Thursday, July 5, 2007

LONTAR 2

CERPEN
PEREMPUAN YANG MENATAP SENJA
Oleh: Akhiriyati Sundari

Perempuan itu selalu menatap senja. Membiaskan remang jingga di ujung wajah yang digurat peristiwa dari kedalaman masa. Aku selalu melihatnya dari balik jendela kamarku yang kebetulan berseberangan dengan rumahnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan dirinya. Biasanya, ketika perempuan
itu tengah larut dalam tatapan senjanya, dari dalam rumah akan muncul perempuan paruh baya yang belakangan kuketahui adalah ibunya. Si ibu dengan lembut menyuruh anaknya itu untuk masuk ke rumah. Dalam sekejap perempuan yang selalu menatap senja itu akan masuk rumah mengikuti perintahi ibunya. Tak bisa kulihat jelas bagaimana reaksi air mukanya. Hanya si ibu akan menghela nafas sebentar lantas bergegas masuk.

Persisnya aku tak menghitung dengan pasti kapan aku mulai memperhatikan perempuan itu. Di mataku, perempuan itu tak lebih kuanggap sebagai perempuan aneh. Hampir setiap hari menjelang senja ia akan keluar di samping rumahnya yang terletak agak menjorok ke depan dari sisi jendela kamarku, berdiri menatap lurus ke arah surya yang bergerak membungkam sinarnya ke balik peraduan. Bias warnanya terekam dan menempel di bulat wajahnya. Air mukanya terlihat berkilau karenanya. Pada detik-detik seperti itu, debaran dan deburan keras menghantam palung dadaku. Aku terpukau melihat kecantikannya. Beberapa saat sesudahnya aku hampir tak dapat mengatur nafasku. Aku seolah terkena sihir perempuan itu. Diam-diam aku tersenyum malu.

Sebenarnya ini hal yang tak terlalu istimewa. Seorang laki-laki sepertiku melihat perempuan segar di pedusunan terpencil ini lantas tumbuh getar magnit sungguh tak perlu diherankan. Bukankan sudah jamak diketahui bahwa pandangan mata lelaki teramat lemah jika melihat perempuan cantik? Namun ini terjadi pada diriku yang tak pernah mengenal perempuan itu. Rasa penasaran telah menambahi getar rasaku. Keanehan yang kulihat padanya adalah candu yang membuatku tak pernah melewatkan sehari pun tanpa menyaksikan kebiasaannya, tentunya dengan diam-diam dari balik jendela seperti sekarang ini.

Aku seorang peneliti muda yang kebetulan singgah di pedusunan kecil ini. Pekerjaan menuntut selama 6 bulan aku mesti tinggal di samping rumahnya. Meneliti tentang pola masyarakat dalam menyelesaikan konflik di dusun ini. Cukup banyak orang yang kuwawancara, kebanyakan tokoh desa. Sikap mereka yang cukup ramah dan santai membuat aku terbiasa berbincang cukup akrab. Tak jarang topik melebar ke persoalan lain. Biasanya aku melakukan kegiatan wawancara pada malam hari, oleh karena kesibukan sebagian besar dari mereka yang bekerja sehari penuh di sawah, tegalan dan hutan. Sehingga aku cukup memiliki waktu untuk memberi perhatian pada perempuan itu, meski hanya berlangsung ketika hari jelang senja.

Kutaksir usianya sekitar 23 tahun. Cukup muda. Selisih 7 tahun di bawah usiaku. Tapi apa yang sebenarnya ia lakukan dengan menatap sunset cukup lama dan setiap hari itu? Sungguh aneh. Aku tak berani menanyakan langsung kepadanya. Toh apa urusannya dengan pekerjaanku. Aku adalah peneliti profesional. Pantang melakukan sesuatu yang tak masuk dalam bingkai kerjakuk. Tapi sesuatu yang membuat penasaran ini? Ah!

Satu-satunya informasi yang aku dapat adalah dari pemilik rumah yang kutinggali ini. Saat sarapan pagi di meja makan, aku mencoba menanyakan tentang perempuan itu. Jawaban yang kudapat amat mengagetkan. Perempuan itu rupanya seorang janda yang ditinggal mati suaminya setahun lalu. Suaminya seorang ketua kelompok tani di desa ini. Kata pemilik rumah yang kutinggali ini, suaminya adalah seorang yang selalu menentang terhadap keputusan pejabat desa. Tak begitu jelas mengapa ia menentang, atas persoalan apa dan mengapa ia akhirnya mati dibunuh oleh orang-orang suruhan pejabat desa. Pemilik rumah ini seperti takut dan sengaja bungkam ketika kutanya agak jauh. Bahkan ketika kubawa masuk dalam percakapan bahwa ini juga bagian dari penelitianku karena terkait persoalan konflik antara warga dan pejabat desa, lawab bicaraku menggeleng dan mengangkat pundaknya,

"aku tidak ikut-ikutan saat itu". Aku mencoba mengalihkan topik dengan menanyakan kenapa perempuan itu selalu menatap matahari senja yang hampir tenggelam, dijawabnya mungkin perempuan itu stres. Ketika kutanya lebih jauh apa hubungannya dengan kebiasaan menatap senja, ia menjawab tak tahu.

Ketika rasa penasaranku semakin tak terkendali atas perempuan itu, aku nekat mendatangi rumahnya. Ibu perempuan itu yang menemuiku. Kami berbincang sebentar setelah aku memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatanganku. Aku harus gigit jari karena ibu itu menolak maksudku.

"Saya tak ingin ada yang coba mengusik ingatan anak dan keluarga saya. Untuk kepentingan apapun. Kami tak mau sakit untuk yang kedua kalinya". Akhirnya aku pamit undur diri. Kutelan ludahku berkali-kali. Aku telah terpikat dengan perempuan itu. Dan tak ada jalan bisa aku masuki deminya. Sungguh aku ini lelaki bodoh. Hingga akhirnya aku pergi dari desa itu seusai tugas penelitian, aku tak berkesempatan mengenalnya.

Suatu hari aku kembali ke desa itu dengan maksud untuk silaturahmi dengan warga yang pernah kukenal di sana. Juga kerinduan terhadap perempuan itu akan kutumpas. Alangkah kagetnya begitu tiba di rumah pondokanku dulu, kulihat rumah di sampingnya telah hangus terbakar dan tinggal puing-puing. Saat kucari tahu keberadaan perempuan dan ibunya, ternyata keduanya tewas dalam kebakaran itu. Perempuan itu sengaja membakar rumahnya hingga ia dan ibunya ikut terbakar.

Tak ada yang tahu pasti apa sebabnya. Hanya salah seorang saksi mata mengatakan sebelum perempuan itu membakar segalanya, ia sempat keluar dan menatap matahari senja cukup lama.

Mataku nanar. Kualihkan pandanganku pada matahari yang hampir tenggelam di balik cakrawala. Mataku sakit. Ya Tuhan, ia membakar semuanya di saat ... senja!

(Ngestiharjo, medio Januari 2007)


BILIK REDAKSI
Salam Sastra!
Lontar berubah. Inilah kesan yang muncul jika kita simak Lontar edisi 02. Perubahan itu meliputi: Pertama, logo Lontar. Kedua, rubrik "Bilik Redaksi" yang pada edisi 01 ada di halaman 2 berisi "tajuk", kini muncul di halaman 1 betul-betul berisi "kabar dari redaksi". Sementara "tajuk" (semacam "catatan kebudayaan") ada di halaman 2 dengan nama rubrik "Byar". Di rubrik puisi, ada "penajaman" dengan hadirnya rubrik "Geguritan". Lalu untuk rubrik "Resensi", rencananya akan berseling dengan rubrik "Album" dan "Seputar Menulis Sastra" (SMS). Dan, untuk menampung
aspirasi pembaca, kita muat rubrik "SMS dari Pembaca". Perubahan ketiga, susunan redaksi. Agar lebih jelas tupoksi-nya, maka ada penambahan posisi Pemimpin Umum & Sekretaris Redaksi.
Selamat membaca ....

SMS (Seputar Menulis Sastra)
Mengapa Anda Menulis?

"Kekuatan cinta memang dahsyat. Bagaimana tidak, seorang yang sebelumnya buta sastra jadi menggebu-gebu belajar menulis sastra gara-gara sesuatu yang bernama cinta," begitu komentar seorang teman suatu ketika saat saya membeli dua buah buku. Satu novel best seller "Syahadat Cinta" karya Taufiqurrahman Al-Azizy dan satu kumpulan puisi "Air Kata-Kata"-nya Sindhunata.

Mungkin benar komentar teman saya tadi. Ada banyak alasan mengapa seseorang mempunyai keinginan untuk belajar menulis. Bahkan ketika suatu saat anda memutuskan untuk menjadi seorang penulis. Anda perlu mengeksplor sedalam-dalamnya niatan tersebut. Kesadaran tinggi akan niatan itu akan memberikan cukup energi untuk memulai proses menulis dan menghadapi rintangan dalam proses tersebut.

Kemampuan teknis tentang bagaimana menulis diibaratkan oleh Ibn Ibrahim sebagai jurus yang memang saharusnya dikuasai jika ingin menjadi penulis handal. Namun, jurus-jurus tanpa tenaga tak ada gunanya. Nah, tenaga inilah yang bagi seorang penulis bersumber dari motivasi yang kuat. Dari niatan yang akan terus menerus memberikan energi kepada anda. Meski demikian sebaliknya, tenaga saja tanpa penguasaan jurus akan melahirkan 'gerakan' yang serampangan, tidak efektif dan tidak indah.

Lantas apakah alasan yang memotivasi anda untuk menulis? Apakah untuk berbagi ilmu pengetahuan, untuk mencari uang, meraih ketenaran atau bahkan seperti kata teman saya tadi, karena cinta. Apapun alasan yang anda kemukakan, jelas itu akan berpengaruh terhadap keinginan anda untuk terus menulis ataukah tidak. Atau malah anda belum tahu alasan kenapa anda ingin menulis?

(Maftukhatul Khoiriyah)

ADA APA DENGAN LA
Tadarus Puisi Edisi Ketiga dan Peluncuran Buletin "Lontar"
Program bulanan komunitas "Lumbung Aksara" (LA), yakni Tadarus Puisi (TP), akhir Desember lalu memasuki edisi ketiga. Dilaksanakan di Ngestiharjo, Wates, tanggal 29/12/06. TP edisi ketiga ini terasa istimewa, sebab dibarengi dengan lounching buletin sastra "Lontar" yang diterbitkan LA. Dalam acara tersebut, sebagai narasumber, hadir dua sastrawan senior Kulonprogo: Soegiyono MS dan Drs. Pribadi. Menurut Soegiyono MS, buletin seperti ini (Lontar) bisa mempopulerkan Kulonprogo pada pentas sastra nasional. Sementara Drs. Pribadi (penyair yang punya nama pena Enes Pribadi) melihat ada basik moral yang kuat pada penyair-penyair muda Kulonprogo, terutama yang tergabung dalam Komunitas Lumbung Aksara.(Red_)


BYAR
Taman Anggur.
Setiap Januari adalah memulai. Tapi, benarkah kita memulai hanya ketika Januari tiba, ketika pagi datang, saat matahari terbit di ufuk Timur?Pergantian tahun 2006 ke 2007 ditandai peristiwa memilukan. Bencana alam dan kecelakaan. Banjir melanda Aceh dan Sumatera Utara. Sepertinya
derita akibat tsunami 2 tahun lalu itu belumlah cukup bagi saudara kita di tanah rencong. Kecelakaan laut dan udara, tak sekedar sebuah kabar duka. Dan bencana lain, kecelakaan lain: memaksa kita berkerut kening menelusuri makna.

Dari sini seakan terbersit sebuah pesan: memulai itu tidak dari hal-hal menggembirakan. Setidaknya, ia menyimpan misteri. Memulai adalah sebuah misteri. Meskipun telah berbekal optimisme, lubuk hati kita acapkali masih bertanya: what next? Antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein), terus bergulat menghantui benak kita.

Ada jarak yang misterius antara memulai (awal) dan mengakhiri (akhir).

Ketika di pagi subuh sebelum shalat Idul Adha Saddam Husein menjemput maut di tali gantungan, misteri menyelimuti dirinya -- dan rakyat Irak: ini awal ataukah akhir? Mungkin seperti ketika Saddam mulai karir politiknya dengan kudeta atas Jenderal Qassim (1960), lalu mengobarkan revolusi atas Presiden Abdul Rahman (1968), dan melucuti kekuasaan sepupunya, Presiden Ahmad Hassan al-Bakr (1979). Di balik tekad kuatnya, dan gemuruh pendukungnya, gelar "Singa Babilon" masihlah misteri.

Saddam tak sendirian. Mereka yang akhir November lalu berangkat haji, segulung misteri bersanding bercengkerama dengan keimanannya. Apakah ia membayangkan akan kelaparan hanya karena menejemen katering yang tak becus? Para petani yang menancapkan benihnya, belum tahu akan panen dengan harga gabah tinggi atau dihempas oleh ganasnya tikus dan wereng.

Waktu terus membentang menyilahkan dilalui, meski awal dan akhir adalah misteri. Saat kita menyobek kalender, mengganti dengan tanggal dan hari baru, tak bisa memastikan itu awal atau akhir.

Maka berbahagialah bagi mereka yang telah berada dalam "maqam matahari". Ia tak mengenal awal dan akhir. Baginya, awal atau akhir, siang atau malam, selalu "byar". Ia, memang, masih menggenggam misteri, tapi dalam berkarya ia selalu dalam perspektif "sekarang". Kesempatan adalah saat ini juga! Tak ada kata besok! Awal akhir adalah dialektika yang terus berkelindan. Ia terus berdendang sebagaimana Muhammad Iqbal: "Kau ciptakan tanah liat, dan aku membuatnya piala. Kau ciptakan gunung, hutan, dan rawa-rawa, lalu kubuat taman anggur."

Kini, bentangan alam gagal kita sulap menjadi taman anggur. Justru semakin hari bumi ini (seperti judul buku cerkaknya Akhir Lusono) semakin "ajur". Dan, bagi siapapun yang hendak membangunnya, ia harus memulai dengan hal-hal yang tak menggembirakan. Beranikah kita berkata: "Siapa Takut?!?!"
(Marwanto)



GEGURITAN
Marang Sapa
Dening Ki Soegiyono MS

Marang sapa sambat lan angrempeleku
iki dak suntak
yen panalangsa iki sangsaya nindhihi
kamangka angrasa wus diladaki
kasunyatan
sirah iki wus kebak
tangan iki wus theyol
njogetake gagang wulu
angrenda tetembungan
kamangka wus dak enggo jubah pujangga
kamangka wus dak waca rapal
mantra kamasutra
kamangka wus dak sajeni
marga catur dhenda
banjur barang tembung ider basa sastra
ing saben kori wisma hudyana
nanging tetep bali nyangking wewudhon

marang sapa ngupaya batangan
cangkriman dhiri
yen mangsine ati wus garing
lan tangan wus ora kuwagang
njogetake srimpining firasar??

PUISI
Fatamorgana

Oleh: Tri Wahyuni

Kutapaki jalan ini
Selangkah demi selangkah
Dan akhirnya
Jalan sudah kutempuh
Namun tak jua kutemukan dirimu
Sialan ...!!!
Kudaki bukit yang tinggi
Karna ku lihat kau ada di sana
Meski tertatih trus kudaki
Satu ... satu ...
Tambah cepat .....
Tambah lagi ... tambah lagi
Akhirnya kuraih puncak itu
Namun ternyata tak kudapati dirimu
Sialan ...!!!
Aku tertipu lagi!!!
Kusebrangi laut lepas
Karna ku yakin kau ada di sana
Ku tebar layar
Dengan pendar ku tatap harap
Kan kudapati dirimu
Benarkah kau ada di sana?
Ataukah hanya fatamorgana?
(Kulonprogo, 26 September 2006)

Elegi Jendela Kamar
Oleh: Siti Masitoh

Buka jendela kamarmu. Kala hujan mericis begini
Agar air tampon memercik di wajahmu
Kepyur dinginnya sejukkan kalbu
Itu yang pernah kau dendangkan kala kita masih melukis kisah masa kecilmu
Dulu ....
Entah kini masihkah kau ingat syair-syair yang terlanjur mengalir pada muara-muara.
Memenuhi segepok rindu dalam jamban-jamban keagungan
Kala itu ....
Di indahnya kegersangan puncak Langgeran, di cerianya Gembilaloka, di keramaian festival kampus,
pun di bisunya perjalan sepulan dari Parangtritis

Sudahkah kau buka jendela kamarmu. Kala hujan menderas begini.
Gemuruh luruh mengalunkan kilat pekat keheningan. Membangun kebisuan.
Menggidikkan pandangan
Langit kamarmu tak lagi menyerpih air. Menetes beribu percikan. Genangan-genangan.

Leburkah kau seperti tanah basah di halaman
Leburkah kau seperti tanah becek di jalan-jalan
Ataukah kini duniamu telah tenggelam dalam kesucian ...

Kala hujan bersujud begini
Masih juakah kau buka jendela kamarmu
Saat kini senja membelatungimu
(Kulonprogo, 14 Desember Rain 2006)

NoktahKu
Oleh: Siti Suwarsih

Aku bersama gelap .....
Mencari sebuah warna
Yang bersemayam dalam kehidupan
Yang akan menggoreskan tintanya,
Dalam lembaran dunia

Dan aku bersama sebuah warna
Mencari beberapa warna lainnya
Yang berusaha menyembunyikan
diri dariku
Kutemukan mereka,
Ketika aku menggiring waktu

Aku bersama beberapa warna
Berusaha mencari kesesuaian
Berusaha saling mengenal
Dan mencari kecocokan
Untuk mewarnai duniaku yang kontras

Kesaksian Pagi
Oleh: Aris Zurkhasanah

Telah tanggal pagiku
Oleh serupa isyaratmu
Hingga memenjarakanku
Dalam kekosongan yang
maha sempurna
Barangkali
Matahari sudah terlalu tua
Untuk menyandarkan segala
Apaapa yang tak mungkin kekal
(Kulonprogo 2006)


Semalam
Oleh: Fathin Chamama

Nyamuk-nyamuk menerbangkan
Ngengat malam menyanyikan
Detik melengking ..........

Pekat, lekat, Jika tak di mana
Lembam raga ditumbuk siang
Tirai tak jua menutup. Tergigit malam
Berisik gerigi waktu

Tinta, kau di mana?
Mana kata?
Mana rangkai?
Mana karya?

Rindu
(Kulonprogo, 2006)

Misteri Itu Katamu Adalah Aku
Oleh: Fajar R. Ayuningtyas

misteri itu
katamu
adalah aku

(aku menepis tawa)

setelah ribuan petang
malam yang separuh liar
masih
katamu aku
misteri itu


Kata Mutiara
Kalau membaca itu murah
Kenapa mesti malas
Kalau menulis itu gampang
Kenapa cuma nonton
By Komunitas Lumbung Aksara
Membaca-Menulis; Menjaga hidup


Biodata Penulis
Lontar Edisi 02 Januari 2007
Akhiriyati Sundari, lahir 1979. Alumni UIN Sunan Kalijaga ini penikmat kopi dan musik (juga hujan)uisinya dimuat buku antologi SGSI. Tinggal di Ngestiharjo Wates, dan belum punya pacar.

Aris Zurkhasanah, lahir 198, alumni UIN Sunan Kalijaga. Puisinya dimuat di buku antologi SGSI. Tinggal di Ngestiharjo Wates.

Fajar R. Ayuningtyas, lahir 29 April 1982. Tinggal di Ngulakan Hargorejo Kokap.

Fathin Chamama, lahir 26 Agustus 1980. Alumni UGM, puisinya dimuat di buku SGSI. Aktivitasnya menjadi tutor. Tinggal di Bendungan Wates.

Ki Soegiyono MS, (gelar "Ki" dari DisBudPar), menulis sejak 1987 di Mekar Sari, Joko Lodhang, Penyebar Semangat, Pelita, Bakti, Sempulur. Karyanya dimuat dalam antologi codel (FKY 2005), Paitan (Balai Bahasa Jogja), Di Batas Jogja (FKY 2003). Tinggal di Ngestiharjo Wates.

Maftukhatul Khoiriyah, lahir 25 November 1982. Alumni Fisipol UGM ini ngajar di Madrasah Aliyah Nurul Ummah Kotagede. Tinggal di Tirtorahayu Galur.

Siti Masitoh, lahir 22 November 1980, oleh "seseorang" pernah dipanggil Mazzie. Kuliah di UIN Sunan Kalijaga, puisinya dimuat antologi SGSI. Tinggal di Temon.

Siti Suwarsih, lahir 26 Mei 1990, sekolah di SMA 2 Wates. Santri PP Zahrotul Jannah Wates ini cerpennya dimuat di antologi Bengkel Bahasa & Sastra BBY.

Tri Wahyuni, lahir 1982, alumni FISIP UMY ini adalah sekretaris cabang Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kulonprogo. Puisinya dimuat SGSI.

SMS dari Pembaca
Salah tls benar2 mbwt pmbc jdi "trganggu", karypun jd "trksan" ramutu (cerpn edisi kmrn kok slh ketknya byk bngt), bsk yg tliti ya .. (081804171xxx)

Usul, gmn klo stiap pertmuan tadarus puisi, ada perpus brgilir. Bg yg punya bku2 sastra dipinjm ke bolo2, sirkulasinya dictt jls spy tak hilng, stiap prtemuan wjb dkemblkn (085643231xxx)

Sy salut ada buletn sastra di Kulonprgo, smg pengmbil kebajakn di pemkab trgerak nuraninya utk menjatah anggrn buat Lontar. Jgn cm dibagi-bg buat rapelan pjbt melulu, ah .. (081328015xxx)

No comments: