan; hati-hatilah terhadap rayuan pria, buktikan imannya, cintanya, akhlaknya. Walau jutawan/rupawan/cendekiawan, kalau kurang taat kepada Allah, apa gunanya hidup? Kurang taat kepada Allah berarti kurang tanggung jawab terhadap diri, apalagi kepada istri! Dan masih banyak pernyataan-pernyataan lain yang agak ekstrim.

Tetapi, tidak semua niatan baik berjalan mulus. Suatu ketika, surat-surat yang dikirim dariku atau temanku---yang biasanya disatukan dalam amplop yang mau diposkan---tidak sampai ke tujuan. Beberapa saat, komunikasi terhenti. Usut punya usut, ternyata surat-surat yang kami kirim, disita oleh pimpinan sekolah, di mana Mas Na bekerja. Konon, Mas Na dimusuhi pimpinannya karena tidak bersedia dijadikan menantu.

Mas Na telah berteguh hati untuk bergabung dengan keluargaku. Ucapannya; "...tapi Dik, kalau aku gagal dengan kakakmu, aku tidak akan berkeluarga. Kecuali adiknya tetap bersedia menggantikan". Aku merasa aman ketika kakakku menyambut kehadirannya.

Bertepatan dengan liburan akhir tahun, Mas Na berencana mau pulang kampung. Agenda yang paling penting adalah Mas Na mau meminang seorang perempuan cantik, lembut dan saleha, atas saran dan pilihanku, kakakku---karena aku mendapat kepercayaan untuk itu. Demi kasih tulusnya, Mas Na melaksanakan setiap kata-kataku, tanpa syarat? Kami semua ikut berbahagia untuk mempersiapkan semuanya. Tetapi di tengah kebahagiaan itu, aku menyimpan sedikit rasa bersalah. Karena pada awalnya aku tidak berterus terang bahwa kak Juwita, sebetulnya bukan kakak kandungku. Meski bukan, tapi kami masih ada jalinan keluarga.

Hari Senin pagi yang ditunggu-tunggu dengan segala keceriaan, tiba-tiba berubah menjadi mendung, berkabut awan tebal. Seorang utusan dari jauh, membawa kabar duka. Sebelum keberangkatannya ke kampung, fajar menjelang subuh, Mas Na tiba-tiba muntah darah, dan dalam waktu singkat, jiwanya tak tertolong lagi. Innalillahi...tak ada orang yang tahu sebab-sebab kematian yang sesungguhnya.

Banyak yang berduka; aku dan keluargaku, keluarga Mas Na sendiri, dan teman-temannya, terlebih-lebih calon istrinya? Sang pangeran yang ditunggu-tunggu ternyata pergi lebih cepat. Berhari-hari aku menangis dan seperti lumpuh. Mas Na, orang yang selama hidupku, meski aku belum pernah bertatap muka langsung dengannya---dan tak akan pernah bertemu selama-lamanya---tetapi jalinan persahabatannya, kepercayaannya, kesetiaannya seperti saudara yang selalu bersanding. Aku tidak mungkin melupakannya dalam hidup ini. Apalagi jika mengingat pernyataan ekstrimnya yang membuat aku merinding; "Demi penghormatanku pada dirimu yang menghormati saudara tuamu, aku percaya dan menerima saranmu dengan ikhlas, karena kau perempuan satu-satunya yang kupilih. Tapi sekali lagi, kalau aku tidak menjadi saudaramu dan gagal dua-duanya, berarti adik telah rela dengan sadis membunuhku!". Duh, Gusti. Sejauh inikah?

Sekembali dari ziarah, aku dan ibuku langsung berpamitan pulang, tidak lagi mampir ke rumahnya. Beban di dadaku terasa lebih ringan dan lega. Kutinggalkan areal pemakaman dengan tembang jiwa sejuta kenangan. Selamat tinggal Mas Na, aku menjadi saksi atas kebaikan-kebaikanmu, maafkan segala kesalahan dan kekhilafanku. Kudoakan semoga engkau bahagia di sana, penuh kedamaian bersama Tuhan...amin. Air mataku mengalir deras dan deras sekali..., aku tak peduli sekeliling!
(Agustus 2007)



BYAR
Tergoda


Tak banyak orang seperti Joaquim Chissano. Setelah berkuasa selama 18 tahun (1986-2004) di Mozambik, ia memilih lengser. Padahal, Konstitusi negara itu masih memberinya hak untuk mencalonkan diri. Tapi, menurutnya, "demi perkembangan demokrasi saya tidak mencalonkan diri lagi….."

Tentu masa depan demokrasi tak hanya membutuhkan hadirnya "orang yang mau mengalah" an sich. Tapi sebuah sikap: mampu menjaga jarak dengan kekuasaan dan menjamin berlangsungnya regenerasi kepemimpinan secara fair. Dan Chissano telah memberi tauladan yang baik tentang dua hal itu. Ya, karena saat ia berkuasa, Mozambik tengah dilanda perang saudara. Dan ketika ia lengser, negeri itu dipandang telah makmur, demokratis dan damai. Ibarat orang mendorong mobil mogok, Chissano tak ikut naik apalagi sampai terlena menikmati laju mobil. Ia menyilahkan generasi berikutnya untuk mengemudikan mobil yang telah lempang berjalan. Menakjubkan dan mengharukan !

Chissano juga menggugurkan asumsi sementara teori, bahwa di negera berkembang sulit muncul "negarawan". Langkanya sikap kenegarawanan dari para politisi di negara berkembang inilah yang acapkali menyebabkan suksesi mesti disertai percik darah. Dan itu tak terjadi di Mozambik dibawah kepemimpinan Chissano. Padahal dibanding Indonesia, Mozambik ibarat "anak kemarin sore". Negeri hitam itu baru merdeka pada 25 Juni 1975.

Alhasil, sikap kenegarawanan tak mesti berbanding lurus dengan usia dan kultur negara. Amerika, bangsa modern yang mengaku pelopor demokrasi, sejatinya telah berulangkali (bahkan secara telanjang) mencederai demokrasi di bawah kepemimpinan seorang presiden yang tidak saja gagal sebagai negarawan, tapi juga bodoh. Sementara di "negeri katrok", muncul seorang Chissano: lelaki kelahiran Desa Malehice (Provinsi Gaza), 22 Oktober 1939 itu adalah pribadi yang unik (bisa berbicara, menghargai dan duduk bersama oposisi di meja perundingan ) dan amsal seorang "negarawan yang khusnul khatimah": mengakhiri kekuasaan dengan elegan.
Siapapun tentu ingin mengakhiri kekuasaan dengan elegan. Persoalannya, seperti juga harta dan wanita, tahta memang selalu menggoda. Dan umumnya kita lebih memilih untuk tergoda.***
M A R W A N T O (http://www.markbyar.blogspot.com/)



ADA APA DENGAN LA
Bantuan untuk TBM LA Terus Mengalir
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) "Lumbung Aksara" yang dirintis sejak Juli lalu terus mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Bantuan berupa buku, majalah, dan buletin tersebut datang dari: Sdr. Witarman (pengusaha Loundry di Sagan Yogya), Sdr. Nur Hidayat (PNS di Pemda Temanggung), Sdr. Didik Komaidi (penerbit Sabda Media), Sdr. Arif Fauzi Marzuki (Logung Pustaka), Sdr. Wantoro (Tabib di Lendah), Mr. Daud (pengajar sebuah gereja di Solo) dan komunitas sastra PAWON Solo. Di akhir tahun ini, bantuan buku senilai 6,5 juta dari Badan Perpustakaan Propinsi DIY rencananya akan cair. Diucapkan terima kasih untuk semuanya. Partisipasi aktif dari masyarakat luas selalu ditunggu. Bagi yang tertarik mengunjungi TBM "LA" dipersilahkan datang ke Jl. Makam Kiai Bathok Bolu Wahyuharjo Lendah. ( Samsul )

Syawalan Sastrawan Kulonprogo
Kamis siang, tanggal 18 Oktober 2007, Papi Sadewa (Drs. Pribadi) mengundang sejumlah penulis Kulonprogo untuk acara syawalan (halal bi halal) di kediamannya, nJurangkah (Temon). Hadir dalam acara tersebut sastrawan dari Sangsisaku (Ki Soegiyono MS, Papi Sadewa, Danu Priyo Prabowo, Nur Wododo, dan Legiyo) maupun beberapa kawan dari Lumbung Aksara. Selain diisi ngaji budaya oleh Ki Soegiyono MS, pada acara tersebut juga digagas "Temu Sastrawan Tiga Kota" (Kulonprogo, Purworejo, Yogyakarta) yang rencananya akan digelar 13 Januari 2008. ( Itul )

Media Indonesia dan Kawula Muda
Jum'at, 2 November 2007, bertempat di Ruang Sidang Utama kampus UNY Karang Malang, Surat Kabar Harian Nasional Media Indonesia mengadakan roadshow "Sosialisasi Rubrik Tent@ng". Sebuah rubrik yang terbit setiap hari Rabu ini merupakan wadah yang dikhususkan bagi mereka-mereka yang muda dan kritis yang tergabung dalam sebuah komunitas. Pada umumnya rubrik ini berisi seputar siapa dan bagaimana sosok sebuah komunitas itu dibentuk. Lumbung Aksara---yang merupakan komunitas yang concern di bidang sastra non-profit---adalah salah satu komunitas terpilih untuk menghadiri undangan tersebut. Rencananya, dari 10 komunitas yang hadir saat itu akan mendapat kesempatan bergantian untuk mengisi rubrik ini. (AriZur)

Setahun Tadarus Puisi
Tak terasa, Tadarus Puisi sudah genap berusia setahun. Tepatnya, Selasa 30 Oktober 2007 lalu. Sebagaimana kali pertama diselenggarakan, pada ultahnya yang pertama ini TP juga mengambil tempat di kediaman lurah Lumbung Aksara. Hujan deras yang sejak siang hari mengguyur bumi Kulonprogo menyebabkan hanya sebagian anggota LA yang bisa mengikuti ritual bulanan ini. Acaranya pun lebih banyak diisi dengan rapat LA dengan Sangsisaku, salah satu komunitas sastra di Kulonprogo. Ada hubungan apa di antara keduanya? "Tunggu saja tanggal mainnya!", kata salah satu anggota LA. (Hening)


SMS (Seputar Menulis Sastra)
Memfungsikan Karya Sastra

Karya sastra dapat dianggap sebagai proses komunikasi. Karenanya, pesan dalam suatu karya sastra dapat dipahami semata-mata dalam kaitannya antara pengirim dan penerima pesan. Meskipun ada kecenderungan bahwa karya sastra semata-mata dibuat untuk memenuhi kepuasan pribadi, dalam hal ini pengarang itu sendiri. Akan tetapi, karya sastra hanya akan tetap hidup dalam masyarakat manakala ia juga dimanfaatkan oleh orang lain. Karena bagaimanapun, keseluruhan karya sastra mengacu pada struktur sosial di luarnya. Sehingga untuk dapat hidup dalam masyarakat, karya sastra harus berfungsi. Salah satu cara memfungsikannya adalah dengan menggali makna yang terkandung dalam teks/bahasanya.
Bahasa dalam karya sastra, bukanlah bahasa yang dianggap biasa-biasa saja, melainkan suatu sistem komunikasi yang sarat dengan pesan kebudayaan atau keseluruhan aktivitas manusia. Tanda-tanda dalam bahasa sastra bukanlah milik karya itu sendiri, tetapi berasal dari konteks di mana ia diciptakan, atau di mana ia lahir dan tertanam. Tanda menunjukkan sesuatu dibalik sesuatu dari sesuatu yang dikatakannya itu sendiri. Dengan kata lain, tanda mewakili sesuatu yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh pengarangnya.

Di satu sisi, seorang seniman yang telah terlanjur ’melepaskan’ karyanya untuk dinikmati orang lain, ia harus siap manakala karya-karya tersebut dimaknai dan ditafsiri dengan sesuatu yang ’berbeda’ dengan maksud sang penyair sendiri. Semata-mata, pembaca adalah seseorang yang mencoba memahami dan memfungsikan karya sastra tersebut, seseorang yang mencoba ’mengintip’ sesuatu tersembunyi di sebalik karya sastra.

Di sisi lain, pembaca menginginkan penafsiran yang lebih ’mendekati kebenaran’ suatu karya, mestinya tidak hanya terpaku pada teks/bahasa semata, tetapi jauh lebih ke dalam yang berkaitan dengan hubungan antara makna dalam sebuah teks serta realitas. Meskipun penafsiran sendiri selalu bersifat menyejarah, tidak berhenti pada satu masa saja, dan selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sehingga, sastra yang sesungguhnya selalu mempunyai fungsi dan makna dalam konteks ruang dan waktu di mana manusia mengalami atau menghayati. (Chyto, Pemimpin Umum LONTAR)

SMS Pembaca
"Hi...LONTAR. Klo kirim puisi lwt sms olh ga? Ad honornya ga?"
(08174115xxx)

"Selamt pgi. Maaf. Sy bukn ingin pasang iklan tpi, Cuma ingn tany. Buletn sastra "LONTAR" sdh terbit d agen2 blm ya? Sebab, sya suka sekali bc buletin ini. Trm Ksih"
(08564395xxx)

BIODATA PENULIS
LONTAR Edisi 12/Th. I/November/2007
Nani Enha, alumni Akidah Filsafat UIN Suka. Pernah bergabung di anggota Dewan Redaksi majalah pesantren Tilawah Ponpes Nurul Ummah Kotagede. Meski begitu ia mengaku tulisan-tulisannya belum banyak terlahir. Tinggal di Plumbon.

Anib Nuham, alias Anwar Ibnu Hamid lahir di Bantul tahun 1960. Alumni Fakultas Adab UIN Suka dan Sosiologi Stisipol Kartika Bangsa Yogyakarta. Mantan Wakil Bupati Kulonprogo (2001 - 2006). Tinggal di Kauman Bendungan.

A. Samsul Ma'arif, pekerja kebudayaan yang juga seorang pendidik. Aktif pula di pendampingan kaum difabel. Di sela-sela kesibukannya 'masuk kampus' lagi, ia kini menjadi penjaja buku-buku "Islam kritis" di Bantul.

Zukhruf Lathif, penyair produktif yang memiliki antusiasme tinggi pada kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Lumbung Aksara. Sebagai orang yang militan terhadap kegiatan bersastra di KP, ia terkenal kocak dan rendah hati. Tinggal di Kauman Bendungan.

Imam Pamungkazz, lelaki kelahiran 21 tahun silam. Aktif di komunitas seni Padhang mBulan. Mengaku sebagai "sang pembelah malam", entah apa maksudnya. Yang jelas ia tinggal di Kedunggong Wates.

Fajar R. Ayuningtyas, gadis yang menyukai kesendirian. Masih aktif menulis puisi dan mengikuti kegiatan sastra. Kini dipercaya kawan-kawannya untuk mengelola buletin Prasasti. Tentangnya ada di www.selepaslautan.blogspot.com. Tinggal di Kokap.

Muryani, pelajar SMA N 1 Lendah. Tinggal di Nepi Brosot Galur. Gadis ini hanya menuliskan biodatanya begitu.

Wiwin PB, perempuan asli Jakarta. Simak biodata yang ditulisnya; "Sebut saja aku Win. Aku berdiam di kerinduan akan kancah masa lalu, bahwa sesungguhnya ini wadag, dan sukmaku kemrayat di rengat-rengat kampung halaman".



GEGURITAN
Bar Jamu

Dening : Anib Nuham

Raga ngambruk jrebabah,
Rikmo modal madil tan tinoto,
Bebayu hamung sansoyo kolat-kolet,
Ngosak-asik ngosek-osek ing paturon,
Kawisotro punthukan onggok kentul-kentul,
Diwutwut katon mlengeh sajak ngawe alu goro,
Tumuli soyo nyaket,
Tangan grayah-grayah goleki barang mengo lan barang obah,
Tan ningali wayah, dasar bar jamu, ora wegah
Banjur ngruket lir kadyo komodo ngamuk,
Ngayang-ngayang diyo dinoyo,
Kang mlengeh nduwur kalumat lathi rawis,
Kang mlengeh ngisor kalumat alu rawis,
Napas menggeh-menggeh kasaru jerit-jerit,
Datan ora kendel-kendel kongsi kemringet,
Paribasan gemak loreng-loreng,
Wusanane tirtonirmolo muncrat sakjerone guwo,
Menggeh-menggeh kang pungkasan,
Kari-kari nendro saksomo ngleter.
Bendungan, 29 Maret 2007



PUISI

BELUM ADA
Oleh : Zukhruf Lathif

belum ada orang lain yang memenuhi hari-hariku seperti kamu
belum ada sesuatu yang memehuhi buku harianku melebihi perasaanku padamu
belum ada karakter indah selain karaktermu
belum ada bayangan yang mengikutiku sedekat bayanganmu
belum ada hal yang menyita perhatianku sekuat apa yang ada pada dirimu
belum ada suara manusia yang membuatku menoleh dalam pencarian semenarik suaramu
belum ada mimpi yang mengisi hayalanku sepenuh mimpikan dirimu
belum ada nama orang yang berpengaruh dalam batinku sehebat namamu
tapi . . .
akankah semua ini berlalu begitu saja
akankah semua ini hilang dimakan waktu
akankah semua ini mengendap dalam hatiku dan tak pernah lagi cair
21 April 2004, tengah hari



LADANG RINDU
Oleh : Muryani

entah mengapa?
ada mendung di wajahmu
saat kita beradu mata
padahal dengan jelas aku
mendengar gemercik rindu
mengalir di matamu
kalau kau mau
inilah pertemuan
yang mampu membendung rindu
di ladang jiwamu
begitu pula jiwaku


Pergi..??
Oleh : Wiwin

Cepat sekali !
punggungmu lenyap
di tikung jalan. padahal..
semalam baru saja
kuBoreh lukisan memerah
Horizontal
aku tergugu merebahi
dipan.
meremas Rasa kehilangan.
meriuh Kesendirian.
(Agustus ' 05, pergi saja mbaaah..)


Jangan Hujankan Terus Jantungku
Oleh : Fajar R. Ayuningtyas

Sejak hari engkau menangkap cuaca
Aku berteman dengan hujan. Tetestetes di teras
Bercakap tentang senja yang terlewat
Meneropong waktu bayangkan lorong matamu
Dalam rumah ini. Bukubuku berserak
Puisipuisi tercecer di kolong
Teleponteleponmu tengah malam hingga subuh
Menumpuk di sudut. Menunggu kemarau
"Jangan hujankan terus jantungku" Hingga urung
aku genggam matahari. Hilang rasa atas pijar pagi
Mengapa hanya sisakan hujan,
sejak hari engkau menangkap cuaca?


Cinta II
Oleh : A. Samsul Ma'arif

Masihkah murni kasihmu
Seperti yang diagung-agungkan di puisipuisi
Tidakkah terseret banjir,terkubur gempa
Atau berkeping-keping bersama adam air
Seperti Yusuf dan Zulaikha
Di kitab-kitab agama
Ande-ande lumut dan kleting kuning
Di Jawa dwipa
Progresif melampaui zamannya
Bahkan di zaman SBY ini
Namun sungguh aku tak mencintaimu
Bukan karena apa dan kenapa
Maaf , cintaku hanya tuk dia.
Trayu , 20 Februari 2007


Malam Tanpamu
Oleh : Imam Pamungkazz

Tanpamu...
Malam ini terasa sepi sekali.
Hanya sesekali suara jangkrik memecah kebisuan.
Kadang nyaring. Menyentak lamunanku.
Kadang ngilu. Menggugah sudut hatiku.
Mengusik segala diamku. Kembalikan kenangan waktu.
Saat-saat kau ada bersamaku.



KATA-KATA MUTIARA
"Jika Kau Tak Tahu Bagaimana Mencintai,
Apa Gunanya Matahari Terbit dan Terbenam?"
(Amin Maalouf)
Presented By
KOMUNITAS LUMBUNG AKSARA
Membaca - Menulis ; Menjaga Hidup

3 comments:

Anonymous said...

Lontar...
Yach...aku lontarkan kata-kata yang selalu saja hampa. Lewat kata akan kukabarkan sebuah keberadaan. Keberangkatan sunyi untuk diriku sendiri. Bukankah sesunggunhya 'jiwa'penyair belumlah mati? Maka, bangkitkanlah jiwaku.salam sastra!
Wening (pejalan sunyi)

Anonymous said...

press release for ebook http://audiobookscollection.co.uk/fr/Mark-Spenik/m83315/ albert ellis ebook [url=http://audiobookscollection.co.uk/fr/Towards-a-Unified-Modeling-and-Knowledge-Representation-based-on-Lattice-Theory-Computational-Intelligence-and-Soft-Computing-Applications/p227007/]rosary prayers ebook[/url] my friend flicka ebook

Anonymous said...

dating stratocasters http://loveepicentre.com/faq/ international online dating asian
cincinnati married but dating [url=http://loveepicentre.com/taketour/]ukraine russia absolutely free dating[/url] john gosselin dating someone already
free uk adult sex dating site [url=http://loveepicentre.com/map/]adult dating site eith im[/url] dating a french woman [url=http://loveepicentre.com/user/Kakos/]Kakos[/url] free live phone dating