Bilik Redaksi
Salam Sastra !
Setiap memasuki bulan April kita kerap diingatkan dengan moment ”Kartinian”. Ingatan kita seakan disundut oleh kepahlawanan seorang perempuan (yang hidup dalam dengusan patriarki teramat tajam), istri (yang dimadu), dan ibu (yang meninggal saat melahirkan anak), bernama Kartini. Bahkan sejak Sekolah Dasar pun kita ”dipaksa” hapal lagu putri sejati, putri Indonesia, harum namanya. Klise memang, ketika filosofi dari semangat itu tak jua tercapai hingga sekarang. Alangkah tak terhitung entitas perempuan di sekitar kita yang masih bodoh dan miskin, yang masih dibodohi (termasuk tren HANYA merayakan Hari Kartini dengan berbaju ala Kartini dan aneka kegiatan yang bernuansa hiburan) dan dimiskinkan, yang dilemahkan dan ditakberdayakan. Akan terlalu panjang daftar yang menyertainya.
Pembaca LONTAR yang budiman, lepas dari kisah-kisah sejarah, sesungguhnya ada satu lagi perempuan pejuang sebelum Kartini tapi rasanya ”tak laku” di sejarah karena entah. Dialah Rohanna Kudus, jurnalis perempuan pertama yang ”secara modern” mendirikan organisasi gerakan perempuan yang bisa dibilang progresif ”Kerajinan Amai Setia”. Dia berasal dari Koto Gadang Sumatera Barat. Seharusnya semangat seperti itulah yang diperlu bangsa ini agar tidak awet dengan slogan “Habis Gelap Tak Kunjung Terang”.
Selamat Membaca...
Ada Apa Dengan LA
Pelatihan Jurnalistik di PP Al-Hidayah Temon
Minggu, 23 Maret 2008 lalu, LA diunduh acara Tadarus Puisi dan sekaligus mengisi pelatihan jurnalistik (tepatnya memperkenalkan dunia membaca dan menulis) di Pondok Pesantren yatim piatu Daarul Aitam atau sering juga disebut PP Al-Hidayah Pripih Temon. LA mengundang bintang tamu Zaki Zarung (penulis, pendongeng, sutradara) yang membuat peserta sekitar 50-an santri menjadi antusias mengikuti acara. Materinya meliputi pengenalan media, jenis-jenis tulisan, rubrik dan lay out, serta disambung dengan sharing berbagi kisah proses kreatif kepenulisan. Peserta dibagi beberapa kelompok untuk praktik menulis dan membuat buletin. Di sela-sela acara peserta diminta maju untuk membaca puisi dan mengapresiasinya. ”Jangan menulis, kalau tidak ingin menyesal!” begitu pesan Zaki Zarung. (Deffnau)
Silaturahmi Adin Hysteria ke LA
Tekad silaturahmi demi memperkokoh jalinan komunitas sastra mengantar Adin (penggiat komunitas Hysteria Semarang) mengunjungi teman-teman komunitas Lumbung Aksara (LA). Minggu (17/2/08) malam yang berirama hujan itu, ia tiba di salah satu pasar di kawasan Bumirejo Lendah. Di pojok pasar (sambil menikmati bakmi hangat), Adin dijamu Syamsul Ma'arif, sebelum kemudian berkunjung ke TBM Lumbung Aksara di Jalan Makam Kiai Batok Bolu Wahyuharjo.
Kunjungan tersebut memang tidak mendadak, sebab beberapa hari sebelumnya (lewat email dan SMS) ia telah berkabar. Namun karena dilakukan pada malam hari, jadinya tak semua awak LA bisa menemani. Banyak hal diobrolkan di rumah Lurah LA tersebut. Diantaranya ihwal “gerahnya” penyair senior Semarang melihat geliat aktivitas sastra para generasi muda. Juga tentang serunya “politik sastra” di tanah air. Jelang tengah malam, ia bertolak ke rumah Syamsul dan keesokan harinya sudah menghilang menuju Yogya. (Wan)
Kemah Sastra, Membangun Jaringan Sastra
Tanggal 20-23 Maret 2008, LA memenuhi undangan komunitas sastra PAWON Solo untuk mengikuti kemah sastra yang berlokasi di Padepokan Lemah Putih, Plesungan, Karanganyar. Kemah sastra ini sebagai ajang pembelajaran menulis kreatif sekaligus pertemuan komunitas-komunitas sastra. Dihadiri oleh wakil dari beberapa komunitas sastra seperti Matapena (Yogya), Asas (Bandung), Samudra (Jepara), MejaBolong (Solo), LA (Kulon Progo) dll serta wakil dari beberapa LPM dan komunitas teater kampus antara lain UNS, UMS, UMK, UPI, UNSOED, UNDIP, UNSIQ, ISI, juga dihadiri oleh perorangan yang datang dari berbagai penjuru pulau Jawa. Pembelajaran menulis yang diselingi diskusi, tanya jawab, dan sharing berlangsung fun dengan diampu Saut Situmorang, Faisal Kamandobat, Han Gagas, Sanie B Kuncoro, Tia Setiadi, dan Kusprihyanto Namma. Hadir pula peneliti sastra asal Jepang, Shiho Sawai, sementara sastrawan besar Raudal Tanjung Banua berhalangan hadir. LA yang diwakili Fafa, Hendri, dan Asti disambut hangat oleh panitia. Buletin Lontar dan Prasasti dibagikan pada peserta oleh Joxum (koordinator PAWON). Ada yang bisa menjadi benang merah dari helat ini bahwa sudah semestinya jaringan sastra yang solid dibentuk untuk mewadahi kreativitas dan sebagai media bertukar info tentang dunia sastra. Ke depan, PAWON menunggu undangan kegiatan sastra dari LA. Wah..! (selepas lautan)
Byar
Cerutu & Celana (1)
Foto itu masih saya ingat hingga kini: seorang penguasa yang sedang menghadapi gemuruh demonstrasi rakyatnya tampak menggigit ujung cerutu ketika menerima laporan dari salah satu pembantunya. Wajahnya garang. Tentu amarah sedang membuncah, dan belum tahu akan mengetukkan palu dengan cara apa: menyerah atau perang ! Foto itu beredar di sejumlah media pada 19 Mei 1998.
Dua hari kemudian Soeharto memang lengser. Tapi, agaknya, itulah potret ketika “Sang Raja” sedang berada dalam masa puncak menghadapi tantangan. Meski, kenyataannya, jarak ketika seorang dalam posisi “on” dan “off” teramat pendek. Benar pula kata orang arif: bahwa sebelum mengakhiri nyala terakhir sebuah lentera akan berkobar-kobar sebentar. Amsal lain: seorang yang sedang orgasme tentu akan menggebu-gebu, sebelum akhirnya lemas-lunglai. Agaknya, waktu itu Soeharto tak sedang “orgasme”. Ia lebih mendekati amsal yang pertama. Dan itulah tafsir dari foto tersebut: ekspresi dari nyala yang berkobar-kobar sebelum akhirnya padam.
Disamping itu, barangkali bisa diajukan tesis yang lain: bahwa cerutu telah menjadi alat pelampias dari (beberapa kemungkinan rasa berikut): kalap, gundah, marah, … Konon, kita sering juga disuguhi adegan ini: orang yang mendapat tekanan berat (stres), berulang kali mematikan cerutunya dan menyulut yang baru untuk secepat mungkin ia matikan lagi. Begitu seterusnya, berulang-ulang. Di sini, cerutu bukan karib yang baik untuk dinikmati kelezatannya atau bersama-sama si penghisap “menikmati ngehnya suasana”. Cerutu tinggal obyek penderita.
Jika seluruh manusia penghuni planet bumi ini mengalami hal serupa tentu yang paling untung adalah pabrik rokok. Sebab ia akan mengalami peningkatan penjualan secara drastis. Bayangkan, jika dalam kondisi biasa seorang perlu sehari untuk menghabiskan satu sampai dua bungkus rokok, dalam kondisi stres (kalap), ia cuma perlu satu atau dua jam. Dan, selain tak baik bagi kesehatan (fisik manusia), juga bisa memunculkan persaingan usaha yang tidak adil.
Barangkali, ya barangkali, karena tak bersetuju dengan dampak yang ditimbulkan dari kasus “cerutu sebagai alat pelampias”, maka beberapa tahun kemudian seorang nomor satu di sebuah republik memilih celana sebagai “alat pelampias”. Benarkah? Apa maksudnya? (Bersambung)
MARWANTO (www.markbyar.blogspot.com)
Cerpen
SILENT LOVE
Cerpen Nur Islamiyatun
Bertanya pada laut bagaimana menyatakan rindu yang terlarut dalam ombak yang bergolak di nyiur pantai yang berdesir. Bertanya pula bagaimana menjadi tumbu karang yang menyatukan arus dan gelombang pasang. Namun, diam yang terjawab dan hanya diam yang masih didapat.
Pada gelitik sang bahari malam, mega menyaksikan turunnya basah air hujan yang mengundang malam berkabut ketika itu, menambah pedih dan kelam seorang Izzah yang melabuhkan rasa dalam keheningan.
Sosok Faizzah yang meradang dalam bias lamunan, menghitung detik-detik yang terus menghimpitnya dalam pusara yang tak terbendung, akhirnya tertetes juga setitik kaca bening melepuh indah di bola matanya.
“Roni ... Roni ...”
Terlabuh sudah hatiku untukmu. Namun hanya ada diam yang memagari keinginan tuk selalu berdekatan denganmu. Aku muak dengan bentangan ini. Faizzah membatin.
”Aku mencintai, tapi apa aku dicintai? aku menyayangi, akankah aku disayangi? Bodohnya aku yang memikirkanmu“, gumam Izzah ketika kabut masih terus menyelimuti kidung hatinya yang masih terjerembab dalam sepi.
Cintanya menghantar pada kebisuan yang menjulang dalam keheningan, seutas Izzah yang menawan dengan seutuh rupa dengan sebaris lesung pipit tergurat manis ketika senyum terhias dari Izzah, dan ia terlahir dalam keanggunan dan sepoi keramahan.
Ah, itulah sepintas Izzah yang harus membawanya dalam sebuah pengabdian terhadap orang tuanya yang menelaah setiap kata-kata yang tersirat dalam bumbu-bumbu kehidupan. Memikat orang tuanya tuk menjadikan seorang Izzah menjadi lebih baik dalam jalinan dengan orang yang baik pula menurut orang tuanya.
Begitu menyayat dalam segurat hati Izzah, tapi senyum indah nan ramah tetap terlukis di atas serpih-serpih pupusnya harapan yang ia sanjung dari Roni. Rasa Izzah yang mengambang dalam kegamangan waktu yang membuat Izzah menunggu sebuah baris dalam lisan Roni. Akh! perih itu serasa mengerat.
Dan di sana, seorang Roni memagari kepalsuan yang bersemayam di hatinya, kalut merenggut jiwanya. Hilir mudik mencoba menggenggam ketenangan. Namun, sepoi angin memberi bisik kegalauan yang menjadikan gundah merebak bersama gelisah.
Angin, aku dimana saat ini?
Apakah aku masih hidup, atau aku telah mati?
Mungkinkah aku senang, ataukah aku mesti sedih?
Aku hanya sebatang ranting yang mencoba menahan daun agar tak jatuh, tapi, kenapa aku yang patah oleh angin? Sehingga tak mampu bersama daun rindang itu?
Aku ingin menjadi ranting bagi Izzah. Tapi, kelu mulutku yang menjadikan ia tiada. Aku tolol. Aku dungu dalam kesunyian, itulah lantang nyanyian jiwa Roni yang menggema bersama desah malam.
Rasa, menjadikan semua tiada tersisa. Harapan roni menjadi kikis karena telah mendengar izzah akan menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya yang menjadikan ia semakin terhina karena tak mampu membawa rasa itu sampai pada Izzah. Menggantung dalam terpaan sunyi yang meratakan kedukaan yang melelangkan sesal yang tertinggal.
Rasa, meleburkan belenggu yang ada, memupuskan mimpi Izzah yang menanti kalimat-kalimat indah dari Roni, tapi kepenatan itu menjadikan Izzah dalam sebuah ketololan yang terus menanti sentuhan kata melewati hati, melesat dalam lisan dan angan yang terbuang.
Izzah begitu bingung karena cinta telah tergadai buat Roni. Izzah pun tak mengerti, mengapa ia begitu membenci mas Ardan calon suaminya, padahal ia sungguh baik dan mencintai Izzah apa adanya. Izzah benar-benar bingung dan benci, tapi entah pada siapa.
Hanya isak yang terus menjawab dalam kediaman hati Izzah. Bagi Izzah, Roni-lah yang terhebat meski orang lain tak sependapat. Roni-lah yang ia rindui biarpun tak mampu digapai. Roni-lah yang termanis meski semua tak menggubris. Ahh, cinta memberi tanpa harus menerima.
Hanya galau yang hadir di antara cemas yang mengerubung hadirnya esok. Kecewa tereguk bersama asa yang melolong di atas harapan-harapan pada kehendak hati mereka. Rentet waktu begitu mencekam dalam nyanyian jiwa Roni dan Izzah. Isak terus meleleh dalam peluk malam merajuk pada sepi agar terobati.
Mencoba menepis segala kepingan sayat yang mereka peroleh dan berangan-angan dapat terganti sapuan lembut Nirwana.
Jarum jam masih berputar menembus dalam kegalauan sukma, mereka berharap ada sinar yang menjadikan sapuan putih menjelma asa yang menjulang kebersamaan.
Di setiap satu nafas mereka terhitung debar cemas, di setiap kedipan mata menjadi isyarat gundah.
Debar itu menjadi detak yang tiada terlantun lagi, menjadikan setiap putaran malam bagai pekat yang menimbulkan kepenatan. Hanya ada dua hati yang sedang terkapar dalam gejolak matahari yang membakar. Menjadikan setiap putaran malam bagai terbunuhnya hari-hari lalu dalam kebisingan tawa dan canda. Yang mengabarkan berita lelap akan segera terungkap dalam gejolak yang tiada kalap mengombang-ambingkan deru perasaan Roni dan Izzah, yang hanya mampu berdiam dalam gelisah malam menanti turunnya siraman basah air hujan yang kembali mengguyurnya.
Pada keluasan hati, mereka mencoba berlayar menelusuri malam, meski serumpun nyiur tetap dalam catatan sunyi. Matahari pun telah begitu letih melampaui penantian dalam gelombang yang terkirim bersama kenyataan. Tertarik makna yang tersemburat menghayati camar-camar dalam kediaman.
“Berdosakah aku mencintai Roni? Bisik dalam hati kecil Izzah. Malam itu hanya ada Izzah dalam tangisan jiwa yang gerimis di kesunyian redup yang mencekam. Dari mencoba mengerti dan pahami apa yang telah tersirat. Tiba-tiba ia tersadar dari lamunan. “Ahh, love is a sweet torment”, cinta itu siksaan yang menyenangkan, bukankah begitu malam? desis Izzah.
Gundah, 01 Juli 2007
Geguritan
Seserepan
Dening : S. Arni
Ing wayah sore
Ing pinggiran bengawan
Tirta kang mili
Kaya andudut ati
Ati kang lagi kesengsem
Melu kintir manut ilining tirta
Swara kemericik angresepake
Kumelaping mina wader
Kang lagi pada andon tresna
Ombak cilik-cilik lunga teka ambal-ambalan
Kadya cakramanggilingan
Nelakake manungsa padha hangarsa yekti
Sira bakal kaya ilining tirta
Lahir lan mati kaya
Tekaning tirta kang gilir gumanti
31 Oktober 2007
Puisi
Aku Malu
Oleh : Zaki Zarung
aku malu pada maluku
yang memaksa aku
tak lagi tahu malu
Kotagede, 19 Januari 2007
Tengadah
Oleh : Landung
malam merayap, kian senyap
kaburkan hati sekat demi sekat
aku meratap
di tepi tirakat tanpa sebab...
goyah !!
aroma madu di deru napasmu
buramkan racun di nadimu
goda hasrat menyusuri mimpi
larut dalam imajinasi
aku pun terkulai
tak sempat lagi berpikir
tulang ini akan lepas sendi demi sendi…
takut
jangan muntahkan ludahmu padaku,
aku tetap saja membatu.
Kilatkan saja pedang di matamu,
Aku kan terkulai padamu !!
PERNIKAHAN SETAN
Oleh : M. Zaairul Haq
Hari ini desember kelabu datang menjumpaiku
Sepucuk undangan kulihat tergeletak di atas meja
Siapa yang membawanya?
Aku berfikir sejenak dan tak mempermasalahkannya
Aku buka dan aku baca
Oh undangan perkawinan….
Aku kira undangan apa….
Rupanya iblis dan iblisah mau nikah
Hari minggu besok rupanya akad nikahnya
Bertempat di dasar jahanam
Ada pestanya juga
Tapi…
Seketika aku sadar dan berteriak
Astaghfirullah !!!
Aku kaget dan takut
Undangan pernikahan dari iblis???
Kenapa ia mengundangku?
Mungkinkah aku ini sahabatnya?temannya?atau malah familinya?
Sehingga aku diundang?
Sedang aku sendiri menganggap mereka musuhku
Bahkan setiap hari aku membaca ta`awudz meminta lindungan Tuhan
Mengapa mereka mengundangiku?
Aku kaget dan takut
Dan hidupku diliputi kecemasan
Pertapan wengi,24 Desember 2007
Menoreh
Oleh : Didik Komaidi
Bukit-bukit biru memanjang
Dari timur ke barat
Bukit-bukit kecil
Bukit-bukit besar
Yang dekat tampak kerontang
Pepohonan kering berguguran
Sementara yang jauh tampak hijau membiru
Sementara gerombolan awan menutup puncaknya
Tampak antena-antena
Begitu angkuh di puncak bukit
Menantang langit
Adakah makna dibalik peristiwa
Tentang alam yang menggeliat
Gempa bumi
Meruntuhkan rumah-rumah
Hanya hati putih yang mampu
Menangkap makna di balik peristiwa
Kulonprogo, Oktober 2006
SAJAK BISU
Oleh : Muryani
Percakapan yang tak cukup fasih
Antara kau, aku. Meluncur sekenanya
malam itu. Mendung menjelma menjadi gerimis
Sambil menunggu kata-kata untuk menjadi hujan
Bagai anak ayam bertemu induknya
Ingin kutumpahkan darah kerinduan di hadapanmu
biar kau tahu, aku mulai letih mendaki menara kesetiaan
Entah mengapa angin serta merta beku
Mengulum rindu di sarangnya
Seperti sengaja direkayasa
Diam-diam huruf yang empat tahun lamanya
Bergelantungan di mulutku
Tak berhasil kueja menjadi sebuah kata
Peta Hamba
Oleh : Nurul Lathifah
kau tak perlukan, sedu yang menjadi nyawa
dalam keheningan tebing-tebing
dan juga igir-igir setajam Himalaya yang gagah
dan setegar karang
karena kau, bukan pecundang
kau, ksatria yang menghitung langkah-langkah
tanpa dibuyarkan siulan kekasih
dan deret-deret waktu itu selalu kau ikat, lalu
kau catat di prasasti dan sejarah pelangi
karena kau telah dapatkan peta pasti dari Ilahi
15 Januari 2007
LELAKI FEBRUARI
Oleh : Imam Wahyudi
Hujan telah menitipkan rindunya
Pada lelaki februari yang sedang berbunga
Menjadi mataair yang terus mengalir
Di musim yang menggoreskan cinta
Tambak, 03 Februari 2008
Seputar Menulis Sastra
"Nggak mau.., Cakap-cakap aja ya!"
Awalnya apa yang dikatakan Fifik, salah satu teman kecil saya, kuanggap biasa saja. Mungkin hanya ekspresi penolakan seorang anak kelas satu SD yang lagi malas jika disuruh membaca. Padahal untuk bisa lancar membaca, mau tidak mau saya harus membujuknya untuk terus membaca. Namun setiap kali saya minta dia membaca, setiap kali itu pula dia minta cakap-cakap. Cakap-cakap dalam pemahamannya ialah membaca percakapan/dialog yang ada dalam LKS Bahasa Indonesia. Dibanding membaca teks, Fifik lebih tertarik membaca percakapan. Mengapa? Selain dia tak merasa sendirian membaca karena dalam percakapan ini saya pun harus ikut membaca, percakapan biasanya berbentuk cerita atau dongeng. Anak kecil mana yang tidak suka dengan cerita/dongeng?
Seringkali kita mendengar para orang tua mengeluh karena anaknya malas membaca buku pelajaran. Bagi Fifik dan teman-temannya, membaca buku pelajaran memang sangatlah membosankan. Berbeda halnya jika membaca cerita/dongeng. Tanpa diminta pun mereka akan membacanya. Terlebih jika dalam cerita tadi disajikan pula gambar. Hal ini bisa dibenarkan karena dunia anak-anak adalah dunia bermain, dunia imajinasi, dunia meniru, dunia coba-coba dan ingin tahu. Dalam cerita/dongeng, anak-anak lebih menemukan dunianya dibandingkan ketika membaca buku pelajaran. Kebanyakan bacaan yang saat ini ada dalam buku pelajaran susah dicerna oleh anak-anak. Kosa katanya tidak sedikit yang asing di telinga mereka. Tidak heran jika anak dengan daya pikir dan daya nalarnya yang masih serba terbatas akan dengan serta merta menolak jika diminta membaca.
Terlepas dari banyaknya tuntutan akan buku pelajaran yang sesuai dengan dunia anak, alangkah lebih bijaksananya jika orang tua memperhatikan keinginan anak. Apabila mereka lebih menyukai membaca cerita/dongeng, mengapa tidak kita coba menulis cerita anak yang intinya kita ambil dari materi pelajaran? Memang tidak semudah yang dibayangkan. Boro-boro menulis, membaca dan menemani anak belajar saja masih jarang kita lakukan. Namun, tentunya tidak ada kata terlambat untuk perubahan menjadi lebih baik. Sudah waktunya membiasakan diri kita dan lingkungan terdekat kita untuk membaca dan menulis. Sehingga pepatah klasik "senang buku sejak balita, gemar membaca sepanjang masa" tidak lagi terasa usang.
(Maftukhatul Khoiriyah, Redaksi LONTAR, sedang bermukim di Jepara)
SMS Pembaca
”Ass. Kok distribusinya telat bgt? Masa edisi October 2007 SMA 1 Temon dpt buletin LONTAR bru kmrn? Saya mohon jgn sampe distribusi lambat...thanx”
(Nicken, SMA 1 Temon - 081931710xxx)
”Mau konfirmasi prtemuan kmunitas Lumbung Aksara kapan?”
(Sigit - 08176867xxx)
BIODATA PENULIS LONTAR
EDISI 16/Th. II/2008
Didik Komaidi, direktur penerbit Sabda Media Ngestiharjo Wates. Banyak menulis buku, cerpen, esai, dan opini. Buku-bukunya selain di dipasarkan di Jogja, di beberapa toko buku di Wates juga telah beredar. Sekarang mengajar di MAN 2 Wates.
Imam 'Mbah Im' Wahyudi, masih terus sabar mencari inspirasi walau karya-karyanya tak pernah membumbung tinggi. Puisi-puisinya bersemayam dengan damai di pondok mayanya; www.ilalang-berbisik.blogspot.com
Landung, seniman musik yang gaul. Tergabung dalam komunitas seni Padhang mBulan Kulonprogo. Pengen kenal? Klik saja di www.jangkrikngerik.blogspot.com.
M. Zaairul Haq, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Asli Siluwok Kidul Tawangsari Pengasih. Ingin lihat fotonya? Laki-laki ini menuliskan alamat mayanya begini: www.zaza_bigbos@yahoo.co.id (?)
Muryani, adalah pelajar SMAN 1 Lendah. Tinggal di Nepi Galur Brosot.
Nur Islamiyatun, cerpenis ini alumni MAN Wonokromo Bantul. Karya-karyanya sering dikirim dan dimuat di majalah BAKTI. Tinggal di Brosot.
Nurul Lathifah, pelajar XII I A 2 SMA N 1 Lendah. Punya hobi membaca dan menulis. Gadis kelahiran Kulonprogo 21 September 1989 ini karyanya pernah dipublikasikan di Kedaulatan Rakyat, BIAS, dan CORET.
S. Arni, ibu rumah tangga kelahiran 4 September 1961. Semasa gadis pernah bermain teater, drama, tari, dan menyanyi. Produktif menulis geguritan tetapi jarang mempublikasikannya. Tinggal di Gebang I Plumbon Temon.
Zaki Zarung, lelaki asli mBantul yang masih teguh mengabdi di PP Nurul Ummah Kotagede. Sederet aktivitas dilakoninya; pendongeng, pemain teater, sutradara, penulis naskah, penyair, juga novelis. Novelnya yang diterbitkan Matapena, Santri Baru Gede, konon akan dijadikan film oleh sebuah rumah produksi dan akan disutradarai Hanung Bramantyo (sutradara film Ayat-Ayat Cinta). Saat ini tengah bergulat menyelesaikan skripsinya di UIN Sunan Kalijaga.
Kata-kata Mutiara
“Memaafkan itu Tak Seberat Memindah Samudera,
Tak Ada yang paling Sempurna”
(Aku Bisa Menjadi Kekasih by PADI)
No comments:
Post a Comment