Wednesday, May 30, 2007

BYAR : Indonesia Lain

Ketika krisis di negeri ini mencapai puncaknya pada Mei 1998, mungkin bangsa ini sedang diharuskan untuk “berwudlu sejenak”: menanggalkan residu pembangunan yang selama tiga dasawarsa lebih ditegakkan rejim Orde Baru. Mengapa harus “wudlu”?
Ya, karena bangsa ini telah “batal” menjalani hidup. Ada pelanggaran yang signifikan terhadap aturan kehidupan bernegara, baik tak disengaja maupun jsutru diciptakan oleh segelintir orang yang berkuasa. Karena itu, selain membasuh habis segala kotoran, laku “wudlu” tadi mesti dibarengi dan diteruskan dengan penataan kembali sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu sama dengan anjuran bijak: jika usai wudlu segeralah “mendirikan shalat”.

Persoalan muncul ketika elemen bangsa ini sibuk mendebatkan “tata cara mendirikan shalat” dan saling berebut “menjadi imam”. Di sini kepentingan mulai bicara. Sebab, di negeri ini, atau ini memang watak khas politik: siapa yang menjadi imam identik yang berhak menentukan berapa raka'at shalat dijalankan. Aturan “mendirikan shalat” lebih ditentukan oleh syahwat kuasa, bukan oleh akal sehat dan kebeningan nurani.

Maka, ditengah-tengah debat panjang kita tentang bagaimana mendirikan shalat (:membangkitkan bangsa ini) diam-diam kita mulai menyusun strategi agar jika nanti melakukan kesalahan tidak termasuk dalam kategori “batal”. Tapi yang namanya kesalahan, dimanapun akan ketahuan juga. Barangkali rakyat sudah lelah, sehingga tak ada itu people power yang mendesakkan bangsa ini untuk berwudlu kembali. Tapi, tidakkah kita sadar, bahwa deretan panjang bencana yang datang silih berganti di negeri ini menunjukkan bahwa bangsa ini sejatinya telah batal dari wudlunya sembilan tahun silam?

Kita belum sempat mendirikan shalat, tapi telah batal. Kita belum lagi bangkit, namun ditengah-tengah bencana, penderitaaan, dan bangkai-bangkai yang melayang, setiap hari kita rajin menggembosi tegaknya bangsa ini. Apakah riwayat Indonesia akan tamat sampai di sini?

Tidak ! “Bunga yang mekar dari bangkai kematian lebih menantang untuk menggoda….”, kata teman saya Aguk Irawan MN dalam novelnya Kitab Dusta dari Surga. Barangkali kita akan menemukan “Indonesia yang lain”, yang lebih menantang dan tak pernah kita duga sebelumnya, jika ada kemauan keras untuk melewati ujian ini. Ya, kuncinya tinggal pada kemauan. Dan, jangan lupa, Tuhan amat sayang pada hamba-hamba yang masih punya kemauan. ***


M A R W A N T O

No comments: