Thursday, September 27, 2007

LONTAR 10

BILIK REDAKSI

Salam Sastra !

Pembaca LONTAR yang budiman, pernahkah Anda mendengar atau menemukan kalimat berikut ini; "hidup yang tidak direnungi, tidak layak untuk diterusi"?

Kami mengutip ucapan Socrates itu dari tulisan Christopher Phillips dalam bukunya Socrates Café; Citarasa Baru Filsafat (2002). Kami bukan bermaksud mengajak Anda untuk bersuntuk dalam pikiran rumit dan sok filosofis. Kami hanya bermaksud mengajak diri kami sendiri dan Anda sekalian untuk mencoba tidak "waton urip" di dunia ini. Sekurang-kurangnya, bagaimana hidup mesti tetap dijaga 'kualitasnya' (bisa jadi tidak cukup hanya dengan "membaca - menulis", tetapi merenung jua!). Iwan Fals bahkan mengingatkan dengan hendaknya kita juga "saling asah, saling asih, saling asuh. Berdoalah sambil berusaha; agar hidup jadi tak sia-sia".

Tidakkah Anda mencintai hidup Anda sendiri? Sesekali cobalah untuk rehat, berhenti sejenak dari rutinitas yang kerap menjebak, luangkan waktu barang sebentar. Bertanyalah pada diri sendiri: "hidupku .. hidupku .. apa kabarmu?".

Merenung adalah pekerjaan. Meskipun ia terlihat pasif namun bila dilakukan dengan baik (dan sempurna) niscaya ia menjadi sesuatu produktif yang luar biasa. Tidak percaya? Silahkan coba! Jika pun belum berhasil, kami tak pernah berharap Anda lantas bunuh diri. Hehe...

Selamat Membaca …





CERPEN

Kepulanganku

Cerpen Santoso


Lima kali lebaran. Belum pernah aku pulang. Di sini. Di jantung kota Impian. Aku hidup di rundung dalam ketidakpastian. Menggadaikan nasib, demi secercah harap yang menggantung. Menerawang. Kerasnya kehidupan, sebelumnya tak pernah aku rasakan. Tak terbayangkan bila keadaannya akan lebih parah, dibanding waktu aku tinggal di kampung, dulu. Setiap hari. Aku menjejak jalan sepanjang kota. Mengais barang-barang bekas untuk kutukar dengan sebungkus nasi. Menyambung hidup. Demi sebuah nama: harga diri. Antara musnah atau abadi

Awalnya, dari kampung aku berharap. Di jantung kota impian ini. Aku bisa mendapatkan seperti umumnya yang didambakan setiap orang hidup. Tak lebih. Sebab di kampung halaman sulit mendapatkan pekerjaan, kalaupun ada, hasilnya hanya pas buat makan. Memang hidup di dunia ini tak selamanya. Tapi dunia inilah tempat untuk meraih kehidupan selanjutnya.

Dan beginilah nasibku yang tak pernah beruntung. Hanya karena tak punya status formalitas. Sebagai warga kelas bawah, selalu saja aku tertindas. Sakit. Diam. Terkadang juga ingin berontak.

Sebentar lagi lebaran. Hiruk-pikuk pemudik mulai berhamburan. Juga aroma lebaran mulai tercium. Nuansanya. Aku harus pulang. Kerinduanku pada kampung halaman, membuncah.

Rukoiyah, perempuan yang sangat kucintai, juga ibu dari Rifki dan Jalal, anakku. Masihkah kau seperti dulu? Rukoiyah, seorang istri yang pengertian. Beruntung sekali aku memilikinya. Ia bukan dari kalangan ningrat atau akademisi. Tapi jiwa sosialnya sangat menyentuh hati. Mungkin itu yang membuatku tertarik hingga menjadikan dirinya sebagai pendampingku. Juga, Rifki dan Jalal, dua pendekar yang kutinggal waktu seumur jagung. Sekarang, pasti selalu menanyakan tentang diriku. Sabar, Nak. Ayah pasti pulang.

Di bawah atap jembatan. Berdinding tiang beton. Aku mematung. Menatap langit cerah yang berarak awan. Dengusan udara pagi yang membisik telingaku. Menterjagakanku. Seketika. Aku teringat pada mereka. Manjanya. Tawanya. Semua. Melintas.

Terik meninggi. Kerjaku semakin semangat. Peluh mengucur di ubun kepala, mengalir dan terkadang bermuara di pintu bibir ini. Serasa setetes anggur, yang akan kucucup di kehidupan baruku, nanti. Terik yang menyengat kulit ternyata tak mampu menyurutkan langkahku. Demi semua yang ada di rumah. Aku janji. Aku akan pulang. Segera.

Sama sekali aku tak pernah berkeluh kesah terhadap apa yang aku terima, saat ini. Aku jalani dengan mengalir. Kunikmati. Kuhayati. Sebab aku yakin Tuhan pasti akan memberikan jalan. Entah dari dan seperti apa datangnya

* * *

Dahulu, aku tinggal di sebuah desa suku pedalaman di salah satu pulau, Sumatra. Sebut saja Lampung, sebuah kota yang mempunyai tempat pembiakan Gajah. Berjarak satu jam perjalanan motor berkecepatan 80 Km/jam dari pusat kota. Di situlah aku tinggal. Suasana damai. Hening. Senyap. Selalu menyambut sinar mentari pagi. Kicauan burung. Lambaian daun. Hamparan tanah sawah. Menjadi pemandangan di desaku.

Tiap musim tanam tiba. Aku selalu ikut membantu orang tuaku untuk menyemai benih-benih padi di sawah, dekat hutan. Ditanam. Dan setiap panen, ayah selalu menceramahiku tentang bermacam problem kehidupan. Seperti laiknya orang tua menginginkan anaknya jauh lebih baik. Nasihatnya enak dan tidak menggurui. Yang paling menyentuh dan masih kuingat hingga kini adalah "barang siapa menanam, kelak akan menuai".

* * *

Seakan sabdo pandito ratu. Benar adanya. Aku baru mengerti setelah dewasa. Setelah menikah dan mempunyai dua anak. Kebutuhan semakin mendesak. Aku bingung mencari kerja. Sebab aku tak lagi punya sawah. Terlebih menggarap. Diam. Aku sering berpikir.

Demi kesejahteraan keluarga, aku pergi menggadaikan nasibku di jantung kota impian. Sebut saja Jakarta, peringkat ke sepuluh yang disandang atas penelitian baru-baru ini. Daftar kota dengan biaya hidup tertinggi di dunia. Fantastis. Tapi naas. Keberuntungan tidak pernah memihaknya. Berbagai bencana selalu menimpanya. Hingga menjadi sebuah kota yang kehilangan jati diri. Membebek. Nasib.

Gema takbir menyeruak di pelosok penjuru nusantara. Seperti tradisi yang sudah berjalan. Di malam takbir. Muda-mudi mengadakan pawai keliling kampung atau desa. Mengarak, katakanlah ogo-ogo. Menyambut hari kemenangan, setelah sebulan penuh berpuasa. Lebaran tiba.

Seakan tak boleh warga kelas bawah merasakan indahnya kehidupan, begitulah teori yang di bangun oleh Marx, dalam perjalanan pulang, bus yang aku tumpangi tergelincir masuk jurang. Hangus. Seketika semua penumpang tewas. Berita yang tersebar di berbagai media. Salah satu penumpang yang tewas adalah namaku di deretan 13, persis tanggal yang sama lebaran tahun ini. Sudah menjadi skenario Tuhan. Ada apa di balik semua ini?

Berita yang kudengar lewat kabar burung. Istriku cemas mencari tahu tentang keberadaanku. Maafkan aku, istriku! Jika lebaran tahun ini dan selanjutnya, aku tak bisa pulang. Menjengukmu dalam bentuk utuh. Membawa "janji" yang aku ucapkan di depan pintu saat semua, melepas kepergianku. Haru-biru.

Usai diotopsi dari pihak rumah sakit. Akhirnya jasadku sampai juga di rumah duka. Wajah-wajah sedih berhambur menyambutku. Istriku, orang pertama yang sangat kehilangan. Entah bagaimana perasaannya. Sekian lama kutinggal dan kini aku pulang. Juga, Rifki dan Jalal. Sungguh! Aku sangat berdosa pada mereka.

Berhambur wajah-wajah sedih menyurutkan kaki ke rumah. Suasana berkabung menyelimuti keluargaku. Mereka mengantarkan aku pulang dengan kereta beroda delapan. Ah, jangan bersedih. Nanti. Pasti kita akan bertemu kembali.

Di sini, di kehidupan baruku. Aku berdoa. Semoga "benih-benih yang telah kutanam, di dunia, kalian bisa menuainya". Aku yakin terhadap sesuatu yang kukerjakan dulu.

Asing. Kehidupan baru. Lembaran baru. Kini aku memulai.





BYAR

Gelombang Cinta


Sungguh menakjubkan memang, ketika kenikmatan mesti direngkuh dengan laku berpantang. Bayangkan, jika alam membentang ini menyajikan yang serba-boleh saja, barangkali kita akan mengulang "tragedi" yang pernah dialami Eyang Adam. Mungkin tesis di atas ada yang membantah: bukankah yang kita pertontonkan selama ini lebih tragis daripada sekedar "khilaf" seorang Adam? Padahal, kita tahu, Tuhan telah menetapkan aturan berpantang itu? Ah, salah sendiri manusia hanya melakoni "periode berpantang" seperti ketika murid-murid sekolah dasar atau bapak ibu pejabat menghormat Sang Merah Putih saat upacara Agustusan!

Ramadhan adalah salah satu "periode berpantang", yang akan naif jika hanya dimaknai layaknya murid sekolah dasar atau para pejabat menghormat Sang Merah Putih saat upacara bendera. Ramadhan adalah kawah candradimuka yang menuntun manusia ke titik sublim. Sublimasi cinta seorang hamba pada Tuhan. Dan sublimasi acapkali memang dicapai lewat laku "berpantang", "mengasingkan diri", atau yang lebih ekstrim, "menyiksa diri". Zarathustra, karya monumental Nietzsche, ditulis ketika ia mengasingkan di pegunungan Alph. Novel yang menggetarkan dari Pram ditulis tatkala ia dipenjara. Dan Muhammad, manusia mulia itu, memperoleh pencerahan saat mengasingkan diri di Gua Hira.

Sejumput kisah tersebut seakan menyadarkan kita bahwa tujuan berpantang tak sekedar mengharap agar ketika "pelampiasan" datang kita merasakan kelezatan. Nikmatnya berpantang (puasa), pertama-tama memang ketika buka tiba (ragawi). Tapi, sejatinya ada kenikmatan (ruhani) yang jauh lebih subtil dari mereka yang berpantang yakni bersua dengan Tuhan. Ya, karena ketika manusia dalam kondisi tak punya/bisa apa-apa, sejatinya yang ia harapkan hanyalah hadirnya Cahaya. Mirip amsal seorang mahasiswa ketika pertama kali masuk kost dengan membersihkan (mengosongkan) kamar lalu menyalakan lampu.

Kita patut bersyukur dengan adanya Ramadhan. Sebab ia merupakan skenario terindah yang dianugerahkan Tuhan untuk hambanya. Ramadhan laksana gelombang lautan. Siapa yang berani dan lulus menempuhnya, cintanya pada Tuhan (kehadiran Cahaya) kian kuat terpatri dalam diri. Dan Tuhan telah membuka momentum untuk menempuh gelombang itu minimal setahun sekali. Tentu ada hamba-hamba yang "tak puas" menempuh gelombang atau periode berpantang tersebut dalam jangka waktu setahun sekali. Sehingga tiap bulan, minggu, hari, dan bahkan setiap detik, ia sengaja menciptakan gelombang itu dalam dirinya:

Apabila Kau anugerahkan aku rembulan, bisakah kuelus dengan hati lapang / Apabila Kau anugerahkan aku matahari, bisakah kugenggam agar gelap tak menjadi / Apabila Kau anugerahkan aku sederet kata, bisakah kutepis mana yang maya / Apabila Kau anugerahkan aku air mata, bisakah kubuang segala duka lara / Apabila Kau tuntun aku dalam sujud sunyi, semoga hanya Engkau yang mengetuk ini hati, ya Rabbi .

M A R W A N T O (www.markbyar.blogspot.com)




ADA APA DENGAN LA

LA Sambut HUT RI ke-62

Bergayung sambut dengan keinginan beberapa warga LA agar ada sesuatu yang bersangkut dengan perayaan HUT RI, LA mengadakan nonton bareng pawai karnaval di Wates. Diikuti oleh 10 orang, kegiatan nongkrong bareng yang diprakarsai oleh Jeng Rohmi ini, diadakan di jalan Khudhori. "LA belum mampu untuk mengadakan kegiatan menyambut HUT RI dalam skala massif untuk tahun ini, mudah-mudahan tahun depan kawan-kawan sudah siap", ungkap Jeng Rohmi saat ditanya seorang wartawan lokal. (Chyto)


Launching buletin "Prasasti" di TP ke-11

Komunitas LA kembali menyelenggarakan tradisi bulanan "Tadarus Puisi", Selasa 4 September 2007. Kali ini bertempat di Pondok Pesantren Zahratul Jannah (ZeJe) Giripeni Wates. Tetap seperti biasa, dihadiri oleh punggawa-punggawa LA serta fans-fans yang masih setia mengikuti ritme kehidupan LA. Ritual kali ini beda, karena sekaligus launching "Prasasti" edisi perdana yang merupakan karya kawan-kawan hasil penggodokan di PMK. Lebih seru lagi karena selalu ada oleh-oleh khusus dari beberapa person LA yang saat-saat lalu mengikuti dan menghadiri kegiatan-kegiatan yang bernuansa sastra dan budaya di kota Jogja dan sekitarnya. (Rohmi Astuti)





BIODATA PENULIS


Dewi Fatimah, salah satu founding mothers komunitas sastra Lumbung Aksara. Aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga dengan putri semata wayang (Azza, 5 thn), dijalaninya dengan penuh khidmat dan cinta. Kegemarannya pada beragam bacaan membuatnya selalu muda. Tinggal di Jl. Khudlori Wates.

Ki Soegiyono M.S., (gelar "Ki" dari DisBudPar), menulis sejak 1987 di Mekar Sari, Djoko Lodang, Penyebar Semangat, Pelita, Bakti, Sempulur, Kedaulatan Rakyat, dll. Karyanya masuk di antologi Di Batas Jogja (FKY 2003), Codel (FKY 2005), Paitan (Balai Bahasa Jogja). Penyair yang satu ini termasuk "Begawan Sastra Jawa" Kulonprogo. Berdiam di Blok 3 Ngestiharjo Wates.

Landung, penyair yang satu ini jarang membaca puisi karya orang lain dan menulis puisi sebagai "pelampiasan rasa". Lelaki yang mengaku berusia 26 tahun ini tinggal di Kedunggong Wates.

Mintarsih, kelahiran Kulonprogo, 15 Januari 1991. Belajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Wates kelas XI S3. Perempuan yang berasal dari Gunung Kukusan Hargorejo Kokap ini nyantri di Pondok Pesantren Zahratul Jannah (ZeJe) Giripeni Wates.

Osephe H. W., lahir di Kulonprogo. Belajar di Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Volunteer di sebuah Mobil Klinik anak-anak jalanan di Yogyakarta. Sajaknya "Berkelakar, Adam dan Kekasihnya" pernah dibawakan di Panggung Penyair Muda se-Jogja I di TBY (2006). Tinggal di daerah Ring Road Utara Con-Cat Sleman.

Santosa, cerpenis kelahiran Pati (Jawa Tengah), 10 Mei 1982. Mengaku mengenyam pendidikan hanya setingkat SD, selebihnya bergelut di rimba kehidupan. Pernah menekuni dunia seni di pulau Bali. Saat ini tertambat di Lesehan Sastra dan Budaya "KUTUB" Yogyakarta.

Siti Masitoh (Chyto), Pemimpin Umum LONTAR ini baru saja bertarung mempertahankan skripsinya yang berjudul "Nilai-nilai Tauhid dalam Syair Lagu "Satu" karya Ahmad Dhani DEWA 19" pada sidang munaqosyah (pendadaran) di UIN Sunan Kalijaga Jogja dengan hasil sangat memukau. Kini sembari menanti Hari Wisuda, ia terus menyelami dunia batin hingga meneteslah puisi dari pucuk kalbunya. Tinggal di Gebang I Plumbon Temon.

Wening Wahyuningsih, adalah pelajar di SMK N 1 Pengasih. Anggota komunitas CORET, Komunitas Sastrawati Remaja nDalem Poetry, dan Bengkel Bahasa Yogyakarta (BBY). Puisinya pernah dimuat di majalah sastra Horison, Kedaulatan Rakyat, Coret, dll. Saat ini tengah mencoba membuka hati pada semesta.



SMS PEMBACA

"Mlm mba mf ggu_cm mw kse saran_mbok halmn E ki d tmbh n kmasn antara edisiN d beda"

(Vera - 081804357XXX)


"Nama Okta, sekolh di SMK 2 Pengasih, sya dpt lontar dr prpz sklh, sbnrny sya cm pgn ikt kegiatny sj, krn sya ign bljr menuls”

(Okta - 085292279XXX)



PUISI

Kau dan Kopi

Oleh : Siti Masitoh


(Selalu saja ada kopi dan dirimu seperti lekukan jurang)


Menghitung jari-jari malam

Mengendap

Menimbun pembaringan yang basah

Sebutir dingin menjilati ubun-ubun

Mendidihkan otak kanan kiri


Secangkir kopi masih teronggok di pelataran hati

Setelah semalam ampasnya mengendapi

dasar nurani diri

Hitam

Dan tetap seperti terjaga

  • april medio – en




Sepucuk Pesan untuk Rembulan

Oleh : Wening Wahyuningsih


Sebagai rembulan, wajahmu tercermin di bola mataku

Melarutkan pesona dalam desir alir darah

Maka kusampaikan pesan lewat angin

dan daun yang mendesah

; pada rembulan, izinkan aku menjadi bintang

beri cahayamu untuk sebagian diriku

kemudian biarkan aku bersanding denganmu

bertahta menyatukan cinta di angkasa

sebab aku rela hidup dalam kehidupanmu

meski harus mati terbunuh pagi.


23032007




Sebelum Gelap

Oleh: Osephe H.W.


malam merebutnya,

baru saja siang mengadu pilu.

sebelum gelap melahapnya,

warna pelangi meluntur

secepat kornea mataku menangkap


Street Spirit fur @

Yogyakarta, Juni 07



Keangkuhan

Oleh : Mintarsih


Dua insan bagai nisan

Diam tanpa ucapan

Menggenggam erat keangkuhan

Pamerkan ego dan kekuatan

Kacau hatinya ingin bertanya

Membuat goyah angkuh sendiri

Membawa terbang curiga hatinya

Hari silih berganti

Hingga timbul keberanian diri

Membuat suasana asri

Menghadirkan debar tak henti

Akhirnya, datang jua

Batas keangkuhan

Akan berganti kedamaian

Tapi sayang, ujung sebuah

kenangan

Terkalahkan oleh sebutir

Keangkuhan





Untuk Seseorang

Oleh : Landung


langit biru ...

sombong kau lintasi dengan sayap emasmu

tetap saja ku masih di sini

terkubur dalam kubangan


langit kelabu ...


kepakan sayapmu getarkan rindu

khayalku masih tentangmu

mengadu pada tanah yang juga merindumu langit hitam ...

terdengar jeritmu

iba di hatiku

tertutup oleh inginku

membelah malam dengan patahan sayapmu





Anak Akhir Zaman

Oleh : Dewi Fatimah


Pengasuhmu televisi

Cita-citamu selebriti

Bakda Maghrib tak lagi mengaji

Temanmu iklan

Teladanmu Sinchan

Hobimu smackdown


Ayah ibumu kewalahan

Menghadapi persaingan

Agar ijazahmu terbeli

Sebab tanpa ijazah,

Kemampuan tak dihargai

Tak mampu seperti para sufi

Berenang cinta ilahi

Bahagia bukan di materi

Walau cacimaki ataupun mati


Teringat kata ibu

"Kau boleh terlantarkan anakmu

Tapi jangan terlantarkan cucuku"


Kulonprogo, 14 Juni 2007



GEGURITAN

Tafakkur

Dening : Ki Soegiyono M.S.


Gumrenggeng ngumandang

nyigar sepining ratri

pangangen nyoblos langit pitu

dumlewering wasa kang anget bening

pindha milining gegetun

binarung ceceluking angkup

lan sumiliring maruta

mracihnani yektining pepasrah

ngempit tawakkal

ngindit tawwadu'


Dhuh Robbi Robbul 'izzati

sepira pangajine tasyakur iki

regane cumadhonging tangan iki

ing jobining Rahman Mu

sepira pangajine panyuwun iki

yen istiqomahe wardaya lunga teka

sepira regane luh kang tumetes iki

yen tumiba ing tlaga Mu kang suci

takarrub iki mung njedul nalika butuh

tinalasak dening dholiming dhiri

kang kuwawa medhot talining tuma'ninah

bisa rumangsa kalindhih rumangsa bisa


Dhuh Kang Maha Agung

merjan-merjan tasbeh iki suwala

ginarayang jempol driji kang bacin

sajadah mlengos nalika dak lungguhi

nalika ngungak hakikining qalbu

kang congkrah ing was-wasing manah


Lambe kang ndremimil iki

ati pecicilan jlalatan nunjang palang

sedhela lungguh, glingsatan 'uzlah

ana prabawa kang nyeneng pangangen

sinuguhan kekidung samar

saka beksaning iblis

ilang nering Ywang Suksma

bali sakawit, kaya nalika lungguh wiwit.




KATA-KATA MUTIARA

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah



SMS (SEPUTAR MENULIS SASTRA)

Manfaat Menulis


Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari aktifitas menulis. Setidaknya pertama, kalau kita ingin menulis pasti menimbulkan rasa ingin tahu (curiocity) dan melatih kepekaan dalam melihat realitas di sekitar. Kepekaan dalam melihat suatu realitas lingkungan itulah yang kadang tidak dimiliki oleh orang yang bukan penulis. Tanpa terkecuali pada penulisan sastra.

Kedua, dengan kegiatan menulis mendorong kita untuk mencari referensi seperti buku, majalah, koran, jurnal, dan sejenisnya. Dengan membaca referensi-referensi tersebut tentu kita akan semakin bertambah wawasan dan pengetahuan kita tentang apa yang akan kita tulis.

Ketiga, dengan aktifitas menulis, kita terlatih untuk menyusun pemikiran dan argumen kita secara runtut, sistematis, dan logis. Dengan keteraturan tersebut membantu kita untuk menyampaikan pendapat atau pemikiran kita pada orang lain. Pendek kata kita menjadi semakin cerdas.

Keempat, dengan menulis secara psikologis akan mengurangi tingkat ketegangan dan stres kita. Segala uneg-uneg, rasa senang atau sedih bisa ditumpahkan lewat tulisan di mana dalam tulisan orang bisa bebas menulis tanpa diganggu atau diketahui oleh orang lain. Dalam tulisan seorang penulis membuat dunia yang tersendiri yang bebas dari intervensi orang lain.

Kelima, dengan menulis di mana hasil tulisan kita dimuat oleh media massa atau diterbitkan oleh suatu penerbit kita akan mendapat honorarium (penghargaan) yang membantu kita secara ekonomi.

Keenam, dengan menulis di mana tulisan kita dibaca oleh banyak orang (mungkin puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan) membuat sang penulis semakin populer dan dikenal oleh publik pembaca. Popularitas kadang membuat seseorang merasa puas dan dihargai oleh orang lain.

Demikianlah setidaknya beberapa manfaat menulis dan mungkin masih ada lagi kalau mau menambahkan. Dengan menulis setidaknya kita mengeluarkan gagasan maupun uneg-uneg kita agar tetap sehat dan sejahtera. Semoga.

***

(Didik Komaidi, anggota redaksi LONTAR, guru MAN 2 Wates, dan penulis buku "Aku Bisa Menulis: Panduan Praktis Menulis Kreatif Lengkap")

No comments: