Tuesday, July 3, 2007

Lontar 1

M I M P I
Cerpen Zukruf Latif


Kedua jarum jam sedang merangkak menuju puncak, sementara matahari menggelinding di bawah titik nadir. Seorang lelaki berjalan sendirian menyusuri jalan sambil sesekali me-nendang kerikil di ujung ibu jari. Asap mengepul pelan mem-bayangi wajahnya yang kosong tanpa makna. Orang-orang memanggilnya Jamal. Entah nama sebenarnya siapa. Baginya nama hanyalah iden-titas menurut kesepakatan bersama. Dia tak perduli diapnggil Peyok atau Sentho.

Sebentar-sebentar terdengar suara ketukan potongan bambu penjual bakso di ujung jalan dan dia tak peduli dengan itu. Tak lama berlalu lelaki itu sudah duduk di kursi panjang warung angkringan."Soja", suaranya yang agak serak memesan susu jahe. Sayup-sayup terdengar lagu Koes-Plus dari arah penjual geblek di seberang jalan.

Lelaki itu menyeruput minumnya, diselingi asap rokok, lalu sebuah mendoan mendarat masuk ke mulutnya. Ada seorang lagi duduk di sampingnya tapi keduanya tenggelam dalam diam. Hanya suara sendok yang beradu dengan pinggiran gelas me-nyelingi kesunyian. Penjual angkring teperkur dalam kantuk.

"Jangkrik", teriak seorang lelaki di depan penjual rokok ketika celananya terkena cipratan air. hujan saat sebuah mobil sedan melintas. "Mentang-mentang punya mobil", katanya sambil menerima beberapa urang receh dan kemudian berlalu. Dia menoleh ke arah angkring dan memandangnya agak lama. Entah apa yang dipikirnya tapi sebentar kemudian dia malah berjalan ke arah yang berlawanan dengan warung angkring.

Entah apa yang dipikirnya tapi sebentar kemudian dia malah berjalan ke arah yang berlawanan dengan warung angkring. Jaket kulit lusuhnya makin lama makin hilang tertutup pekatnya malam.

Lelaki di warung angkring memanda-ngi cara berjalannya yang agak terhuyung dan kakinya seperti digantungi beban. Sandalnya bersuara karena gesekan dengan aspal jalan yang kasar. Cara jalannya yang cuek sambil menyeret kaki, menarik perhatian penjual angkring, tapi hanya sebentar sebab ia lalu meletakkan kepala-nya di meja. Mungkin dia lebih tertarik dengan mimpi yang baru saja dialaminya.

"Sudah Lik", kata Jamal. Lelaki disam-pingnya tampak tak terpengaruh.

"Lik!", kali ini suara Jamal lebih keras. Penjual angkring kaget dan mengangkat kepalanya. Terjadi dialog sebentar, dan penjual angkring memberi recehan setelah Jamal menyodorkan uang lembaran.

Jamal pergi dari warung angkring munuju lapangan sepak bola dekat sekolahan. Ia tak tahu apa yang akan dila-kukan. Ia hanya menuruti apa yang terlin tas di hatinya dan kakinya tetap melangkah menuruti intuisinya yang juga tak jelas.

Sampai tengah lapangan ia menidur kan dirinya di atas rumput yang basah berbantalkan kedua telapak tangan. Pan-dangannya menerawang di antara bintang-bintang. Sebentar-sebentar mukanya tertiup angin malam.

"Khoirul", ucapnya lirih. Ia teringat kawannya saat masih di Yogya. Mereka pernah menjadi tetangga di sebuah rumah kost. "Kamu dulu pernah cerita padaku bahwa kamu merasa kehilangan teman", gumam Jamal pada diri sendiri, dan ia memang tak melihat orang lain disekitar-nya.

"Aku tak percaya lagi sama Tedy,, katamu ketika itu, padahal ia teman satu kamar", Jamal masih bicara pada diri sendiri.

"Sekarang apa yang kamu alami seperti terulang padaku. Entah mengapa. Menurutku aku merasa telah baik pada Yudha, tapi ia menipuku. Aku katakan isi hati ini sebagai bentuk keterbukaanku padanya. Bahkan privacyku pun aku utarakan padanya, sebab aku begitu percaya padanya. Aku berharap penderitaan yang kualami bisa dimengerti olehnya lalu ia menghiburku. Tapi … …" Jamal masih bicara sendiri. Tubuhnya ia gerakkan miring, dan lengan-nya kini jadi tumpuan kepala. Matanya terlihat berat dan menutup.

Sebentar kemudian nafasnya menghem bus teratur. Jamal bermimpi bertemu dengan presiden di perempatan pasar dekat rumahnya. Ia tersenyum pada Jamal, tapi saat Jamal mengulurkan tangannya hendak bersalaman, sang presiden berlalu tak menghiraukannya. Jamal menarik tangannya sambil tersenyum kecut.***

(Zukruf Latif, lahir 26 Mei 1975. Alumni UIN Sunan Kalijaga ini puisinya pernah dirmuat buku antologi SGSI. Mengelola pesantren an-Nadwah)

Ada Apa Dengan LA
-LA Juara I "JRC" Tingkat Propinsi
LA menutup bulan November 2006 dengan prestasi yang cukup membanggakan: yakni Juara Pertama Jambore Reading Club (JRC) Tingkat Propinsi yang diselenggarakan oleh Badan Per-pustakaan Daerah Propinsi DIY. Dalam lomba tersebut, juara ke-dua diraih Karang Taruna "Wira Muda" Gamping Sleman dan juara ketiga Kelompok Baca "Paprika" Jl Perkapalan Yogyakarta. Dalam final JRC yang dilang-sungkan tanggal 30/11/06 di Kantor Badan Perpustakaan Daerah DIY Jl Tentara Rakyat Mataram, LA mengirimkan lima orang utusan yakni: Tri Wahyuni, Asti Widakdo, Farida Laila Tsani, Ihsanuddin, dan Maftukhatul Khoiriyah. "Alhamdulillah, maju terus LA . Aplus buat wakil LA + Pak Lurah", demikian SMS dari Dewi Fatimah, setelah tahu LA juara pertama JRC.. (Red_)

-Peluncuran dan Bedah Buku "Seorang Gadis Sesobek Indonesia"
Tanggal 19/9/06 bertempat di Gedung Pramuka Wates Kulonprogo Komunitas Lumbung Aksara (LA) menga-dakan acara Peluncuran dan Bedah Buku "Seorang Gadis Sesobek Indonesia: Antologi Puisi Kulonprogo" (SGSI). Acara yang dibuka oleh wakil bupati Kulonprogo H Mulyono tersebut dihadiri oleh beberapa unsur masyarakat, mulai dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata KP, Perpustakaan Daerah KP, para sastrawan, seniman, pelajar dan masyarakat umum. Menghadirkan nara sumber Zainal Arifin Thoha (penyair dan Dosen UIN Yogyakarta) dan Drs Pribadi (Penyair tahun 1980-an) serta
diiringi musik kelompok Pete Rese (Wates), acara tersebut mendapat aplus hadirin. "Ini tercatat sebagai antologi puisi pertama yang pernah terbit di Kulonporogo, patut kita sambut baik", kata salah satu hadirin yang mengaku salut atas ide dan keberanian LA menerbitkan buku SGSI. (Red_)

-Tadarus Puisi Edisi Pertama
Tanggal 20/10/06 bertempat di Wisma Aksara Jl Batok Bolu Wahyuharjo Lendah KP, Komunitas LA mengadakan acara Tadarus Puisi (TP). Acara yang merupakan program bulanan ini, untuk edisi pertama menghadirkan nara sumber Joni Ariadinata (cerpenis dan redaktur majalah sastra Harison), Aguk Irawan MN (penyair dan alumni Universitas Al-Ahzar Kairo Mesir), dan Didik L Hariri (penyair asal Magetan yang juga pernah mengembara selama sepuluh tahun di Mesir). Selain diisi dialog dengan nara sumber, karena bertepatan dengan bulan Ramadan, di acara tersebut juga dilangsungkan pembacaan puisi-puisi religius karya anggota komunitas LA. "Saya sangat gembira, ternyata di daerah terpencil seperti Kulonprogo ada komunitas yang menggerakkan kegiatan sastra", kata Joni Ariadinata sembari menambahkan bahwa ke depan komunitas seperti LA ini bisa bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama Pemda, untuk lebih memaksimalkan program-programnya. (Red_)

-Tadarus Puisi Edisi Kedua
Tanggal 13/11/06 bertempat di rumah Bimo Prasetyo (Dlaban Sentolo KP), digelar Tadarus Puisi (TP) Edisi Kedua. Sebagai acara bulanan yang berisi pembacaan puisi karya anggota komunitas LA, TP edisi kedua kali ini juga digunakan sebagai ajang pelepasan dua anggota LA yang menunaikan ibadah haji, yakni Bimo Prasetyo SH dan Ibah Muthiah, SH, MAg. Karena sekaligus digunakan dalam rangka pamitan haji, maka kebanyakan puisi yang dibacakan dalan TP edisi kedua adalah puisi bertemakan haji. Tak ada nara sumber khusus memang, namun acara ini dihadiri tamu khusus, yakni para pengurus Karang taruna Kulonprogo seperti Heri Rohadi, Ismail Maliq, Marzuki, dan Murdi Yulianto. "Acara pembacaan puisi seperti ini mendorong orang untuk berbuat jujur", komentar Ismail Maliq yang di acara tersebut secara spontanitas membuat sebuah karya puisi dan dibacakan sendiri. "wah, ternyata pengurus Karang Taruna ada juga yang bakat jadi penyair", seloroh salah satu anggota komunitas LA yang langsung disambut geerr oleh hadirin. (Red_)

BYAR
Optimisme

"Matahari selalu baru, setiap pagi", demikian Herakleitos, 400 tahun sebelum Masehi menggelorakan optimisme. Tapi optimisme Herakleitos bukan tanpa dasar. Ia punya pendirian, punya falsafah: Pantha rhei Khei uden menci.

Dengan falsafah itu ia pantang mengalami kejadian yang sama pada waktu yang berbeda. Sebab, baginya, segalanya "mengalir". Hakekat sesuatu adalah "proses menjadi". Karena itu, kita harus mampu memberi makna baru pada setiap "proses menjadi". Tanpa itu, kita telah mengingkari fitrah.

Memang matahari yang kita lihat pagi ini, adalah matahari yang kemarin sore tenggelam di ujung cakrawala. Tak ada yang baru, dari sisi matahari -- Ia selalu "byar". Yang baru adalah peristiwa yang menyertai. Itupun dengan catatan manusia mampu memberi makna. Jika tidak, manusia tak lagi otonom atas alam dan peristiwa yang menyertai. Ia hanya menjadi "mesin" atas peristiwa-peristiwa.

Kita tentu tak ingin eksis sekedar sebagai "mesin". Karena sebagus-bagus-nya atau secanggih-canggihnya mesin, ia tak berhak menentukan kehendak. Tak berhak memberi makna baru terhadap setiap kejadian, terhadap pergan-tian hari, bulan, dan tahun. Tugas kemanusiaan untuk memberi makna baru terhadap setiap kejadian itulah yang menjadi dasar dan mendorong semangat optimisme.

Tentu ada kendala menghadang, banyak kesulitan membelit. Tapi, mungkin kita telah hafal dengan pesan bijak ini: "Si optimis selalu melihat peluang di dalam kesulitan". Sementara, "Si pesimis selalu melihat kesulitan dalam setiap peluang". Dari pesan bijak itu, satu hal pasti: bahwa "peluang" maupun "kesulitan" itu sama-sama ada. Tinggal bagaimana cara kita melihat dan menyikapi.

Melihat peluang dalam setiap kesulitan akan menjadi energi untuk sebuah perubahan, mendorong kita untuk meraih, aktif, dan berhasil. Sedang, melihat kesulitan dalam setiap peluang, adalah hantu yang menelikung, membuat kita takut, pasif dan gagal. Kita tinggal pilih yang mana?

Setiap pilihan pasti mengandung resiko. Hidup adalah sebuah resiko itu sendiri, kata seorang teman. Dan menurut ilmu psikologi, orang berprestasi (berbakat sukses) bisanya cenderung mengambil resiko yang sedang. Hal ini, pada hemat saya, tak berarti kita mesti bersikap optimisme secara tanggung atau sedang-sedang saja.

Tapi, optimisme yang kenyal. Buat apa terlalu menggelora dan menggebu-nggebu, kalau pada akhirnya (maaf, silahkan membayangkan kalau anda orgasme) lemah-lunglai? Karena itu, setelah mendengar adzan subuh, kita tak boleh langsung lari pagi. Ambil air wudlu lalu sujud. Setelah itu, songsonglah terbit fajar dengan memberi makna baru pada matahari pagi. Selamat Tahun Baru 2007.***

M A R W A N T O

BACA BUKU
Ketika Tanah Menggantikan Berkah

Judul Buku: Bola-Bola Santri
Penulis: Shachree M. Daroini
Penerbit: Matapena, Yogyakarta
Tebal: 380 halaman


Kacang ninggalo lanjaran. Pepatah Jawa ini dipercaya masyarakat akan kebenarannya. Tapi, kiranya kurang berlaku pada keturunan Kiai Sa'di, pengasuh pondok pesantren Al-Bakir. Sebab, ketika usia Kiai Sa'di hendak lengser, tak satupun dari keempat putraya yang siap. Mereka merasa berat mengemban amanat sebagai seorang kiai. Benar keempat putera Kiai Sa'di mendalami agama. Namun alih-alih menyiapkan diri menggantikan posisi ayahnya, keempat putera Kiai Sa'di justru sibuk dengan profesinya. Gus Fadholi, dengan alasan ke-zuhud-an (hafalan al-Qur'an-nya terjaga lahir-batin), tak mau tahu urusan organisasi macam pesantren. Gus Jauhari, waktunya habis untuk mengajar dan membantu istrinya berdagang. Dan Gus Junaidi, menuruti obsesinya menjadi seorang arsitek tinggal di Jakarta.

Tapi bagaimanapun estafet kepemimpinan di pesantren Al-Bakir harus tetap berlangsung. Dan kalau akhirnya Gus Junaidi yang menggantikan posisi Kiai Sa'di, lebih disebabkan ia kehilangan kerjaan di Jakarta. Naiknya Gus Junaidi memimpin pesantren Al-Bakir me-nimbukan ketidakpuasan saudaranya, terutama Gus Jauhari. Sebab, niat Gus Jauhari membuat usaha dagang di seputar kawasan pesantren ditentang adiknya. Disinilah konflik mulai terjadi. Perebutan tanah warisan tak terelakkan lagi.

Pemicu sebenarnya adalah istri Gus Jauhari yang dalam novel ini dicitrakan perempuan "penghamba harta". Watak istrinya itu tak bisa dikendalikan oleh Gus Jauhari, justru ia menjadi lupa diri dan berpandangan materialisme. Apalagi ketika, Gus Jauhari bersinggungan dengan partai politik, watak kadonyan-nya kian menjadi-jadi. Dan pertentangan dengan Gus Junaidi tambah keras ketika adiknya itu menolak pesantren ikut bermain politik praktis.

Hikmah apa yang didapat dari novel karya Shachree ini ? Satu hal yang pasti: harta (tanah warisan) bisa membuat perpecahan dalam keluarga. Apalagi ketika pe- nerima warisan itu lebih mementingkan harta (tanah) daripada warisan yang sebetulnya juah lebih mulia, yakni ilmu dan berkah dari Allah.

Dibanding dua novel Shachree lainnya, Bola-Bola Satri sejatinya punya potensi konflik yang kuat. Namun sayang, Shachree kurang maksimal dalam menampilkan konflik yang ada. Lebih separuh halaman awal novel ini cenderung narasi yang mendedahkan seluk-beluk nilai dan tradisi pesantren. Sepertinya Shachree punya "beban" untuk mengeksploraai nilai pesantren dalam novelnya.

Lepas dari itu, ada simbolisasi yang menarik dibalik judul Bola-Bola Santri. Yakni ketika cucu-cucu Kiai Sa'di (Gus Mada, Gus Hisyam, dan Gus Munir) mendapat tantangan main bola dengan penduduk kampung yang berakhir dengan perkelahian. Otak dibalik pertandingan itu adalah tokoh partai yang punya motif mengobok-obok pesantren Al-Bakir. Di akhir cerita, Gus Junaidi melepas anak dan kedua keponakannya untuk pergi belajar ke berbagai pesantren. Ya, agar waktunya tak habis meladeni tantangan main bola penduduk kampung.

Saatnya pesantren merespon perkembangan pesat globalisasi. Bukan waktu-nya lagi bagi pesantren hanya berkutat pada kitab kuning, apalagi tenaga dan waktunya terkuras untuk berpolitik praktis, sehingga menelikung eksistensinya sebagai pencerah masyarakat.**

Kadarsih, Guru SMA Ma'arif Wates, alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

PUISI
Tiada Terkikis
-Nur Islamiyatun

Dilindungi bungalau rumbia
Gerimis menderu timbul curahan mata
Anginpun andil hembuskan pecahan tetes
Menjingkat mendarat
Di perbatasan pori tubuh mengering
Rindang akasia berucap
"Istiqomah dzikrullah Qiyamah"
Mengelus membasahi
Debur menjajaki kubangan dangkal
Rindag gemeletuk geraham di pinggir jalan
Tangkap linang mata bulat hitam berkaca
Sebisik temani nalar di istana kolong
Bersandar pada tikar angin
Namun.. kemegahan-Nya tersirat
Hingga terluruh dan runtuh
Rangkul hamparan tumpah tetes mata air
Merenungi dan menerbangkan
Keagungan dari langit …yang
Tiada akan pernah terkikis

Kulonprogo, 2006

***

Stasiun
-Didik Komaidi

Stasiun ini masih saja tak berubah
Bangunan-bangunan kuno
Yang menyimpan sejarah
Kursi-kursi kosong mencatat sepi
Rel-rel yang memanggil …
Sementara rangkaian gerbong mengusung kecemasan waktu
Dan jeritan kereta api merobek malam
Para penjual yang setia menawarkan dagangan
Pada penumpang yang kesepian
Stasiun ini seperti tak mau berubah
Pada zaman yang gelisah

Kulonprogo, Oktober 2006

***

Dipenghujungnya/'06
-Aris Zurkhasanah

Perjalanan sudah terlampau jauh.
Berkelok.
Terpasung dalam rotasi waktu.
Berdebu.
Aku terkubur,
Diantara geraknya yang liar.
Aku yang entah,
Lelah.

Gerimis di Desember '06
Thank's to Iwan Fals

***

Semalam
-Fathin Chamama

Nyamuk-nyamuk menerbangkan
Ngengat malam menyanyikan
Detik melengking ...........
Pekat, lekat, Jika tak dimana
Lebam raga ditumbuk siang
Tirai tak jua menutup. Tergigit malam
Berisik gerigi waktu
Tinta, kau dimana?
Mana kata?
Mana rangkai?
Mana karya?
Rindu

Kulonprogo, 2006

***

Hasrat
-Siwi Nurdiani

Hasrat membara
Sering membara
Jiwa pencinta
Bersama, bersatu, dan bermesra
Memberi
Menerima
:indahnya cinta
Nafsu pemoles surga dunia
Sehingga tiadalah manusia itu berkuasa
Kecuali mampu menahan
Sekuat hasrat nafsu cinta
Puasakanlah hati
Kalau cinta jalan jodoh
Bersatu jiwa
Bercinta seluas surga. Bercinta. Berdua/.

***

Glagah
-Siti Masitoh

Selarut ini aku masih di pantaimu
Menantang tsunami yang menggemparkan hati
Lari !!!
Pantaimu dulu sesenyap ngeri
Tapi kini banyak peri di pojok-pojok sepi
Memasang magnit penarik hati
Kau lihatkah?
Hatimu berkejaran
Makhluk bertanduk menyeretku
Pada keangkaraan
Aku ingin pulang
Sebab angin di sini membuatku terancam
Hingga rasanya aku tenggelam
Aku tenggelam ....

Kulonprogo. 14 Nop 2006

***

Kembali Ke Asal
-Dewi Fatimah

Lumbung tak langgeng lambungpun limbung
Jalan setan lalu lalang
Timpang dunia baru tampang
Laun sauh sibak lauh
Gesah lampah laku lintang
Lempung kampong tampung tumpeng
Kulonprogo, Nopember 2006


Benarkah
-M Umar Maksum

Benarkan aku menyerah?
Melempar handuk menjadi pecundang
Atau sebaliknya: sedang memulai menyongsong rintangan
Tak ada beban tak terangkat
Tak mungkin kesulitan tak berujung
Dibalik bawah ada atas
Diujung selatan itu utara
Menyerah itu kafir
Padahal aku bukan kafir
Tuhan masih bersemayam di ini hati
Karenanya pantang aku melempar handuk
Datanglah kesulitan sebagaimana bah
Karena di atas kapal ini aku akan cepat
terantarkan
Datanglah kesulitan laksana lautan api
Karena dalam gelap ini aku akan menuju
terang
Datanglah wahai kesulitan
Tak kan lari aku meninggalkan
Sebab diniat ada usaha
di usaha ada ketulusan dan pertolongan
Kalau dengan itu engkau tak percaya
Itulah kekalahan yang sesungguhnya

Kulonprogo, 13 November 2006

***

Terluka
- Asti Widakdo

Aku berlutut, bersimpuh
Merengkuh puing-puing hatiku yang berserakan
Hancur oleh deru senapanmu
Senapanmu kasih
Sakit …..
Peluru cintamu yang mencincang rasaku
Memporak-porandakan hidupku
Belenggu jiwaku, lumpuhkanku

Kulonprogo, 2006

***

Tangis Iki
-Muji Jefrian

Tangis iki
Dudu tangise prawan ndeso
Kang njaluk ditukokke clono
Tangis iki
Dudu tangise bayi cilik
Kang njaluk mimik
Tangis iki
Tangise anak menungso
Kang atine ngenes
Mikul abote, perihe,
Mikul wewayangane urip ngalam ndonyo
Kang gelem ra gelem kudu dilakoni
Nganggo tetesing kringet lan ludiro

***

Raut Wajah
-Aris Tri Nugroho

Bulat mata rembulan menatap wajahku
Pada keheningan zikir sang malam
Memcoba membuka tabir jendela jiwa
Yang kini masih tertutup embun abadi
Entah dari mana datangnya
Dari mana munculnya
Bayangan wajah penuh kesenduan
Bersama urutan abjad akan sebuah masa
Bayang yang singgungan akan damai
Menjadi cawan resah dan cangkir galau
Api yang telah padam kembali berkobar
Seakan tersulut percik rindu dan benci

***

Biodata Penulis LONTAR Edisi 01
Aris Tri Nugroho,
lahir 23 Mei 1980. Alumni STIE ini tinggal di Galur
Aris Zurkhasanah, alumni UIN Sunan Kalijaga, puisinya pernah dimuat di buku antologi SGSI.
Asti Widakto, lahir 26 November 1987. Alumni SMA Muhamadiyah Brosot, tinggal di Galur
Dewi Fatimah, lahir 8 Februari 1979. Pernah kuliah di UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Wates.
Didik Komaidi, lahir di Magetan 1972. Alumni S2 UNY ini menulis buku: B-Love & D-Love dan Satri Lelana. Kini guru MAN 2 Wates.
Fathin Chamama, lahir 26 Agustus 1980. Alumni UGM, puisinya dimuat di buku SGSI. Aktivitasnya menjadi tutor. Tinggal di Bendungan Wates
Muji Jefrian, lahir 6 Februari 1986. Kuliah di STIT Muhamadiyah Wates. Tinggal di Pengasih
M. Umar Maksum, lahir 19 Juni 1967, ia adalah wartawan Kedaulatan Rakyat dan anggota KPU kabupaten Kulonprogo. Puisinya dimuat di SGSI
Nur Islamiyatun, lahir 23 Agustus 1988. Alumni MAN Krapyak. Puisinya pernah dimuat majalah Bhakti. Tinggal di Lendah.
Siti Masitoh, lahir 22 November 1980. Puisnya dimuat dalam buku SGSI. Ia masih kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Tinggal di Plumbon, Temon.
Siwi Nurdiani, lahir 11 Desember 1983, alumni UNY Yogyakarta. Karyanya dimuat di buku SGSI, Ben, dan dua novelnya siap terbit. Tinggal di Girimulyo.

2 comments:

Anonymous said...

kawan, sudah lama gaungmu tak terdengar.
lalu kulihat remah-remah itu di halaman rumput hijau tetanggaku

pie kabare kiq?????

Anonymous said...

kawan, sudah lama gaungmu tak terdengar.
lalu kulihat remah-remah itu di halaman rumput hijau tetanggaku

pie kabare kiq?????