Wednesday, May 30, 2007

MENGGANTUNG ASA

Cerpen: Maftuha Jalal*)

“Ora lungo-lungo, to?”

Aneh juga ibuku ini. La wong anaknya seharian di rumah kok malah ditanya begitu. Harusnya malah senang, ada yang ngganteni momong Fafa. Satu-satunya keponakanku yang mendapat keistimewaan dimomong simbah putrinya. Tapi begitulah ibuku, selalu heran ketika melihat motorku tak bergerak dari kandangnya.

“La lehmu wira-wiri ki entuk duit ora to, Nduk?”

Kembali aku tersenyum. Lagi-lagi ibuku monolog. Pertanyaan yang seharusnya aku jawab, kubiarkan menguap saja. Mataku masih tertuju ke layar monitor. Sesekali jemariku memencet tuts di atas keyboard. Pura-puranya serius. Padahal hanya mengetikkan kata-kata yang entah maksudnya apa aku pun kurang mengerti. Rupanya ibu hafal benar dengan sikapku. Kalau sudah begini, tak ada lagi pertanyaan yang akan menyusulnya.

“Ealah.. ditakoni kok meneng wae.” Ibu berlalu sambil bergumam.

Duh ibu…. Tak ada maksud untuk su'ul adab dengan tidak menjawab pertanyaanmu. Ada banyak yang ingin aku utarakan. Tentang pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi harus kumulai dari mana? Saat ini belum ada kata yang tepat untuk kurangkai hingga berbuah kalimat yang indah didengar. Aku takut kalau kata-kata yang keluar dari mulutku justru akan melukaimu. Hingga diam kembali menjadi pilihanku. Pilihan yang sebenarnya tak ingin aku ambil.

***

“Nduk, sinau sing tenanan. Ben sesuk dadi dokter. Sak suntikan telung puluh ewu. Ojo koyo bapak-ibumu, gur mambu sawah.”
Begitu kata-kata yang dulu sering kudengar. Dulu, kala masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebagai anak polos yang tak tahu menahu, aku pun mengiyakan saja. Yang kutahu, dokter itu ya Pak Agus. Yang akan menyuntikku dan memberiku obat saat demam menyerangku. Selebihnya aku tak tahu. Dan ketika ada yang bertanya perihal cita-citaku, aku akan menjawab seperti yang ibu selalu tekankan kepadaku. Menjadi dokter. Tak pernah sekali pun aku menanyakan kepada diriku sendiri, apa yang sebenarnya kuinginkan. Referensi yang ada dalam otakku hanyalah dokter. Profesi yang “wah” bagi kalangan menengah ke bawah seperti keluargaku.

Baik juga maksud ibuku kala itu. Mendorong anaknya untuk berani mempunyai impian setinggi langit. Tak pelak, masa dua belas tahun kuhabiskan dengan belajar dan terus belajar. Bahkan masa SMA yang katanya adalah masa terindah di sekolah, tak kurasa sebagai lukisan indah dalam hidupku. Yang kukenal hanyalah membaca buku pelajaran yang tebalnya minta ampun. Menghafal rumus Trigonometri. Hingga mempelajari apa-apa yang sebenarnya tak aku pahami. Namun tetap aku jalani. Tidak lebih karena menurut ibuku, itu yang harus aku jalani. Jangan memikirkan hal-hal lain, itu hanya akan mengganggu studiku. Termasuk menanyakan apakah aku senang menjalaninya ataukah tidak, apakah ini yang aku inginkan atau tidak, apakah benar-benar bermanfaat buatku atau tidak. Bukan bermanfaat untuk ibuku. Sekali lagi bukan. Tapi, bermanfaat untukku.

Jalan yang dipilihkan ibu untukku ternyata terhenti di satu titik. Sebenarnya masih ada jeda. Tapi sengaja jeda itu kuganti dengan titik karena aku terlanjur menyukai dunia baruku. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Rasa kekecewaan karena tidak diterima di pilihan pertama, lambat laun terhapus saat aku mengenal lebih jauh tentang dunia baruku ini. Di sini aku bisa leluasa untuk menjalani apa yang ingin aku lakukan. Tidak dipaksa untuk menghapal rumus-rumus lagi. Apalagi dibebani dengan praktikum yang membuatku panas-dingin setiap kali harus buat laporan. Kebebasan yang selama ini aku dambakan.
“Yo wis lah, nek memang kuwi pilihanmu yo wis. Pak Joko kae yo mbiyen neng Sospol kuliahe. Saiki dadi DPR. Malah luweh mentereng.”

Ambisi ibuku untuk menjadikanku seorang dokter, akhirnya terhempas kalah oleh egoku. Di satu sisi aku berteriak senang. Berarti aku mendapat restu memilih jalan yang baru saja kutemukan. Jalan hidupku sendiri. Bukan jalan ibuku. Atau jalan bapakku. Tapi, menyukai dunia sosial-politik, bukan berarti kemudian harus menjadi DPR. Ah, ibu… harus kujelaskan dengan bahasa apa agar engkau mengerti kemauan anakmu ini. Kemauan yang sederhana saja. Tidak ingin seperti Pak Agus maupun seperti Pak Joko.

***

Trililit… trililit…

Suara telephon genggam membuyarkan lamunanku. Satu pesan masuk. Dari Ningrum. Satu-satunya teman KKN-ku yang sekarang masih bertahan sepertiku. Kelima temanku yang lain sudah menyebar entah kemana.

Jeng, hari ini kau temani anak-anak ya. Pak Ilham ga bisa berangkat. Istrinya sakit. Tak tunggu kedatanganmu.

Jam menunjukkan pukul 08:25 WIB. Aku harus secepatnya sampai kesana. Terlambat beberapa menit saja, anak-anak pasti sudah bubar. Menjalani profesinya sebagai seniman jalanan. Kalau sudah seperti itu, aku tidak bisa berbuat banyak. Kecuali menunggu sampai mereka berkehendak sendiri.

Oke. Tolong anak-anak suruh nunggu. Setengah jam lagi aku nyampe. Maklum motor jaman baheula, ga bisa dipake ngebut. Hehe..

Segera kumatikan komputerku. Kusambar tas ransel berisi segala keperluan yang mungkin kubutuhkan. Buku pegangan, peralatan menulis, kumpulan dongeng, majalah anak-anak, dan satu yang tak pernah lupa kubawa; permen. Melihat mereka belajar sambil ngemut permen adalah pemandangan indah yang tak bisa kutemui di tempat lain. Sungguh menyenangkan. Mungkin ini yang membuatku betah berlama-lama dengan mereka. Hingga tawaran untuk merintis karir di dunia politik, sementara tak aku tanggapi.
Ibu.. maafkan anakmu. Pertanyaan itu belum bisa aku jawab. Mungkin memang tak perlu kujawab saat ini. Biarlah tetap menggantung. Sampai mereka sendiri yang akan menjawabnya.

Tirtorahayu, 19 April 2007

*) Maftuha Jalal, anggota “Forum Téh Toebroek” Wates. Tinggal di Tirtorahayu Galur.

No comments: